“Ikutlah.. wait” Jean buru-buru masuk kembali ke rumah. Tak lama kemudian ia kembali dengan tas ranselnya yang penuh.
Nadia tersenyum lebar. Wajahnya masih terlihat sayu akibat terlalu lama menangis, namun ia nampak lebih baik dengan senyum lebarnya. Ia merasa senang ketika menatap Jean. Betapa beruntungnya aku, batinnya ketika menatap wajah pacarnya. Jean memang benar-benar tampan, bisa dibilang ketampanannya nyaris tidak masuk akal di kehidupan nyata. Lebay sih, tapi itulah yang ada di pikiran Nadia.
Wajah putih bersih, hidung mancung, mata sayu sempurna, dagu lancip dengan proporsi wajah yang alami membuat Jean nampak seperti aktor Korea. Waktu pertama kali bertemu dengan Jean, Nadia mengira Jean merupakan anak blasteran. Namun faktanya Jean mengaku kedua orangtuanya pure Indonesia. Nadia penasaran sekali akan wajah orangtua Jean, dan berharap bisa bertemu dengan mereka suatu saat nanti. Hanya saja Jean selalu menutupi masalah keluarganya.
Nadia tidak pernah tanya kenapa karena ia sendiripun merasakan bagaimana memiliki keluarga yang termasuk toxic. Ibu dan Bapaknya bercerai dan tidak pernah akur sekalipun. Selama Nadia hidup, ia tidak pernah melihat mereka berdua akur. Tidak pernah sekalipun mereka duduk bersama dalam satu tempat tanpa bertengkar adu mulut layaknya seorang remaja putus cinta.
***
Nadia bangun lebih pagi, ia memandangi wajah Jean yang masih tertidur. Kepalanya pusing, namun ia senang karena ada Jean disampingnya. Ia memandangi kamar hotel yang lumayan mewah.
Jean tadi malam memutuskan untuk membawa Nadia menginap di hotel bintang 4, karena ia tidak begitu menyukai motel yang baginya kurang nyaman. Selain itu, ia ingin memanjakan Nadia sehingga ia bisa sedikit menenangkan diri.
Nadia mengecup kening Jean dengan penuh sayang, dan mengelus pipinya yang halus. Terkadang ia iri akan bentuk fisik Jean, tanpa menggunakan skincare kulitnya tidak pernah mengalami masalah berarti. Tetap terlihat cerah meskipun hanya dibersihkan dengan facial wash. Ia sudah berungkali menasihati Jean untuk memakai sunscreen, bahkan sudah membelikan sunscreen yang harganya cukup mahal untuknya. Namun Jean terkadang masih malas menggunakannya. Nadia mengerucutkan bibirnya ketika teringat hal tersebut.
Ketika ia membuat teh hangat, tiba-tiba Jean terbangun. Nadia segera mendanginya dan mengecup bibirnya dengan hangat.
“Ih bau” Jean menghindar. Ia tidak suka dicium ketika ia baru bangun tidur. Sebenarnya bukan tidak suka, tapi ia takut mulutnya bau di pagi hari.
“Biarin, aku suka. Pacarku kok” Sahut Nadia ceria. Ia kembali mengecup bibir Jean, dan kali ini Jean membalas kecupan bibirnya singkat. Dengan mata berbinar, mereka berpelukan. Rasanya segala masalah terasa sirna ketika mereka sedang bersama.
Udara dingin di ruangan ber AC benar-benar mendukung mereka untuk bermesraan. Jean menarik tubuh Nadia, sehingga kini Nadia berada di atasnya. Dengan senyum nakal, ia memasukkan tangannya pada baju Nadia, menyentuh kulit pacarnya yang halus. Nadia memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan yang diberikan padanya. Mereka cukup beruntung menemukan satu sama lain, yang sama-sama memiliki pikiran dan prinsip yang sama mengenai seks.
Bagi mereka, seks merupakan sesuatu yang indah, bentuk pengekspresian kasih sayang yang paling tinggi. Hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang sudah cukup umur, tentu saja dengan consent masing-masing. Mereka berdua setuju bahwa seks adalah tanggung jawab bersama, sehingga tidak masuk akal jika keperawanan dijadikan sebagai kehormatan wanita.
