MasukSam meletakkan botol air minum yang baru saja dia teguk separuh. Kaus olahraganya basah oleh keringat, rambutnya sedikit berantakan, napasnya masih tak teratur dan berat.
“Kau sudah bangun?” suaranya berubah serak karena baru saja berlari jauh. "Sudah sarapan?" Aku mengangguk kecil. "Baru saja...," jawabku pelan. "Aku... mau mengambil air minum untuk Irish," lanjutku lagi-lagi berbohong. Entah kenapa aku merasa harus membuat banyak kesempatan untuk lebih sering melihatnya. Karena mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kami. "Oh, ya... tentu." Sam lekas membuka lemari pendingin dan menyodorkan dua buah botol air minum padaku. Aku menerimanya dengan gugup terutama saat tangan kami bersentuhan sesaat. Rasanya seperti kejutan listrik. Duk! Sebuah botol terlepas dari genggamanku yang sedikit bergetar. "Hati-hati, ini licin." Sam dengan cepat memungutnya mendahuluiku. Gerakannya sangat gesit. Tak bisa kuimbangi. Padahal aku berharap ada sentuhan tak disengaja berikutnya. "Sial, otakku memang bermasalah," rutukku dalam hati. Bergegas aku memeluk kedua botol itu dan berbalik menyembunyikan wajah. Tapi suara Sam menghentikan langkahku seketika. "Audrey?" Aku terpaku sejenak sebelum menoleh perlahan. "Bagaimana keadaanmu? Tidak masuk angin?" tanyanya lagi sambil mendekat. Aku tak menjawab. Pikiranku meminta pergi saat tubuhku justru membeku. Kupeluk botol-botol itu lebih erat. Berusaha keras menelan ludah, karena tenggorokanku mendadak kering. Dia melangkah semakin mendekat, pelan, namun setiap langkahnya seperti menghimpit udara di antara kami. Aku tahu aku seharusnya pergi. Tapi kenapa rasanya kakiku menolak bergerak? Pria itu berhenti dua langkah di depanku. Sorot matanya mengamatiku, seolah menimbang. “Kau tidak apa-apa setelah semalam? Kelihatannya kau sedikit pucat. Perlu kuambilkan obat?” Pertanyaan sederhana itu tetap membuatku terdiam lama. “Tidak, aku baik-baik saja.” Dia mengangguk pelan. “Baguslah. Besok kalian ikut mengantar Sean ke bandara, kan?” Aku menatapnya dengan bimbang. Nada suaranya santai, meski matanya seakan mengukur reaksiku. “Belum ada rencana, sebenarnya,” jawabku ragu. “Tapi… kurasa itu ide bagus. Irish juga pasti setuju. Kami bersyukur sekali kalau bisa ikut.” Senyum itu muncul di bibir Sam, tipis namun cukup untuk membuatku berpaling sebentar, pura-pura sibuk memeriksa botol dalam dekapan. “Tentu saja kalian harus ikut, Sean pasti senang jika ada kalian,” katanya riang. Aku mengangguk dengan senyum samar, berharap rona wajahku tak terlalu terlihat. Sulit sekali mencoba tetap tenang walau ada sesuatu yang menyeruak di dadaku saat melihatnya begitu dekat, begitu nyata dengan aroma keringat bercampur cologne yang samar. “Baiklah, aku… kembali ke kamar dulu,” gumamku lalu berbalik, bergegas kabur karena tak bisa lagi menahan hawa dingin dari botol yang kupeluk. Juga, gelitik aneh di telapak tanganku. ** Bandara pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah cukup tinggi. Suara pengumuman berulang-ulang di pengeras suara bercampur dengan derap langkah para penumpang yang lalu lalang. Aku duduk di kursi tunggu, menatap punggung Sean yang sejak tadi diam seribu bahasa. Pandangannya kosong ke arah landasan yang samar terlihat di balik kaca tebal. Irish di sebelahnya tak henti mencoba menghidupkan suasana. “Hei, setidaknya kau tidak akan merindukan masakanku, kan? Karena aku tidak pernah masak,” ujarnya sambil menyenggol bahu Sean. Candaan yang hambar itu hanya membuat sudut bibir Sean bergerak sedikit. Entah karena menahan senyum, atau sekadar lelah. Aku menarik napas dalam-dalam. Dari sejak perjalanan tadi, Sean hampir tidak berbicara sepatah kata pun. Wajar jika dia kecewa. Ibunya tidak bisa ikut mengantar, padahal ini momen besar. Momen keberangkatan pertamanya untuk hidup di luar rumah. Irish masih saja berusaha bercerita soal perjalanan liburan yang tidak pernah terjadi, mengungkit kejadian konyol semalam, bahkan memamerkan emotikon-emotikon aneh di ponselnya. Aku ikut tersenyum hambar, sesekali melirik angka di jam tangan digital yang terasa bertukar sangat lambat. “Aku ke toilet