Share

KEMARAHAN IBU SARTI

Author: Bawah Tanah
last update Last Updated: 2025-10-16 11:51:55

"Mas, jangan bengong aja dong. Apakah kamu lupa terhadapku?" Wanita itu kembali memanggilnya, senyumannya kian menggoda.

"Memangnya siapa kamu? Aku belum mengenal kamu." Ucap Parman sambil melangkahkan kaki mendekat ke arah wanita cantik itu yang tengah berdiri begitu santai di atas batu besar yang ada di tengah kali.

"Ah jangan begitu Mas, kenapa kamu jadi seperti ini, bukankah kamu sudah berjanji ingin menikahiku?"

"Kapan aku berjanji ingin menikahimu? Jangankan berjanji untuk menikahi mengenal namamu pun, belum." Jawab Parman, kembali langkahnya terhenti.

"Ih sayang, kenapa malah diam? Terus dong ke sini aku merindukanmu." Entah ada kekuatan apa, kaki Parman yang sebelumnya berhenti kembali melangkah.

Namun begitu sampai di pinggir kali, tiba-tiba kakinya terpeleset, tubuhnya basah kuyup tercebur ke kali yang dirasakannya, sekaligus terbangun dari mimpinya, ternyata sesungguhnya ia disiram air satu gayung oleh ibunya yang telah kembali dari kali.

"Parman! Kamu ini punya otak atau tidak? Kenapa malah tidur, Mak kan tadi meminta kamu segera mencarikan kayu bakar, kamu ini benar-benar ya, otakmu ditaruh di mana, mau makan atau tidak?!" Teriak wanita paruh baya itu matanya melotot, tangan kanannya yang menggenggam gayung lurus ke mukanya, sedangkan tangan kirinya tolak pinggang.

"Iya maaf Mak, aku ketiduran lagian Mak mengganggu aja, aku lagi senang-senangnya bertemu wanita cantik malah diganggu, ah dasar ibu tidak mengerti keinginanku."

Mendengar jawaban itu tentu saja wanita paruh baya itu semakin mendidih rongga dadanya oleh amarah, wanita itu bukan benci terhadap anak semata wayangnya. Namun yang menjadi kesal dan marahnya itu, kelakuannya tidak mencerminkan seorang pemuda yang telah dewasa.

"Apa? Dasar malas, memangnya perut lapar bisa kenyang oleh mimpimu itu? Cepat pergi carikan kayu bakar kalau belum mendapatkan kayu bakar jangan kembali lagi ke rumah!" Teriaknya sambil menghentakkan kakinya ke lantai papan kayu rumah panggung tersebut.

"Ah Mak ini, kenapa harus mencari kayu bakar segala saat ini udah sore, apa tidak bisa mengambil bambu kering yang digunakan jemuran dulu? Besok aku ganti, kalau sekarang aku ke hutan bisa kemalaman di jalan pulangnya, Mak."

Wanita paruh baya itu sampai menggeleng-gelengkan kepala, saat mendengar apa yang diutarakan Parman.

"Parman-parman, kamu ini benar-benar ya, segala maunya langsung enak aja, mending kalau janjimu itu suka ditepati, tidak pernah."

Kali ini telunjuknya lurus ke muka Pemuda itu. "Sekarang pergi mau kemalaman mau nggak terserah kamu, jika tidak mau kemalaman di jalan yang cepat kerjanya, Mak hanya meminta mencari kayu bakar untuk memasak sore ini, tidak masalah dapat sedikit juga, bukan malah menyuruh merusak. Cepat pergi apa mau disiram lagi?!"

Parman akhirnya bangkit juga meski malas, meski selalu membuat ibunya kesal, ia tak pernah berani menyakiti ibunya selain suka bicara yang membuat wanita paruh baya itu marah, seperti yang barusan dikatakannya, malah menyuruh merusak jemuran pakaian.

"Iya deh saat ini aku pergi, tapi tanggung jawab ya apabila ada apa-apa denganku." Ucapnya sambil berjalan ke arah dapur lalu mau ngambil golok.

Ibunya saat itu hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap dada. "Ya Tuhan, aku mohon segera rubah sikap buruk anakku agar jauh lebih baik kelakuannya, aku bukan benci terhadap anakku, namun aku kasihan terhadap masa depannya."

Wanita paruh baya itu langsung terduduk matanya tidak melepaskan tatapannya, terus menatap punggung Parman yang semakin jauh dan akhirnya hilang di balik rimbunnya pepohonan yang dilewatinya.

"Aku sangat mengkhawatirkanmu Parman, meski kamu memiliki tubuh bagus wajah tampan, tapi namanya berumah tangga tidak cukup dengan ketampanan dan tubuh bagus aja, kalau kamu masih memelihara rasa malasmu, dengan siapapun nanti kamu berumah tangga tidak akan ada ketentraman."

Kembali wanita paruh baya itu mengangkat tangan memohon terhadap Sang pencipta langit dan bumi serta isinya. "Ya Tuhan, hampa tambah mohon segera perbaiki kelakuannya kelakuan buruknya, karena apabila Putra hamba menemukan seorang wanita yang mau dinikahi oleh Parman, kasihan istrinya."

