Accueil / Rumah Tangga / TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI / BAB. 2 Memulai Kehidupan Baru

Share

BAB. 2 Memulai Kehidupan Baru

last update Dernière mise à jour: 2025-05-13 07:17:43

Di sebuah rumah petak sederhana di pinggiran kota Jakarta, Ratih dan Rangga baru saja memulai kehidupan sebagai pasangan suami istri. Rumah itu kecil, tapi cukup nyaman untuk dua orang.

Dindingnya terbuat dari bata yang dicat putih, dengan atap seng yang kerap berderak jika hujan deras turun. Lantai rumah ditutup dengan keramik berwarna krem yang sudah mulai memudar, sementara jendela-jendela kecil di ruang tamu dan kamar memberikan sedikit pencahayaan dari luar. Di sudut ruangan, ada perabot sederhana, seperti kasur, lemari pakaian kayu, dan meja makan kecil dengan dua kursi.

Malam itu, suasana rumah terasa sunyi. Angin malam yang dingin masuk melalui celah-celah pintu dan jendela, menambah kesunyian yang hanya diselingi oleh suara kendaraan dari kejauhan. Di dalam kamar tidur yang sempit, Rangga duduk di tepi kasur, sementara Ratih berdiri di depan cermin, melepas selendang dari rambutnya yang panjang dan hitam.

“Ratih,” panggil Rangga dengan nada lembut. Dia mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Ada satu strip pil KB. Ratih yang melihat itu, langsung mengernyit.

“Ini untuk kamu,” ucap Rangga, mengulurkan strip pil itu.

“Minum dulu sebelum kita memulai semuanya,” ucapnya kepada istrinya.

Ratih terdiam, memandangi strip pil KB itu dengan ragu. "Aku nggak mau minum ini, Mas," jawabnya pelan.

"Aku ingin kita punya anak," jujurnya kepada sang istri.

Rangga menarik napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur dan mendekati istrinya. Dia meraih bahu Ratih, menatapnya dalam-dalam, mencoba meyakinkannya.

“Aku juga pengin punya anak, Ratih. Tapi sekarang belum waktunya. Ekonomi kita belum stabil. Kamu tahu aku baru dipecat, ayahmu kan? Kita harus realistis sekarang!” seru Rangga setengah membentak.

Yang membuat Ratih seketika tersentak seketika mendengar suara suaminya yang besar itu.

Rangga yang menyadari kesalahannya segera berkata,

“Ratih, tunggu aku punya pekerjaan baru dulu. Baru kita akan pertimbangkan untuk memiliki anak,” ujar Rangga mencoba merayu istrinya.

“Apa benar begitu, Mas?” ucap Ratih meminta kepastian dari suaminya.

“Iya, Sayang. Percayalah kepadaku.” tukasnya lagi.

Ratih pun menunduk, menatap pil KB di tangan suaminya dengan mata berkaca-kaca. Memang benar, setelah menikah, Rangga kehilangan pekerjaannya sebagai sopir pribadi ayahnya sendiri, karena sebuah kesalahpahaman yang sampai sekarang masih belum terselesaikan. Pekerjaan itu adalah satu-satunya sumber penghasilan mereka, dan sekarang keduanya hanya bisa mengandalkan tabungan Ratih yang semakin menipis.

“Tapi, Mas ... aku takut kalau kita menunda terlalu lama, nanti malah susah punya anak,” gumam Ratih, suaranya lirih.

“Malah itu yang aku mau Ratih! Tidak memiliki keturunan sama sekali!” Namun semua itu hanya mampu dikatakan oleh Rangga di dalam hatinya saja.

Ternyata oh ternyata Rangga memiliki trauma masa kecil sehingga pria itu telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan mau memiliki keturunan.

Rangga mengelus punggung Ratih dengan lembut, mencoba menenangkan istrinya.

“Nggak usah khawatir. Nanti kalau situasi kita sudah lebih baik, kita bisa coba lagi. Sekarang yang penting kita fokus dulu pada bagaimana caranya bertahan untuk hidup,” serunya kepada sang istri.

Ratih masih tampak bimbang, tapi dirinya bisa merasakan tekanan dari suaminya. Dia tahu Rangga benar, mereka harus berpikir rasional di tengah situasi sulit ini. Dengan berat hati, dia akhirnya mengangguk pelan.

