[Kamu nggak diajak kondangan suamimu? Kasihan sekali. Pasti nggak dianggap sebagai istri dan menantu kan? Kamu harus tahu, kalau Azka sebenarnya belum move on dengan istri pertamanya. Dia sangat mencintai Viona. Azka pasti nggak bahagia hidup bersamamu]
Aku mengabaikan pesan itu. Endah dapat nomorku darimana juga aku tak tahu. Tiba-tiba saja pesan itu muncul di aplikasi hijauku dengan beberapa foto yang baru kuunduh. Aku masih menggulir foto-foto itu dan memperbesar fotonya untuk melihat lebih jelas bagaimana sosok Viona sebenarnya.Cantik, menarik dan seksi.Itulah yang kutangkap dari paras, senyum dan tubuhnya saat berdiri di samping Mas Azka. Viona memang sesempurna itu. Pantas jika Mas Azka tak bisa move on. Jika dibandingkan denganku jelas kalah jauh.Wajahku kusam dan berjerawat, tubuh cukup berisi dan selalu memakai pakaian longgar bahkan berhijab lebar. Tak tampak keseksianku di mata lelaki. Sangat berbeda jauh dengan Viona yang menampilkan kulit mulus dan kaki jenjangnya.Dress berwarna peach selutut itu cukup memperlihatkan lekuk tubuhnya yang memang enak dipandang. Aku semakin insecure dibuatnya.[Lihatlah mereka. Sangat serasi bukan? Kamu pasti cemburu jika melihat mereka secara langsung. Tawa Azka sangat lepas saat bersama Viona. Wajahnya yang tadi kusut mendadak ceria saat bertemu dengannya. Kamu benar-benar kalah telak!]Lagi-lagi pesan itu muncul di layar membuatku menghela napas panjang. Kupikir kening yang mulai terasa berat dan pusing. Aku kembali merebahkan diri di ranjang.Tak ingin fokus dengan hal-hal menyesakkan dada yang dikirimkan orang itu, aku memilih berjelajah ke aplikasi biruku untuk mempromosikan dagangan Mbak Santi.Tak hanya di sana, aku juga promosi di status w******p, tapi sengaja kusembunyikan dari Mas Azka dan keluarganya. Sengaja diam-diam agar mereka tak tahu jika nanti aku sudah berpenghasilan. Biar saja mereka kaget jika nanti aku bisa membeli ini itu dengan uangku sendiri.[Kenapa nggak dibalas? Malu? Atau kamu merasa minder karena tak bisa mengimbangi suamimu?]Tak ingin memperburuk mood, kublokir saja nomernya. Aku malas ribut dan ribet. Masalahku di sini sudah cukup banyak. Aku nggak mau memeprkeruh suasana dan memperparah sakit hatiku.Aku akan bertahan dan mencoba menyadarkan Mas Azka. Jika nanti cintanya tak bisa kugenggam, aku akan mundur dengan tenang tanpa penyesalan. Setidaknya sudah berjuang untuk mencoba mempertahankan.Adzan ashar berkumandang. Gegas kutunaikan shalat wajib empat rakaat lalu duduk di teras belakang. Mama bilang mereka nggak akan menginap karena besok Mas Azka dan Mas Doni juga kerja. Kalau menginap tentu akan membuat mereka kesulitan dan telat sampai kantor.Jadi, sebelum rumah kembali berisik dan perintah ini itu terdengar, aku ingin mengistirahatkan pikiran sejenak.Aku sengaja mencari kesibukan lain untuk merefresh otak dengan membaca cerita-cerita fiksi di grup menulis. Sesekali membaca postingan teman dunia maya dan membubuhkan komentar di sana.Status-status mereka sering membuatku tersenyum dan tertawa. Ada banyak cerita yang mereka tulis mulai dari kisah sedih, senang, galau dan pahit.Mereka seolah begitu leluasa menuliskan kisah hidupnya, berbeda denganku yang akan kupendam sendiri kisah ini. Aku tak ingin menyebarkannya pada orang lain apalagi sosial media. Aku malu.Walau bagaimanapun harus bisa menjaga aib suami dan keluarganya. Aku juga tak ingin melihat ibu semakin merasa bersalah dan berduka jika tahu keadaanku di sini tak baik-baik saja.