Mau tidak mau air matanya perlahan mengalir dari kedua ujung kelopak mata yang penuh keriput. "Hamba tidak berharap Parman memiliki istri dalam keadaan seperti ini, tentunya istrinya lah yang akan membanting tulang demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, semua itu tidak aku harapkan Tuhan."

Itulah yang terus bergolak dalam batin wanita paruh baya itu. Sedangkan Parman yang tengah berjalan menuju hutan masih dalam keadaan kesal.

"Hah... Kalau yang memarahiku bukan Makku, wah sudah seperti apa keadaannya." Tangannya menggenggam golok, kini sudah dilagar, golok itu dihantamkan ke pepohonan kecil yang ada di depannya, tentu saja pohon yang tidak berdosa itu menjadi korban rasa kesalnya.

"Untung saja Mak, jadinya aku mengalah, tapi benar-benar aneh Mak ini. Kenapa tidak mengerti sama sekali keadaanku, malah menyuruh mencari kayu bakar di waktu yang hampir memasuki magrib? Apa yang dipikirkan Mak sesungguhnya?"

Kepala Parman menggeleng-geleng, betul-betul entah apa yang ada di dalam otaknya, padahal jelas-jelas ibunya menyuruh mencari kayu bakar itu sudah dari siang hari, bahkan pagi-pagi pun sebelum wanita paruh baya itu bekerja di ladang orang sudah meminta. Namun, Parman tidak bergerak sama sekali hanya duduk melamun, dalam lamunannya selalu memikirkan ingin kaya raya dengan cara mudah.

Begitu sampai di kebun tujuan untuk mencari kayu bakar, memang dasar aneh Pemuda itu, Parman bukannya segera mencari kayu dibakar padahal tahu kegelapan malam akan segera tiba, meski di depannya jelas banyak ranting kering dan pastinya, apabila mulai bekerja tidak lama pun akan mendapatkan kayu bakar cukup buat memasak sore itu, namun lagi-lagi Parman malah duduk di batang kayu besar yang roboh.

"Hah... Begini amat nasibku, coba kalau aku dilahirkan dari orang tua yang kaya raya, pastinya saat ini keadaanku tidak akan sengsara." Punggungnya disandarkan ke batang kayu besar yang berdiri kokoh di belakangnya.

Cukup lama melamun, lamunannya semakin dalam membuat hari mulai gelap tapi anehnya, Parman tetap belum mengambil ranting kayu satupun. "Siapa wanita itu ya? Walau aku dan dia selalu berjumpa dalam mimpi, aku merasa seperti nyata."

Keningnya sampai mengernyit. "Soalnya sudah tiga kali datang ke alam mimpiku, kalau benar dia calon istriku, harus kemana aku mencarinya?"

Dasar tumor, si tukang molor, meski waktu sudah betul-betul gelap, tangannya belum bergerak mengambil kayu bakar, kembali lagi matanya terpejam tidur cukup pulas di tempat tersebut.

Tiba-tiba, di depannya muncul sosok wanita berwajah menyeramkan, matanya merah tertawa cekikikan, tentu apabila ada yang mendengar akan ketakutan bagi yang lemah imannya.

"Kik kik kik kik kik kik kik kik kik." Sesudah tertawa cekikikan makhluk itu mendekatinya, lalu duduk di samping Parman.

"Sayang, kita memang berjodoh, tidak lama lagi kita akan hidup bersama, tunggu aku, aku akan datang untuk membahagiakanmu Mas, segala keinginanmu akan tercapai." Itulah yang diutarakan wanita yang berwujud menyeramkan itu.

Namun seketika wujud wanita menyeramkan itu hilang tak berbekas, seolah tertiup angin malam yang mulai dingin, berbarengan dengan bangunnya Parman dari tidur. "Ya ampun... Sudah gelap begini, aduh mana belum pendapatan kayu bakar. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   MEMBUKTIKAN JANJI

    "Ya Mak, ayo aku pun ingin belajar sini berasnya aku cuci Mak, tapi kasih tahu bagaimana cara mencucinya." Ibu Sarti mengangguk langsung menyerahkan beras tersebut ke Parman, kemudian Parman cuci di baskom kecil dengan arahan ibunya. Setelah itu, Parman segera menyalakan api di tungku tak lama beras pun sudah mulai dimasak, malam itu betul-betul Parman belajar tata cara masak dari awal hingga akhir. 5 menit kemudian mereka telah makan bersama walaupun hanya dengan ikan asin dan timun, namun tidak menghilangkan rasa nikmat yang mereka rasakan dan tentu saja, kini dibarengi rasa bahagia yang luar biasa tidak seperti sebelumnya, ibu Sarti selalu dibuat pusing oleh Parman. Keesokan harinya Parman segera membeli kail pancing bersama benangnya, kalau joran ya buat sendiri dari bambu. begitu selesai segera pamitan terhadap ibunya ingin memulai pekerjaan yang ingin dijalaninya setiap harinya sesuai janjinya terhadap ibunya. "Silakan Mak doakan, semoga kamu berhasil walaupun dengan cara