“Baik, Mas. Aku akan menurut,” ucap Ratih pasrah.

“Nah gitu, dong!” sahutnya dengan wajah berbinar.

Rangga tersenyum lega, meskipun senyumnya terlihat samar, seperti menyembunyikan sesuatu di baliknya.

“Bagus, Sayang. Terima kasih sudah mengerti,” katanya sambil menyerahkan strip pil KB itu kepada Ratih.

Ratih membuka bungkus pil KB dan mengambil satu butir. Dia menatap pil itu sejenak sebelum akhirnya menelannya dengan sedikit air. Setelah selesai, dia meletakkan gelas kosong di meja kecil di samping tempat tidur. Dalam diam, Ratih kembali duduk di tepi kasur, mencoba mengatur perasaannya yang campur aduk.

Rangga mendekat, duduk di sebelah Ratih. Tangannya mengelus punggung istrinya, memberi kenyamanan.

“Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?”

Ratih menatap suaminya dan mencoba tersenyum.

“Nggak apa-apa, Mas. Aku cuma harus menyesuaikan diri dengan semua ini.”

“Lama-lama kamu juga akan terbiasa, Sayang.” seru Rangga lagi.

“Iya, Mas.” Sebenarnya Ratih terpaksa mengikuti kemauan suaminya.

Rangga mengangguk, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Ratih, mencium lembut keningnya.

“Kamu istri yang baik, Ratih. Aku beruntung punya kamu.”

Senyum Ratih mengembang sedikit lebih lebar setelah mendengar kata-kata suaminya. Namun, dibalik semua itu, ada perasaan kecewa yang tidak bisa diabaikannya. Dia sangat menginginkan seorang anak, tapi Ratih sadar jika situasi mereka saat ini memang tidak ideal. Dia harus menundukkan keinginannya demi kebaikan mereka bersama.

Malam semakin larut. Lampu kamar yang remang-remang menciptakan bayangan lembut di dinding, sementara suara kipas angin berputar pelan mengisi keheningan. Setelah beberapa saat, Rangga berdiri dan mematikan lampu kamar. Hanya ada sedikit cahaya dari jendela yang terbuka sebagian, memancarkan bayangan bulan yang redup.

Di dalam kegelapan, Rangga kembali ke kasur dan meraih tangan istrinya.

"Sudah siap?" tanyanya dengan suara lembut, namun terdengar ada sesuatu di balik nada suaranya yang tidak biasa.

Ratih mengangguk dalam diam, meskipun dalam hatinya, masih ada sedikit keraguan. Namun, dia mencoba menyingkirkan perasaan itu. Dia percaya pada suaminya, pada keputusan mereka bersama.

Rangga menatapnya sejenak, sebelum akhirnya meraih tubuh Ratih dan memulai malam yang seharusnya menjadi awal dari kehidupan mereka sebagai suami istri. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya Rangga memandang istrinya malam itu. Di balik senyum lembutnya, tersembunyi sesuatu yang tidak diketahui oleh Ratih.

Setelah semuanya selesai, Ratih terbaring di samping Rangga dengan tubuh yang masih bergetar ringan. Dia menatap langit-langit, pikirannya melayang-layang di antara rasa puas dan kegelisahan yang tak jelas. Sementara itu, Rangga memandangnya dengan senyuman tipis yang sulit ditebak.

“Mas, kamu kelihatan aneh,” ucap Ratih tiba-tiba, merasa ada sesuatu yang tidak beres dari cara suaminya memandangnya malam itu.

Rangga hanya terkekeh pelan. “He-he-he. Nggak ada apa-apa, Sayang. Aku cuma sangat senang. Kamu adalah segalanya bagiku. Kehadiranmu sungguh membuatku merasa lengkap saat ini!”

Ratih mengernyit, tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban suaminya, tapi dia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Dia hanya ingin menikmati momen ini, meskipun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

“Oh ya, Mas. Apakah besok kamu sudah mulai mencari kerja?” tanya Ratih lagi.

“Apa? Kita baru saja menikah Ratih! Masa kamu langsung menyuruhku untuk bekerja?”

“Tapi, Mas ….”