Nadia mendesah tipis ketika tangan Jean bermain-main di area payudaranya. Tarikan nafasnya tersendat menikmati segala sentuhan dari pacarnya. Ditengah momen indah tersebut, tiba-tiba HP Nadia berbunyi nyaring.
“F*ck” umpat mereka bersamaan. Nadia buru-buru turun dari tubuh Jean dan meraih HP nya. Ia agak menyesal tidak mematikan HP nya, namun panik ketika melihat panggilan dari ibunya. Ia menunjukkan HP nya pada Jean.
“Aku harus jawab gak??” tanya Nadia histeris. Ia benar-benar belum siap untuk mengobrol dengan ibunya. Ia masih marah, meskipun sebenarnya rasa khawatirnya lebih besar. Ia tidak pernah meninggalkan rumah dalam keadaan marah sebelumnya, jadi ia yakin bahwa Sani saat ini sedang mencemaskannya.
“Just do what u think is right, are u ready to talk to her?” Jean memeluk Nadia. Mengecup dahinya dengan lembut, tangannya mengelus rambut panjang Nadia. “If u do, then u should” sambungnya.Nadia mengangguk lalu menekan logo merah pada layar HP nya.“No, I think I will prefer to do you” Nadia tersenyum nakal sambil mendorong tubuh Jean ke kasur.***Perasaan takut dibalut rasa emosi tengah berkecamuk di hati Sani. Hari ini ia jadi tak fokus berjualan, beberapa kali ia keliru memberikan uang kembalian pada pembeli. Ia sangat takut bahwa anak semata wayangnya akan meninggalkannya. Namun rasa takut itu
Ia sangat benci melihat anaknya bersama dengan Jean. Jean memang tampan dan sopan, tapi wajahnya terlalu membawa luka yang dalam di hati Sani. Ia tidak dapat mempercayai Jean. Meskipun tidak pernah sekalipun Jean berbuat salah padanya, ia tetap yakin suatu saat lelaki itu akan menyakiti Nadia sedalam-dalamnya. Seperti yang seseorang pernah lakukan padanya di masa lalu. Kenangan yang menyakitkan itu membangkitkan amarah Nadia, ia memencet logo merah pada HPnya sebelum panggilan diangkat.Kemudian, ia menulis pesan pada pada Nadia:| Dasar anak durhaka nggak tau diuntung. Gak usah balik kerumah!Terkirim. Sani menghela nafas panjang, dahinya bertumpu pada tangannya. Ia pusing, dan di lubuk hatinya ia kecewa karena tidak bisa menahan emosinya. Di sisi lain, separuh hatinya masih membenarkan apa yang dia lakukan pada an
Nadia tidak yakin apakah itu karena kepolosan atau kebodohan atau bahkan kebaikan Jean yang menyebabkannya selalu berfikiran baik tentangnya. Ia tidak pernah sama sekali membalas makian-makian yang terlontar, dan hanya menjawab dengan membahas pada hal lain. Jean berkata bahwa ia hanya berfikir Nadia sedang butuh melampiaskan amarahnya, dan hal tersebut membuat Nadia tidak pernah mencurigai adanya pesan-pesan yang tidak ia tulis tersebut karena Jean tidak pernah merespon makian tersebut.Sedangkan beberapa pesan yang Sani balas dari teman lelakinya yang lain adalah ajakan untuk berkumpul bersama. Sani selalu menolaknya, dan menghapus langsung ajakan yang belum sempat Nadia baca. Teman-temannya selalu maklum dan menganggap bahwa Nadia memang sibuk sehingga tidak pernah protes sama sekali.Padahal Nadia termasuk sering main HP, dan kenyataan bahwa ibunya bi
“Makan dulu yang” ucapnya sambil mengambil kotak makanannya sendiri.Nadia mengangguk, rasa lapar yang menyerbu membuatnya langsung memakan makanan di depannya. Aroma bebek bakar lengkap dengan lalapannya menggungah gairah makan Nadia. Bebek bakar adalah makanan favoritnya sejak kecil, ia sedikit terharu akan betapa romantis nya Jean dapat mengingat menu kesukaannya meskipun ia tidak pernah mengatakannya secara langsung. “Sialan!!” Nadia tersentak. Ia membelalakkan matanya dan langsung melompat dari kasur. Kotak makanannya sampai tersentak dan makanan tumpah sedikit ke kasur. Jean dengan sabar dan sigap membersihkannya dengan tisu. Di tengah enaknya makan, Nadia baru ingat bahwa ia memiliki jadwal kerja sampingan malam ini. Sebenarnya, setiap Senin Nadia harusnya libur. Namun ia harus datang
