LOGIN"Hah... Diam aja di sini tidak mungkin, sekarang kalau pulang tidak membawa apa-apa Mak pasti marah, selain itu perut sudah mulai keroncongan, harus makan apa jika tetap diam di sini? sudah masak belum ya Mak?"
Parman memegangi perutnya yang terasa sudah meminta diisi. "Huh terpaksa kayaknya walaupun sedikit aku harus mendapatkan kayu bakar." Parman saat itu mengeluarkan korek api dari dalam saku celana, ia nyalakan berusaha mencari daun dan ranting kering, mau membuat api unggun kecil agar bisa menerangi tempat tersebut, supaya bisa mencari kayu bakar untuk ia bawa pulang. "Untung aja di depanku banyak ranting kering kayaknya cukup nih buat masak malam ini." Gumamnya sambil mengeluarkan golok dari sarungnya, kemudian mulai mengambil satu persatu ranting kayu yang sudah pada kering itu. Entah apa yang dipikirkan Parman saat ini, dalam kondisi sudah malam begini tentunya seperti apa kondisi ibunya di rumah, setelah menanti kepulangannya dari sore hingga malam tiba belum kunjung tiba. Namun nampaknya Parman tidak memikirkan masalah itu, ia terus mengumpulkan ranting kayu, akhirnya terkumpul sebesar pinggang anak balita, segera ia ikat dengan tali seadanya. "Akhirnya dapat juga, lebih baik aku pulang sudah malam, perut sudah tidak tahan harus segera diisi." Sesudah memadamkan api unggun yang masih menyala, dan kini obor di tangannya sudah ia nyalakan, segera melangkahkan kaki, perlahan keluar dari kebun tersebut. Setengah jam kemudian ia telah sampai ke depan rumah rumah panggungnya, segera masuk lewat pintu dapur yang sudah memperhatikan kondisinya, sebab jangankan untuk membetulkan rumah yang sudah lapuk begitu, untuk makan sehari-hari pun kalau ibu Sarti tidak mencari banting tulang sehari-hari, tentu entah bisa makan atau tidak, karena Parman kesehariannya hanya makan dan tidur. Begitu kayu bakar itu ditaruh dekat tungku yang dingin. Parman sangat terkejut ketika matanya melihat ibunya sudah berdiri sambil tolak pinggang di dekatnya, sedang melotot tajam padanya, nampaknya wanita tua itu betul-betul sangat kesal. "Kamu ngapain aja di kebun Parman, mengapa jam segini baru pulang? Otakmu ditaruh di mana, Mak menunggu dari sore tidak muncul juga, ngapain aja jam segini baru pulang, jangan-jangan di kebun malah tidur ya?" Parman saat itu bukannya menjawab pertanyaan ibunya malah duduk, matanya mencari makanan sambil memegangi perut yang sudah keroncongan. "Kamu mendengar ucapan Mak tidak? Matamu jangan malah celangak celunguk ke sana kemari mencari apa kamu Parman?!" Wanita paruh baya itu semakin marah. "Ya tentunya mencari apa lagi kalau bukan makanan Mak, perutku sudah lapar meminta diisi, mana nasi atau makanan apa kek, yang penting bisa mengganjal perut yang sakit ini Mak." Ibu Sarti saat itu sampai menggeleng-gelengkan kepala, betul-betul sangat geram. "Oh jadi kamu mau makan, ternyata kamu bisa merasa lapar juga ya, Mak kira perutmu tidak perlu diisi makanan cukup tidur saja." "Ya tentunya, namanya manusia mana ada yang tidak akan merasa tidak lapar Mak. Mak ini ada-ada saja, sudah ah jangan bercanda, mana nasi atau ubi kek, yang penting bisa menghilangkan perutku yang sakit Mak." Tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, entah masa bodoh atau pura-pura tidak mengerti kondisi rumah yang masih dingin tidak ada tanda-tanda tungku habisnya menyala, sebab ibunya mau masak bagaimana sedangkan kayu bakarnya baru sampai. "Siapa yang bercanda Parman?! Kali ini nada suara wanita paruh baya itu semakin tinggi saking kesalnya. "Kamu benar-benar lapar ingin makan?" "Ya tentunya Mak, kalau tidak lapar untuk apa saat ini aku meminta makanan?" "Tuh makan arang atau kayu bakar yang baru saja kamu bawa, kamu ini otaknya ditaruh di mana Parman? Sudah bangkotan begini masih seperti anak-anak, mau bagaimana menyalakan tungku jika kayunya tidak ada, pakai pikiranmu itu," wanita paruh baya itu kian kesal. "Bukankah kamunya juga baru pulang dari kebun membawa kayu bakar yang tidak seberapa itu?" Parman tidak menjawab apapun selain diam, kalau ibunya sudah semarah itu, Parman tak pernah berani menyela apapun selain diam, walau diam nya itu seperti biasa, tak pernah memasukan apapun yang dinasehatkan ibunya ke dalam otak, entah