“Sudah-sudah. Kamu tidurlah. Besok saja kita bahas lagi,” seru Rangga kepada istrinya yang hanya dijawab anggukan oleh Ratih.

Malam itu, Rangga tetap terjaga lebih lama dari biasanya. Dia memandangi langit-langit dengan tatapan yang penuh rencana, sementara Ratih tertidur di sampingnya. Dalam pikirannya, ada sesuatu yang sedang direncanakannya, sesuatu yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka ke depan, meskipun Ratih sama sekali tidak menyadarinya.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI     BAB. 36 Ratih akhirnya Menemukan Kebahagiaannya Sendiri

    Hujan gerimis turun pelan membasahi Kota Bandung sore itu. Awan kelabu menggantung rendah seakan menyampaikan kabar duka. Di sebuah sudut kota yang tenang, berdiri sebuah toko bunga bernama “Ratih’s Bloom” berdampingan dengan “Sweetheart Bakery.” Kedua usaha itu milik Ratih, perempuan yang kini menjalani hidupnya dengan tenang dan penuh kemandirian.Ratih mengenakan apron putih dengan noda tepung di sana-sini. Rambut hitamnya diikat tinggi, dan wajahnya yang dulu ceria kini tampak lebih tegar namun dingin. Dia sedang menyusun kue tart untuk pesanan pelanggan ketika suara lonceng pintu berbunyi.“Selamat sore. Ratih?” suara seorang pria menyapa pelan.Ratih menoleh. Seorang pria paruh baya berdiri di sana, mengenakan jas hujan dan memegang sebuah amplop. Wajahnya tampak penuh beban.“Iya, saya Ratih. Ada yang bisa saya bantu?”“Saya, teman lama Rangga. Nama saya Adrian,” katanya sambil menatap Ratih dengan ragu. “Saya datang karena, ada sesuatu yang perlu kamu tahu.”Ratih mendadak te

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 35 Rangga Berakhir Tragis

    Sore hari di desa kecil di perbatasan JambiTruk berhenti di jalan setapak berdebu. Rangga mengetuk dinding kabin truk."Sampai sini saja, Pak. Terima kasih banyak."Sopir mengangguk. "Hati-hati ya, jalan ke desa kecil itu sepi. Banyak yang bilang masih ada harimau juga."Rangga dan Leman turun dari truk. Setelah memastikan tak ada polisi yang mengikuti mereka, keduanya mulai menyusuri jalan setapak ke arah perbukitan, menuju sebuah rumah tua berpagar kayu."Itu rumahnya?" tanya Leman setengah terengah."Iya. Aku ingat dari cerita Ayah. Pak Idris tinggal sendiri setelah istrinya meninggal. Tapi dia orang baik, dulu sering bantu Ayah saat masa-masa sulit."Mereka mengetuk pintu. Setelah beberapa saat, seorang lelaki tua membuka pintu. Matanya tajam namun sorotnya lembut."Rangga? Anak Wira?"Rangga mengangguk. "Saya butuh bantuan, Pak. Kami dikejar polisi. Tapi bukan seperti yang mereka pikirkan. Kami difitnah." Ternyata Rangga berbohong padahal dia seorang napi kasus pembunuhan.Pak

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 34 Masih Terus Melarikan Diri

    Sore hari di posko pencarian wilayah Barat Bengkulu,Salah satu anjing pelacak mendadak menggonggong keras saat mendekati pondok tua di tengah hutan."Pak, anjing pelacak temukan sesuatu!" teriak petugas.Kapten Damar segera mendekat. Dia melihat potongan kain di paku."Ambil dan bawa ke laboratorium. Tes DNA-nya. Tapi yang lebih penting, keduanya memang ada di sini. Kita hampir dapatkan mereka."Seorang teknisi datang dengan tablet."Kami juga dapat rekaman drone yang menunjukkan dua sosok melintasi sungai kecil di hutan barat. Gambar nggak jelas, tapi gerakannya konsisten dengan dua orang.""Kita kejar arah sungai itu. Kirim tim darat, siapkan speedboat di hilir. Kita kepung mereka dari darat dan air. Kali ini keduanya nggak akan bisa lolos."Sore hari di Sungai RawasRangga dan Leman menyusuri sungai dengan rakit sederhana dari batang pisang dan papan tua."Gue nggak yakin ini cukup kuat bawa kita berdua.""Kita nggak punya pilihan lain. Perahu motor pasti diawasi. Jalur ini lebih