“Bu, Nadia ini rajin lho bu. Gak pernah telat sama sekali” Aryo menghela nafas lega setelah berhasil mengatakan kata tersebut. Ketika melihat wajah bosnya yang galak dan tegas, kemarahannya berubah menjadi rasa cemas dan takut. Bukan takut dimarahi, tetapi ia takut kehilangan pekerjaannya.Tatapan galak dan bengis dari bosnya seolah-olah mengisyaratkan bahwa ia bisa saja dipecat detik ini juga. “Kamu mau belain dia? Kamu mau bilang kalau saya ngomong asal?” suara bos meninggi. Ia mengalihkan pandangannya dari Nadia dan berjalan mendekati Aryo. Matanya melotot dan jarinya menunjuk kearah cucian piring yang menumpuk. “Mendingan kamu cuci deh itu piring!” suaranya melengking tajam. Bos kembali menat
Sani terbangun dari tidurnya ketika jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Sebagai seorang pemilik warung yang memasak segala makanannya sendiri, ia biasa bangun pukul setengah 3 pagi. Namun kali ini terasa berbeda karena tidak ada Nadia dirumah. Biasanya, setelah bangun tidur ia akan curi-curi pandang ke kamar Nadia, menatap imutnya wajah tidur anaknya dari balik pintu. Kepala Sani pusing, obat tidur yang ada diatas meja menjelaskan semuanya. Saking pusingnya ia sampai minum obat tidur. Padahal selama ini ia paling anti minum obat karena tidak mau ketergantungan. “Apa Nadia nggak kepikiran aku ya?” gumamnya. Ia memejamkan matanya mencoba untuk kembali tidur.Namun bayang-bayang Nadia terus menghantui. Sebagai seorang ibu ia khawatir juga.Sani segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung mencari kontak Nadia.&nb
Cahaya matahari menusuk mata, membangunkan Nadia yang kelelahan. Semalaman ia menangisi kehidupannya yang menyebalkan. Kecantikan adalah segalanya bagi sebagian orang tapi baginya? Itu adalah kutukan.Nadia meraih gelas air yang tersedia di sisi mejanya. Di bawah gelas, ada secarik kertas yang menarik perhatiannya. Ia meraihnya dan membaca pesan yang tertera disitu:“Nadia sayang,I’ll always be there for you, don’t miss me, I only gone for awhile. I Love You. See You Soon 😊”Senyumnya merekah, setidaknya aku punya pacar seperti Jean, batinnya senang. Ia meletakkan kertas catatan itu di dadanya, menutup kembali mata yang terasa lelah. Ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi bel nyaring dari kamarnya. Nadia terkejut, ia segera berjalan menuju pintu kamar hotel dan mengintip melalui door viewer.Ia makin terkejut saat melihat sosok perempuan muda berwajah cantik yang berdiri di depan pintu. Seketika ia membuka pintu tersebut dan memekik senang. “Alena!!!” ia langsung memeluk sa
Secara tiba-tiba Alena menarik tangan Nadia dan meletakkannya di dadanya. Ia menatap Nadia dengan tatapan serius. Suasana pun seketika berubah menjadi canggung. “Kamu tau kan aku sayang kamu?” ucapnya datar.Nadia hanya mengangguk. Jantungnya berdebar-debar tak karuan, badannya merinding. Entah kenapa Alena kelihatan tak normal. Nadia merasa tak nyaman, “Yaudah aku mandi dulu ya” dengan grogi Nadia langsung masuk ke kamar mandi, diikuti tatapan mata Jean yang melihat punggungnya.*** “Bu.. Nadia masih belum pulang ya?” suara Ilham yang lembut mengalihkan perhatian Sani. Entah sudah keberapa kali pelanggan harus menegurnya dahulu kalau hendak membayar, karena pikiran Sani teralihkan ke hal lain.Hampir seminggu Nadia pergi dan belum kembali, tentunya membuat Sani bingung tujuh kelililing. Ia sudah mulai merasa bersalah, namun bingung bagaimana cara memulai pembicaraan. Apalagi mimpi aneh tentang masa lalu yang ia alami masih juga menghantui pikiranny