Share

Part 5 Bertemu

TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKU

Part 5 (Bertemu)

 

Aku duduk di bangku belakang samping pak Ridwan. Mobil melaju dan entah ke mana. Katanya rapat, aku tak berani bertanya, harus jaga image agar terlihat seperti wanita berkelas dan tidak murahan. Karena kebanyakan orang melihat janda diidentik dengan pandangan buruk.

 

Tidak ada sepatah kata pun. Pak Ridwan sibuk dengan ponselnya, kadang menerima telepon dan kadang kulihat seperti membalas pesan. Hanya satu yang menonjol  semobil bersamanya, wangi parfumnya. Enak dicium.

 

Andaikan aku belum pernah menikah. Status gadis mungkin lebih membuatku percaya diri mendekatinya. Meskipun Silvi bilang aku masih cantik, tetap saja statusku pernah menikah.

 

"Nanti saat rapat, catat semua poin penting. Aku ingin setelah itu kamu periksa laporan keuangan di Pt. Abadi." Pak Ridwan bicara sambil melihat ponsel. Uh! Kok dia tak melirikku? Padahal aku masih cantik kok.

 

"Baik, Pak," jawabku.

 

Pt. Abadi? Itu 'kan tempat kak Angga kerja. Atau jangan-jangan kali ini rapat diadakan di Pt. Abadi?

 

Oh Tuhan, aku lagi malas bertemu mantan suamiku. Tapi harus gimana lagi, ini pekerjaanku. Aku harus profesional. Demi kemajuan karirku. Semangat Dinda ....

 

"Bukankah ada tim audit, Pak?" tanyaku. Setahuku, tugas yang memeriksa laporan keuangan adalah tim audit jika ada anggaran pengeluaran perusahaan tidak sesuai. Perusahaan besar, mustahil tak ada tim audit.

 

"Iya, tapi aku ingin kamu yang periksa. Bukankah pak Ilham pernah memilihmu sebagai kepala keuangan dulunya?"

 

Loh, posisiku asistennya. Kok tugasku memeriksa laporan keuangan? Seharusnya ini tugas Silvi. Tapi tak masalah, akan kutunjukkan kemahiranku dalam masalah laporan keuangan. Rugi, laba, jurnal, kredit, hutang, piutang, debet dan petty cash, hal yang gampang bagiku. Dinda ....

 

"Baik Pak," jawabku.

 

Pak Ridwan melihatku sekilas. Tapi mukanya datar, apakah aku kurang cantik di matanya?

 

Akhirnya mobil memasuki pekarangan PT. Abadi. Kulihat ke luar jendela, hanya ada security berjaga. Ini jam kerja, aku yakin kak Angga pasti ada di dalam.

 

Kutarik nafas dalam. Aku harus mempersiapkan diri jika nanti bertemu mantan suamiku. Aku tak boleh gugup. Akan kutunjukkan, aku bisa maju tanpanya.

 

"Selamat pagi, Pak," sapa resepsionis ketika kami melewati menuju ruang rapat. Pak Ridwan membalas tersenyum kecil. Aku melangkah di belakang pak Ridwan.

 

Di ujung beberapa ruangan yang kami lewati, ada sebuah pintu. Kulihat di daun pintu, ada tulisan 'Ruang meeting'. Sampai di depan ruangan itu, pak Ridwan menarik handle pintunya, lalu kami melangkah masuk.

 

Di dalam sudah menunggu beberapa orang duduk melingkari meja panjang. Yang membuatku sedikit gugup, ada kak Angga diantara mereka. Matanya membulat terkejut melihatku melangkah di belakang pak Ridwan. Aku berusaha cuek, seperti tidak mengenalnya.

 

"Selamat pagi Pak Ridwan, bisa kita mulai rapatnya?" ucap kak Angga ke pak Ridwan, setelah kami duduk.

 

"Oke, mari kita mulai," jawab pak Ridwan.

 

Saat rapat berlangsung. Kak Angga melihatku duduk di samping pak Ridwan. Aku berusaha tidak gugup, tetap menulis sesuai tugasku. Aku tahu ia pasti sangat penasaran, baru beberapa hari kami berpisah, aku sudah dapat pekerjaan. 

 

"Jadi, untuk menghemat pengeluaran, aku minta semua laporan keuangan diserahkan kepada asistenku, Dinda." Pak Ridwan menunjukku. "Nanti anggaran yang dirasa kurang penting, akan kita pangkas," sambung pak Ridwan.

 

"Pak Ridwan, bukankah sudah ada tim audit? Kenapa tidak diserahkan ke tim audit saja?" Kak Angga ikut bersuara di rapat ini. Terlihat ia keberatan aku yang memeriksa laporan keuangan Pt. Abadi.