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 33 Pondok Nelayan, Pulau Tak Bernama

    Langit masih gelap saat Rangga terbangun dari tidurnya. Angin pantai yang menusuk tulang membuatnya menggigil, meski selimut tipis yang diberikan nelayan tua semalam masih menyelimuti tubuhnya. Dia duduk perlahan, memandangi Leman yang masih terlelap di sudut pondok."Sudah saatnya kita bergerak," bisiknya.Rangga keluar dan melihat nelayan tua, Pak Rawi, sedang duduk di batu besar dekat dermaga kecil, merokok sambil menatap laut."Pagi, Pak," sapa Rangga.Pak Rawi melirik sekilas. "Kalian harus pergi sebelum matahari naik. Saya sudah terlalu tua untuk urusan kejar-kejaran dengan polisi."Rangga mengangguk. "Kami akan pergi. Terima kasih untuk pondok dan makanan.""Bagi saya kalian bukan orang jahat, tapi kalian sedang dikejar. Itu membuat kalian bahaya bagi siapa pun yang dekat."Rangga diam. "Kami hanya ingin hidup bebas.""Kebebasan itu mahal, Nak," gumam Pak Rawi. "Kadang terlalu mahal."Pagi hari di Markas Kepolisian Wilayah SelatanKapten Damar menatap layar komputer besar de

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 32 Polisi Terus Mengejar

    Angin pagi menyapu wajah Rangga dan Leman saat mereka melangkah menyusuri jalan setapak di antara ladang tebu dan semak belukar. Sepatu mereka basah oleh embun, dan setiap suara burung atau ranting patah membuat keduanya menoleh waspada.Leman memegangi bahunya yang makin nyeri. Luka lama yang belum sembuh kini kembali terasa, membuatnya terhuyung.“Lo kuat, Man?” tanya Rangga sambil memegangi bahu sahabatnya itu.“Gue kuat,” jawab Leman lirih. “Gue cuma pengin kita beneran bebas.”Rangga menatap ke arah selatan. “Menurut info Ferry, pelabuhan kecil di Desa Pandanarang punya nelayan yang biasa ke sebuah pulau buat dagang. Kalo kita bisa naik kapal mereka, kita bisa kabur tanpa dicurigai.”Leman menarik napas panjang. “Kita jadi orang pulau, ya?”Rangga tersenyum tipis. “Atau apa pun yang penting kita hidup bebas.”Pagi hari di Pos polisi sektor Cilacap,Kapten Damar menatap layar laptop dengan tatapan tajam. Foto-foto buronan Rangga dan Leman sudah tersebar ke semua sektor. Karyo s

  • TEKANAN BATIN SEORANG ISTRI    BAB. 31 Ketahuan Polisi

    Mereka langsung menendang bara api dan tiarap di lantai. Motor mendekat, lalu berhenti. Suara laki-laki terdengar.“Menurut laporan, jejak kaki mereka sampai ke arah sini. Periksa rumah itu!”Langkah kaki menghantam tanah keras. Dua bayangan masuk ke halaman rumah.“Siap-siap,” bisik Rangga, mengambil batu besar di dekatnya.Langkah sepatu berat memasuki teras rumah.“Gue ke dalam. Lo awasi luar,” ujar suara laki-laki itu.Rangga menunggu, satu, dua, tiga detik.Begitu pria itu masuk ke kamar, Rangga langsung menyerang. Bruk!Batu menghantam kepala sipir itu dan tubuhnya roboh.“Ambil pistolnya!” teriak Rangga.Leman mengambil pistol di pinggang pria itu dan langsung mengarahkannya ke jendela.“Yang di luar, angkat tangan Lo atau gue tembak!”Tapi suara tembakan datang lebih dulu dari luar. Kaca jendela pecah dan Leman menjerit.“Arrgh! Gue kena di bahu!”Rangga menarik tubuh Leman ke belakang dan berteriak, “Kita kabur lewat belakang!”Karyo memapah Leman yang berdarah, sementara Ra

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status