benar-benar tidak mengerti atau saking malasnya, sehingga apapun yang nasehatkan wanita tua itu belum ada satupun yang mampu merubah kelakuannya. "Sekarang kalau kamu lapar silakan masak sendiri. Mak mau tidur sudah malam, tuh di pojok ada beras setengah liter kamu masak sendiri, mulai hari ini dan seterusnya Mak sudah tidak sanggup memberi makan kamu lagi, cari sendiri kalau lapar, jangan hanya makan tidur mulu sehari-harinya, Parman." Wanita paruh baya itu langsung membalikkan badannya masuk ke dalam kamarnya, seperti nyata sudah sangat marah terhadap Parman yang sulit diatur olehnya. "Aduh Mak, mengapa tega banget terhadapku, bagaimana caranya masak, aku kan belum pernah masak Mak?" "Itu urusanmu Parman, Mak kan sudah mengatakan, mulai hari ini dan seterusnya, kamu harus mengisi perutmu sendiri dengan cara apapun terserah itu urusanmu, kalau kamu setiap hari maunya tinggal makan tanpa harus mencari mengeluarkan keringat, Mak kasihan terhadap mu Parman." "Kasihan kenapa memangnya denganku Mak?" Tanyanya betul-betul Parman belum memahami apapun yang diutarakan ibunya. Di dalam kamar, wanita tua itu kembali menggeleng-gelengkan kepala sambil mengurut dada, berusaha meredam emosi yang bergolak memenuhi rongga dadanya, ia sadar mau bagaimanapun keadaannya. Parman anaknya sendiri selain itu, ia punya anak hanya satu-satunya, tempat menggantungkan harapan jauh lebih baik di masa depan, walaupun saat ini kelakuannya masih sangat jauh dari harapan yang diinginkannya. "Mengapa malah diam, apa sudah tidur jangan-jangan perut Mak sudah penuh oleh makanan ya? Ah Mak ini tega banget. Kenapa tidak menyisakan sedikit buatku, bukan malah menyuruh aku memasak sendiri." "Mak juga belum makan apapun Parman, kamu ini otaknya ditaruh di mana, berasnya kan masih ada, memangnya kita selalu punya beras banyak? Kalau sudah dimasak beras setengah liter itu sudah tidak akan ada lagi di pojokan. Lagipula, kapan kalau Mak punya makanan di makan sendiri tidak menyisakannya untukmu?" "Iya sih, Mak tak pernah tidak menyisakan makanan untukku, lagian Mak bicaranya begitu, kenapa sudah tidak mau memberi makan aku lagi, atau jangan-jangan Mak sudah tidak menganggap aku anak lagi?" "Bukan begitu Parman, dengarkan baik-baik dan ingat serta simpan dalam otakmu. Mak sudah tua entah berapa lama lagi hidup di alam dunia, kalau saat ini kamu tidak mulai mandiri sendiri, tentunya sampai kapanpun kamu tidak akan berpikir dewasa." Dahi Parman sampai mengernyit sepertinya tengah berpikir. "Soalnya, kamu ini hanya tubuh saja yang sudah dewasa tapi kelakuan kamu masih seperti anak yang baru gede. Makanya harus mulai berpikir dewasa jangan tergantung terhadap orang terus, walaupun terhadap Mak tidak boleh, sekali lagi ingat Mak sudah tua, kalau tiba-tiba meninggal kamu bisa apa Parman bila tidak dari sekarang mulai mandiri?" "Iya mengerti, tapi aku lapar Mak, harus bagaimana ini?" Mendengar apa yang diutarakan Parman, wanita tua itu kembali menghela nafas panjang. "Kamu ini benar-benar ya, baru aja di nasehati tidak ada yang masuk sedikitpun, kalau begitu terserah kamu, mau masak atau nggak bodo amat kalau kamu tak mau makan, yang penting jangan mengganggu, Mak ingin tidur besok kerja." Parman terdiam tak bicara lagi, sesudah berulang kali memanggil ibunya, namun tak terdengar bersuara menjawab panggilannya. Mungkin saking laparnya, ia berjalan ke arah beras di plastik yang ada di pojokan. "Harus diapain dulu beras ini sebelum dimasak?""Ya Mak, ayo aku pun ingin belajar sini berasnya aku cuci Mak, tapi kasih tahu bagaimana cara mencucinya." Ibu Sarti mengangguk langsung menyerahkan beras tersebut ke Parman, kemudian Parman cuci di baskom kecil dengan arahan ibunya. Setelah itu, Parman segera menyalakan api di tungku tak lama beras pun sudah mulai dimasak, malam itu betul-betul Parman belajar tata cara masak dari awal hingga akhir. 5 menit kemudian mereka telah makan bersama walaupun hanya dengan ikan asin dan timun, namun tidak menghilangkan rasa nikmat yang mereka rasakan dan tentu saja, kini dibarengi rasa bahagia yang luar biasa tidak seperti sebelumnya, ibu Sarti selalu dibuat pusing oleh Parman. Keesokan harinya Parman segera membeli kail pancing bersama benangnya, kalau joran ya buat sendiri dari bambu. begitu selesai segera pamitan terhadap ibunya ingin memulai pekerjaan yang ingin dijalaninya setiap harinya sesuai janjinya terhadap ibunya. "Silakan Mak doakan, semoga kamu berhasil walaupun dengan cara
