TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKU
"Mulai hari ini, kamu kuceraikan!"
Tiba-tiba kak Angga masuk kamar, menunjukku dengan amarah. Tidak ada angin tidak ada hujan, ucapan 'cerai' sarapan pagiku hari ini. Baru satu jam kak Angga pamit pergi kerja, sekarang balik ke rumah hanya untuk menceraikanku.
Seperti disambar petir. Tak pernah terbayangkan kak Angga menceraikanku. Bahkan aku saja tak tahu apa salahku.
Terduduk di tepi ranjang, rasanya duniaku runtuh. Air mata tak bisa kutahan. Sekilas kulihat, kak Anggi-kakak dari kak Angga, berdiri di ambang pintu sambil tersenyum sinis menatapku. Sepertinya ia juga menginginkan perceraian ini.
"Apa salahku, Kak?" tanyaku sambil menyeka air mata. Berusaha memperbaiki dengan tenang. Meskipun percuma, nasi sudah menjadi bubur.
"Nih!"
Kak Angga melempar ponselnya ke pangkuanku. Kulihat layarnya, ada fotoku bersama kak Yuda, foto saat kami masih pacaran. Foto itu foto pipiku dicium. Dulu, sebelum aku mengenal kak Angga.
"Tapi, ini masa laluku, Kak," lirihku masih menatap layar ponsel.
"Masa lalu dan masa sekarangmu!" Suara kak Angga sangat lantang. Ini pertama kalinya ia seperti itu.
Terdiam. Membela diri percuma, kata cerai sudah terucap. Sekarang statusku janda. Pernikahan ini hanya satu bulan saja.
"Kamu kira aku tak tahu kalau kalian sering bertemu! Banyak saksi mata, apa gunanya kupertahankan istri mur*han sepertimu!"
Istri mur*han? Kata itu sangat menusuk jantungku. Meskipun aku dulu pacaran berciuman, tapi aku berhasil mempertahankan keperawanan hingga aku menikah dengannya. Apakah ini juga murahan?
"Aku tak pernah janjian dengannya, Kak. Ini salah paham," jawabku. Kenapa lidahku masih ingin memperbaiki semua ini? Sudah jelas kata cerai telah terucap.
"Mana ada maling yang ngaku? Angga sudah menceraikanmu, sebaiknya pergi dari sini," tukas kak Anggi menujuk pintu ke luar.
Dadaku sesak. Tapi bukan karena takut kehilangan, aku di fitnah. Pernikahanku dianggap permainan, aku diusir tanpa rasa kasihan.
"Menyesal aku menikahimu! Wajah cantik tapi mur*han." Cacian itu masih keluar dari mulut kak Angga.
"Aku sudah bilang dari dulu, ia penipu! Dulu aja sudah banyak cowok di kampus yang kecan dengannya, kamu aja yang nggak percaya." Kak Anggi melipat tangan di perut menatapku sinis.
Berucap pun sulit. Hatiku sangat terluka. Mudahnya kak Angga menceraikanku tanpa menanyakan dulu. Begitu besarkah hasutan kakaknya?
Kukemas bajuku ke dalam koper. Air mata ini terus berjatuhan. Satu bulan saja, ini seperti menyerahkan keperawanku lalu ditinggalkan. Andaikan dulu ..., tidak! Aku tidak boleh menyesal. Keputusanku menerima pinangan kak Angga dulunya adalah semata-mata karena cinta dan yakin ia akan menjadi suami yang baik. Penyesalan hanya akan membuatku semakin terpuruk.
Aku tak menyangka, persaingan saat aku dan kak Anggi kuliah dulu berdampak pada pernikahanku sekarang. Kak Anggi, kak Yuda dan kak Gara senior kampusku dulu. Kak Anggi pernah ditolak oleh kak Yuda dan lebih memilihku. Dulu, itu hanya dulu. Dan akhirnya kak Anggi menikah dengan kak Gara.
"Ada apa Nggi? Kok Dinda ...."
Kupalingkan sekilas. Kak Gara berdiri di samping kak Anggi melihatku.
"Jangan ikut campur, ini bukan urusan kita, Gar." Tiba-tiba kak Anggi menarik tangan kak Gara.
"Tunggu tunggu! Dinda mau pergi ke mana?"
"Kok kamu yang kepo? Atau jangan-jangan kamu masih punya hati ma dia? Istrimu aku, bukan dia!"
"Kok kamu ngomong giitu? Aku hanya bertanya, Nggi."
"Bilang aja kamu juga menginginkannya. Uh!"
