Share

Part 3 Berusaha Bangkit

TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKU

Part 3(berusaha bangkit)

 

Belum sempat kak Gara melanjutkan kata-katanya, kak Angga muncul dari pintu menyambung perkataan. Ia melotot sambil menujukku dan kak Gara.

 

"Aku nggak nyangka, kamu kakak iparku yang kusegani, ternyata juga selingkuh dengannya!" Tunjuk kak Angga mengarah padaku. Suaranya terdengar lantang hingga kak Murni ke luar dari kamarnya.

 

"Angga, tolong sabar dulu, ini bukan seperti yang kamu kira," bantah kak Gara bangkit dari duduknya.

 

Aku tetap tenang duduk. Buat apa juga menjelaskan, mau membersihkan namaku? Toh, sekarang aku bukan istrinya lagi. Kak Angga tidak punya hak atas diriku.

 

"Masih menyangkal!" Tiba-tiba kak Angga menuju pipi kak Gara. Mukanya merah melotot. 

 

"Aak!" Kak Gara memegang sudut bibirnya, sedikit lebam.

 

"Tunggu! Tunggu, Kak!" Aku langsung berdiri di antara mereka. Jika tidak, akan terjadi pergulatan. Posisiku menghadap mantan suamiku.

 

"Urusanmu apa? Tolong jangan ribut di sini." Aku masih bersuara datar. Menahan hati, aku malu jika tetangga melihat keributan ini.

 

"Oh, jadi kamu membela selingkuhanmu!? Tidak puas denganku selingkuh dengan mantanmu, dan sekarang kamu juga selingkuh dengan suami kakakku!"

 

"Pergi dari sini!" Kutunjuk ke pintu. Hinaan terus dilontarkan bahkan berucap pun terasa sesak. 

 

"Okeh, tadinya aku minta kamu balik ke rumah, semua lantaran Ibuku! Tapi setelah melihat kalian duduk bahagia di sini, niatku tak jadi, menyesal aku menikahimu!"

 

"Cukup Angga! Jika kehadiranmu hanya untuk menyampaikan kata-kata hinaan, tolong pergi dari rumahku! Sekarang Dinda tanggung jawabku, bukan urusanmu." Kak Murni tidak tinggal diam. Dadaku sesak, tak menyangka jika sudah balik ke rumah ibuku, kak Angga masih menghina. Sebesar apa fitnahan kak Anggi hingga kata-kata hinaan kuterima. 

 

"Kamu akan menyesal menceraikan Dinda, Angga. Tuduhanmu tidak benar, seharusnya cari kenenaran dulu atau tanyakan baik-baik," kata kak Gara.

 

Kak Angga tersenyum sinis. "Hebat, kalian sekongkol membela perselingkuhan ini, kamu kira aku tak bisa bahagia tanpamu? Banyak wanita yang lebih cantik darimu, Din, aku bisa dapat yang lebih darimu."

 

"Silahkan cari wanita itu, tolong urus surat perceraian ini secepatnya, kutunggu," jawabku datar. Aku harus mengendalikan amarahku. Tak akan kuperlihatkan betapa sakitnya hati ini, justru aku akan memperlihatkan kalau aku kuat dan bahagia tanpanya. Toh aku masih muda dan berhak mendapatkan yang lebih baik. Tapi sebelumnya akan kuberi pelajaran kepada Anggi, rumah tanggaku hancur dan aku yakin itu ulahnya.

 

"Awas kamu! Kalau bukan karena kakakku lagi hamil, sudah kuusir dari rumah." Kak Angga menunjuk kak Gara. Lalu ia pergi.

 

Diam. Aku duduk menahan hati. Satu bulan, hanya satu bulan. Ibarat memberikan keperawanan, setelah itu aku diusir. Kukepal tangan menahan amarah, aku diam bukan berarti takut, tapi aku ingin tahu seperti apa lelaki yang pernah menjadi suamiku. Dulu, saat ia mendekatiku, tak terlihat sikap kasarnya, bahkan aku merasa beruntung saat itu. Sekarang sikap aslinya terlihat dan itu pun sangat menyakitkan, adik kakak sama-sama bermulut tajam.

