Share

Part 6 Alasan

TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKU

Part 6 

 

"Aku sudah diceraikan, statusku janda, Pak Angga," jawabku lantang kepada mantan suamiku.

 

"Dinda."

 

Tiba-tiba pak Ridwan muncul dari pintu memanggilku. Kami langsung terdiam melihat ke pintu. Pak Ridwan berdiri melihat kami.

 

"Iya, Pak," jawabku pelan. Rasanya tidak enak. Aku takut karirku anjlok karena mencampur adukkan urusan kerjaan dengan urusan pribadi. Mudah-mudahan aku tidak dipecat, baru juga kerja.

 

Pak Ridwam melangkah masuk. Kini posisinya tepat di sampingku melihat ke kak Angga.

 

"Pak Angga, tolong kirimkan semua bukti pengeluaran perusahaan ke kantor PT. Cahaya, Dinda bertugas memeriksanya."

 

"I-iya, Pak, nanti saya kirimkan," jawab kak Angga gugup. Lalu sepintas menatapku.

 

"Oke, ayo Dinda, kita balik," ajak pak Ridwan, lalu melangkah ke pintu. Aku mengiringinya di belakang. Saat kututup pintu dari luar, kulihat kak Angga masih menatapku.

 

***

 

Di mobil. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan pak Ridwan. Apakah ia tahu atau tidak urusan pribadiku, ia sama sekali tidak bertanya. Padahal sudah jelas ia dengar kata-kataku tadi. Mudah-mudahan ini tidak berpengaruh pada pekerjaanku. Semoga.

 

Bisa-bisanya ia menciumku dalam amarah. Dikiranya aku pelac*r hingga kata-kata 'dibayar' diucapkan. Sakit hatiku bertambah, hingga ingin rasanya kutampar wajahnya berulang kali. Aku sangat membenci mantan suamiku, sangat!

 

"Din, Din!"

 

"Oh, i-iya, Pak," jawabku terkejut. Kupalingkan muka ke pak Ridwan.

 

"Berapa nomor W*-mu? Aku lupa save."

 

"Oh, biar ku ping aja, Pak, nomor Bapak sudah ku save," jawabku secepatnya.

 

"Oke, aku ingin kerjaanmu maksimal, ini juga berpengaruh pada masa kontrak kerja."

 

"I-iya, Pak," jawabku pelan.

 

Tuh, 'kan ..., yang kutakutkan terjadi. Aku takut pak Ridwan salah nilai. Di mana-mana urusan kerja ya kerja. Ini semua gara-gara kak Angga. Huh! kok bisa-bisanya nasib mempertemukan kami dibidang yang sama setelah bercerai. 

 

***

 

"Aku pulang dulu ya, Sil," ucapku sambil bangkit mengambil tas.

 

"Besok jadi ikut 'kan, Din?"

 

"Males, aku lagi nggak semangat."

 

"Tunggu tunggu!" Silvi mendekat.

 

"Kenapa sih gara-gara mantan jadi galau, kamu cantik dan masih muda, mana tau ntar di acara alumi ketemu jodoh ke dua." 

 

"Nggak mau, aku nggak mau menikah lagi."

 

"Whaaaat? Jangan bilang gara-gara sebulan menikah lalu dicerai membuat seorang Dinda jadi nggak suka lelaki."

 

"Iya, aku benci lelaki, semuanya pembohong dan sok mmm." Kok aku jadi sedih. Kenapa aku salah pilih suami ....

 

"Udah udah, makanya kita cari hiburan. Pokoknya besok malam aku jemput." Silvi menepuk pundakku pelan.

 

***

 

"Kok pulang lesu, Din?" tanya kak Murni sambil menyapu. Aku baru memasuki rumah.

 

"Gara-gara Kak Angga, ternyata Bos kami sama, Kak," jawabku lalu duduk.

 

"Hah? Kok bisa?" Kak Murni meletakkan sapu, lalu ikut duduk.

