Pagi ini, setelah Mas Ifan berangkat ke kantor, aku dan Mbak Riska menjalani rutinitas kami seperti biasa. Menjelang siang aku mulai gelisah. Sama sekali tak bergairah karena mengingat makan siang hari ini, akan ke tempat si modus Yuda. Aku berharap makan siang kali ini batal."Yah, Tik. Mas Ifan nggak bisa pulang makan siang. Ada urusan mendadak katanya," Hah, doaku terkabul, Alhamdulillah ...."Yah ... batal dong Mbak, makan siang di warung Bu, Nunik," aku pura-pura sedih."Padahal Mbak lagi pengen banget, Tik." kata Mbak Riska."Oh, iya. Aku telfon aja si Yuda, biar dia yang antar ayam bakarnya kemari.""Terserah Mbak aja," kataku. Setidaknya kalau dia kemari aku bisa menghindar, biar Mbak Riska yang terima pesanannya."Tik! Mbak keluar sebentar, ya," teriak Mbak Riska dari arah dapur.Terlihat dia sudah berganti pakaian yang lebih tertutup."Iya, Mbak.""Nanti, kalau Yuda datang kamu terima dulu ya, pesanannya. Uangnya di atas kulkas." kata Mbak Riska lagi. Lah, kok aku sih?
"Kok ngelamun sih Yud, habiskan dulu makannya," tiba-tiba Ibu muncul."Iya Bu, ini juga lagi makan, kok." "Makan apanya? Makan angin, ya?" tanya Ibu sambil tersenyum."Ya, makan nasi lah Bu," aku balas tersenyum."Akhir-akhir ini, ibu perhatikan kamu banyak berubah," kata Ibu, lalu duduk di kursi tepat di depanku."Berubah? Berubah gimana sih maksud, Ibu," tanyaku senyum-senyum."Kamu jadi lebih bersemangat, lebih ceria, udah nggak uring-uringan lagi," kata Ibu sambil membelai tanganku."Masa sih, Bu. Hehehe ...," aku cengengesan."Jadi kapan rencananya, kamu balik lagi ke Hongkong, Nak?" Tanya Ibu, seketika raut wajahnya berubah sedih."Mmm entahlah Bu, Yuda belum tau. Mungkin Yuda masih akan berlama lama disini, Bu." "Oyaa, jadi anak Ibu berubah pikiran nih ceritanya," Aku hanya tersenyum."Ibu jadi penasaran, siapa yang bisa buat kamu berubah pikiran secepat ini," "Aah, Ibu. nggak ada siapa-siapa kok, Bu. ini murni keinginan Yuda sendiri," kataku, lalu menunduk malu."Kamu ngg
Akhir-akhir ini Mbak Riska terlihat tak bergairah. Tubuhnya terlihat semakin kurus, meski senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Aku tahu ini tidak mudah. Melihat suami yang dia cintai berbagi waktu, bahkan tempat tidur dengan wanita lain. Meski aku adalah sahabatnya, ini tidak mudah. Begitu juga bagiku. "Gimana kalau nanti malam kita ke warung Bu Nunik Mas? tanya Mbak Riska saat kami sedang sarapan pagi ini."Terserah kamu saja, Ris. yang penting kamu sudah enakan badannya," ucap Mas Ifan."Udah kok, Mas," jawab Mbak Riska."Kenapa harus kesana sih, Mbak? Tempat lain kan banyak," aku mengutarakan pendapatku. "Udaah ikut aja, Ya?" pinta Mas Ifan."Ya, udah, iya."Seharian ini tak banyak yang kami lakukan di rumah. Selesai sarapan kami sudah sibuk dengan aktifitas masing-masing. Mas Ifan sibuk dengan laptopnya, dan Mbak Riska istirahat di kamarnya. Sedangkan aku seperti biasa melototin televisi.Menjelang siang, kami makan siang bareng Kemudian masuk ke kamar masing masing untuk ber
Aku tersenyum kemudian, menyalami Bu Nunik."Tika," ucapku"Panggil aja, Bu Nunik," jawab Bu Nunik ramah.Aku tersenyum puas sambil melirik ke arah Yuda. Tapi tatapan tajamnya membuatku bergidik dan salah tingkah. "Ok Mas Ifan, saya duluan," pamitnya kemudian pada Mas Ifan dengan senyum ramah."Ok Yud, sebentar lagi saya menyusul," kata Mas Ifan."Hhhh...akhirnya," ucapku dalam hati.Ada rasa lega setelah Mas Ifan memperkenalkan aku sebagai istrinya ke Yuda dan Bu Nunik, setidaknya sekarang Yuda tahu kalau aku ini bukan adik Mas Ifan, dan berhenti menggangguku.Setelah selesai makan kami ngobrol beberapa menit. Kemudian pamit pulang karena mas Ifan juga mau buru-buru ke masjid untuk sholat isya."Mas antar sampai sini, ya? Mas mau langsung ke masjid," ucap Mas Ifan ketika kami sudah sampai di depan rumah."Iya, Mas." jawab kami bersamaan.Masjid berada beberapa meter di belakang rumah kami. Karena itu jika hendak ke masjid, Mas Ifan lebih sering berjalan kaki.Aku dan Mbak Riska mas