[Maaf, Mbak Ratna. Bukannya ini suami Mbak Ratna ya? Kok dekat banget sama perempuan lain?]Pesan di messenger membuatku kembali menghela napas panjang. Fina mengirimkan beberapa foto dan video Mas Azka dan mantan istrinya di sana. Mereka memang tampak akrab dan kompak. Bohong jika aku tak cemburu melihat kebersamaan mereka.Sebagai suami, Mas Azka belum pernah memperlakukanku semanis itu. Namun, lagi-lagi aku tak perlu menambah rasa sakit hatiku dengan video seperti itu. Aku harus bisa membahagiakan batinku sendiri.[Tadi aku ikut suami ke acara pernikahan temannya. Nggak sengaja bertemu suami Mbak Ratna dan keluarganya. Aku pikir Mbak Ratna ikut. Mau foto sekalian buat ditunjukin ke Mbah Rum. Ternyata Mbak Ratna nggak ikut ya? Apa Mbak Ratna sakit?]Pesan Fina kembali muncul. Dia adalah adik kelasku saat sekolah dasar dulu. Namun, Fina menikah lebih dulu karena dia tak melanjutkan ke jenjang menengah atas. Setelah lulus menengah pertama, dia bekerja dua tahun lalu menikah dengan teman kerjanya di rumah makan.Aku sering melihat Fina dan keluarga kecilnya duduk santai di teras rumah saat weekend. Sesekali terdengar canda tawa mereka karena rumahnya memang persis di depan rumah ibu. Hanya dipisahkan oleh jalan kampung saja yang memanjang.Aku juga sering melihat Fina membeli sayuran di depan rumah saat tukang sayur datang. Rumah tangganya tampak begitu bahagia meski hidup sederhana. Kehidupan yang sempat kuimpikan sebelum menikah dulu.Sederhana, tapi penuh cinta. Sayangnya semua mimpiku sirna karena aku dinikahi bukan karena cinta, tapi karena mereka ingin memanfaatkan kelemahanku saja.Sakit? Jelas! Namun, apa mau dikata. Aku nggak ingin membuat ibu terluka apalagi semakin direndahkan jika memilih pergi sekarang. Jika aku sudah bisa mengembalikan uang lima puluh juta itu, mungkin mereka lebih menghargai hadirku. Aku pun bisa lebih bebas untuk memilih pergi atau bertahan.Tak ingin membuat Fina menduga-duga apalagi jika disampaikan pada ibu, aku memilih menceritakan hal yang baik-baik saja padanya. Setidaknya jika nanti dia bertemu ibu, dia akan cerita sesuatu yang membuatnya bahagia bukan sebaliknya.[Maaf ya, Fin. Itu memang Mas Azka dengan mantan istrinya. Nggak apa-apa kalau masih menjalin silaturahmi dengan mantan kan? Apalagi jika mantannya memang masih ada hubungan kerabat. Tentu akan sering bertemu jika ada acara tertentu. Wajar saja kok, asal nggak kebablasan. Tolong jangan sampaikan foto dan video ini pada ibuku ya? Aku nggak ingin membuat ibu menduga-duga. Takut kalau ibuku stres dan kambuh hipertensinya. Aku memang sengaja nggak ikut ke hajatan karena nggak enak badan. Ohya, aku mau istirahat dulu. Terima kasih ya, Fin. Sehat selalu]Aku buru-buru mengirimkan balasan. Semoga saja Fina nggak bicara macam-macam pada ibu. Aku hanya ingin melihat ibu bahagia di hari tuanya, bukan sebaliknya.