Ratih duduk di kursi depan mobil dengan perasaan bercampur aduk. Dia menatap Rangga, suaminya, yang tampak tenang mengemudi di jalanan Jakarta yang padat. Hatinya penuh kebahagiaan, akan tetapi juga diliputi banyak kegelisahan.
Hari ini adalah pertama kalinya Rangga membawanya ke rumah mereka, tempat keduanya akan memulai kehidupan baru sebagai suami dan istri baru. Setelah menikah secara sederhana di kantor catatan sipil tanpa restu dari keluarganya, Ratih merasa yakin telah membuat keputusan yang benar di dalam hidupnya. Bahkan gadis itu pun rela meninggalkan segala kemewahan demi cintanya pada Rangga. Rangga, yang dulunya sopir pribadi ayahnya, telah berhasil memikat hati Ratih dengan ketulusan dan sikap rendah hatinya. Namun, hari ini, Ratih akan mengetahui sisi lain dari kehidupan suaminya, dan hatinya berdebar kencang membayangkan seperti apa kehidupan baru mereka nanti. Mobil akhirnya berhenti di sebuah gang sempit di pinggiran kota Jakarta. Ratih mengernyitkan dahi. Lokasi ini jauh dari bayangannya tentang rumah yang akan mereka tempati. "Ini tempatnya, Sayang," ujar Rangga lembut, mematikan mesin mobil. Dia berbalik menatap Ratih dengan senyum kecil di wajahnya, akan tetapi senyum itu tidak dapat menyembunyikan kegugupannya. Ratih terdiam sejenak, memandangi sekitar. Deretan rumah-rumah sempit dengan tembok yang mulai mengelupas, anak-anak kecil berlari tanpa alas kaki, dan bau got yang menyengat langsung menyeruak ke hidungnya. "Kita … akan tinggal di sini, Mas?" tanya Ratih perlahan, suaranya terdengar goyah. Rangga mengangguk pelan, terlihat sedikit cemas dengan reaksi istrinya. "Maaf, Ratih. Memang di sini kita akan tinggal. Ini rumah petakan yang kusewa. Aku belum bisa membelikan kita rumah yang lebih baik. Tapi aku janji, aku akan bekerja lebih keras untuk masa depan kita. Percayalah kepadaku, Sayang!" serunya kepada istrinya yang terlihat masih ragu-ragu untuk masuk ke dalam rumah sederhana itu. Ratih menelan ludah, mencoba meredakan kekagetannya atas kenyataan yang ada di depan matanya saat ini. Dia sangat tahu jika Rangga tidak berasal dari keluarga kaya raya, akan tetapi dia tidak pernah membayangkan keadaan akan seburuk ini. Sejak kecil, Ratih terbiasa hidup di rumah megah, dikelilingi oleh kemewahan. Namun, demi cintanya kepada Rangga, dia rela meninggalkan semua itu, dan sekarang di sinilah sang gadis, berdiri di depan sebuah rumah sempit di perumahan kumuh. "Yuk, masuk dulu," ajak Rangga, mencoba mengalihkan perhatian istrinya dari suasana sekitar. Dengan ragu, Ratih mengikuti langkah Rangga menuju rumah yang disebut suaminya sebagai 'rumah'. Pintu kayu yang sudah usang itu berderit saat Rangga membukanya. Begitu masuk, Ratih disambut oleh pemandangan yang sederhana, sebuah ruang tamu kecil dengan sofa tua, meja kayu yang penuh dengan goresan, dan kipas angin yang berputar lambat di langit-langit. Ada satu kamar tidur di sudut ruangan, serta dapur kecil yang terlihat sempit. Ratih memandangi ruangan itu dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kemiskinan yang dirasakannya, melainkan perasaan campur aduk antara terkejut dan sedih. Betapa besar perbedaan antara kehidupan yang baru ini dengan kehidupannya yang dulu. Namun, sang gadis sangat sadar jika dirinya telah