Share

Part 4 Ide Silvi

TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKU

Part 4 (Ide Silvi)

Mulai cerah. Duniaku terasa bersinar karena  mendapatkan pekerjaan. Posisi asisten pak Ridwan. Akan kutunjukkan kalau aku karyawan teladan, biar kak Angga tahu, aku bisa maju setelah diceraikan.

"Din, ikut acara alumi kampus yuk?"

"Hah? Nggak mau, pasti si Anggi datang, aku nggak mau melihatnya," tolakku. Acara alumi tidak membuatku semangat. Aku butuh waktu untuk menata hati setelah dicerai.

"Ayo lah, lagian nggak ada yang melarangmu kumpul ma teman. Dari pada Bt di rumah terus." Silvi masih kukuh agar aku ikut.

"Malas."

"Ada kak Yuda juga loh," goda Silvi menaik turunkan alisnya.

"Masak iya?" Mataku langsung membulat.

"Tuh 'kan kepo ...." Silvi menggodaku lagi. Malu, tapi aku penasaran gimana kabarnya.

"Ih, apaan sih. Itu hanya masa lalu, gara-gara itu aku dicerai," polesku.

Sebenarnya aku sangat penasaran gimana kabar kak Yuda. Semenjak ia pergi tanpa kabar, aku menerima pinangan kak Angga. Penantian satu setengah tahun, aku tak mau menunggu lelaki yang pergi tanpa kabar, walaupun tak ada kata putus.

"Tuh, 'kan melamun, aku tau kamu masih ada hati ma Kak Yuda."

"Siapa bilang? Aku hanya terpuruk masalah perceraianku," polesku lagi. Sebenarnya Silvi benar, aku masih ada rasa dengan mantanku itu. Tapi hanya sedikit. Andaikan ia memberi kabar, mungkin aku akan tetap setia dulunya.

"Sudah ah, aku pulang dulu. Sampai jumpa besok Silvi ..., ngomong-ngomong, Bos kita ganteng juga, he he he," sambungku sok centil. Namanya menyembunyikan kesedihan. Malu dong terlihat terpuruk.

Aku ke luar kantor. Rasanya tak sabaran ingin segera bekerja lagi. Setelah pulang kerja, aku akan ke salon merawat diri. Status janda bahagia harus kusematkan. Tidak ada kata menangis meratapi satu lelaki. Meskipun sebenarnya mantan sungguh menyiksa ....

***

"Pagi, Pak. Ini berkas rancangan untuk pembukaan cabang baru." Kuletakkan map file di meja pak Ridwan. Lalu duduk di kursi depan mejanya.

"Mm ada rancangan anggaran biayanya?" tanya pak Ridwan sambil melihatku sekilas. Oh Rio Dewanto ..., kamu bikin jantungku ingin ke luar. Gantengnya.

Mendadak aku teringat film I Leave My Heart in Lebanon. Saat menontonnya, tisu sekotak habis menghapus air mataku. Kak Murni bilang aku wanita cengeng dan gampang luluh, itu lah kenapa penolakan tiga kali akhirnya kuterima kak Angga.

"Mau menatapku aja?"

Oh Tuhan, ternyata ia tahu kutatap. Aiiish! Bikin malu saja. Dinda ..., kenapa bengong.

"Oh, ma-maaf, Pak. Mmm." Waduh, tadi pak Ridwan tanya apa ya?

Aku terdiam sejenak berpikir.

"Aku tanya ..., RAB-nya ada nggak?" tanya pak Ridwan menatapku agak lama. Mata kami beradu pandang.

'Dinda, kenapa kamu terlihat bodoh, ini semua karena aktor Rio Dewanto.' bathinku tapi bibir terpaksa senyum.

"Oh RAB? Ada Pak. Semuanya lengkap," jawabku menunjuk map file.

Bos bikin salah fokus. Mendadak aku lupa dengan statusku yang pernah berumah tangga. Walaupun hanya sebulan, menyedihkan ....

Pak Ridwan memeriksa map file yang kuberikan. Aku duduk terus menatap wajahnya. Ganteng dan kaya. Andaikan ..., ops! Hayalanku terlalu tinggi. Tidak mungkin juga pak Ridwan melirikku. Ia bos besar dan mungkin sudah punya istri yang jauh lebih cantik.

'Sadar Dinda,' ucapku di hati.

"Oke, nanti kita bicarakan lagi, sekarang ikut aku rapat," ucap pak Ridwan sambil menutup map file, lalu menempelkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Baik, Pak," jawabku lalu ke luar dari ruangan pak Ridwan. Sebelum menutup pintu dari luar, sekilas kulihat pak Ridwan masih menatapku. Oh Rio Dewanto ....

Hampir saja. Malu juga sih, aku ketahuan menatap wajah gantengnya.

"Hey! Kok bengong?" Silvi menyapaku.

Aku duduk di kursi kerjaku. Lalu kukeluarkan bedak dan memperbaiki dandan. Ini hari pertama aku kerja dan harus ikut rapat di luar. Aku tidak boleh terlihat jelek bertemu rekan bisnis pak Ridwan.

"Hey, ke mana?" Silvi melemparku dengan gulungan kertas. Posisi mejaku berhadapan dengan meja Silvi.

"Iih, kayak anak sekolah aja main lempar kertas." Lalu kumasukkan kotak bedakku ke tas.

"Aku nanya malah dandan," ucap Silvi sewot.

"Mau ikut rapat," jawabku.

"Ke mana?"

"Nggak tau."

"Kok nggak tau?"

"Karna aku nggak nanya."

"Ya tanya dong."

"Nggak enak, hari pertama kerja penyusaian dulu."

Silvi bangkit dari duduknya, lalu mendekati mejaku.

"Din, Pak Ridwan masih lajang loh."

Kami saling bertatapan sesaat. Mataku membulat.

Pak Ridwan masih lajang? Berita bagus, berarti aku punya kesempatan. Aiiish! Jangan menghayal tinggi Din. Aku berusaha mesugesti diri.

"Trus kalau lajang kenapa?" Aku pura-pura cuek. Padahal mengharap.

"Bego dipelihara. Ya pikat dong."

"Ih kamu, dia tu Bos besar, aku bukan levelnya. Mana mungkin ia tertatik padaku. Lagian aku baru aja menjanda, surat cerai aja belum dapat."

"Itu dia yang kumaksud. Kalau kamu janda bebas dong cari pengganti. Kamu cantik, pintar, meskipun nggak pintar cari suami. Pikat pak Ridwan, ntar si Angga bisa di bawahmu, toh ia juga kerja di perusahaan Pak Ridwan."

Oh Tuhan, kok aku tidak kepikiran begitu? Silvi benar juga, aku masih muda dan sangat sadar masih cantik.

"Ntar kalau berhasil, jangan lupa naikin gajiku ya, he he he."

"Ish! Kamu. Belum juga bertindak udah mengajukan permintaan." Kupukul pelan pundak Silvi. "Kenapa nggak kamu aja?"

"Kalau aku punya wajah cantik dan tubuh seramping kamu, mungkin sudah kupikat dari kemaren."

"Aku pikir dulu ya," jawabku sok jual mahal. Padahal aku sangat mengharap.

Ide Silvi top markotop. Memikat bos besar. Ganteng, kaya dan lajang. Jika aku berhasil, kak Angga pasti gigit jari. Level pak Ridwan jauh di atasnya. Andaikan ini berhasil.

Brrsambung ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
gaet gaet gaet .....
goodnovel comment avatar
Hilmah Syafiqi Ahsan
hbs meloww malah ngakakkk =DDD
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status