Share

BAB: 5

Author: Olin huy
last update Last Updated: 2023-01-07 15:40:41

"Maaf, Pak Kevin! Orderan yang dipesan tidak dapat dibatalkan. Terima kasih!"

"Heh, tunggu!"

Aira ...! Kepalaku rasanya mau pecah. Apakah ini yang dinamakan ujian dalam rumah tangga?

Menit kemudian ketika mau mandi bel pintu berbunyi. "Siapa sih, pagi-pagi ganggu saja!" gerutuku.

Dari kamar aku ke depan. 

"Paket, Pak. Totalnya enam ratus ribu!" Pria itu menenteng bungkusan berwarna hitam. Jam segini sudah mengganggu.

"Paket apa? Aku nggak pernah pesen-pesen begituan! Bawa pulang sana!"

"Ini adalah baju pesanan Bu Aira. Begini, Pak! Di olshop kami selalu ada perjanjian. Barang yang sudah dipesan dan diantar ke rumah tidak dapat dikembalikan lagi. Aku sudah capek-capek ke sini lho, Pak?"

"Aku nggak ada anggaran uang untuk barang yang nggak penting seperti itu! Kalau memang itu pesanan Aira, suruh dia yang bayar."

Kurir berseragam biru elektrik itu menatapku secara intens. Dia memindai penampilanku dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. "Orang kaya kok perhitungan."

"Eh, kamu bilang apa tadi?"

"Nggak bilang apa-apa, Mas! Eh, Pak! Pokoknya aku nggak mau tahu, barang ini harus dibayar. Kalau tidak, Anda akan kuviralkan. Orang kaya sok-sokan order barang, nyatanya nggak mau bayar," gertaknya. 

Yang order Aira, kenapa aku yang akan diviralkan. Benar-benar nggak masuk akal.

Dari bangun tidur rasanya darahku mendidih. Tak ada sapaan manja istri. Tak ada jamuan. Terus apa gunanya menikah kalau apa-apa harus aku sendiri. 

"Eh, memangnya aku takut?"

"Oh, Anda menantang?!" Pria yang kuperkirakan seumuran denganku itu mengambil ponsel dari saku jaketnya dan siap mengarahkan kamera ke wajahku. "Ayo netizen silakan dibuli. Lihat rumah orang kaya ini. Pagar besi, halaman besar, rumah mewah tapi menolak membayar barang COD."

"Stop, stop! Oke, aku akan bayar. Tapi tolong jangan di sebar luaskan!"

"Nah, gitu kan sama-sama enak, Pak! Kenapa nggak dari tadi saja. Aku ke sini pakai bensin, belum lagi kalau costomer menolak menerima paket, aku bisa dimarahi bos, Pak!"

Tadi sok galak, sekarang memelas. Dasar jiwa-jiwa miskin. Aku dulu juga pernah susah. Tapi tidak pernah mau memelas pada orang.

"Tunggu sebentar!" Aku ke dalam untuk mengambil uang cas. Untung ada, kalau tidak ada pasti aku sudah diviralkan. Ini semua gara-gara Aira. Dia benar-benar membuat ubun-ubunku berasap.

Setelah kurir menerima uang dan menyerahkan paket itu padaku, dia pergi. Kubawa bungkusan hitam yang cukup berat ke dalam. 

Tidak perlu menunggu Aira pulang. Barang yang sudah kubayar menjadi hak-ku untuk dibuka.

Setelah kusobek plastuk hitam itu, tekanan darah yang sudah naik perlahan menurun. Aku dibuat luluh oleh benda yang ada di hadapanku saat ini.

Ternyata kemeja pria. Tapi setelah melihat tumpukan dibawahnya, aku jadi tahu kalau ini hanyalah taktik supaya aku tidak marah. Dia mau membeli gamis, lalu menyelund*pkan kemeja untukku agar aku mau membayar. Cerdas juga otaknya. Disaat orderan datang dia menghilang.

Padahal cuma kemeja biasa. Tapi harganya selangit. Itulah wanita. Tidak bisa membelanjakan uang dengan bijak. Gamis dan kemeja yang murah kan banyak. 

***

"Assalamualaikum!" Sore hari istri dan mertuaku pulang dengan tentengan tas belanja.

"Bu, tolong tinggalkan kami. Aku mau bicara empat mata sama Aira," pintaku. Ibu mertua pun masuk ke kamar. Wajahnya terlihat lesu. Barang kali beliau kecapekan. 

"Sini kamu!" Aku menarik lengan Aira masuk ke dalam kamar.