 

"Assalamualaikum."

 

"Waalaikumsalam," jawabku dan kak Murni serentak. 

 

Kupalingkan mata ke pintu. Ada kak Gara berdiri sambil menenteng kantong kresek hitam.

 

"Masuk, Kak," ucapku.

 

Lalu kak Gara masuk, dan duduk.

 

"Dari mana Din? Kok seperti pulang kerja?" Kak Gara melihat baju yang kupakai seperti baju orang kantoran.

 

"Iya Kak, aku baru bekerja," jawabku jujur.

 

"Oh, syukurlah, ini kubawakan batagor, kebetulan aku lewat." Kantong kresek di letakkan di meja.

 

"Oh, nggak usah repot, Kak, lagian ..., aku nggak enak ma kak Anggi, aku takut ini jadi masalah."

 

Kak Gara kok cari gara-gara, mirip namanya. Sudah jelas kubilang jangan ke sini. Masalahku saja belum selesai. Bukan aku tidak menghargai, tapi cara kak Gara membuatku tidak nyaman. 

 

"Jangan dipikirkan, aku pulang dulu," jawab kak Gara bangkit dari duduknya.

 

"Kak Murni, aku balik dulu." Kak Gara berpamitan.

 

"Oh, iya, Gar," jawab kak Murni seperti terpaksa senyum. 

 

Lalu kak Gara meninggalkan rumahku.

 

"Betul firasatku, Gara pasti ada maunya, pulang kerja bukannya menemui istri di rumah, ini malah singgah ke sini."

 

"Aku nggak nyaman, Kak. Lantaran ia perhatian, Kak Anggi cemburu, ujung-ujungnya rumah tanggaku hancur."

 

"Wajar sih Anggi cemburu, yang nggak wajar bikin rumah tanggamu hancur. Si Gara juga, ngapain perhatian segala, udah jelas punya istri."

 

"Sudah ah, batagornya Kakak dan Mia aja yang makan, perutku kenyang."

 

Kak Gara seperti jelangkung. Datang tak diundang, pergi tak diantar. Sangat tak diharapkan. 

 

Kunyalakan laptop dan membuka f******k. Masih senja, aku ingin cari hiburan lewat media sosial. Masalah perceraian tidak boleh membuatku galau atau sedih, hidup cuma sekali, kenapa dibikin susah.

 

"Hah? Kak Angga?" Gumamku terkejut melihat layar laptop.

 

Mataku membulat melihat foto kak Angga bersama seorang wanita. Ia dan wanita itu duduk seperti disebuah kafe. Pundak wanita itu dirangkulnya sambil tersenyum. Wanita itu adalah resepsionis di Pt. Abadi.

 

"Mau manas-manasin aku? Sory ya, aku nggak cemburu," gumamku menatap foto itu.

 

Surat cerai belum kuterima. Baru beberapa hari kami cerai. Kak Angga sudah menemukan penggantiku. Tak kupungkiri, rasa sakit hati karena tak dihargai. Pernikahan satu bulan seperti tak berharga, bahkan ia sangat mudah menceraikanku. 

 

"Jangan sedih Dinda, jangan bodoh, kamu bisa dapatkan lelaki yang lebih," ucapku mensugesti diri.

 

Aku harus menguasai perasaanku. Kesedihan hanya akan membuat wajah keriput dan cantik akan menjauh. Aku harus lebih cantik dan bahagia setelah dicerai. Akan kutunjukkan, aku bukan wanita cengeng.

 

Ponselku berdering. Ada W* dari Silvi, segera kubaca.

 

[siap-siap, aku sudah di depan rumahmu]

 

Hah? Silvi di depan rumah. Kulihat jam dinding, masih jam setengah delapan malam. Aku bangkit dari ranjang.

 

"Hey, tumben malam-malam mampir?" ucapku berdiri di ambang pintu. 

 

"Yok," ajak Silvi masih duduk di motor menyala.

 

"Kemana?"

 

"Cari makan malam."

