Share

BAB: 4

Hari ini istriku telah sukses memerasku. Mana mungkin periksa perut habis enam juta. Lagi pula dia dapat dokter dari mana sih?Nggak meyakinkan.

Tapi memang perutku sudah agak baikan setelah minum ob@t yang diberikan istriku. Sayangnya dia tidak memperlihatkan kemasan ob@t tersebut. Entah ia simpan di mana. Dia datang ke kamar cuma membawa gelas panjang serta tiga jenis ob@t berbentuk tablet dan kaplet yang tak kutahu merk-nya.

"Ini obat apa? Kamu nggak merac*niku kan?" tanyaku sebelum menelan.

Aira mengulas senyum dan berkata, "Kalau mau merac*n aku nggak akan memanggilkan dokter. Cukup sian!d@."

Tenggorokanku seketika susah menelan ludah. Benar juga.

"Lagian itu dokter prakteknya di mana sih? Mahal banget. Apa tidak ada dokter yang lebih murah?"

"Kamu ya, Mas! Masalah kesehatan saja masih perhitungan. Mas tahu sendiri kan kalau sehat itu mahal. Makanya, selagi sehat jangan terlalu memikirkan kantong. Pikir juga isi perut. Setelah sakit baru deh. Kelabakan. Enak kan kalau sakit nggak perlu makan apa-apa? Puasa sekalian."

"Aku mau minum obat tapi kamu nyerocos dari tadi. Sudah, tinggalkan aku! Aku mau sendiri."

Kesal rasanya. Punya istri begitu banget. Nggak ada empati sedikit pun pada suami yang sedang terkapar begini.

"Dikasih tahu malah marah-marah." Aira menghentakkan kaki, lalu keluar.

Istri macam apa seperti itu! Kenapa juga aku dulu menikahinya. Sebelum menikah  bermanja-manja di lenganku. Ternyata dia melakukan itu karena sering kuajak jajan, nonton, dan belanja. Sekarang aku baru sadar kalau istriku matre. Dulu aku tidak keberatan karena kutahu untuk mendekati wanita butuh modal awal seperti ketika mau membangun sebuah usaha. Tapi sekarang dia kan sudah kudapatkan. Ibarat memancing aku telah berhasil menangkap ikannya.

***

"Wah, ada pisang goreng ni!"

Bangun tidur melihat asap mengepul dari piring keramik di meja membuatku semangat.

"Mau?" Aira menatapku dengan bibir sebelah naik ke atas. Dia juga menghempaskan napas dengan kasar.

"Mau dong, Sayang! Perutku sudah nggak sakit."

Aku duduk berseberangan dengan istriku dan berhadapan. Tangan baru mau mendekati piring, mata istriku melotot. "Kalau mau, beli!"

"Ya Allah, Ra! Seperti anak kecil saja. Masak bisa ketelan meski ada suami di hadapanmu," sanggah ibu mertua, "itukan cuma pisang goreng, Ra. Bagilah suamimu. Ibu di kampung masih banyak kalau kamu kurang." Ibu mertua menggelengkan kepala.

Orang tua kandungnya sendiri saja menyayangkan kelakuan putrinya. Apa lagi aku. Muak rasanya. Tidak peka pada suami.

"Dengar kata ibumu! Kamu paham kan tugas istri? Seorang istri harus melayani suami."

Aira seperti tak mendengar ucapanku. Dia terus mengunyah pisang goreng dengan menatap ke atas dan membolak-balikkan bola matanya.

Aku menengok kanan kiri memindai setiap nakas. "Di mana kopiku?"

"Buat sendiri. Aku bukan pembantu!" sahut Aira.

"Kamu apa-apaan sih, Ra? Lama-lama aku muak sama kamu. Dari tadi bela-beli nggak jelas. Ini rumahku. Jangan se-enaknya kamu di sini!"

Aku paling tidak suka diacuhkan begini.

Brang!

Aira menggebrak meja sampai piring kontal. Suaranya membuat jantung goncang.

Kenapa malah dia yang lebih galakan? Seharusnya aku yang marah, karena ulahnya yang tidak bisa menghormati suami.

Berulang kali kuremas rambut yang masih berantakan karena otak terasa panas, bawaannya mau memaki orang. Mungkin jika dimasukkan ke freezer sebentar akan lebih dingin.

Untung ada ibu mertua, sehingga aku bisa meredam amarah dengan mengepalkan tangan juga mengatur napas. Kujatuhkan bobot tubuhku ke kursi agar emosi sedikit mereda.