 

"Betul Pak Angga, tapi aku ingin asistenku juga tau semua perusahaan yang kupimpin. Anggap saja ia menggantikan tugasku di sini," jawab pak Ridwan.

 

"Oh, iya, Pak," jawab kak Angga melirikku sesaat.

 

Yess! Aku terlihat penting di sini. Aku tersenyum kecil menanggapi perkataan pak Ridwan. 

 

Ternyata kak Angga baru saja menjabat sebagai kepala cabang PT. Abadi. Pantas ia ikut bersuara mengeluarkan pendapat. Semenjak saham perusahaan ini beralih tangan, saat itu juga ia menjabat kepala cabang baru.

 

Setelah rapat selesai. Pak Ridwan masih duduk berbicara dengan dua orang head. Aku menunggu sambil melihat catatan hasil rapat, melihat laptop laporan file keuangan melalui program komputer perusahaan ini. 

 

"Pak Ridwan, sepertinya aku butuh semua bukti pengeluaran, baik itu bon, kwitansi, ataupun rekening koran perusahaan," ucapku. 

 

"Bisa, minta saja ke Pak Angga, nanti biar dia yang mengarahkan head operationalnya."

 

Oh Tuhan, aku harus ke ruangan mantan suamiku? Hal yang paling kuhindari harus kuhadapi. Tapi mau tidak mau, aku harus mengerjakannya. Demi kemajuan karirku.

 

"Pergilah ke ruangan Pak Angga, Din. Kita juga ada pertemuan dengan klaen baru masalah proyek bangunan."

 

"Iya, Pak," jawabku bangkit, lalu ke luar dari ruangan meeting.

 

Di depan pintu. Aku terdiam berdiri. Aku harus ke ruangan kak Angga. Mungkinkah ia akan bertanya banyak nantinya? Atau akan ada pertengkaran? Mulutnya tajam, pasti aku akan menerima kata pedasnya. Oh tidak!

 

Dengan berat hati, aku melangkah menuju ruangan kepala cabang. Kutarik nafas dalam, baru mengetok pintu.

 

Tok tok tok!

 

"Masuk!" Terdengar suara kak Angga dari dalam.

 

Kutekan handle pintu, lalu menariknya. Daun pintu terbuka, dan aku melangkah masuk. Pintu kututup lagi.

 

"Dinda?" Kak Angga terkejut melihatku.

 

"Aku ...." 

 

Belum selesai aku bicara. Kak Angga memotong perkataanku.

 

"Hebat ya, dalam waktu beberapa hari kamu sudah dapat kerja baru. Tidak heran sih, kecantikanmu bisa digunakan untuk itu. Sudah naik kelas levelmu, Din."

 

Senyum sinis ia menatapku. Ia tetap duduk bersandar dengan angkuhnya merendahkanku.

 

"Maaf, aku disuruh Pak Ridwan meminta semua bukti pengeluaran," jawabku berusaha profesional.

 

"Jangan sok, Din, baru juga jadi asisten. Sudah berapa kali kalian tidur? Atau semenjak tidak bersamaku lagi?"

 

Nafasku besar menahan emosi. Aku tetap berdiri berusaha tenang. Ini kantor, aku tak ingin masalah pribadi di bawa ke urusan pekerjaan.

 

Kak Angga bangkit dari duduknya. Kini ia sudah berdiri di depanku.

 

"Apa yang kamu cari? Kepuasan ranjang? Aku bisa bayar untuk itu, tapi bukan sebagai suami."

 

Plak!

 

Kutampar kak Angga. Kata itu sudah sangat keterlaluan. Selama ini hanya dia yang pernah tidur denganku, dan itu pun sebagai suamiku. Jika foto masa laluku dengan kak Yuda dilihatnya, itu hanya sekedar ciuman, tidak lebih dari itu.

 

"Urus urusan Anda, jangan ikut campur urusanku. Jika selama ini aku bodoh salah pilih suami, tidak untuk berikutnya. Kenapa? Apakah Anda cemburu?" Susah payah aku sabar, tapi tidak untuk kali ini. Kata-kata merendahkanku selalu ke luar dari mulutnya.

 

"Ugh!" Tiba-tiba tanganku ditarik hingga tubuhku dekat dengannya. Lalu ia mencoba menci*m b*birku.

 

"Uh!" Kudorong tubuhnya hingga ia tersandar di tepi meja. Tak sudi aku disentuhnya.

 

"Kamu masih resmi istriku," ucap kak Angga. Matanya merah. 

 

"Aku sudah diceraikan, statusku janda, Pak Angga," jawabku lantang.

 

"Dinda."

 

Tiba-tiba pak Ridwan muncul dari pintu memanggilku.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Dasar mantan suami gada akhlak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status