Share

BAB: 5

"Maaf, Pak Kevin! Orderan yang dipesan tidak dapat dibatalkan. Terima kasih!"

"Heh, tunggu!"

Aira ...! Kepalaku rasanya mau pecah. Apakah ini yang dinamakan ujian dalam rumah tangga?

Menit kemudian ketika mau mandi bel pintu berbunyi. "Siapa sih, pagi-pagi ganggu saja!" gerutuku.

Dari kamar aku ke depan. 

"Paket, Pak. Totalnya enam ratus ribu!" Pria itu menenteng bungkusan berwarna hitam. Jam segini sudah mengganggu.

"Paket apa? Aku nggak pernah pesen-pesen begituan! Bawa pulang sana!"

"Ini adalah baju pesanan Bu Aira. Begini, Pak! Di olshop kami selalu ada perjanjian. Barang yang sudah dipesan dan diantar ke rumah tidak dapat dikembalikan lagi. Aku sudah capek-capek ke sini lho, Pak?"

"Aku nggak ada anggaran uang untuk barang yang nggak penting seperti itu! Kalau memang itu pesanan Aira, suruh dia yang bayar."

Kurir berseragam biru elektrik itu menatapku secara intens. Dia memindai penampilanku dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. "Orang kaya kok perhitungan."

"Eh, kamu bilang apa tadi?"

"Nggak bilang apa-apa, Mas! Eh, Pak! Pokoknya aku nggak mau tahu, barang ini harus dibayar. Kalau tidak, Anda akan kuviralkan. Orang kaya sok-sokan order barang, nyatanya nggak mau bayar," gertaknya. 

Yang order Aira, kenapa aku yang akan diviralkan. Benar-benar nggak masuk akal.

Dari bangun tidur rasanya darahku mendidih. Tak ada sapaan manja istri. Tak ada jamuan. Terus apa gunanya menikah kalau apa-apa harus aku sendiri. 

"Eh, memangnya aku takut?"

"Oh, Anda menantang?!" Pria yang kuperkirakan seumuran denganku itu mengambil ponsel dari saku jaketnya dan siap mengarahkan kamera ke wajahku. "Ayo netizen silakan dibuli. Lihat rumah orang kaya ini. Pagar besi, halaman besar, rumah mewah tapi menolak membayar barang COD."

"Stop, stop! Oke, aku akan bayar. Tapi tolong jangan di sebar luaskan!"

"Nah, gitu kan sama-sama enak, Pak! Kenapa nggak dari tadi saja. Aku ke sini pakai bensin, belum lagi kalau costomer menolak menerima paket, aku bisa dimarahi bos, Pak!"

Tadi sok galak, sekarang memelas. Dasar jiwa-jiwa miskin. Aku dulu juga pernah susah. Tapi tidak pernah mau memelas pada orang.

"Tunggu sebentar!" Aku ke dalam untuk mengambil uang cas. Untung ada, kalau tidak ada pasti aku sudah diviralkan. Ini semua gara-gara Aira. Dia benar-benar membuat ubun-ubunku berasap.

Setelah kurir menerima uang dan menyerahkan paket itu padaku, dia pergi. Kubawa bungkusan hitam yang cukup berat ke dalam. 

Tidak perlu menunggu Aira pulang. Barang yang sudah kubayar menjadi hak-ku untuk dibuka.

Setelah kusobek plastuk hitam itu, tekanan darah yang sudah naik perlahan menurun. Aku dibuat luluh oleh benda yang ada di hadapanku saat ini.

Ternyata kemeja pria. Tapi setelah melihat tumpukan dibawahnya, aku jadi tahu kalau ini hanyalah taktik supaya aku tidak marah. Dia mau membeli gamis, lalu menyelund*pkan kemeja untukku agar aku mau membayar. Cerdas juga otaknya. Disaat orderan datang dia menghilang.

Padahal cuma kemeja biasa. Tapi harganya selangit. Itulah wanita. Tidak bisa membelanjakan uang dengan bijak. Gamis dan kemeja yang murah kan banyak. 

***

"Assalamualaikum!" Sore hari istri dan mertuaku pulang dengan tentengan tas belanja.

"Bu, tolong tinggalkan kami. Aku mau bicara empat mata sama Aira," pintaku. Ibu mertua pun masuk ke kamar. Wajahnya terlihat lesu. Barang kali beliau kecapekan. 

