Silaunya sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui kaca jendela kamar, membuat Giselle pelan-pelan mulai membuka matanya.
Ia menggeliat dan belum menyadari dimana dirinya berada. Ia duduk bersandar di kepala ranjang, sambil menguap merasakan ngantuk dan kepala yang masih terasa sakit akibat kebanyakan minuman memabukkan semalam. “Ah, sepertinya semalam aku kebanyakan minum, sampai pusingnya belum juga hilang," keluh Giselle, yang memijat keningnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar yang tidak ada siapapun kecuali dirinya. Ia baru sadar kalau kamar itu bukanlah kamarnya, ataupun kamar sahabatnya. “Astaga, ini kamar siapa? Kalau Kiara bawa aku pulang ke rumahnya, ini bukan kamar dia?” Giselle kebingungan hingga turun dari tempat tidurnya dan mengambil ponselnya. Ia mencoba menghubungi Kiara dan tidak lama kemudian panggilannya pun telah diangkat. “Halo," jawab Kiara dari seberang telepon sana. "Ki. Kamu dimana?” tanya Giselle, tanpa basa-basi. “Aku baru balik, kamu dimana sih. Aku tunggu malah gak ada, sampai aku ketiduran di parkiran?” oceh Kiara, yang nada suaranya terdengar kesal. “Perasaan semalam itu aku naik mobil kamu deh dan aku pikir kamu yang bawa aku kesini?” “Haaa … apa? Aku bawa kamu? Yang ada kamu yang menghilang!” terdengar suara Kiara terkejut. Giselle menggaruk kepalanya yang tak gatal dan semakin bingung dengan keberadaannya sekarang ini. Sampai akhirnya ia melihat seorang pria dewasa telah keluar dari kamar mandi, hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya, membuatnya mematung. “Halo … halo … halo, Gis ….” teriak Kiara dari seberang telepon memanggil manggil Giselle yang hanya diam saja. Tak ada jawaban dari Giselle, karena sibuk memandang pria yang berjalan menuju kearahnya. Giselle mundur ketika Axel sudah mendekat padanya dan tersenyum manis padanya, membuat jantungnya seketika berdegup kencang, antara cemas dan khawatir. “Kau sudah bangun?” tanya Axel, yang menaikkan satu alisnya. “I-iya, Om siapa? Kenapa ada disini?” Giselle gugup, tapi berusaha memberanikan diri bertanya siapa pria itu, tanpa mematikan ponselnya. Ia memang suka dugem dan dekat dengan beberapa pria dewasa, tapi kalau satu kamar seperti sekarang ini sama sekali belum pernah dilakukannya. “Aku Axel dan ini adalah apartemenku! Apa kau lupa semalam kamu masuk dalam mobilku dan bergelayut manja padaku? Bahkan di ranjang pun kau tampak li-ar.” Axel tersenyum menyeringai, sambil menaik turunkan kedua alisnya, menggoda. Tubuh Giselle langsung lemas tak berdaya, mendengar penjelasan dari Axel. Hingga tak terasa air matanya menetes. “Halo, Gis. Kamu bicara sama siapa dan kenapa kamu?” tanya Kiara, yang masih mendengar semua pembicaraan mereka melalui panggilan telepon. “Om, jahat!” teriak Giselle, yang mengabaikan pertanyaan Kiara. Ia berlari meninggalkan kamar dan keluar dari apartemen, masih dengan berderai air mata tanpa memperdulikan Axel yang tengah bengong melihatnya marah. Axel menarik nafasnya dalam dan membuangnya kasar memandang Giselle yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya. “Dasar ABG oon, mana mungkin bisa main kalau dianya aja ngorok.” Axel menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa lucu. Awalnya tadi Axel hanya iseng dan ingin tau bagaimana reaksinya, ketika mengetahui dirinya menidurinya. Namun tidak disangka justru hal itu dianggap serius. “Kalau dia reaksinya seperti itu apa mungkin dia nggak pernah digerayangi sama pria-pria hidung belakang ya? Secara kan dia kelihatan badung banget. Ah mungkin dia cuma akting biar aku merasa bersalah. Aku harus tetap pada tujuanku dan kau tidak bisa lari dariku. Mau dia masih perawan atau tidak, aku tak peduli!” gumam Axel. Ia melangkah menuju lemari pakaian dan segera memakai bajunya, karena harus secepatnya pulang. Dari apartemen Axel, Giselle tidak langsung pulang, melainkan menuju rumah Kiara. Sepanjang perjalanan Giselle hanya menangis memikirkan dirinya yang tidak lagi suci, akibat pria yang tidak dikenalnya. Sampai akhirnya taksi yang ditumpangi sudah berbelok ke rumah Kiara dan berhenti. “Maaf, Nona. Kita sudah sampai!” ujar sopir taksi setelah sekian lama menunggunya turun, tapi tidak juga bergeming dari duduknya. Giselle hanya mengangguk, sambil