Parman hanya berdiri sambil menatap beras dalam kantong plastik itu. "Hmm... harus gimana sekarang, apa main cuci aja atau gimana ya?" Akhirnya Parman kembali duduk di bangku bambu yang sudah reot. Belum bergerak apapun selain menatap beras yang masih dipegangnya, benar-benar saking malasnya bekerja, tidak tahu cara memasak beras. yang dia tahu hanyalah cara makannya saja seperti biasa, membuatnya saat itu hanya terdiam penuh kebingungan sambil merasakan perut semakin perih. "Parman, kamu dari tadi ngapain aja malah bengong begitu, kenapa beras dipegang tanpa dicuci lalu dimasak, kamu ini punya otak atau tidak?" Pada akhirnya, Ibu Sarti setelah dari tadi hanya diam di kamar keluar juga, nampaknya kasihan terhadap Parman meski bagaimanapun tetap saja, naluri seorang ibu lebih kuat dari apapun. "Ya mau bagaimana aku tidak diam aja Mak, kan bingung cara masaknya gimana, masa harus dicuci lalu ditaruh di panci gitu aja Mak?" Mendengar jawaban itu Ibu Sarti sampai menggeleng-gel
"Hah... Diam aja di sini tidak mungkin, sekarang kalau pulang tidak membawa apa-apa Mak pasti marah, selain itu perut sudah mulai keroncongan, harus makan apa jika tetap diam di sini? sudah masak belum ya Mak?" Parman memegangi perutnya yang terasa sudah meminta diisi. "Huh terpaksa kayaknya walaupun sedikit aku harus mendapatkan kayu bakar." Parman saat itu mengeluarkan korek api dari dalam saku celana, ia nyalakan berusaha mencari daun dan ranting kering, mau membuat api unggun kecil agar bisa menerangi tempat tersebut, supaya bisa mencari kayu bakar untuk ia bawa pulang. "Untung aja di depanku banyak ranting kering kayaknya cukup nih buat masak malam ini." Gumamnya sambil mengeluarkan golok dari sarungnya, kemudian mulai mengambil satu persatu ranting kayu yang sudah pada kering itu. Entah apa yang dipikirkan Parman saat ini, dalam kondisi sudah malam begini tentunya seperti apa kondisi ibunya di rumah, setelah menanti kepulangannya dari sore hingga malam tiba belum kunju
"Mas, jangan bengong aja dong. Apakah kamu lupa terhadapku?" Wanita itu kembali memanggilnya, senyumannya kian menggoda. "Memangnya siapa kamu? Aku belum mengenal kamu." Ucap Parman sambil melangkahkan kaki mendekat ke arah wanita cantik itu yang tengah berdiri begitu santai di atas batu besar yang ada di tengah kali. "Ah jangan begitu Mas, kenapa kamu jadi seperti ini, bukankah kamu sudah berjanji ingin menikahiku?" "Kapan aku berjanji ingin menikahimu? Jangankan berjanji untuk menikahi mengenal namamu pun, belum." Jawab Parman, kembali langkahnya terhenti. "Ih sayang, kenapa malah diam? Terus dong ke sini aku merindukanmu." Entah ada kekuatan apa, kaki Parman yang sebelumnya berhenti kembali melangkah. Namun begitu sampai di pinggir kali, tiba-tiba kakinya terpeleset, tubuhnya basah kuyup tercebur ke kali yang dirasakannya, sekaligus terbangun dari mimpinya, ternyata sesungguhnya ia disiram air satu gayung oleh ibunya yang telah kembali dari kali. "Parman!
"Parman, kamu lagi apa?" Tanya seorang ibu yang lagi berdiri sambil menggendong bakul nasi yang terisi piring dan cangkir kotor, ibu tersebut nampaknya ingin mencucinya di kali, tempat masyarakat kampung itu mandi, mencuci pakaian, piring dan lain-lain. "Seperti biasa, Mak, aku lagi terbang ke bulan terus aku petik bulan itu, nanti di sini kita jual kan bisa kaya kali kita, Mak." Jawab Pemuda yang bernama Parman, anak ibu paruh baya tersebut. "Ya ampun. Parman-Parman... Kamu ini bicara apa? lagi mimpi apa sudah sedeng kamu Parman. Sudah! Daripada kamu melamun yang gak jelas begitu tolong cariin kayu bakar, Mak mau masak sudah tidak ada kayu bakar di rumah." Ujar ibu tersebut sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah mendengar ucapan anaknya, semakin lama khayalan anaknya semakin tidak jelas. Bahkan terkadang ibunya, yang bernama Sarti selalu mengelus-ngelus dada. Setelah mendengar dan melihat kelakuan anaknya seperti saat itu. Parman. Selalu berpikir ingin kaya-raya, tetapi







