Hujan turun deras malam itu, seolah langit pun menangisi nasib Grace . Dia berdiri di depan pintu rumah mewah milik Lucas, tangannya gemetar saat hendak mengetuk. Dingin malam merasuk ke dalam tulangnya, membasahi pakaiannya yang tipis dan menambah rasa putus asa yang telah lama menggerogoti hatinya.
Dia tidak ingin berada di sini. Tidak ingin menghadapi pria yang paling membencinya. Tapi apa lagi yang bisa dia lakukan? Rumah keluarganya sudah disita, rekeningnya diblokir, dan yang lebih menyakitkan, ayahnya kini terbaring koma tanpa ada harapan pulih jika tidak segera mendapatkan perawatan intensif. Dengan napas tertahan, Grace akhirnya menekan bel pintu. Sekali. Dua kali. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan sosok pria tinggi dengan tatapan sedingin es. Lucas. Mata tajamnya menyapu tubuh Grace yang kuyup, tetapi tidak ada sedikit pun simpati dalam sorot matanya. Bibirnya melengkung dalam senyuman mengejek. "Grace Williams?" Grace menelan ludah, berusaha menahan guncangan dalam suaranya. "Aku ingin bicara denganmu." Lucas menyilangkan tangan di dadanya, matanya bersinar dengan rasa puas. "Sepertinya Nona Williams benar-benar sudah jatuh ke titik terendah kalau sampai datang mencariku." Grace menggigit bibirnya, menghindari tatapan menghina itu. "Aku butuh bantuanmu." Tawa rendah terdengar dari bibir Lucas. "Bantuan?" Dia melangkah ke samping, memberi isyarat agar Grace masuk. "Masuklah, lalu kita lihat bantuan seperti apa yang kau inginkan dariku." Ruangan itu hangat, kontras dengan tubuh Grace yang masih menggigil. Dia berdiri di tengah ruangan, tangan mengepal erat di sisi tubuhnya. Lucas berjalan mendekatinya, langkahnya penuh ketenangan yang menakutkan. "Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk mantan putri kaya dari keluarga Williams?" Grace menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Aku butuh uang untuk biaya pengobatan ayah-ku." Lucas menatapnya tanpa ekspresi, lalu tersenyum sinis. "Jadi kau datang ke sini, meminta uang dariku!" Grace mengepalkan tangannya lebih erat. Dia tahu tentang konflik yang selama ini terjadi antara pria yang sedang berdiri di depannya ini, selalu bersinggungan dengan ayahnya. Lucas tidak akan melepaskan kesempatan untuk merendahkannya. "Jika kau mau, aku... bisa melakukan apa saja," kata Grace dengan suara bergetar. Lucas menaikan satu alisnya. "Apa saja?" Grace mengangguk, menahan air mata yang hampir tumpah. "Ya. Apa saja." Tawa Lucas terdengar lagi, kali ini lebih dingin. "Jadi sekarang kau rela melakukan apa pun untuk-ku, Grace Williams?" Dia berjalan mendekat, berdiri hanya beberapa inci darinya. "Kalau begitu, katakan padaku, apa yang bisa kau tawarkan?" Grace memejamkan mata sejenak sebelum membuka kembali. Dengan suara yang hampir tidak terdengar, dia berkata, "Diriku." Keheningan menyelimuti ruangan. Lucas menatapnya lama, lalu mengulurkan tangan, mengangkat dagu Grace agar dia bisa menatapnya langsung. "Kau menawarkan dirimu sebagai ‘teman tidur’ demi uang?" Wajah Grace memanas karena malu, tapi dia tidak bisa mundur sekarang. "Ya." Grace tersenyum kecil, tetapi senyum itu sama sekali tidak mengandung kehangatan. "Menarik." Dia melepas dagu Grace, lalu berjalan menuju sofa dan duduk dengan santai. "Kau tahu, aku bisa saja menolak dan membiarkanmu berjuang sendiri. Tapi melihatmu seperti ini… rasanya terlalu sayang untuk disia-siakan." Grace menahan napas. "Jadi… kau setuju?" Lucas mengetukkan jemarinya ke lengan sofa, berpikir sejenak sebelum berkata, "Aku setuju. Tapi ada syarat." Grace