"Sini kamu!" Aku menarik lengan Aira masuk ke dalam kamar.

"Jelaskan semuanya padaku!" Rahangku mengeras. "Tatap mataku! Jangan melihat ke atas. Buka matamu lebar-lebar. Aku ini suamimu. Kamu terikat padaku. Kalau mau apa-apa wajib hukumnya untuk meminta izin padaku. Bukan pergi nyelonong begitu saja. Kamu pikir aku ini patung?!"

Aira menoleh ke samping, dia membuang muka dan tak berani menatapku. Sesekali terdengar hempasan napasnya yang kasar. 

"Ini lagi!" Ku banting paket yang tadi pagi kuterima, "order barang seenaknya, tidak ada musyawarah sebelumnya. Kalau kamu tanya padaku, aku bisa mengantarmu untuk beli gamis yang lebih murah harganya. Ngapain beli mahal-mahal kalau pakainya cuma sesekali? Menuh-menuhi almari saja." Belum puas aku marah, padanganku tertuju pada tas-tas belanja di tangan Aira. Aku merebutnya dan membuang ke segala arah. "Ini lagi. Kamu dapat uang dari mana bisa belanja sebanyak ini? Hah! Oh iya, aku lupa. Pasti kamu menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari kita kan? Lancang kamu sebagai istri. Mau jadi apa kamu!"

Kamarku kedap suara. Jadi, ibu mertua tak akan mendengar perdebatan kami.

"Seharusnya kamu bersyukur. Tidak perlu memikirkan kebutuhan dapur atau pengeluaran setiap bulannya. Apa kamu tahu, banyak istri di luar sana yang pusing memikirkan pengeluaran untuk kebutuhan setiap harinya. Sementara kamu enak. Masak tinggal masak, tidak perlu pusing mencari uang. Tidak perlu memikirkan anggaran bulanan. Dibikin enak kok malah mencari-cari masalah." Capek berteriak, tenagaku semakin terkuras. Akhirnya kujatuhkan bokong ke ranjang. 

"Sudah ngomongnya?" tanya Aira dengan tenang. 

"Iya, sudah!" jawabku masih menahan sesak di dada.

"Oke, sekarang giliran aku yang bicara. Mas mau tahu kenapa aku menjual sembako yang ada di almari? Pertama, aku malu diejek tetangga, Mas. Mas tahu yang tinggal di sini orang-orang kaya. Mereka selalu melihatku membeli sayur yang itu-itu saja. Mereka tahu uang yang kubelanjakan. Satu dua hari aku bisa mencari alasan. Tapi dalam satu bulan full, mereka apa masih percaya? Ibu-ibu di lingkungan ini baik banget padaku, Mas. Mereka mau membeli stok di dapur agar aku punya pegangan uang lebih. Lagi pula apa enaknya, meski kamu memberi stok beras banyak kalau pada akhirnya makan harus diirit."

"Makan nasi memang tidak boleh banyak-banyak, Ra. Nggak sehat. Salah satu penyebab deabetes adalah dari nasi. Paham!" 

"Diam dulu, Mas. Aku belum selesai bicara. Lalu, rumah ini besar dan luas. Aku minta asisten rumah tangga untuk sekadar bantu-bantu pun tak kamu beri. Alasannya banyak yang nggak jujur, menuduhku pemalaslah. Bilang saja kalau Mas nggak mau keluar uang untuk membayar asisten rumah tangga. Aku ini istrimu. Bukan pembantu. Aku juga butuh uang untuk merawat diri. Merawat diri itu butuh biaya. Kamu juga tak ada inisiatif untuk membelikan aku skincare. Lalu, apa salah kalau kujual barang yang ada di rumah ini? Apa perlu kujual salah satu g!nj@lmu, Mas?"

Lagi-lagi aku dibuat menelan ludah oleh Aira. Dia pikir g!njalku barang dagangan.

"Oh, jadi kamu butuh uang? Ya sana kerja! Sudah enak di rumah malah mau kerja."

Aira berjalan menuju nakas. Kemudian mengambil buku dan pulpen. Lalu duduk di ranjang memunggungiku. Entah apa yang dia tulis.

Menit kemudian ...

Glotak.

Buku ia lempar ke punggungku. "Baca!"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status