Akhirnya Mbak Riska memang harus dirawat inap. Hari ini aku bisa pulang lebih awal, karena Mas Ifan pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Aku berniat membersihkan seisi rumah setelah dua hari ini tidak terurus. Karena kami terlalu sibuk mengurus semua kebutuhan Mbak Riska di Rumah Sakit.Ponselku berdering ..."Assalamualaikum, Mas," jawabku."Tik, kamu nggak usah repot masak. Mas udah pesan makanan dari warung Bu Nunik, mungkin sebentar lagi sampai, makanannya udah Mas bayar. Jadi kamu langsung makan dan istirahat, ya," "Tapi, Mas ....""Tut ... Tut ... Tut...," telpon terputus"Uuh Mas Ifan kenapa harus pesan makanan disana sih, aku males kalau sampai si Yuda yang ngantar makanannya."Terakhir ketemu, saat mengetahui statusku sorot matanya yang usil itu mendadak berubah. Aku bisa melihat keterkejutannya akan statusku. Entah benar atau tidak, tapi aku merasa dia mulai membenciku. Tapi ... seharusnya aku senang, karena dia tak akan pernah menggangguku lagi. Tapi entah kenapa, aku
"Astagfirullahal’adzim..." Ternyata wanita yang perlahan tapi pasti telah menghadirkan benih-benih cinta di hatiku adalah wanita yang sudah bersuami. Ada perih di hatiku, seketika aku merasakan sakit hatiku, yang perlahan mulai hilang kini kembali lagi. Perlahan aku bangkit. Kupandangi sekitar, ternyata masjid sudah sepi. Aku segera meninggalkan masjid. Saat melintas di depan rumah Mas Ifan, sejenak aku menoleh ke arah rumahnya. Perih itu lagi ...."Assalamualaikum," ucapku."Wa'alaikumsalam, warohmatullah," Ibu menjawab dan langsung kucium tangannya."Makan dulu Yud. Kamu belum makan, kan?" ucap Ibu."Nggak, Bu. Aku mau langsung tidur," ucapku segera berjalan masuk."Yud," panggil Ibu, yang ternyata ikut masuk ke dalam rumah."Ya, Bu." aku berhenti di depan pintu kamar tanpa menoleh."Kamu suka sama, Tika?" tanya Ibu.Aku tak menjawab."Tika sepertinya gadis baik, Tapi kamu harus melupakannya," jelas Ibu."Tentu saja, Bu! Lagi pula mana ada perempuan baik-baik, yang jadi orang ketig
Mood yang berantakan membuatku jadi lapar lagi. Akhirnya kuputuskan mampir di warung bubur ayam di sebeeang jalan depan Rumah Sakit. "Aah!" teriakkan seseorang meganggu konsentrasi saat sedang menikmati bubur ayam. Seorang wanita yang lagi-lagi tidak asing sedang meringis kesakitan memegangi tangannya yang tersiram bubur oleh pelanggan lain."Oh, maaf Mbak, saya tidak sengaja," "Pelan-pelan dong, Mas." Tika mengomel pada pelangggan itu.Aku terSmsenyum sinis. Meraih tisu dan berjalan mendekatinya"Apa itu, sakit?" kuberikan tisu sambil menatapnya.Tika tak menjawab. "Kau dengar, tapi pura-pura tak mendengar. Sepertinya berpura-pura sudah jadi kebiasaanmu," ucapku lagi."Kamu ngomong apa, sih!" Dia mulai terpancing."Berhenti berpura-pura peduli pada madumu, aku tahu kau pasti senang melihatnya seperti sekarang ini," Aku terkekeh. "Diamlah, Yud. Sudah kubilang kamu nggak tahu apa-apa, jadi berhenti menuduhku! Napasnya mulai tersengal, mungkin ucapanku melukainya. Aku tak peduli."K
Aku sedikit terburu-buru keruangan Mbak Riska. Sudah terlalu lama aku meninggalkannya.Sata sampai di depan pintu, aku mengintip sedikit ke dalam ruangan. Sudah ada Mas Ifan yang sedang menyuapi potongan buah ke mulut Mbak Riska. Aku tersenyum, saat ini aku benar-benar bahagia. Ingin rasanya membagi kebahagiaan ini dengan Mas Ifan. Tapi aku tahu, ini bukan saat yang tepat. Mbak Riska baru saja pulih dari sakitnya, aku takut kehamilan ini akan membuatnya drop lagi. Sama sekali tidak meragukan ketulusannya, bahkan mungkin dia satu-satunya wanita yang sangat tulus, karena mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Tapi sekuat apapun wanita, rasa cemburu selalu mampu melemahkannya. "Tik, kenapa berdiri disitu?." panggil Mbak Riska membuatku gelagapan."Iya, Mbak," Aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya."Tadi, Dokter bilang, besok aku sudah boleh pulang." jelas Mbak Riska."Waah, benarkah Mbak?" tanyaku tak percaya."He'em Tik, benerkan Mas?" Mbak Riska meyakinkanku."Bener Tik, jadi