mengangkat wajahnya, berharap. "Apa syaratnya?" Lucas menyandarkan punggungnya, matanya bersinar penuh permainan. "Kau akan tinggal di sini. Menjadi milik-ku. Aku akan memberimu uang, tapi sebagai gantinya, kau harus selalu ada setiap kali aku membutuhkannya." Grace mengepalkan tangannya. Dia tahu ini akan sulit, tapi dia tidak punya pilihan lain. Jika ini satu-satunya cara agar ayahnya bisa mendapatkan pengobatan, maka dia akan melakukannya. "Aku setuju," katanya akhirnya. Lucas tersenyum puas. "Bagus." Dia bangkit dari sofa, berjalan mendekati Grace, lalu menyingkap sehelai rambut basah dari wajahnya. "Mulai hari ini, kau milik-ku, Grace Williams" Malam ini,, setelah kesepakatan dibuat, Grace merasa seperti mulai berjalan di atas tali tipis di antara kehancuran dan harapan. Lucas tidak berkata apa-apa lagi setelah menyatakan kepemilikannya atas dirinya. Dia hanya memanggil seorang pelayan dan memintanya mengantar gadis itu ke salah satu kamar di lantai atas. “Keringkan dirimu dan istirahatlah. Mulai besok, kau akan menjalani peranmu,” kata Lucas sebelum berbalik pergi, seakan urusan ini hanyalah transaksi bisnis baginya. Grace hanya bisa menunduk, menerima perintah itu tanpa protes. Kamar yang disediakan Lucas begitu luas dan mewah, kontras dengan perasaan hampa yang kini memenuhi hatinya. Dia berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang tampak pucat dan lelah. Bodoh, pikirnya sendiri. Aku benar-benar sudah menjual diri demi uang. Dia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. Tidak ada gunanya menyesali keputusan ini. Dia harus bertahan. Ini semua demi ayahnya. Setelah berganti pakaian yang diberikan oleh pelayan, Grace berbaring di ranjang empuk itu. Namun, meskipun tubuhnya lelah, pikirannya terus bekerja. Wajah Lucas terlintas dalam benaknya tatapan dinginnya, senyuman sinisnya, dan kata-katanya yang penuh ejekan. Dia tahu, mulai sekarang, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Keesokan paginya, Grace terbangun lebih awal. Pagi di Kediaman keluarga Smith yang begitu sunyi, berbeda dengan rumahnya dulu yang selalu dipenuhi suara tawa keluarganya. Ketika dia turun ke ruang makan, Lucas sudah duduk di meja, membaca koran sambil menyeruput kopi hitam. Dia tampak begitu tenang, seolah tidak ada yang terjadi semalam. Grace ragu-ragu sebelum akhirnya berjalan mendekat. Lucas melirik sekilas ke arahnya sebelum melipat koran dan meletakkannya di atas meja. “Duduk.” Grace menurut, duduk di kursi di seberangnya.Seorang pelayan datang dan menyajikan sarapan. Namun, sebelum dia bisa menyentuh makanannya, Lucas berbicara. “Mulai hari ini, aku punya beberapa aturan untukmu.” Grace mengangkat wajahnya, bersiap mendengar apa pun syarat yang akan diberikan Lucas “Pertama, kau harus selalu ada kapan pun aku menginginkanmu.” Suaranya datar, tanpa emosi. “Kedua, kau tidak boleh mencampuri urusanku, tidak peduli apa pun yang kau dengar atau lihat di rumah ini.” Grace menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata Lucas. “Ketiga…” Lucas menatapnya lama sebelum akhirnya berkata dengan nada lebih dingin, “Jangan pernah berharap lebih. Ini hanya transaksi. Tidak ada cinta, tidak ada perasaan.” Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk tepat ke hati Grace. Dia tahu sejak awal bahwa Lucas tidak akan pernah melihatnya sebagai lebih dari sekadar alat untuk memuaskan egonya. Tapi mendengar kata-kata itu langsung dari mulutnya… tetap saja menyakitkan. “Aku mengerti,” jawab Grace pelan. Lucas menyeringai, puas dengan jawabannya. “Bagus.” Dia lalu berdiri dan mengambil jasnya. “Aku ada urusan hari ini. Kau bisa melakukan apa pun, asal tetap berada di rumah ini.” Grace hanya mengangguk, tidak berani menatapnya terlalu lama. Saat Lucas melangkah pergi, Grace menghela napas panjang. Dia sudah membuat pilihan. Dan sekarang, dia harus menjalani konsekuensinya. Sepanjang hari, Grace menghabiskan waktunya di kamar. Dia mencoba mencari tahu perkembangan kondisi ayahnya melalui telepon, tetapi dokter hanya mengatakan bahwa tanpa dana tambahan, perawatan intensif tidak bisa dilanjutkan. Hatinya semakin berat. Menjelang malam, Lucas belum kembali, dan Grace mulai merasa gelisah. Dia berjalan ke balkon, menatap langit malam yang gelap. Apakah hidupnya akan selalu seperti ini? Terjebak dalam kesepakatan yang dingin tanpa jalan keluar? Tepat saat pikirannya dipenuhi pertanyaan, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. “Sedang memikirkan apa?” Suara Lucas membuat tubuh Grace menegang. Dia berbalik, melihat pria itu berdiri di depan pintu balkon dengan ekspresi sulit ditebak. Grace menggeleng pelan. “Tidak ada.” Lucas berjalan mendekat, dan tanpa peringatan, dia mengangkat dagu Grace, membuat gadis itu menatap langsung ke matanya. “Kau mulai menyesal?” tanyanya pelan, tetapi ada nada mengejek dalam suaranya. Grace menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku tidak menyesal.” Lucas menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Bagus.” Dia lalu menarik Grace mendekat, membisikkan sesuatu di telinganya. “Karena mulai malam ini, peranmu benar-benar dimulai.” Jantung Grace berdebar kencang. Dia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Jari-jari tangan Diana terlihat seperti sedang melayang di atas keyboard, karena kecepatan mengetiknya. Kali ini Tuannya bersedia memanggilnya kembali, tentu saja dia harus membuktikan diri jika dia masih memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempermudah segala urusan Tuannya.“Jika nama ini benar-benar penting, aku rasa‘Orion’ bukan sekadar nama acak. Bisa jadi kode, bisa jadi nama operasi... atau seseorang.” Pikir Diana dengan masih terlihat serius menatap layar laptopnya tanpa berkedip.““Koordinat terakhir,” gumam Diana. “Ini di luar jangkauan sistem satelit sipil biasa. Siapa pun mereka, mereka tak ingin ditemukan.” Pikirnya lagi semakin merasa tertantang. Meski ada rasa tak nyaman menggelitik tengkuknya,Diana mengetik cepat, mencoba menelusuri lebih jauh, rekam jejak, keberadaan, koneksi dengan ‘Orion’. Tapi sistemnya mulai terganggu.“I-ini… ada yang mencoba masuk ke jaringanku,” ucapnya panik. “Seseorang tahu aku sedang mencoba membuka data ini!” pikirnya sambil memicingkan m
Alex melajukan mobilnya dengan masih melantukan doa puja puji untuk para dewa dan para leluhurnya. Tuannya itu sangat pendendam, jadi dia enggan membayangkan konsekuensinya jika sampai Tuannya itu menaruh dendam kepadanya.Berkendara beberapa saat, dia pun tiba di salah satu kedai kopi. Di sudut kota yang tak terlalu ramai, tersembunyi di balik deretan toko tua, berdiri sebuah kedai kopi kecil bernama "Kopi Senja" Dari luar, tak ada yang istimewa, hanya papan kayu dengan tulisan tangan, pintu kaca dengan tirai rami separuh tertutup, dan aroma kopi yang menguar hangat ke trotoar. Tapi begitu melangkah masuk, dunia seolah melambat.Interiornya hangat dan menenangkan. Dindingnya dilapisi bata merah yang tak sepenuhnya disembunyikan, berpadu dengan rak-rak kayu berisi buku-buku tua dan tanaman hijau menjuntai dari langit-langit. Lampu gantung berwarna kuning redup menciptakan cahaya temaram yang menenangkan, sementara musik jazz lembut mengalun dari speaker tersembunyi. Sofa empuk terseba