"Ma-maafkan Aira ya, Vin! Cobalah kalian bicara baik-baik dari hati ke hati agar bisa saling memahami satu sama lain. Dalam berumah tangga butuh yang namanya komunikasi."

Ah. Sok menasehati. Kenapa tidak putrinya saja yang diceramahi agar bisa menjadi istri yang berbakti pada suami.

Yang kutahu ibu mertua adalah single parent karena berpisah dengan suaminya sewaktu Aira masih duduk di bangku SD. Sayangnya Aira tidak pernah memberitahukan perihal penyebab gagalnya rumah tangga ibunya. Mungkin ya itu, membangkang pada suami. Dan apa yang diperbuat Aira padaku sekarang menurun dari ibunya.

"Ayo pergi, Bu! Di rumah mewah seperti di neraka!" Aira keluar dari kamar dan sudah berganti pakaian dengan yang lebih bagus.

"Mau kemana?!" Aku menatapnya dengan intens. Dia tidak balik menatapku.

"Memangnya Mas peduli? Kalau memang Mas peduli, Mas tidak akan memperlakukan aku seperti pembantu. Aku mau shoping. Ayo, Bu!"

Dia menggandeng tangan ibunya. Bersamaan dengan itu, suara klakson terdengar tiga kali di depan rumah. Ternyata sudah ada taxi online yang menunggu.

Sok-sokan mau belanja dan pakai taxi online segala. Dia pikir bayar taxi cukup lima ribu rupiah saja? Lagian dia juga nggak punya uang. Dapat duit dari mana? Uang simpanannya juga paling berapa?

Setiap catatan belanja yang diberikan padaku selama ini tak pernah ada sisa. Sebentar lagi pasti kembali karena tak bisa membayar taxi. Atau dia cuma gaya-gayaan turun di perempatan depan sana. Lagian ibu mertua mana tahan kena AC mobil. Yang ada nanti masuk angin. Dia ke sini saja naik mobil bak.

Aira kata aku memperlakukan dia seperti pembantu? Itu terlalu berlebihan. Padahal di rumah dia juga nggak ngapa-ngapain selain nyapu, ngepel, nyuci, itu pun tidak setiap hari. Masak, membuatkan minum suami, itu hal yang wajar. Memang dasarnya manja.

Dari pada pusing memikirkan istri yang masih labil, aku mengalah membuat kopi sendiri. Kurang sabar apa aku sebagai suami? Kalau dia menjadi istri orang lain mungkin sudah diceraikan.

Ketika kubuka almari yang khusus dipakai untuk stok keperluan dapur seperti minyak, gandum, gula, dan lainnya mataku membulat sempurna. Semakin membelalak ketika aku mengecek almari khusus keperluan kamar mandi. Padahal aku sering berburu discon dan promo di swalayan besar. Aku membeli dengan jumlah banyak. Setengah kutaruh di toko grosirku, setengah kubawa pulang agar istriku tak perlu belanja lagi keluar. Tapi apa sekarang? Minyak cuma tinggal satu botol, terigu 1kg. Semua tersisa satu-satu setiap macamnya.

Otakku kembali pada Aira yang pamit untuk shoping. Apa mungkin dia menjual semua barang yang kubeli, lalu memakai uangnya untuk belanja?

Ponselku berbunyi. Nomor yang tak kukenal terlihat di layar.

"Hallo!"

"Maaf sebelumnya! Apa benar ini dengan Pak Kevin?" tanya seorang wanita di ujung sana. Dari mana dia mendapatkan nomorku?

"Maaf, Pak! Orderan Bapak sudah di jalan. Mohon dibayar dengan cas ya, Pak! Terima kasih!"

"Eh, orderan apa sih? Aku nggak pernah order barang yang ditujukan ke rumah."

"Maaf, Bapak! Yang order Ibu Aira--istri Bapak. Kata Ibu Aira nanti barangnya yang membayar adalah Pak Kevin, karena Ibu Aira sedang keluar."

"Batalkan saja. Aku nggak merasa pesan. Istriku juga tidak izin dulu padaku!" Aku semakin naik darah.

"Maaf, Pak Kevin! Orderan yang dipesan tidak dapat dibatalkan. Terima kasih!"

"Heh, tunggu!"

Aira ...! Kepalaku rasanya mau pecah. Apakah ini yang dinamakan ujian dalam rumah tangga?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status