memilih jalan ini, dan dia tidak boleh mundur. "Ratih? Apakah kamu baik-baik saja?" panggil Rangga perlahan, menyadari bahwa istrinya terdiam cukup lama. Ratih tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan gelisahnya. "Iya, Mas. Aku baik-baik saja, kok. Hanya saja, aku butuh waktu untuk beradaptasi." Rangga menarik napas lega, lalu mendekati istrinya dan menggenggam tangannya erat. "Aku tahu ini tidak mudah untukmu, Sayang. Tapi aku janji, aku akan berusaha keras. Kita akan bangun kehidupan kita dari sini. Percayalah kepadaku," seru Rangga lagi sambil tersenyum ke arah istrinya. Ratih menatap mata suaminya yang penuh dengan ketulusan. Dia pun mulai merasakan cinta yang begitu besar dari pria itu, dan Ratih tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri dengan meragukan keputusan yang telah diambil olehnya karena telah memilih Rangga sebagai pendamping hidupnya. "Aku percaya sama kamu, Mas," jawab Ratih dengan suara lembut. "Selama kita bersama, aku yakin kita pasti bisa melalui ini semua ini." Mata Rangga berbinar mendengar kata-kata Ratih. "Terima kasih, Sayang. Kamu benar-benar istri yang luar biasa bagiku." Namun, di dalam hatinya, Ratih tidak bisa sepenuhnya menghilangkan bayangan kehidupan lamanya. Ayahnya, Tuan Cahyono, pasti sangat marah ketika dia memutuskan untuk menikah dengan Rangga. Ratih masih bisa membayangkan wajah keras ayahnya saat pertama kali mengetahui hubungan mereka. Beberapa saat yang lalu, "Ratih! Apa kamu sudah gila? Kamu pacaran dengan sopirku?" teriak Tuan Cahyono saat itu, suaranya menggema di ruang tamu rumah mewah mereka. "Ini hidupku, Ayah. Aku berhak memilih siapa yang akan aku cintai!" balas Ratih, meski hatinya gemetar karena ketakutan. "Jangan bicara seperti itu, Ratih. Kamu tidak tahu apa dampak atas semua yang kamu lakukan!" Nyonya Menur, ibunya, hanya bisa menangis di sudut ruangan, memohon agar putrinya berubah pikiran. Tapi Ratih tetap teguh pada pendiriannya. Dia bahkan lebih memilih meninggalkan segala kemewahan demi cintanya pada Rangga. Dan sekarang, ketika dia berdiri di rumah petak kecil ini, sang gadis tahu jika dia telah membuat pilihan yang sulit, akan tetapi Ratih juga tahu bahwa cintanya pada Rangga tidak akan goyah. "Mas, kita harus mulai dari mana?" tanya Ratih, mencoba mengalihkan pikirannya dari kenangan masa lalu. "Kita bisa mulai dengan membereskan rumah ini dulu. Aku tahu ini tidak besar, tapi aku ingin kamu merasa nyaman di sini," jawab Rangga sambil tersenyum. Ratih mengangguk. Dia kemudian melepas jaketnya dan mulai membantu Rangga merapikan ruangan. Meski kecil dan sederhana, dia mencoba menerima tempat ini sebagai rumahnya sekarang. Ratih bertekad untuk tetap tegar, karena baginya, kebahagiaan tidak selalu datang dari kemewahan. Cinta yang tulus jauh lebih berharga. Sambil bekerja bersama, Ratih dan Rangga sesekali bertukar pandang dan tersenyum. Meskipun berat, keduanya yakin bahwa mereka bisa melewati semua ini bersama. Dan di tengah-tengah kesederhanaan itu, Ratih mulai merasakan kebahagiaan yang perlahan tumbuh di dalam hatinya, karena dia tahu, selama ada Rangga di sisinya, dia bisa menghadapi apapun. Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, mereka duduk berdua di depan rumah. Angin lembut berhembus, membawa kesejukan di antara kelelahan setelah seharian merapikan rumah. "Kamu menyesal, Ratih? Setelah tahu kehidupanku yang sebenarnya?" tanya Rangga pelan, suaranya mengandung kekhawatiran. Ratih tersenyum hangat, lalu menggenggam tangan suaminya. "Tidak, Mas. Aku tidak menyesal sedikitpun. Selama kita bersama, aku yakin kita akan baik-baik saja." Dan di bawah langit senja, mereka berdua berjanji untuk saling mendukung dan menjalani hidup ini dengan penuh cinta, meski dalam kesederhanaan.Pada Sabtu pagi, matahari bersinar cerah ketika Rangga dan Ratih bersiap untuk kunjungan penting yang selama ini telah lama mereka tunda. Rangga mengenakan jas rapi dengan rambut tersisir rapi, sementara Ratih memilih mengenakan kebaya sederhana berwarna pastel. Ini adalah kunjungan pertama mereka ke rumah orang tua Ratih setelah pernikahan mereka, karena hubungan yang tak direstui oleh Tuan Cahyono dan Nyonya Menur sejak awal. Rangga dulunya adalah sopir pribadi ayah Ratih, dan keputusan Ratih menikah dengannya membuat ayahnya marah besar.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, Rangga mengemudikan sedan mewahnya memasuki pekarangan rumah orang tua Ratih. Mobil tersebut menjadi simbol pencapaiannya dan cara sang pria yang ingin menunjukkan bahwa dia telah berhasil. Setibanya di sana, Ratih tampak gugup, jemarinya tanpa sadar meremas-remas tas kecil di pangkuannya.“Kamu yakin ini ide yang bagus, Mas?” tanya Ratih pelan, suaranya terdengar ragu.Rangga mengangguk mantap. “Iya, Rati
Hari demi hari berlalu, rumah tangga Ratih dan Rangga semakin dingin. Seperti biasa, pagi itu Ratih bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Dia mengaduk kopi hangat dan menggoreng telur dadar untuk suaminya yang masih tertidur lelap di kamar. Lalu Ratih pun masuk ke dalam kamar sejenak, dia memandang wajah Rangga yang tertidur dengan ekspresi lelah, meskipun sedikit mengernyit. Begitu alarm berbunyi, Rangga terbangun dan langsung bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada istrinya kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi. Setelah selesai mandi, Ratih mencoba tersenyum dan mulai menyapa suaminya. Saat ini mereka berada di ruang makan. "Mas, sarapan untukmu sudah siap. Makan dulu, ya." Rangga hanya melirik sekilas, lalu menguap sambil merapikan kemeja kerjanya. "Nggak usah repot-repot, Ratih. Aku cuma punya waktu sebentar sebelum pergi," katanya sambil meraih kopinya. "Mas, kapan kita ada waktu untuk ngobrol lagi? Rasanya sudah lama kita nggak duduk bareng." Rat
Pada suatu pagi,Ratih berdiri di depan rumah kontrakan mereka sambil menunggu suaminya, Rangga. Matahari baru saja naik, akan tetapi hatinya sudah terasa panas karena kecewa. Hampir setiap kali mereka bicara soal anak, Rangga selalu menghindar atau mengalihkan pembicaraan, membuatnya merasa diabaikan. Padahal, Ratih sangat mendambakan kehadiran seorang anak dalam pernikahan mereka yang sudah berjalan cukup lama.Tak berapa lama kemudian, Rangga tiba dengan mobil sedan barunya, mengkilap dan terlihat mewah. Ratih terkejut, dan tak percaya suaminya bisa membeli mobil seperti itu.“Pagi Ratih, ini mobil baru kita,” seru Rangga sambil tersenyum."Mas Rangga, kok bisa beli mobil baru? Ini uang dari mana?" tanya Ratih sambil memandang heran kepada suaminya.Rangga tersenyum tipis, memasang ekspresi santai. "Ada rezeki lebih. Aku pikir, kenapa nggak sekalian aku beli mobil saja? Lagian, sepertinya kita butuh kendaraan yang lebih nyaman. Ayo masuklah, aku akan membawamu ke suatu tempat," tut