Di kediaman Smith, Grace belum bisa tidur. Dia terlihat seperti sedang menunggu kepulangan Lucas. Gadis itu menajamkan pendengarannya, sedikit ada ribut-ribut diluar kamarnya. Dia pun segera turun dari ranjang, lalu sedikit mengintip dari lantai dua.Lucas terlihat baru saja tiba. Namun dengan wajah yang sedikit tidak sedap di pandang. Grace lebih heran lagi, ketika melihat Alex ada di kediaman Smith. “Wuah, sangat setia sekali, ini sudah jam berapa, dia masih saja bekerja dengan Tuannya!”Grace melihat Alex dan Tuannya itu menghilang di koridor yang menuju ke ruang kerja Lucas. Merasa penasaran, Grace turun ke bawah. Belajar dari peringatan pertama dan kedua, dia tidak bertanya apa-apa pada siapapun.Grace membuka pintu, berjalan ke teras, sedikit tercengan melihat mobil mahal Lucas rupanya jadi sedikit buruk meski tetap kekar. Ada beberapa ranting daun yang ikut terbawa pulang oleh pria itu. “Sebenarnya dia dari mana!” pikir Grace sambil memetik daun yang ada di ranting.Di dala
Di dalam kamar, Grace menatap lampu kristal yang menggantung di kamarnya, Mencoba menghitung kilau cahaya yang keluar dari kaca-kaca kristal. Dia menghela napas karena berpikir itu adalah hal yang mustahil. Sama mustahilnya dengan dia bisa melepaskan diri dari Lucas Smith.Lucas Smith bukan sekadar nama dalam jajaran orang terkaya dunia, Dia adalah simbol dari kekuasaan, strategi, dan insting bisnis yang nyaris tak terbendung. Lucas menapaki tangga kejayaan bukan dengan warisan, melainkan dengan visi tajam dan keberanian mengambil risiko yang melampaui generasinya.Di tangannya Grup Smith menjelma menjadi konglomerasi multinasional yang menggurita di sektor energi, teknologi, infrastruktur, hingga pertahanan digital. Perusahaannya tidak hanya membentuk pasar. Dia mengendalikannya.Lucas dikenal di ruang dewan sebagai pria yang tidak pernah menunjukkan emosinya. Ketika para pesaingnya sibuk mengatur strategi jangka pendek, Lucas sudah tiga langkah di depan, memborong saham-saham krusia
Lucas bersandar di kursi sambil menyilangkan tangannya, lalu berkata, “Apa kau pikir aku sudah bangkrut!”Grace tersentak, melihat wajah Lucas, barulah dia teringat jika saat ini dia sedang makan dengan salah satu taipan paling kaya, berkuasa. “Ah… itu… eum oke, aku akan pesan!” imbuhnya seraya mengambil buku menu.Tidak berpikir banyak lagi, Grace malah menunjuk menu yang paling mahal. Trinitas de Lune — Hidangan Tiga Alam oleh Chef Eloise Moreau. Begitu si pelayan melihat menu yang dipilih oleh Grace, dia langsung berdecak senang dan langsung memuji Grace, “Wah, pilihan yang tepat sekali!”Grace menatap si pelayan, melemparkan wajah yang menyiratkan pertanyaan. Pelayan menangkap sirat wajah itu lalu berkata, “Menu ini hanya dikeluarkan 6 kali dalam setahun, jadi Nona! Kau sangat beruntung bisa merasakan menu Istimewa kami!”“Kami tidak pernah memberitahukan kapan jadwal menu ini akan kami keluarkan. Dan, Jika sudah keluar, maka hanya satu hari saja, esok tidak akan kami keluarkan la