 

Apa salahnya ikut Silvi. Ini salah satu cara menghibur diri. Berkurung diri di kamar hanya akan membuat bosan. Salah satu yang harus kulakukan adalah menghibur diri sendiri.

 

Selamat tinggal masa lalu ....

 

***

 

Semangat pagi. Kujinjing tas lalu berangkat kerja. Seperti biasa, ojek langgananku sudah menunggu. Naik angkot pasti terjebak macet. Aku harus tepat waktu.

 

Akhirnya aku sampai di depan kantor. Turun dari ojek, aku melangkah masuk.

 

"Dinda!"

 

Terdengar suara kak Angga memanggilku. Kupalingkan ke belakang. Ada kak Angga berdiri dekat mobilnya parkir di tepi jalan. Di dalam mobil kulihat ada wanita duduk, ia wanita di foto f******k yang kulihat semalam. Sepertinya kaca mobil dibiarkan terbuka agar aku bisa melihatnya.

 

"Ya," jawabku.

 

Kak Angga melangkah mendekat. 

 

"Ini bukti pengeluaran dan rekening koran yang kamu minta." Kak Angga menyodorkan tiga buah map file plastik.

 

"Oke, terima kasih," jawabku menerimanya.

 

"Aku sengaja mengantarkan sendiri, ingin lihat kabarmu juga, ternyata berangkat kerja naik ojek."

 

Jadi aku sudah ditunggu dari tadi? Aku mengerti, kak Angga pasti sengaja membawa resepsionisnya untuk memanas-manasi aku. 

 

'Pikir Dinda, jangan terlihat kalah,' bathinku.

 

"Iya, Pak, terima kasih atas perhatiannya, sehingga pagi-pagi Bapak sendiri yang ngantarkan map file," jawabku berusaha santai. 

 

"Kebetulan aku lewat setelah jemput Debi." Kak Angga menujuk ke mobilnya.

 

Tuh, 'kan, ia pasti punya tujuan. Benar dugaanku.

 

"Oh, ada lagi, Pak?"

 

"Kami baru saja jadian, Debi wanita baik, aku nyaman di sisinya."

 

Siapa juga yang nanya. Apa sih mau mantan suamiku? Pagi-pagi pamer pacar baru, mau buat aku cemburu dan sakit hati? Tidak akan! Dinda bukan seperti itu ya. Tak satu kumbang di dunia.

 

"Aku nggak nanya, itu urusan Anda, Pak," jawabku memasang senyum lebar.

 

"Tentu aja bukan urusanmu, kita sudah pisah."

 

"Ya." Aku mengangguk.

 

"Debi mungkin bisa menyesuaikan diri dengan Ibuku."

 

"Tolong sampaikan salamku pada Ibu, Kak." Kali ini kupanggil 'Kak' seperti biasa.

 

"Kamu rindu rumah Ibuku?"

 

"Aku rindu Ibu," jawabku.

 

"Jujur lah, aku masih mau mendengarnya kok, lagian aku dan Debi masih tahap pacaran. Ia wanita setia dan sangat mengerti aku," cerita kak Angga memuji resepsionisnya. Mendadak aku merasa tersindir.

 

"Boleh aku minta sesuatu?"

 

"Aku tau pasti kamu minta rujuk, aku pikir dulu, Debi wanita yang perlu diperhitungkan, mungkin besok kuberi jawaban," ucap kak Angga percaya diri.

 

Huh! Kok bisa ya, aku menerima kak Angga dulunya? Bodohnya aku. Satu bulan pernikahan tak membuatku mengenal sifat aslinya. Yang dulu terlihat sangat baik, tapi sekarang ....

 

"Bukan, Kak."

 

"Trus apa? Mau minta maaf?"

 

"Bukan itu, aku minta surat resmi cerai secepatnya," jawabku di sela senyum.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Melsa Samosir
kok buka ceritanya di gabung dengan cerita yang lain,ini aplikasi kok aneh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status