Kak Anggi menghentakkan kakinya menuju kamar. Sampai di kamarnya, pintu dibanting. Pintu kamar terbuka lebar, hingga aku bisa melihat karena pintu kamar kak Anggi tepat di depan pintu kamar ini.
Aku sudah di depan kamar membawa koper. Kak Angga duduk di tepi ranjang melihat kepergianku. Diam, ia seperti ingin aku cepat meninggalkan rumah ini.
"Din, kamu mau ke mana? Apa yang terjadi?" Kak Gara mendekat.
"Mas Gara, itu bukan urusanmu, ia sudah kuceraikan, tolong jangan buat rumah tanggamu dengan kakakku hancur gara-gara wanita mur*han itu," timpa kak Angga menatap sinis.
Kubalikkan badan menatap kak Angga.
"Jaga mulutmu! Jika dengan menceraikanku hatimu puas, dengan lapang dada kuterima. Air mata ini bukan air mata kesedihan atau takut kehilanganmu, tapi, air mata ini adalah penyesalan kenapa aku menerimamu dulu yang sudah tiga kali kutolak. Seharusnya aku sadar, kakak adik sama-sama berhati busuk. Terima kasih untuk satu bulan ini. Kutunggu surat cerai resminya."
"Kamu merasa bangga banyak lelaki yang menyukaimu? Kamu juga bangga karena kakak iparku juga tertarik padamu?!"
"Cukup Ngga! Kamu sudah kelewatan batas, aku hanya prihatin, lagian aku dan Dinda sudah kenal lama, ia seperti adikku," bantah kak Gara.
"Adik? Mungkin pacar tak jadi? Tolong urus rumah tanggamu, Mas, ingat! Kak Anggi sedang mengandung anakmu."
"Ada apa ini? Loh, kamu mau ke mana Din?" Ibu baru pulang dari belanja. Seperti biasa, jam segini pulang dari warung dan kami masak bersama di dapur sambil bercanda. Tak heran, kak Anggi sering cemburu melihat kedekatan kami. Ibu kak Angga sudah seperti ibu kandungku. Kenangan, kenangan satu bulan menjadi menantunya.
"Ibu, aku pamit." Kucium punggung tangan mantan mertuaku.
"Ada apa ini Gara? Kenapa Dinda pergi?" Ibu melihat ke kak Gara.
"Tanya Angga, Bu," jawab kak Gara sambil menunjuk kak Angga di kamar.
"Loh, kamu bukannya kerja, Ngga? Kenapa Istrimu pergi?"
"Ia bukan minantumu lagi, Bu. Jangan urus dia lagi," jawab kak Angga enteng.
"Loh, tidak bisa begitu. Kalau kalian ada masalah, bicarakan baik-baik."
"Tidak bisa! Bukti sudah jelas, dia selingkuh dengan mantan pacarnya, Ibu lihat nih."
Kak Angga memberikan ponselnya ke ibu. Foto itu juga disaksikan mantan mertuaku.
"Din, kenapa ini Nak?" Ibu menatapku.
"Bu, ia masa laluku sebelum kenal dengan putra Ibu. Itu foto dulu saat kuliah dulu. Maaf jika dengan masa laluku, Bu. Aku pamit."
Kuseret koper menuju pintu.
"Tidak, ini tidak benar, kalian baru satu bulan menikah. Angga! Tahan istrimu, jangan biarkan suatu saat kamu menyesal, Nak. Itu hanya masa lalu, bukankah kamu juga punya pacar dulunya? Angga!"
"Angga, aku setuju dengan Ibu. Dinda bukan wanita murahan, aku sangat tahu sifatnya." Kali ini kak Gara yang bersuara.
Tak ada jawaban. Aku terus melangkah ke luar pintu. Pernikahan sebulan, aku masih beruntung mengenal ibu, beliau bisa menggantikan almarhum ibuku. Terima kasih Bu ....
