LOGINTanganku masih menggenggam pergelangan tangannya erat, lebih erat dari yang seharusnya.
Aku bisa merasakan detak nadinya di bawah kulit itu, tenang, kontras dengan jantungku yang berdentum kencang. Sam tak langsung melepaskan tatapannya. Sorot matanya menelisik wajahku, seolah mencari alasan kenapa aku menghentikannya. “Ada yang ingin kau katakan?” suaranya rendah menggelitik, membuat bulu kudukku meremang. Aku membuka mulut, ingin kuucapkan terima kasih, atau mungkin sekadar menahannya lebih lama di sini. Namun yang keluar hanyalah helaan napas tak tentu. Sam sedikit mendekat, jarak kami kini tak lebih dari satu lengan. Wangi tubuhnya memenuhi inderaku, membuatku semakin sulit bernapas dengan normal. “Kalau kau tetap diam, aku akan menganggap ini… sesuatu yang lain,” ujarnya pelan, nada suaranya samar antara gurauan dan peringatan. Aku refleks melepaskan genggamanku, namun dia justru menahan jemariku sekejap. Hanya sesaat, tapi cukup membuatku kehilangan arah. “Kau baik-baik saja? Katakan kalau butuh sesuatu, jangan sungkan,” lanjutnya sambil membungkuk sedikit, menatapku dari bawah dengan sorot mata yang membuat perutku serasa diaduk. Pintu diketuk dari luar. Sam menghempaskan napas, lalu menegakkan tubuh. “Itu mungkin Sean atau Irish,” ucapnya, melangkah ke arah pintu. Aku hanya berdiri terpaku, dengan jantung yang masih belum mau tenang dan sebuah pertanyaan yang menggantung di udara. Apa yang baru saja kulakukan? Saat pintu kamar itu terbuka, Irish dan Sean muncul dengan raut wajah bersalah. Bunyi musik yang sebelumnya menggelegar dari halaman belakang kini sudah menghilang, menyisakan keheningan yang dingin. “Sudah cukup keributannya?” Sam bertanya dengan nada tegas, tetapi tidak lagi meledak-ledak seperti tadi. Matanya sempat melirik ke arahku, lalu kembali menatap Sean. “Aku harap kau belajar sesuatu malam ini. Juga… berikan dia minuman hangat.” Sean hanya mengangguk pelan, sangat patuh pada ucapan sang ayah. Aku menunduk, berusaha menghindari tatapan siapa pun, terutama Sam. Ada rasa bersalah yang menggelayuti dada, aku tahu kejadian ini tidak sepenuhnya salah mereka. Begitu Sam melangkah pergi, suasana langsung terasa lebih ringan, meskipun masih canggung. Irish segera masuk ke kamar dan menghampiriku. “Audrey, aku benar-benar minta maaf,” katanya memelas. “Aku tidak menyangka akan seperti ini.” Aku menggeleng cepat. “Bukan salahmu. Aku juga merasa… aku yang malah mengacaukan suasana.” Sean mendekat beberapa langkah, menatapku dengan mata yang tidak setajam ayahnya, tapi tetap menusuk. “Hei, jangan merasa bersalah. Pesta itu memang… agak kelewatan dari awal,” katanya pelan, seolah berusaha menenangkanku dengan nada yang lebih manusiawi. “Ayahku juga… tidak suka kejutan yang di luar kendali.” Aku menghela napas pelan, mencoba mengendurkan ketegangan di bahu. “Tetap saja… gara-gara aku, pesta jadi kacau.” “Justru bagus,” Irish tiba-tiba menyahut sambil mengangkat bahu. “Daripada besok semua orang membicarakan yang aneh-aneh, lebih baik selesai sekarang. Lagi pula, siapa yang butuh pesta semalaman? Aku sudah lelah.” Aku sedikit tak percaya mendengar Irish berbicara seperti itu, karena dia terkenal sebagai ratu pesta. “Ini… milik ibunya Sean. Lama, tapi masih bagus. Cepat ganti bajumu sebelum masuk angin.” Aku menerima dress yang Irish sodorkan dengan tangan gemetar lalu melangkah ke kamar mandi. Suara air mengalir, kain yang bergesekan dengan kulit, semuanya terasa seperti pengalihan sesaat dari kekacauan pikiranku. Begitu aku keluar lagi, mereka berdua langsung menatap. Dress vintage biru muda itu memang pas di beberapa bagian, tapi sedikit kedodoran di