Matahari sore mulai merangkak turun ketika Rangga menghidupkan motornya di depan rumah kontrakan kecil mereka. Mesin motor meraung-raung pelan, menandakan kecepatan sedang yang dipilih olehnya. Jalan-jalan kecil itu yang dipenuhi anak-anak berlarian tak lagi asing baginya. Sudah lebih dari beberapa Rangga tinggal di sini bersama istrinya, Ratih. Tapi belakangan, Ratih sering menghabiskan waktunya sendiri di rumah, sementara Rangga semakin sibuk dengan aktivitas barunya. Pria itu sedang menuju ke sebuah tujuan yang tak sepatutnya dibanggakan olehnya.Setelah beberapa kilometer, Rangga berhenti di depan sebuah warung kecil yang menjadi tempat mangkalnya bersama Ujang, teman lamanya. Ujang sedang duduk-duduk santai sambil merokok, wajahnya terlihat sangat santai seolah-olah tidak ada masalah di dunia ini."Bro, akhirnya Lo nyampe juga! Hampir karatan gue nungguin Lo, tahu!" tutur Ujang, sambil mematikan rokoknya."Sorry, Bro. Tadi jalanan sedikit macet. Yuk, Lo buruan naik!" Rangga menj
Pagi itu, setelah Rangga suaminya berangkat bekerja, Ratih mulai kembali ke rutinitas sehari-harinya, membersihkan rumah kontrakan sederhana yang mereka tinggali. Langit masih cerah, dan suara burung-burung berkicau dari pepohonan di sekitar rumah menemani aktivitasnya. Ratih lalu berjalan menuju dapur, mengambil sapu dan kain lap, dan mulai membersihkan bagian dalam rumah. Perlahan, dia pun menyapu setiap sudut dapur, mengelap meja, dan merapikan peralatan yang tertinggal.Setelah selesai dengan dapur, Ratih beranjak menuju ke dalam kamar. Kamar yang sempit dan sederhana itu selalu dijaga rapi oleh Ratih. Baginya, meskipun rumah mereka kecil, kebersihan adalah segalanya. "Kalau rumah selalu bersih, rasanya nyaman sekali," pikirnya sambil tersenyum kecil.Perempuan itu mulai merapikan selimut dan bantal di atas kasur, memastikan tidak ada debu yang menempel di sudut-sudut kamar. Setelah puas dengan hasilnya, Ratih pun melangkah menuju ruang tamu. Dia melanjutkan pekerjaan rumahnya d
Pagi mulai menyapa Kota Jakarta, tak terkecuali di pinggiran kota metropolitan itu, di mana rumah-rumah berdiri berjajar, kebanyakan reot dan dapat dikategorikan sebagai bangunan tua. Salah satu rumah itu milik pasangan muda, Ratih dan Rangga. Mereka mengontrak rumah di sana sejak keduanya resmi menikah. Matahari baru saja muncul dari balik cakrawala, menandakan hari baru yang sejuk dan penuh harapan, namun di rumah mereka, ada sesuatu yang tersembunyi di balik kehangatan pagi.Jam dinding berdentang pelan, menunjukkan pukul enam pagi. Ratih terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah, akan tetapi pikirannya tak bisa tenang. Dia melirik Rangga, suaminya yang masih tertidur lelap di sebelahnya, wajah suaminya itu tampak damai, seolah-olah tak terbebani oleh apapun. Ratih menarik napas panjang dan perlahan bangkit dari tempat tidur. Dengan hati-hati, dia melangkah keluar dari kamar, tak ingin membangunkan Rangga.Kakinya melangkah menuju dapur rumah mereka yang sede