 

"Kak Gara, sebaiknya Kakak jangan ke sini, rumah tangga Kakak akan hancur jika kita saling komunikasi, lagian Kak Anggi sedang mengandung," ucapku.

 

"Maaf Din, aku disuruh Ibu menjemputmu, lagian aku juga ingin melihat keadaanmu."

 

"Sampaikan salamku untuk Ibu. Aku baik-baik aja."

 

"Gara, niat baikmu mungkin tidak baik untuk istrimu, Dinda benar, Anggi lagi hamil," timpa kak Murni.

 

"Baiklah, kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, aku pasti membantumu, Din," ucap kak Gara, lalu memalingkan muka ke kak Murni. "Iya, Kak Murni, lagian Dinda sudah seperti adikku, aku permisi dulu," sambung kak Gara. Lalu kak Gara bangkit dan melangkah ke pintu. Aku tetap duduk, sampai di pintu, ia masih menoleh ke belakang melihatku, barulah ia pergi.

 

"Din, kok aku merasa aneh dengan perhatian Gara, seperti ...." Kak Murni tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi aku mengerti arah pembicaraanya.

 

"Kak, ini lah salah satu yang membuat Kak Anggi tidak menyukaiku."

 

"Cemburu?"

 

"Mungkin, sudah lah, aku nggak mau ambil pusing, besok aku akan cari kerja, tolong Kakak doakan," jawabku, lalu berlalu ke kamar.

 

Jika dalam rumah tangga tidak ada kepercayaan, buat apa kupertahankan. Sakit, tak kupungkiri hati ini sangat sakit. Rasanya ingin menampar mereka, tapi akan kutampar mereka dengan cara lain.

 

***

 

Pagi ini aku siap-siap pergi wawancara. Ada sebuah perusahaan butuh karyawan posisi accounting, tapi seleksi penerimaanya langsung wawancara serta bawa berkas lamaran. Kupakai rok hitam selutut, kemeja ngepas abu-abu muda, dan membiarkan rambut panjang sepunggungku terurai. 

 

"Masih cantik," gumamku percaya diri sambil melihat kecermin. Siapa lagi yang memuji kalau bukan diri sendiri, toh yang selama ini yang memujiku sudah menceraikanku. Sakit ....

 

Percaya diri akan membawa pikiran positif. Aku tidak boleh terpuruk. Perceraian ini kuanggap awal dari kehidupan menuju bahagia.

 

"Loh, kok seperti mau kerja, Din?"

 

"Baru mau pergi interview, Kak. Untung lihat situs loker tadi subuh, padahal ini hari terakhir penerimaan," jawabku sambil memakai sepatu hitam hak tinggi. Aku ingin terlihat cantik, penampilan pasti juga hal yang akan diperhitungkan.

 

Naik ojek online, aku tak ingin terlambat. Ini perusahaan besar dan sainganku pasti banyak. Dulu aku juga pernah kerja di posisi yang sama, masalah pembukuan bukan yang sulit bagiku, bahkan jabatan kepala keuangan pernah kududuki.

 

Akhirnya aku sampai di depan gedung perusahaan itu. Bertanya ke satpam, akhirnya aku dipersilahkan menuju sebuah ruangan. Setelah mengisi form yang disediakan, aku disuruh menunggu. Kulihat, ada sekitar lima belas orang yang ikut tes di sini. 

 

Aku pasti berhasil, aku pasti lolos. 

 

Sugestiku menguatkan diri. Gugup, kulihat sainganku banyak dan sepertinya masih lajang. Meskipun ini bukan wawancara pertama kali, tetap saja aku gugup. Ini perusahaan besar dan bahkan lebih besar dari perusahaan tempatku bekerja dulu.

 

Masih menunggu. Beberapa yang ikut tes sudah bergantian masuk ruangan wawancara. Aku menghela nafas dalam, berusaha tenang. Tapi ....

 

"Kak Angga?" bathinku. Terkekut, kulihat mantan suamiku masuk menuju ruangan tes. Kugunakan tas lalu menutupi wajah. Aku tak ingin ia melihatku di sini. Tapi, kenapa ia ada di sini, aku tahu ini bukan perusahaan tempatnya bekerja.