Bersambung
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 2 (Perhatian Gara)"Dinda! Din!" teriak Ibu menyusulku ke halaman. Kuhentikan langkah karena ibu berdiri di depanku."Ada apa, Bu?""Ayo masuk, kamu tidak boleh pergi, ini pasti bisa diselesaikan baik-baik." Koperku di tarik agar masuk. Tapi kutahan."Tidak, Bu, tolong jangan minta aku maduk lagi ke rumah Ibu, aku dan Kak Angga sudah bercerai.""Kalian bisa rujuk, toh belum talak tiga, masuklah, Nak." Ibu masih kukuh agar aku masuk.Ini bukan masalah talak satu bisa rujuk kembali. Tapi masalah kepercayaan, kak Angga tidak menginkan aku lagi, bahkan hinaan 'wanita mur*han' dilontarkan dan sangat menusuk jantungku. Di tambah perlakuan kak Anggi yang masih merasa bersaing, padahal itu masa lalu saat kuliah dulu, mungkin itulah yang membuatnya tidak pernah menyukaiku."Bu, maaf, aku tidak bisa balik lagi ke rumah Ibu, Ibu jaga kesehatan, apa pun yang terjadi antara aku dan putra Ibu, tidak mengurangi tali silaturahmi kita.""Tapi Din, ini masih bisa
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 3(berusaha bangkit)Belum sempat kak Gara melanjutkan kata-katanya, kak Angga muncul dari pintu menyambung perkataan. Ia melotot sambil menujukku dan kak Gara."Aku nggak nyangka, kamu kakak iparku yang kusegani, ternyata juga selingkuh dengannya!" Tunjuk kak Angga mengarah padaku. Suaranya terdengar lantang hingga kak Murni ke luar dari kamarnya."Angga, tolong sabar dulu, ini bukan seperti yang kamu kira," bantah kak Gara bangkit dari duduknya.Aku tetap tenang duduk. Buat apa juga menjelaskan, mau membersihkan namaku? Toh, sekarang aku bukan istrinya lagi. Kak Angga tidak punya hak atas diriku."Masih menyangkal!" Tiba-tiba kak Angga menuju pipi kak Gara. Mukanya merah melotot. "Aak!" Kak Gara memegang sudut bibirnya, sedikit lebam."Tunggu! Tunggu, Kak!" Aku langsung berdiri di antara mereka. Jika tidak, akan terjadi pergulatan. Posisiku menghadap mantan suamiku."Urusanmu apa? Tolong jangan ribut di sini." Aku masih bersuara datar. Menahan h
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 4 (Ide Silvi)Mulai cerah. Duniaku terasa bersinar karena mendapatkan pekerjaan. Posisi asisten pak Ridwan. Akan kutunjukkan kalau aku karyawan teladan, biar kak Angga tahu, aku bisa maju setelah diceraikan."Din, ikut acara alumi kampus yuk?""Hah? Nggak mau, pasti si Anggi datang, aku nggak mau melihatnya," tolakku. Acara alumi tidak membuatku semangat. Aku butuh waktu untuk menata hati setelah dicerai."Ayo lah, lagian nggak ada yang melarangmu kumpul ma teman. Dari pada Bt di rumah terus." Silvi masih kukuh agar aku ikut."Malas.""Ada kak Yuda juga loh," goda Silvi menaik turunkan alisnya."Masak iya?" Mataku langsung membulat."Tuh 'kan kepo ...." Silvi menggodaku lagi. Malu, tapi aku penasaran gimana kabarnya."Ih, apaan sih. Itu hanya masa lalu, gara-gara itu aku dicerai," polesku.Sebenarnya aku sangat penasaran gimana kabar kak Yuda. Semenjak ia pergi tanpa kabar, aku menerima pinangan kak Angga. Penantian satu setengah tahun, aku tak m
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 5 (Bertemu)Aku duduk di bangku belakang samping pak Ridwan. Mobil melaju dan entah ke mana. Katanya rapat, aku tak berani bertanya, harus jaga image agar terlihat seperti wanita berkelas dan tidak murahan. Karena kebanyakan orang melihat janda diidentik dengan pandangan buruk.Tidak ada sepatah kata pun. Pak Ridwan sibuk dengan ponselnya, kadang menerima telepon dan kadang kulihat seperti membalas pesan. Hanya satu yang menonjol semobil bersamanya, wangi parfumnya. Enak dicium.Andaikan aku belum pernah menikah. Status gadis mungkin lebih membuatku percaya diri mendekatinya. Meskipun Silvi bilang aku masih cantik, tetap saja statusku pernah menikah."Nanti saat rapat, catat semua poin penting. Aku ingin setelah itu kamu periksa laporan keuangan di Pt. Abadi." Pak Ridwan bicara sambil melihat ponsel. Uh! Kok dia tak melirikku? Padahal aku masih cantik kok."Baik, Pak," jawabku.Pt. Abadi? Itu 'kan tempat kak Angga kerja. Atau jangan-jangan kali i