pinggang dan bahu. Tubuh Cindy Arsen memang sangat indah dan proporsional. Aku merasa seperti anak kecil yang meminjam baju orang dewasa. “Bagaimana?” tanyaku canggung sambil merapikan kerahnya. Irish mendengus geli. “Jujur saja, kau terlihat seperti mau ikut pesta teh dengan nenekku.” Ia menatapku dari atas ke bawah lalu tiba-tiba mengembuskan napas panjang. “Sebenarnya… aku ada ide. Daripada kau pulang malam-malam dengan penampilan seperti itu dan membuat ibumu bertanya-tanya, kenapa tidak menginap saja di sini?” Aku langsung menatapnya tajam. “Menginap? Kau gila? Aku bahkan berjanji tidak akan pulang larut malam.” “Audrey sayang, kalau kau pulang sekarang, ibumu akan bertanya macam-macam dan menginterogasiku,” Irish tetap bersikeras, ekspresinya serius. “Aku tak mau ambil resiko apalagi berbohong. Sean juga setuju. Jadi, telepon ibumu sekarang.” Sebelum aku sempat membantah lebih jauh, Sean yang sejak tadi hanya bersandar di pintu malah mengangguk. “Dia benar, Audrey. Di luar dingin, sudah larut, dan… ayah tidak akan suka kalau kalian pulang berdua saja dalam keadaan begini.” "Aku juga lelah," sela Irish sambil menjatuhkan diri ke tempat tidur. Aku terdiam. Bukan karena tidak punya alasan untuk menolak, tapi karena jantungku tiba-tiba berdegup terlalu keras. Berada di rumah ini saja sudah cukup membuatku gelisah, apalagi jika harus menginap? Aku melirik Irish, lalu Sean, berharap salah satu dari mereka membatalkan ide gila itu. Tapi ternyata tidak. Mereka berdua sudah sepakat. Tidak ada yang peduli dengan dentuman keras yang kembali muncul di dalam dadaku. ** Sarapan pagi itu selesai dengan cepat. Sean mencuci piring-piring kotor di wastafel, sementara aku membantu mengeringkannya. Aroma roti panggang pun masih tertinggal di udara ketika Irish yang duduk menikmati jus mulai bercerita ringan. “Pantas saja rumah ini selalu sepi. Sepagi ini ibumu sudah berangkat ke rumah sakit dan ayahmu mulai berolahraga. Setelah itu dia lanjut ke kantor, kan?” Irish melirik Sean yang hanya mengangguk sambil menyelesaikan pekerjaannya. Irish berdecak lama sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. “Orang tuamu benar-benar hidup tanpa beban, terutama ibumu,” ucapnya santai, seolah tak menyadari bahwa ucapannya baru saja menyayat udara di antara kami. Aku sontak melotot padanya. “Irish!” desisku tajam. Alih-alih menghibur, dia malah menyulut kesedihan yang sudah mengambang di pelupuk mata Sean. Tatapan Sean sempat jatuh ke arah lantai, seolah berusaha menahan sesuatu yang sudah lama mengganjal. Aku segera meraih lengan Iris dan berkata cepat, “Oke, waktunya mandi dan bersiap pulang.” Aku butuh memutus suasana yang mendadak jadi pekat itu. “Pulang? Sepagi ini?” Irish menatapku dengan alis terangkat, jelas-jelas tak setuju. “Memangnya kau masih mau menginap?” balasku ketus, tanganku sudah menarik pergelangannya sebelum dia sempat menghabiskan sisa jusnya. Gelas itu hampir jatuh kalau saja dia tak cepat-cepat menaruhnya kembali ke meja. “Bersiaplah, aku akan antar kalian pulang,” ucap Sean dari belakang, suaranya tenang tapi terdengar letih. Aku menoleh sambil menggeleng. “Tidak perlu, Sean. Kau harus banyak istirahat,” tolakku halus namun tegas. Aku bisa membaca raut wajahnya. Lelah, tetapi masih berusaha tetap ramah. Irish masih saja mengomel pelan saat aku menyeretnya ke arah kamar tamu. Aku tak peduli. Yang kuinginkan hanya cepat keluar dari situasi yang membuat semua orang merasa tak nyaman. Namun tepat saat kami melewati ruang tengah yang berjendela lebar, sesuatu membuat langkahku terhenti. Dari sudut mataku, aku menangkap sekelebat bayangan melintas di halaman