 

Sudah dua orang ke luar masuk tes. Tapi kak Angga tak kunjung ke luar dari ruangan itu. Akhirnya kubatalkan ikut tes wawancara. Aku tak mau terlihat susah setelah dicerai. Ia akan semakin senang dan merasa menang.

 

Aku melangkah ke luar. Keinginan mendapatkan kerja di perusahaan ini harus kukubur. Jika yang mewawancara mantan suamiku, aku yakin ia akan menggunakan kesempatan ini merendahkan, atau menekanku.

 

Berdiri di pinggir jalan. Aku tak tahu harus cari kerja di mana lagi. Zaman sekarang meskipun sudah berpengalaman, tetap saja sulit dapat kerja. Akhirnya kuputuskan ke perusahaan lama tempatku bekerja dulu.

 

"Eh, Dinda? Apa kabar." Silvi menyambut kedatanganku. Ia bawahanku dulunya yang kuangkat menggantikanku karena mengundurkan diri. Ia kerja di perusahaan ini juga karena aku, kami bersahabat dari masa kuliah.

 

"Sil, ada lowongan nggak? Aku butuh nih," ucapku memelas. Kuletakkan berkas lamaran di mejanya, dulu ini meja kerjaku.

 

"Waduh," jawab Silvi. Dari raut wajahnya, yang kuinginkan sepertinya tidak ada. Nasib, kenapa nasibku begini.

 

"Nggak ada ya?" tanyaku memopang dagu, lesu.

 

"Kok tiba-tiba ingin kerja lagi, Din?"

 

"Aku butuh biaya hidup."

 

"Loh, Kak Angga emangnya nggak kerja?"

 

"Kerja," jawabku.

 

"Trus?"

 

"Kami sudah cerai."

 

"Whaaat?!"

 

Untung ruangan ini hanya ia sendiri. Kalau tidak bisa malu aku didengar orang.

 

"Satu bulan udah cerai?" Mata Silvi membulat.

 

"Iya."

 

"Kok bisa?"

 

Aku tahu, Silvi pasti sangat penasaran. Ia juga saksi perjalanan cintaku dengan kak Angga. Tolakkan tiga kali akhirnya luluh juga.

 

Kuceritakan kenapa aku bisa dicerai. Aku juga butuh teman curhat, selama menikah, komunikasiku dengam Silvi terputus. Aku sibuk dengan rumah tanggaku, dan ia juga sibuk dengan karirnya.

 

"Keterlaluan ya, Kak Angga, kok nggak dengar penjelasanmu dulu, ih! Kesal deh sama tu Anggi, dari dulu aku tau ia iri sama kamu. Aku juga pernah ingatin, mantan suamimu itu adiknya Anggi, lah kamu dibutakan cinta."

 

"Udah ah, tolong carikan aku kerja, posisi apapun aku mau. Jangan bahas yang lalu, sedih tau," jawabku sewot. Sudah susah menahan hati, Silvi malah mengungkit kebodohanku.

 

"Sebenarnya ada posisi kosong, tapi bukan bagian keuangan. Aku juga nggak jamin bakalan diterima, karena ada bos baru."

 

"Loh, Pak Ilham mana?"

 

"Pensiun."

 

"Yahhhh." Kecil sudah harapanku. Namanya juga perusahaan Tbk. Pemilik sahamnya banyak.

 

"Jangan patah semangat, aku coba ajukan berkasmu dulu. Lagian saat mengundurkan diri, namamu bersih dan salah satu karyawan terbaik."

 

Silvi membawa berkasku masuk ke ruangan pak Ilham yang dulunya atasanku. Kini ruangan itu sudah ada pemilik baru. Menunggu, aku tak boleh patah semangat. 

 

Tujuh menit berlalu. Silvi ke luar dari ruangan itu.

 

"Masuk," ucap Silvi menujuk ke pintu.

 

"Apa?"

 

"Maasuk!"

 

"Interview?"

 

"Lah iya lah, atau mau bersihin toilet di dalam?"

 

"He he he, canda, makasi ya."