[Oke, Mbak. Aku nggak akan bilang ke Mbah Rum kok. Semoga Mbak Ratna baik-baik saja ya! Bahagia selalu]Balasan terakhir dari Fina membuatku lega. Aku percaya jika dia bisa dipercaya dan nggak mungkin bicara macam-macam pada ibu, apalagi mengenai foto-foto itu.Seperti rencana semula, setelah urusan kerjaan rumah usai aku sibuk membuat beberapa akun media sosial. Di aplikasi biru ada dua akun, di aplikasi berwarna merah orens pun ada. Aku ingin memanfaatkan media yang bisa kugunakan untuk mempromosikan dagangan Mbak Santi.Aku kembali bersemangat. Yakin jika janji Allah itu nyata. Baru selesai membuat akun baru, kuterima pesan dari Mas Azka. Dia bilang ingin menginap di sana, padahal tadi mereka bilang akan pulang karena besok harus bekerja. Apa yang sebenarnya terjadi?***"Assalamu'alaikum, Bu Ratna. Maaf ini Aisyah." Aisyah? Siapa? Aku masih mengingat-ingat namanya. "Saya Aisyah, karyawan Bu Ratna di RANS." "Oh iya, Syah. Ada apa?" tanyaku cepat. Sepertinya ada kabar penting yang akan dia katakan. "Pak Erdi manager kita, Bu. Beliau kecelakaan beberapa jam yang lalu," ucapnya terbata sembari menahan tangis. "Innalillahi wainna illaihi roji'un.""Beliau meninggal, Bu. Sedangkan istrinya masih hamil anak kedua." Air mataku meleleh begitu saja. Aku bisa membayangkan betapa sedih istrinya Pak Erdi. Dia pasti bingung bagaimana cara mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya nanti setelah kepergian suaminya. "Kenapa, Na?" tanya Mas Latif yang terlihat begitu khawatir saat melihatku terisak. "Ada kabar duka, Mas," balasku pendek. "Pak, kita langsung ke rumah ya? Saya mau jemput ibu. Kita takziah ke rumah Pak Erdi, manajer di RANS."Mas Latif terlihat sedikit kebingungan. Mungkin tak paham apa yang kumaksudkan. Aku pun tak akan menjelaskan apa-apa
"Ratna, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Mas Latif saat aku dan dia pindah ke warung bakso seberang jalan untuk makan siang. Hatiku masih berdebar-debar setelah membuat Mas Azka dan Viona merah padam di acara reuni barusan. Mereka terlihat begitu kaget dan tak menyangka aku bisa melakukan itu di depan banyak orang.Kuatur napas agar bisa tenang kembali, meski rasanya masih dag dig dug tak karuan. Kulirik Mas Latif yang masih menatapku tajam. Sepertinya dia begitu menghawatirkanku. Dia masih menatapku tak berkedip beberapa saat lamanya."Doooorrrrrr!" Mas Latif sedikit terlonjak. Bukannya marah dia justru pasang wajah kocak yang membuatku tak mampu menahan tawa. Kututup mulut agar tawaku tak begitu didengar oranglain. "Lagi serius malah becanda. Bisa ngelawak juga kamu, Na," ucap Mas Latif pelan sembari tersenyum. Senyum yang manis! Ucapannya barusan membuatku sedikit tersedak. Dia buru-buru memberikan es jeruknya untukku. Manis sekali, seperti di film-film. "Nah kan. Kualat udah n
"Jangan pulang malam ya, Mas." Pesan ibu pada Mas Latif saat aku mulai masuk ke dalam mobil. Pak Odi dan Mas Latif duduk di jok depan sedangkan aku di belakang. [Cieee yang mau reunian sama Latif] Kubuka pesan dari Yesha. Mulutku membulat seketika membaca deretan kata yang dikirimnya. Jadi, dia tahu kalau aku ikut reuni Mas Latif? Jangan-jangan dia yang sengaja kasih saran Mas Latif untuk mengajakku ke acara itu? Dasar Ayesha![Mau nolak nggak enak sama adik iparmu, Sha. Dia kan udah bantuin aku duluan]Gegas kubalas pesan Ayesha, daripada nanti kena terornya.[Adik iparku baik kok, Na. Bukan promo loh yaaa. Tapi, dia emang bukan tipe yang suka ngobral-ngobral cinta. 11-12 lah sama kakaknya. Tipe setia] Aku mendengkus. [Kan ... kan ... promo]Aku yakin Yesha makin ngelantur kemana-mana nanti kalau kubalas terus. Sudahlah nggak usah kutanggepin lagi. Kumatikan ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Mas Latif masih asyik ngobrol soal bola dengan Pak Odi. Tak berselang la
Kubuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar yang putih. Suara ketukan ibu sudah tak terdengar lagi. Aku sengaja bangun agak telat pagi ini karena semalaman belajar membuat aplikasi yang sedikit membuatku pusing. Lagipula hari ini aku tak ada kewajiban untuk salat subuh. Lagi datang bulan jadi tak apalah sesekali bangun telat. Kulihat jam dinding hampir menunjuk angka enam. Segera kubereskan selimut, membuka jendela dan menghirup udara pagi yang masih cukup segar. Aku duduk di samping jendela, menikmati pagi sambil mengingat permintaan Mas Latif kemarin. Masih nggak habis pikir, kenapa dia mengajakku untuk menemaninya ke acara itu? Aku yang bahkan baru beberapa minggu dikenalnya. Ponsel di atas nakas bergetar, pertanda ada pesan yang masuk. Kuusap layar pelan. Pesan dari Mas Latif. Aku membacanya dari notifikasi di layar. [Mbak, reuninya bakda dzuhur di Sendang Ayu Resto. Nanti saya jemput ya?]Aku kembali terdiam. Teringat pesan ibu semalam soal masa iddah. Tak elok rasanya k
Beberapa hari ini, aku cukup sibuk belajar membuat aplikasi android dengan Yesha. Cukup sulit memang, tapi aku nggak akan menyerah begitu saja. Sambil rebahan di atas sofa, kubuka akun baru dari aplikasi merah itu. Ada komen Lita di sana. Menanyakan bagaimana caranya menjadi reseller sepatu-sepatuku. Dia juga ikut mengomentari foto di akun pribadiku. Dan yang membuatku kaget, ada komen Mas Azka di sana. [Cantik] Hanya satu kata yang dia tulis. Mungkinkah dia benar-benar nggak tahu kalau itu aku? Apa karena aku terbiasa dengan daster lusuh, sedangkan di foto itu aku memakai kaca mata hitam dan gamis branded hingga membuatnya tak lagi mengenaliku? Aku yang pernah menjadi istrinya dan selalu menjadi bahan caciannya? [Cantik rumahnya atau cantik orangnya, nih?] Sengaja kububuhkan emoticon smile di akhir kalimat. Aku ingin tahu apakah dia terjebak dengan permainan ini. Lelaki sepertinya memang pantas mendapatkan balasan supaya bisa menghargai perempuan. Aku juga ingin dia sadar dan
Ayesha menyambut di depan pintu saat aku sampai di halaman rumahnya. Sepertinya mereka hanya menungguku saja karena aku datang paling akhir. Mas Latif pun sudah datang. Dia menatapku beberapa saat lalu tersenyum tipis. Mungkin shock melihatku yang berpenampilan ala kadarnya ini. Entah. "Hei, si paling natural. Tetap cantik kok." Ayesha memuji sembari mengedipkan sebelah matanya. Ayesha melirikku sambil tersenyum. Kami berpelukan beberapa saat. "Ratna yang dulu memang cantik, tapi yang sekarang lebih segar dan bersinar. Perawatan di mana?" bisik Ayesha dengan senyum jahilnya. "Dasar rese! Nggak usah ngeledek!" seruku cepat. "Siapa yang ngeledek? Serius ini." Ayesha kembali meyakinkan. Aku hanya menggeleng pelan. Beberapa minggu ini aku memang fokus perawatan badan dan wajah. Sakit hati rasanya dibilang jelek dan kucel, bukan hanya oleh suami tapi mertua dan adik ipar sendiri. Mereka pikir, aku tak bisa tampil cantik? Semua orang bisa asalkan ada dananya. Dulu, boro-boro perawata