“M-maaf aku memakai bajumu tanpa ijin, aku akan mencucinya dengan bersih nanti!” Lucas melepaskan jaket panjangnya, dan melemparkannya ke lantai. Grace terpaku melihat jaket itu, Alex langsung berdehem. “Nona sebaiknya kau pakai jaket itu!” Alex tidak berani mengambil dan memakaikannya, Grace membungkuk lalu mengambil jaket itu. Dengan Cepat, Alex langsung mendongak, jika terlambat sedikit saja, bisa-bisa dia tiba-tiba akan terjun bebas dari Gedung Smith. Senyum samar menjejak di wajah Lucas, melihat asistennnya cukup tahu diri. Grace pun melangkah masuk ke dalam lift sembari merapikan rambutnya ke belakang. Rahang pria itu mengeras, ketika wangi rambut Grace menyeruak ke penciumannya. Aura ketegangan terasa sangat kentara di lift yang hanya berisi tiga orang itu. Dalam hati Alex dan Grace memiliki harapan yang sama, agar pintu lift segera terbuka. ‘Ding’ pintu lift itu pun akhirnya terbuka, Alex sedikit menghela napas, lalu segera berjalan cepat menuju ke mobil. Dengan cepat dia
Alex langsung menarik dokter itu untuk keluar. Tapi, sebelum keluar dokter itu malah masih sempat berkata, “Jangan lupa olesi di leher dan tulang selangkamu, agar lukanya tidak berbekas!”Grace memegang lehernya sambil mengangguk. Sementara itu, Lucas tengah berdiri, sedang memberinya tatapan ingin membunuh, Dia paling tidak suka miliknya dipegang oleh orang lain, terlebih lagi ketika dia memikirkan bahwa dia adalah pria pertama gadis itu, egonya tetap ingin terus begitu, pria pertama dan pria satu-satunya yang menyentuh Grace.Lucas melangkah mendekati Grace, bersimpuh di depannya seraya mengambil salep dari tangan gadis itu. Mengamati sesaat, lalu mulai mengoleskan salep itu ke leher dan tulang selangka Grace.Tangan Lucas bergerak dengan perlahan, hati-hati mengoleskan salep bening ke luka cakar yang membentang dari leher hingga tulang selangka Grace. Kulitnya hangat di bawah sentuhan, meski masih tampak memerah dan perih. Lucas menelan ludah, berusaha keras mengabaikan gemetar
“Nona, jaga ucapanmu!” kata Alex memberi peringatan kepada Scarlet.Ibu Seymour berdiri dengan sopan di depan Alex, “Apa kau benar-benar wali Nona Williams?”Kepala dan hati Alex berdenyut, dia memang terbiasa mengurus segala urusan Tuannya, tapi berursan dengan sekolah seketika saja membuat kepalanya pening. Grace langsung berdiri dan mewakili menjawab.“Mohon maaf Eum… dia… dia adalah pacar-ku !” jawab Grace sambil merangkul lengan Alex.“Oh ya ampun, alamat akan disambar petir aku ini!” imbuh Alex dalam hati ingin menangis darah.Semua yang mengenal Lucas pasti tahu, pria itu tidak suka jika ada orang yang menyentuh atau mengklaim miliknya. Grace malah melanjutkan perkataannya, “Karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, jadi untuk saat ini tidak apa kan jika dia yang menjadi waliku!”Alex menghela napas, pada saat ini ingin rasanya dia membenturkan kepalanya karena mendengar perkataan Grace tadi. Ibu Hamish dan Ibu Seymour saling berpandangan lalu mereka sedikit mengangguk.Gr
Ellias membawa Winona untuk duduk di sofa, tak berapa lama Nyonya Winter tiba. “Bu!” panggil manja Vivian.“Oh ya ampun, mengapa ada memar di mana-mana!” imbuh Nyonya Winter memelas.Semua wali sudah datang, hanya tinggal Grace seorang. Dengan nada keibuan Nyonya Winter pun berkata, “Aku yang mewakili untuk Nona Williams, kita sudah bisa memulai sedang etika ini!”Ibu Seymour mengetahui keadaan orang tua Grace hanya saja tadi dia sudah memanggil wali yang baru dicantumkan di informsi siswa. Merasa mungkin tidak akan datang, maka diputuskan sidang etika pun di mulai.Ruang sidang etik di lantai dua gedung rektorat telah dipenuhi oleh para pelaku dan para wali. Desahan gugup terlihat sangat jelas. Dinding ruangannya berwarna abu terang, dihiasi foto-foto para pendiri kampus dan kutipan moral tentang etika dan profesionalisme.Di sisi kanan ruangan, deretan kursi kayu panjang telah terisi oleh empat mahasiswa : Grace, Vivian, Scarlet, dan Winona. Mereka duduk berjejer, tak lagi terlihat