 

Setelah mengetok pintu, aku menekan handle pintu, lalu masuk. Sampai di dalam kulihat seorang pria duduk sambil menatap ponsel. Mataku tertegun, ia mirip aktor Rio dewanto. Kok aku merasa ikut acara jumpa artis.

 

"Permisi, Pak," ucapku menyapa.

 

"Duduk," jawabnya tanpa menatapku. Sok, itulah gambarannya. Mentang-mentang bos.

 

Lima menit aku duduk. Ia tetap sibuk dengam ponselnya. Ternyata begini rasanya butuh kerja, kalau tidak butuh, nggak bakalan mau aku dicuekin.

 

"Oke, namamu ...." Ia mengambil CV-ku lalu membacanya. Kok bicaranya tidak resmi, sejenak bukan seperti tes wawancara. 

 

"Dinda, cuma itu namamu?" sambungnya melihatku.

 

"Iya, Pak," jawabku. Oh tidak, ia mirip sekali Rio Dewanto.

 

"Kenapa? Mau bilang aku mirip Rio Dewanto?"

 

Oh Tuhan, ia bisa membaca pikiranku. Tapi iya sih, mirip sekali.

 

"He he he, iya, Pak. Bapak mirip Rio Dewanto," jawabku jujur. Emang kenyataan kok.

 

Ia sama sekali tidak senyum kupuji. Dingin dan kaku. Beda dengan dengan pak Ilham, humoris dan dekat dengan bawahan.

 

"Jadi kamu pernah kerja di sini dulunya?"

 

"Iya, Pak."

 

"Wow, pernah jadi karyawan teladan juga?"

 

"Iya, Pak."

 

"Kenapa berhenti?"

 

"Karna menikah, Pak."

 

"Trus, kenapa ingin kerja lagi?"

 

"Butuh, Pak."

 

"Suaminya mengijinkan?"

 

Huh! Wawancaranya tidak berbobot. Kok bertanya masalah pribadi?

 

Aku terdiam berpikir mencari jawaban yang pas.

 

"Begini ya, aku butuh asisten 24 jam, aku tak peduli apakah kamu sedang bersantai dengan suamimu tiba-tiba aku telpon minta antarkan berkas."

 

Oh, jadi itu maksudnya. Kenapa aku salah paham. Gara-gara cerai hatiku mendadak sensitif.

 

"Saya bisa, Pak," jawabku percaya diri.

 

Ia menyipitkan mata menatapku. Mungkin berpikir. Mata sudah sudah sipit dibikin sipit lagi. Lucu.

 

"Kapan bisa kerja?"

 

"Sekarang pun bisa, Pak," jawabku cepat. Namamya juga berharap.

 

"Oke, tanda tangan surat kontrak, minta ke Silvi. Besok hari pertamamu kerja."

 

"Jadi aku diterima, Pak?"

 

"Ya," jawabnya mengangguk.

 

"Alhamdulillah ..., terima kasih, Pak." Aku mengulurkan tangan ingin bersalaman. Ia menyambutnya sambil tersenyum. 

 

***

 

"Nih, tanda tangan." Silvi menyodorkan surat kontrak kerja. Kubaca sejenak, lalu kutanda tangani. Ternyata namanya Ridwan Pratama.

 

"Oh ya, Sil. Kok cepat aku diterima?" tanyaku. Rasanya aneh. Setahuku butuh proses berhari-hari menerima karyawan baru.

 

"Pak Ridwan pemilik tunggal perusahaan ini. Ia membeli semua saham dan termasuk saham Pt. Abadi."

 

"Apa? Pt. Abadi?"

 

Aku sangat terkejut, Pt. Abadi adalah perusahaan kak Angga bekerja. Jika yang dikatakan Silvi benar, aku akan giat bekerja seperti dulu, 'karyawan teladan' harus kudapatkan. Akan kubuktikan ke mantan suamiku, aku bisa sukses setelah diceraikan.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Aku kira bos nya mantan pacarnya dulu, ternyata bukan hehehehe
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
menurut sy bukan keputusan bijak, bila baru nikah sdh berhenti kerja. klw sdh punya anak, barulah berhenti kerja, krn memang anak butuh perhatian ekstra.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status