mengusap air matanya dan membayarnya, setelah itu ia turun dari taksi. Melangkah menuju pintu rumah sang sahabat. Tangannya mengambang di udara, merasa ragu untuk mengetuk pintu rumah Kiara. Ia butuh teman berbagi cerita, tapi merasa malu, karena ini merupakan hal yang sensitif. Ia menarik nafasnya dalam dan membuangnya kasar, berusaha meyakinkan diri kalau sahabatnya bisa memegang rahasia, karena sekarang ini ia butuh teman berbagi cerita. Sebelum ia mengetuknya, pintu sudah terbuka dan tampaklah Kiara yang menatap dirinya penuh selidik. “Ayo masuk!” ajak Kiara, sambil memegang lengan Giselle. “Iya.” Keduanya masuk dalam rumah dan Kiara membawanya menuju kamarnya agar bebas berbicara dengan sahabatnya tanpa ada yang mendengar. “Kenapa? Aku dengar tadi ada cowok yang bicara sama kamu dan kamu juga berteriak. Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Kiara mengintrogasi sang sahabat, sambil duduk di atas ranjang. Giselle tidak langsung menjawab dan justru memeluk sahabatnya dengan meneteskan air matanya. “Aku nggak tau siapa om-om itu, tapi dia bilang namanya Axel,” lirih Giselle. “Kok bisa kamu sama dia dan malah ninggalin aku di parkiran? Kamu tau nggak aku sampai ketiduran dan panik pas liat kamu nggak ada?” tanya Kiara yang mengusap-usap punggung Giselle. “Aku udah katakan kalau aku nggak tau, dia bilang aku masuk dalam mobilnya, selain itu aku juga nggak sadar kalau dia ….” Giselle menghentikan kata-katanya, merasa ragu untuk menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Kiara melepaskan pelukannya dan menatap Giselle dengan mengerutkan dahinya penuh rasa penasaran. “Dia kenapa?” tanya Kiara, sedikit menegang. “Dia udah obok-obok aku, Huaaaa ….” Giselle mengencangkan tangisnya mengingat apa yang dikatakan Axel tadi. “Maksudnya gimana?” Kiara gagal paham dengan apa yang dimaksud Giselle. “Masak gitu aja gak tau, bego banget sih kamu!” kesal Giselle, masih dengan menangis. “Ya mana aku tau? Coba yang jelas, apa yang diobok-obok?” Kiara semakin bingung, karena benar-benar tidak mengerti maksud dari apa yang dikatakan sahabatnya. “Dia udah ambil kesucian aku!” Giselle mengambil selimut dan membuang ingusnya yang berleleran Srot … srot … srot …. Kiara terkejut atas pengakuan Giselle hingga matanya membulat sempurna dan hampir terlepas dari tempatnya. “Kok bisa?” tanya Kiara, yang semakin tegang. “Ya mana aku tau? Kejadian itu aja aku sama sekali nggak ingat.” “Astaga, astaga, bisa-bisa kecebong dia tumbuh di rahimmu tuh!” Kiara menjadi panik sendiri, membuat Giselle semakin merasa takut. “Nggak! Aku nggak mau hamil anaknya om-om itu!” teriak Giselle, yang kembali menangis sejadi-jadinya. “Tenang dong, kamu jangan nangis, sebentar aku ambil obat kontrasepsi dulu di ruang kerja Mama.” Kiara memang anak seorang dokter spesialis kandungan, sehingga di rumahnya ada berbagai jenis alat kontrasepsi dan juga obat-obatan lainnya. Dengan cepat Kiara keluar dari kamarnya menuju ruang kerja ibunya dan berharap kalau ibunya tidak menyadari, jika alat kontrasepsi berbentuk pil hilang satu. Kini ia sudah kembali lagi ke kamar dan menyuruh Giselle segera meminumnya. Supaya tidak hamil. “Cepat minum itu sesuai petunjuk, semoga kecebong-kecebong itu belum tumbuh di rahim kamu!" Printah Kiara, yang menyodorkan alat kontrasepsi. “Tapi inikan sebelum melakukan anu?" Giselle menerimanya dengan ragu. “Itu yang biasa, ini yang khusus darurat, biasanya Mama memberikan ini sama cewek yang diperkaos!” ujar Kiara menjelaskan. “Memang ada yang kayak gitu?”Kiara duduk di atas ranjang, memandang Giselle dengan sangat serius dan penuh rasa penasaran. Ia sudah tidak sabar ingin mengetahui cerita tentang kebersamaan sahabatnya dengan Axel tadi. “Gimana tadi? Ayo dong cerita sama aku, tentang kebersamaanmu sama om-om itu. Terus kalian pergi kemana aja? Apa dia mau tanggung jawab tentang kejadian malam itu atau tidak?” Sederek pertanyaan telah keluar dari bibir Kiara. “Huh, kebiasaan banget sih, coba kalau tanya itu satu-satu!” kesal Giselle, yang diberondong dengan sejumlah pertanyaan oleh Kiara. “Oke, kalian tadi pergi kemana?” tanya Kiara dengan gaya kemayu. “Cuma makan di restoran dan nggak kemana-mana," jawab Giselle, sambil senyum-senyum. “Terus dia ngomong apa? Apa dia mau tanggung jawab atas apa yang dilakukannya?” tanya Kiara, yang begitu kepo-nya. “Aku belum sempat ngebahas soal itu, otak ku tiba-tiba ngeblank, saat dia mengatakan cinta dan dia bilang suka sama aku, sejak pertama kali lihat aku di klub malam kemarin,"