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   TIDAK TEGA

    Parman hanya berdiri sambil menatap beras dalam kantong plastik itu. "Hmm... harus gimana sekarang, apa main cuci aja atau gimana ya?" Akhirnya Parman kembali duduk di bangku bambu yang sudah reot. Belum bergerak apapun selain menatap beras yang masih dipegangnya, benar-benar saking malasnya bekerja, tidak tahu cara memasak beras. yang dia tahu hanyalah cara makannya saja seperti biasa, membuatnya saat itu hanya terdiam penuh kebingungan sambil merasakan perut semakin perih. "Parman, kamu dari tadi ngapain aja malah bengong begitu, kenapa beras dipegang tanpa dicuci lalu dimasak, kamu ini punya otak atau tidak?" Pada akhirnya, Ibu Sarti setelah dari tadi hanya diam di kamar keluar juga, nampaknya kasihan terhadap Parman meski bagaimanapun tetap saja, naluri seorang ibu lebih kuat dari apapun. "Ya mau bagaimana aku tidak diam aja Mak, kan bingung cara masaknya gimana, masa harus dicuci lalu ditaruh di panci gitu aja Mak?" Mendengar jawaban itu Ibu Sarti sampai menggeleng-gel

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   BINGUNG CARA MASAK

    "Hah... Diam aja di sini tidak mungkin, sekarang kalau pulang tidak membawa apa-apa Mak pasti marah, selain itu perut sudah mulai keroncongan, harus makan apa jika tetap diam di sini? sudah masak belum ya Mak?" Parman memegangi perutnya yang terasa sudah meminta diisi. "Huh terpaksa kayaknya walaupun sedikit aku harus mendapatkan kayu bakar." Parman saat itu mengeluarkan korek api dari dalam saku celana, ia nyalakan berusaha mencari daun dan ranting kering, mau membuat api unggun kecil agar bisa menerangi tempat tersebut, supaya bisa mencari kayu bakar untuk ia bawa pulang. "Untung aja di depanku banyak ranting kering kayaknya cukup nih buat masak malam ini." Gumamnya sambil mengeluarkan golok dari sarungnya, kemudian mulai mengambil satu persatu ranting kayu yang sudah pada kering itu. Entah apa yang dipikirkan Parman saat ini, dalam kondisi sudah malam begini tentunya seperti apa kondisi ibunya di rumah, setelah menanti kepulangannya dari sore hingga malam tiba belum kunju

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   KEMARAHAN IBU SARTI

    "Mas, jangan bengong aja dong. Apakah kamu lupa terhadapku?" Wanita itu kembali memanggilnya, senyumannya kian menggoda. "Memangnya siapa kamu? Aku belum mengenal kamu." Ucap Parman sambil melangkahkan kaki mendekat ke arah wanita cantik itu yang tengah berdiri begitu santai di atas batu besar yang ada di tengah kali. "Ah jangan begitu Mas, kenapa kamu jadi seperti ini, bukankah kamu sudah berjanji ingin menikahiku?" "Kapan aku berjanji ingin menikahimu? Jangankan berjanji untuk menikahi mengenal namamu pun, belum." Jawab Parman, kembali langkahnya terhenti. "Ih sayang, kenapa malah diam? Terus dong ke sini aku merindukanmu." Entah ada kekuatan apa, kaki Parman yang sebelumnya berhenti kembali melangkah. Namun begitu sampai di pinggir kali, tiba-tiba kakinya terpeleset, tubuhnya basah kuyup tercebur ke kali yang dirasakannya, sekaligus terbangun dari mimpinya, ternyata sesungguhnya ia disiram air satu gayung oleh ibunya yang telah kembali dari kali. "Parman!

  • TERNYATA ISTRI PEMBAWA HOKI ITU (TIREN)   SANG PEMALAS INGIN KAYA

    "Parman, kamu lagi apa?" Tanya seorang ibu yang lagi berdiri sambil menggendong bakul nasi yang terisi piring dan cangkir kotor, ibu tersebut nampaknya ingin mencucinya di kali, tempat masyarakat kampung itu mandi, mencuci pakaian, piring dan lain-lain. "Seperti biasa, Mak, aku lagi terbang ke bulan terus aku petik bulan itu, nanti di sini kita jual kan bisa kaya kali kita, Mak." Jawab Pemuda yang bernama Parman, anak ibu paruh baya tersebut. "Ya ampun. Parman-Parman... Kamu ini bicara apa? lagi mimpi apa sudah sedeng kamu Parman. Sudah! Daripada kamu melamun yang gak jelas begitu tolong cariin kayu bakar, Mak mau masak sudah tidak ada kayu bakar di rumah." Ujar ibu tersebut sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah mendengar ucapan anaknya, semakin lama khayalan anaknya semakin tidak jelas. Bahkan terkadang ibunya, yang bernama Sarti selalu mengelus-ngelus dada. Setelah mendengar dan melihat kelakuan anaknya seperti saat itu. Parman. Selalu berpikir ingin kaya-raya, tetapi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status