luar. Cepat, samar, tapi cukup untuk membuat jantungku berhenti berdetak sesaat. Aku kenal sosok itu. Terlalu kenal untuk sekadar menganggapnya ilusi. “Kenapa berhenti?” Irish mengerutkan dahi, mengikuti arah pandangku. Aku langsung melepaskan genggamanku padanya. “Aku lupa ponselku di meja. Masuklah duluan,” ucapku cepat, berusaha terdengar santai padahal tenggorokanku serasa tercekat. Irish mendengus, jelas tidak puas, tapi dia tetap berjalan masuk sambil menggerutu, “Dasar pelupa…” Kubalikkan badan sebelum Sean sempat bertanya, langkahku ringan namun dada ini berdegup begitu keras hingga rasanya terdengar ke seluruh rumah. Tanganku menggenggam ponsel erat-erat di depan dada. Menyembunyikannya karena aku tak benar-benar melupakan benda itu. Hanya alasan. Setiap langkah menuju dapur serasa lebih panjang dari yang seharusnya. Suara detik jam di dinding terdengar nyaring, seolah mengawasiku. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum berbelok ke dapur. Dan di sanalah dia. Berdiri di dekat meja dapur, satu tangan bertumpu pada permukaan kayu. Mata tajamnya langsung menancap ke arahku begitu aku muncul. Tatapannya terkejut, tapi hanya sepersekian detik sebelum berganti menjadi sesuatu yang tak bisa kubaca. Mungkin kelegaan? **Sam tidak ada di sana.Yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap justru Cindy.Senyum sinis langsung terbit di wajahnya saat melihat keterkejutanku. Seolah momen ini telah dia tebak akan terjadi.“Silakan masuk,” katanya santai. “Atau kau mau berpura-pura salah ruangan?”Aku terpaku, baru menyadari kecerobohanku. Seharusnya aku bertanya pada Sarah siapa yang memanggilku. Namun keyakinanku tadi terlalu bulat, terlalu bodoh. Sekarang pintu telah tertutup di belakangku, sedangkan Cindy memberi isyarat singkat ke arah sofa di seberangnya agar aku duduk.Aku menghempaskan napas. Memilih tetap berdiri.“Ada apa?” tanyaku akhirnya, berusaha menjaga wajah tetap datar.“Duduk,” perintahnya dengan suara tegas. “Aku tidak punya banyak waktu.”Ingin membantah, namun kulihat Sarah mengamati kami dari seberang ruangan. Dia tampak sama penasarannya denganku. Dia pasti cemas karena tahu aku dan Cindy tidak akur. Sementara Sam sedang tidak ada di sini.Aku menarik napas dalam sebelum menurut. Ruanga
“Apa katamu?” suaranya bergetar oleh amarah. “Berani sekali kau mengajariku menjadi ibu! Bocah sepertimu?!”Aku menatapnya lurus, jantungku berdebar keras tapi kakiku tak goyah. “Terserah Anda menangkapnya seperti apa. Tapi memang, sejauh yang terlihat... Sean tidak pernah menjadi prioritas.”Wajah Cindy memerah. “Gadis tak tahu diri!” bentaknya. “Kau pikir siapa dirimu sampai berani bicara seperti itu padaku?”Aku tidak menjawab. Tidak ada gunanya. Aku memilih melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secepat yang kubisa.Brak!Suara gedoran langsung menghantam dari luar.“Keluar, Audrey!” teriak Cindy sambil menggedor pintu berkali-kali. “Jangan sembunyi! Dasar gadis tidak tahu malu! Kau perusak keluarga orang!”Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga, kedua lenganku menempel pada kayu yang bergetar tiap kali dia menghantamnya.Kugigit bibirku mendengar makian Cindy. Dia mengataiku perusak keluarga bahkan sebelum tahu aku ada main dengan suaminya. Bagaimana jika nanti dia suda