"Jelaskan semuanya padaku!" Rahangku mengeras. "Tatap mataku! Jangan melihat ke atas. Buka matamu lebar-lebar. Aku ini suamimu. Kamu terikat padaku. Kalau mau apa-apa wajib hukumnya untuk meminta izin padaku. Bukan pergi nyelonong begitu saja. Kamu pikir aku ini patung?!"

Aira menoleh ke samping, dia membuang muka dan tak berani menatapku. Sesekali terdengar hempasan napasnya yang kasar. 

"Ini lagi!" Ku banting paket yang tadi pagi kuterima, "order barang seenaknya, tidak ada musyawarah sebelumnya. Kalau kamu tanya padaku, aku bisa mengantarmu untuk beli gamis yang lebih murah harganya. Ngapain beli mahal-mahal kalau pakainya cuma sesekali? Menuh-menuhi almari saja." Belum puas aku marah, padanganku tertuju pada tas-tas belanja di tangan Aira. Aku merebutnya dan membuang ke segala arah. "Ini lagi. Kamu dapat uang dari mana bisa belanja sebanyak ini? Hah! Oh iya, aku lupa. Pasti kamu menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari kita kan? Lancang kamu sebagai istri. Mau jadi apa kamu!"

Kamarku kedap suara. Jadi, ibu mertua tak akan mendengar perdebatan kami.

"Seharusnya kamu bersyukur. Tidak perlu memikirkan kebutuhan dapur atau pengeluaran setiap bulannya. Apa kamu tahu, banyak istri di luar sana yang pusing memikirkan pengeluaran untuk kebutuhan setiap harinya. Sementara kamu enak. Masak tinggal masak, tidak perlu pusing mencari uang. Tidak perlu memikirkan anggaran bulanan. Dibikin enak kok malah mencari-cari masalah." Capek berteriak, tenagaku semakin terkuras. Akhirnya kujatuhkan bokong ke ranjang. 

"Sudah ngomongnya?" tanya Aira dengan tenang. 

"Iya, sudah!" jawabku masih menahan sesak di dada.

"Oke, sekarang giliran aku yang bicara. Mas mau tahu kenapa aku menjual sembako yang ada di almari? Pertama, aku malu diejek tetangga, Mas. Mas tahu yang tinggal di sini orang-orang kaya. Mereka selalu melihatku membeli sayur yang itu-itu saja. Mereka tahu uang yang kubelanjakan. Satu dua hari aku bisa mencari alasan. Tapi dalam satu bulan full, mereka apa masih percaya? Ibu-ibu di lingkungan ini baik banget padaku, Mas. Mereka mau membeli stok di dapur agar aku punya pegangan uang lebih. Lagi pula apa enaknya, meski kamu memberi stok beras banyak kalau pada akhirnya makan harus diirit."

"Makan nasi memang tidak boleh banyak-banyak, Ra. Nggak sehat. Salah satu penyebab deabetes adalah dari nasi. Paham!" 

"Diam dulu, Mas. Aku belum selesai bicara. Lalu, rumah ini besar dan luas. Aku minta asisten rumah tangga untuk sekadar bantu-bantu pun tak kamu beri. Alasannya banyak yang nggak jujur, menuduhku pemalaslah. Bilang saja kalau Mas nggak mau keluar uang untuk membayar asisten rumah tangga. Aku ini istrimu. Bukan pembantu. Aku juga butuh uang untuk merawat diri. Merawat diri itu butuh biaya. Kamu juga tak ada inisiatif untuk membelikan aku skincare. Lalu, apa salah kalau kujual barang yang ada di rumah ini? Apa perlu kujual salah satu g!nj@lmu, Mas?"

Lagi-lagi aku dibuat menelan ludah oleh Aira. Dia pikir g!njalku barang dagangan.

"Oh, jadi kamu butuh uang? Ya sana kerja! Sudah enak di rumah malah mau kerja."

Aira berjalan menuju nakas. Kemudian mengambil buku dan pulpen. Lalu duduk di ranjang memunggungiku. Entah apa yang dia tulis.

Menit kemudian ...

Glotak.

Buku ia lempar ke punggungku. "Baca!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    TEMAN JADI MUSUH

    Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    KEGELISAHAN IBU

    POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    MENDADAK NOL

    "Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    UNDANGAN DARI KAMPUNG

    "Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    PESONA HOT DUDA

    Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya

  • TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin)    MINTA DIADOPSI JADI ISTRI

    "Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status