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 6 "Aku sudah diceraikan, statusku janda, Pak Angga," jawabku lantang kepada mantan suamiku."Dinda."Tiba-tiba pak Ridwan muncul dari pintu memanggilku. Kami langsung terdiam melihat ke pintu. Pak Ridwan berdiri melihat kami."Iya, Pak," jawabku pelan. Rasanya tidak enak. Aku takut karirku anjlok karena mencampur adukkan urusan kerjaan dengan urusan pribadi. Mudah-mudahan aku tidak dipecat, baru juga kerja.Pak Ridwam melangkah masuk. Kini posisinya tepat di sampingku melihat ke kak Angga."Pak Angga, tolong kirimkan semua bukti pengeluaran perusahaan ke kantor PT. Cahaya, Dinda bertugas memeriksanya.""I-iya, Pak, nanti saya kirimkan," jawab kak Angga gugup. Lalu sepintas menatapku."Oke, ayo Dinda, kita balik," ajak pak Ridwan, lalu melangkah ke pintu. Aku mengiringinya di belakang. Saat kututup pintu dari luar, kulihat kak Angga masih menatapku.***Di mobil. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan pak Ridwan. Apakah ia tahu atau tidak urusan
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 7Pov AnggaKukira Dinda minta rujuk dan ia akan jadi istriku lagi. Tapi aku salah, ia justru minta surat cerai secepatnya. Usahaku sia-sia. Akan kubuat ia mengemis minta rujuk. Ibarat pepatah, tak satu jalan ke Roma.Mungkinkah hati ini sulit berpaling dari mantan istriku? Jika kuingat dulu, sangat sulit menaklukkan Dinda, tolakan tiga kali, bahkan aku menyaksikannya jalan dengan sahabat kak Anggi. Setelah kumiliki, aku melepaskannya. Aku cemburu, aku kesal, fotonya bersama Yuda tiba-tiba ada di ponselku, kak Anggi bilang, mereka juga sering bertemu. Apakah aku tak berarti baginya hingga berani main selingkuh?"Kenapa diam Kak? Apakah permintaanku sangat sulit dipenuhi?"Sok. Santai sekali minta surat cerai. Dikiranya ia wanita satu-satunya tercantik di dunia ini? Aku juga bisa mendapatkan wanita yang lebih darinya. Buktinya, Debi yang masih gadis bisa kudekati hanya dalam waktu semalam."Oke, justru dengan senang hati kuberikan. Berhubung pekerj
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 8 (diserang mantan dan kakaknya)"Ada apa Din? Tadi sepertinya suara Angga." Kak Murni muncul dari pintu kamar."Nggak ada Kak, aku mau tidur dulu," jawabku berlalu. Capek bicarakan mantan, lagian tidak penting dibahas, hanya akan bertambah sakit."Oh ya Kak, itu ada bakso dari Kak Gara, besok kalau Kak Gara berkunjung, bilang aku tak di rumah," sambungku, lalu menutup pintu kamar."Iya, lagian tadi Mia yang bilang kamu ada di kamar," jawab kak Murni terdengar hingga kamar.Kak Gara menambah masalah saja. Sepertinya aku harus berkata tegas. Statusku janda, aku tak mau gara-gara aku rumah tangganya hancur. Lagian aku tak punya hati ke dia. Sebenarnya gampang membalas Anggi. Aku bisa gunakan kak Gara, tapi aku masih punya rasa kasihan, ada bayi dalam perut Anggi. Aku juga menghargai ibu mantan mertuaku. Hanya itu.Ponselku berdering, ada WA dari kak Angga. Segera kubaca.[Kamu kira dengan mengusirku merasa menang?]Pesan itu hanya kubaca tanpa kuba
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 9 (trik pertama menarik perhatian bos)"Kok mayun aja, Din? Kayak di tinggal cowok aja," ucap Silvi sambil membetulkan lipstiknya. Padahal sudah dandan dari rumah, kurang ketebalan mungkin."Emang iya, aku 'kan udah dicerai, hanya satu bulan nikah, uh! Ingin kupenyet tu kepala Angga!" ucapku sambil meremas kertas memikirkan wajah mantan suamiku."Oh tidak! Jangan sampai nggak jadi." Ekspresi Silvi pura-pura terkejut."Iiih, bantuin aku dong, kemaren aku diserang A kuadrat mmmm.""Hah? A kuadrat apaan?" Mata Silvi membulat. Kegiatan memakai lipstik terhenti sesaat."Angga Anggi," jawabku sewot."Oooo si susabu," Mulut Silvi membulat."Hah? Itu apaan?""Suami satu bulan gitu," jawab Silvi. Ternyata dipersingkat."Nggak lucu, udah ah, aku mau ke toilet dulu, ntar kalo Bos cari bilangin ya."Bicara dengan Silvi tidak ada habisnya. Ada saja yang bikin candaan. Padahal hatiku remuk karena insiden kemarin. Aku seperti penjahat yang dikepung dua orang pol