"Akhirnya kau muncul juga."Suara itu membuatku langsung menahan napas. Semakin meyakinkan aku kalau dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Entah apa, tapi ini pasti cukup mendesak karena wanita sepertinya rela mendatangi dan menungguku.Irish menyapa Cindy lebih dulu. Sikapnya sopannya sangat kaku dengan jejak segan yang jelas tak bisa dia sembunyikan.“Selamat malam, Tante Cindy,” ucapnya hati-hati.Aku bisa menebak apa yang melintas di kepalanya. Ingatan terakhir mereka jelas bukan kenangan manis. Tapi hari ketika Cindy memarahinya habis-habisan karena Sean menghilang setelah acara fashion show itu.Irish berdiri di sana sekarang bukan sebagai kenalan, tapi seperti terdakwa yang kebetulan kembali ke ruang sidang. Suasananya jadi sangat canggung.“Ada perlu apa tante sampai datang ke sini?” lanjut Irish, berusaha terdengar biasa. Meski sorot matanya terlalu waspada untuk disebut santai. “Apa ini ada hubungannya dengan Sean?”Cindy menoleh sekilas padanya. Hanya sekilas. Tatapan sing
Kepala Sam menunduk hingga dahinya menyentuh rambutku. Suara beratnya bergetar halus. “Aku sungguh takut kau akan terluka lebih dalam jika tetap di sisiku.”Aku mendongak, memaksa mataku bertemu dengannya. “Aku sudah terluka, Sam. Bukan oleh hal yang kau takuti, tapi karena kau menjauh.”Aku melihat air mukanya yang mengeruh setelah mendengar kata-kataku. Cara bahunya jatuh dan cara matanya memerah kini jelas berarti penyesalan.Saat ini dia tidak sedang menjadi ayah, suami, atau pria yang bertanggung jawab atas segalanya. Dia hanya pria yang takut kehilangan perempuan yang dia cintai. Dan itu membuatku sangat bersyukur. “Aku bisa menunggu,” kataku mantap. “Kita bisa berhati-hati. Kita bisa menyembunyikan ini sampai waktunya tepat. Aku tidak akan lagi memaksamu memilih.”Tanganku naik ke tengkuknya, ibu jariku menyentuh kulitnya yang hangat. Gerakan kecil, intim, penuh keputusan.“Tapi satu hal,” lanjutku, menatapnya tanpa berkedip. “Kau tidak boleh mengabaikanku lagi.”Sam menahan
Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menahan kepergianku dengan pelukan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di kepalaku, saling bertabrakan tanpa jawaban. Tubuh Sam masih menempel di punggungku, lengannya melingkar kuat. Tak membiarkan aku melarikan diri. Hangat tubuhnya menyusup melalui kain tipis kemejaku, kontras dengan dinginnya keputusan yang baru saja kuambil beberapa detik lalu. Aku kaku. Tidak membalas. Tidak mendorong. Aku hanya berdiri, membiarkan pelukan itu terjadi, sementara pikiranku terbelah antara ingin menyerah dan ingin memberontak. Entah dia menyesal. Entah dia kehabisan daya tahan. Atau ini hanya bentuk perpisahan yang paling pengecut. Aku tidak tahu. Kepala Sam terkulai di bahuku. Lalu suaranya muncul, penuh beban. “Maafkan aku… aku benci diriku sendiri karena meskipun ini salah, aku tetap tidak bisa membiarkanmu pergi.” Kalimat itu membuat dadaku berdenyut sakit. Ini jelas bukan kalimat romantis, melainkan kejujuran yang datang terlambat. Aku
“Kau mau ke mana?” Suara berat pria itu menyadarkanku dari kebingungan panjang yang sejak tadi berputar di kepalaku. “Aku… aku mau pulang,” gumamku masih dalam keadaan tercekat. Kalimat itu keluar lebih lemah dari yang kuinginkan, tapi kakiku sudah bergerak. Naluri segera mengambil alih tubuhku sebelum perasaanku sempat menahan. Ketika tanganku baru saja menyentuh gagang pintu, Sam menahan. “Tunggu sampai pengarmu hilang. Aku sudah memesan sarapan.” Aku terhenti. Bukan karena perintahnya, melainkan karena nada suaranya. Tenang, terkendali, seperti dulu. Selayaknya suara yang selalu membuatku merasa aman tanpa perlu bertanya apa pun. Dadaku jadi bergetar tak karuan dan aku sangat benci kenyataan ini. Aku beralih menatapnya dengan linglung. Kata-kata sederhana darinya masih memiliki efek yang sanggup menekan tepat di bagian diriku yang paling rapuh. Aku terdiam dengan jari meremas gagang pintu. Sedangkan Sam masih menatapku dengan sorot yang sama. Itu membuatku jadi ki