dulu,” pamitku akhirnya. Suaraku nyaris tenggelam oleh riuh bandara. Aku butuh jeda dari suasana yang berat sebelah itu. Irish hanya melambaikan tangan tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Sean mengangguk tipis, tetap dengan wajah yang sulit dibaca. Aku melangkah cepat melewati deretan penumpang, mataku menyapu tanda arah toilet yang tak jauh dari gerbang keberangkatan. Tapi langkahku terhenti ketika melihat sosok yang tak asing. Sam Arsen. Dia berdiri tak jauh dari pintu toilet, satu tangan menyanggah pinggang, tangan satunya memegang ponsel di telinga. Kemeja birunya tampak rapi, namun kerutan di dahinya memperlihatkan bahwa pikirannya tidak setenang penampilannya. “Kau keterlaluan! Di hari sepenting ini kau bahkan tidak menemani Sean?” suaranya terdengar jelas meski tidak keras. Nada yang menahan amarah. Aku spontan melipir ke dekat tembok, bukan karena ingin menguping—setidaknya bukan itu niat awalnya—tapi ada sesuatu di nadanya yang membuatku berhenti. “Sean butuh dukungan kita sekarang. Tidak mudah baginya hidup di luar rumah untuk pertama kali.” Aku menggigit bibir bawahku. Rasanya tidak pantas berada di sini, tetapi kakiku lagi-lagi menolak bergerak. Suaranya menyusup begitu saja ke telingaku. “Kau melakukan ini karena tidak suka dengan keputusan Sean? Kau pikir aku memaksanya?” Jantungku mencelos. Jadi benar, mereka sedang berselisih soal ini. Tentang keputusan Sean. Tentang kepergiannya. “Lalu apa? Jangan terus menerus menjadikan pasienmu alasan untuk setiap ketidakhadiranmu dalam keluarga.” Hening sejenak. Aku bisa mendengar desah napasnya yang berat, menahan frustasi. Pria kharismatik ini terlihat menyedihkan sekarang. “Ini bahkan tidak butuh waktu lama, halo? Ha—” Sam berhenti, menatap layar ponselnya dengan kesal. Telepon itu terputus sepihak. Tangannya yang mengepal di sisi tubuh bergerak mengusap wajahnya dengan kasar. Untuk sesaat aku melihatnya berbeda. Bukan lagi sosok yang selalu tenang, melainkan ayah yang kelelahan berjuang sendiri. Aku menatapnya penuh rasa iba, hingga menyadari dia akan berbalik. Aku panik. Aku harus pergi sebelum dia melihatku. Kubalikkan tubuhku secepat yang kubisa, meski nasib berkata lain. Braak! **'Apa maksudmu?''Bukannya kita sudah sepakat?'Pesan itu kukirim tergesa pada Irish.Irish: 'Memang, tapi ini di luar kendaliku.'Alisku bertaut rapat tak mengerti. 'Aku butuh penjelasan.' Irish: 'Aku kehabisan alasan. Semua persiapan sudah rampung. Aku juga berusaha memintanya menemaniku memeriksa ulang setiap kostum, tapi dia kukuh mau ke rumah sakit.'Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tak mungkin Irish melepaskan Sean begitu saja jika bisa menahannya. Kuhela napasku dengan berat lalu mengetik balasan.'Baiklah.''Terima kasih untuk semua bantuanmu sejauh ini.'Mataku kembali beralih pada Sean yang kini sibuk bermain dengan ibu. Tampaknya, aku memang tak punya pilihan.Satu-satunya cara agar semua gangguan ini berakhir adalah dengan mengukuhkan hubunganku bersama Sam. Sayangnya, itu butuh waktu lebih lama.Denting ponsel membuatku tersentak. Kutelan napas dalam-dalam sebelum membuka pesan yang masuk.Pesan dari Sam.Dan seketika, senyumku merekah. Penuh harapan yang selama ini ter
Aku sangat membutuhkan kehadirannya untuk menenangkanku. Tapi malam ini, aku benar-benar ditinggal sendirian. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar rawat, menyilaukan mataku yang baru saja terpejam lagi setelah malam panjang penuh kegelisahan. Tubuhku terasa lemah saat aku mencoba duduk. Kepalaku pun sedikit pening karena menangis hingga tertidur. Namun sebelum aku sempat menarik napas panjang, suara lembut tapi tergesa memecah keheningan. “Sayang, kau sudah bangun?” Suara Ibu. Aku mendongak dan mendapati ibu telah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Penampilannya menyita perhatianku. Dia mengenakan baju asal-asalan, warna yang kontras dengan celana dan sweater yang dia pakai. Rambutnya bahkan belum sempat disisir rapi. “Ibu?” suaraku parau. “Kenapa Ibu di sini pagi sekali?” Ibu segera masuk menaruh tas kecil di kursi, lalu duduk di tepi ranjang sambil meraba dahiku. “Katanya kau jatuh kemarin. Perawat yang menelepon Ibu tadi malam. Ibu pikir kau bai