Di kantor, Axel begitu sibuk dengan pekerjaannya, tapi tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya telah diketuk dari luar. Tok, tok, tok. “Masuk!” titah Axel, tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya. Pintu terbuka dan tampaklah David masuk dan duduk dihadapan Axel tanpa disuruh terlebih dahulu. “Ada apa?” tanya Axel, yang sudah menghentikan pekerjaan. “Saya sudah mendapatkan semua informasi tentang gadis remaja yang Anda inginkan.” “Siapa dia?” tanya Axel, penuh rasa penasaran. “Namanya Giselle Anastasia, usia 18 tahun, masih sekolah SMA kelas lll, kedua orang tuanya pengusaha sukses, tapi mereka bercerai dan dia kadang tinggal di rumah ibunya, tapi sering di rumah ayahnya …..” David menceritakan semua tentang Giselle secara detail. “Jadi dia belum punya kekasih?” tanya Axel, setelah mendapatkan penjelasan dari David. “Belum.” “Oke, kalau begitu mulai hari ini aku akan mendekatinya.” Axel begitu antusias, saat mengetahui dirinya memiliki peluang besar untuk mendapa
Axel baru saja tiba di rumah, dilihat istrinya sudah menyambutnya dengan wajah dilipat, hanya karena semalaman dirinya tidak pulang. “Sayang, kenapa wajahmu kelihatan kesal gitu? Apa kamu nggak suka suamimu pulang?” tanya Axel, yang tersenyum mentoel hidung istrinya. “Suka, tapi aku kesal. Masa malam Minggu juga kamu ada pekerjaan, terus kapan ada waktu buat aku?” protes Alina, masih dengan wajah dilipat. “Maaf, ini memang diluar dugaanku. Tadinya aku habis keluar bareng David mau langsung pulang dan malam mingguan bareng kamu, tapi malah ada kerjaan mendadak. Aku janji seharian ini waktuku hanya buat kamu.” Axel sebisa mungkin memberikan alasan yang masuk akal, supaya Alina tidak marah dan cemburu mengetahui dirinya bersama wanita lain. “Tau ah, aku kesel sama kamu, Mas!” Alina melangkah meninggalkan Axel begitu saja, menuju kamar pribadinya. Axel menarik nafasnya dan membuangnya kasar, kemudian ia mengejar Alina. Dalam kamar ia memeluk istrinya dari belakang. “Maaf, lai
Silaunya sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui kaca jendela kamar, membuat Giselle pelan-pelan mulai membuka matanya. Ia menggeliat dan belum menyadari dimana dirinya berada. Ia duduk bersandar di kepala ranjang, sambil menguap merasakan ngantuk dan kepala yang masih terasa sakit akibat kebanyakan minuman memabukkan semalam. “Ah, sepertinya semalam aku kebanyakan minum, sampai pusingnya belum juga hilang," keluh Giselle, yang memijat keningnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar yang tidak ada siapapun kecuali dirinya. Ia baru sadar kalau kamar itu bukanlah kamarnya, ataupun kamar sahabatnya. “Astaga, ini kamar siapa? Kalau Kiara bawa aku pulang ke rumahnya, ini bukan kamar dia?” Giselle kebingungan hingga turun dari tempat tidurnya dan mengambil ponselnya. Ia mencoba menghubungi Kiara dan tidak lama kemudian panggilannya pun telah diangkat. “Halo," jawab Kiara dari seberang telepon sana. "Ki. Kamu dimana?” tanya Giselle, tanpa basa-basi. “A
Axel keluar dari mobil mewahnya dan dengan gagahnya masuk dalam sebuah klub malam diikuti oleh asisten pribadinya dari belakang. Ini merupakan hal yang biasa baginya, saat ia sudah mulai jenuh dengan semua kesibukannya sebagai seorang pimpinan perusahaan terbesar di kota tersebut. Dengan menyilangkan kakinya, ia duduk di sofa ruang VIP, sambil menikmati minuman memabukkan dan suara musik DJ yang memecah keheningan klub malam tersebut. Seorang wanita malam telah datang menghampirinya dan mencoba menggodanya. Namun nampaknya Axel kurang nyaman dengan kehadiran wanita tersebut. hingga ia menyuruh asisten pribadinya agar membawanya jauh-jauh dari dirinya. “David, singkirkan wanita ini dariku!” titah Axel yang sedikit sedikit menggeser duduknya. David pun mengangguk. “Baik, Tuan.” David beranjak dari duduknya dan sedikit menarik tangan wanita itu dengan perasaan heran, karena biasanya tuanya itu senang bermain-main dengan wanita malam. Mau tidak mau wanita itupun mengikuti D