Aku masih terbuai dalam mimpi ketika samar-samar telingaku mendengar pintu diketuk pelan.Mataku memicing, berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram ruangan. Seorang perawat senior berusia sekitar empat puluhan berjalan masuk dengan clipboard di tangan. Seperti biasa, dia bertugas malam ini untuk mengecek kondisiku.Namun langkahnya mendadak terhenti tiga meter dari tempat tidur. Matanya membelalak, nyaris menjatuhkan alat di tangannya.Aku mengerjap, mencoba memahami ekspresi terkejutnya. Hingga saat hendak bangun, gerakanku tertahan oleh sesuatu yang hangat di pinggangku. Itu membuatku tersadar ada lengan kokoh yang melingkar di sana.Nafasku tercekat. Aku baru ingat jika Sam ada di sini, dan dia tertidur bersamaku. Di ranjang. Dengan posisi yang jelas bisa disalahartikan siapa pun. Dan kini, perawat itu memergoki kami.“Oh Tuhan...” bisik si perawat, matanya membelalak tak percaya.Aku langsung duduk panik, menarik selimut menutupi tubuhku meski masih mengenakan pakaian
Aku memandangi layar ponsel yang terus bergetar di atas kasur. Nama Sean berkedip di sana, membuat hatiku ikut berdebar tak karuan. Jemariku sempat bergerak, tapi akhirnya berhenti di atas tombol hijau. Napasku memburu secara instan. Aku sadar, tak sanggup mengangkatnya. Dengan satu sentuhan, kupilih mematikan panggilan itu lalu kembali menatap Sam. Namun beberapa detik kemudian, nada dering yang sama kembali terdengar. Sam yang kini duduk di sisi ranjang menoleh tajam. “Siapa?” tanyanya terlihat curiga. Aku tertunduk menatap layar yang sudah gelap. “Kenapa tidak kau angkat?” suaranya meninggi sedikit karena penasaran. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik, “Sean.” Sam terdiam. Pandangannya menelisik wajahku, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Belum sempat aku bicara lagi, notifikasi pesan masuk terdengar. Sean: 'Bagaimana keadaanmu? Kau bersama siapa di sana? Mau kutemani malam ini?' Mataku membulat panik. Dia tak boleh ke sini. Aku segera mengetik balasan
Kulihat Sam tak berkedip menatap punggung Cindy yang menghilang di balik lorong taman. Dia pun mungkin tak menyangka Cindy akan memintanya bicara secara pribadi. Aku tahu, pertemuan itu bukan hal mudah baginya.Tanganku bergerak pelan menyentuh tangannya hingga dia teralihkan kembali padaku. Bibirku tak berucap apapun, meski begitu, aku berharap Sam paham apa yang kupertanyakan dalam kepalaku."Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," kata Sam tersenyum. Aku menggigit bibir. Yang kucemaskan bukan kecurigaan Cindy, melainkan kepergian Sam menemui wanita itu. Bermacam hal berputar di kepalaku. Kecemasan, ketakutan, juga sedikit rasa tak rela.Bagaimanapun, Cindy bukan sekadar istri di atas kertas. Dia juga bagian dari masa lalu yang masih menggenggam erat.Jujur saja, aku tak rela melepas tangannya saat ini. Meski wanita yang ingin dia temui adalah istrinya sendiri.**Aku gelisah menunggu Sam kembali. Sudah hampir setengah jam sejak dia meninggalkanku di kamar sendirian demi menem
Sam membawaku berkeliling di taman rumah sakit yang cukup luas. Sore jelang senja itu, aku menghirup udara segar dengan puas. Rasanya dadaku begitu ringan terlebih aku melewati waktu ini bersama dengan orang yang begitu penting bagiku. Cahaya matahari yang keemaasan membentuk siluet-silut panjang dari tiap pohon bunga yang bermekaran. Sam mendorong kursi rodaku sambil bercerita tentang suasana kantor, kesibukan rapat dan jadwal peserta magang lain. "Aku minta maaf karena tertinggal," ujarku pelan. Sam tersenyum kecil. "Tak masalah. Kau hanya perlu bersiap menerima tugas tambahan setelah keluar dari sini." Aku mendongak cepat. "Itu ancaman?" Dia terkekeh, suaranya hangat. "Kalau begitu, kita ubah jadi... tugas pengganti." Aku bergeleng pelan. "Aku harusnya diberi kompensasi, bukan tugas." Segera kuacungkan jam tangan yang sejak tadi kugenggam. “Ini milikmu, kan?” Alis Sam terangkat dan meraih benda itu dariku. “Ah, iya! Aku buru-buru pergi dan lupa kalau ini tertinggal." “Hm.







