Share

Bab 2 PIndah

Penulis: Mini Yuet
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-29 15:58:03

Mendapat pukulan dari Mas Dani, aku langsung keluar dari dalam bilik. Bagaimanapun aku harus menyembunyikan kesedihan ini di depan Emak. Dia tidak boleh tahu kalau aku dan Mas Dani sedang bertengkar gara-gara uang sisa penjualan rumah.

Semua bajuku dan anak-anak sudah masuk ke dalam tas besar. Tinggal membereskan perabotan dapur yang kupunya. Aku melihat Emak juga bersedih di dapur. Sepintas aku melihat mata tuanya berembun. Mungkin Emak juga bersedih karena aku harus meninggalkan kampung dan ikut dengan suami.

Aku ikut membantu emak masak dan mempersiapkan makan untuk Arsyad dan Mas Dani kalau bangun nanti. Hanya menu sederhana yaitu sayur bayam dan tempe. Tidak ada yang istimewa untuk makan sore.

Mas Dani keluar bilik dengan muka yang sangat kusut.

"Dek, aku lapar," ujar Mas Dani langsung duduk di kursi meja makan.

"Iya ini sudah aku persiapkan," jawabku dengan cepat mengambilkan piring dan menyendokkan nasi untuknya.

"Gimana kamu sudah siap, Dek?" tanya Mas Dani.

"Iya, Mas. Aku sudah memasukkan semua barangku di tas besar," jawabku.

"Ya sudah kalau gitu. Nanti malam ada mobil pick up yang akan datang untuk menjemput kamu dan semua barang kita," ujar Mas Dani sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya.

Aku hanya diam tidak berani membantah semua perkataan Mas Dani. Setelah selesai dia masuk ke dalam kamar kembali, sementara aku membereskan semua makanan yang ada di meja makan.

Ketika Mas Dani ke kamar mandi aku sangat penasaran dengan ponsel Mas Dani yang tergeletak di tempat tidur. Iseng aku membukanya. Tidak ada kesulitan bagiku karena ponsel itu masih model lama. Mataku membelalak ketika membaca pesan yang masuk. Di sana Mas Dani mengaku kalau duda dan tidak punya anak. Dia juga mengaku sebagai bos yang punya beberapa mobil.

Mas Dani memang pria yang mempunyai wajah tampan dengan kumis tipis yang melintang di atas bibir seksinya. Postur tubuhnya tinggi dengan senyum yang memikat. Berbanding terbalik denganku. Aku tidak terlalu cantik dengan mata sipit dan hidung yang standar. Gigi yang agak sedikit tonggos ke depan. Tapi aku mempunyai kulit yang sangat putih dan bersih serta bentuk badan yang bagus. Banyak orang bilang kalau aku sangat beruntung karena mendapatkan suami seganteng Mas Dani. Mereka hanya memandang luarnya saja tanpa melihat begitu menderitanya diriku.

Dadaku mendadak sesak dan nafasku turun naik. Cobaan apalagi ini. Kupikir suamiku sudah tobat karena sudah memiliki dua anak. Nyatanya masih saja dia menipu wanita lain dengan mengatakan kalau dia tidak punya keluarga.

Aku mencoba menghapus air mataku dan menghapus semua nomer yang berhubungan dengan wanita itu kemudian aku mengambil kartu yang ada di dalam ponsel jadul milik suamiku. Kemudian aku meletakkan kembali ponsel itu di atas ranjang.

Aku keluar menggendong Zaki yang menangis. Mas Dani mana pernah menyentuh Zaki. Walaupun dia adalah ayah kandungnya namun belum pernah sekalipun dia menggendong ataupun memangku Zaki. Entah apa salahnya.

"Dek Minah!" teriak Mas Dani sangat kencang hingga Emak keluar dari dapur. Dia hanya berdiri di depan ruang tamu.

"Ada apa, Mas?" jawabku kesal.

"Kamu apain Hpku? Kamu jangan lancang! Di kartu itu banyak sekali nomer penting," ujar Mas Dani dengan menaikkan nada suaranya.

Aku tidak menjawabnya karena masih kesal. Ketika melihat Emak berdiri di depan pintu. Mas Dani mengurungkan niatnya untuk memarahiku. Dia seperti kesal dan kembali ke bilik. Entah sampai kapan kehidupanku akan seperti ini. Selalu mengerti tentang keadaan suamiku. Karena aku masih cinta dengan pria itu dan bertahan demi anak-anaku.

Sekitar pukul tujuh malam. Mobil pick up warna hitam tiba di depan rumah. Semua barang sudah disiapkan di depan rumah. Tidak ada acara pamitan dengan kedua adikku. Bahkan mereka juga tidak ada yang datang melepas kepergianku dari kampung itu. Hanya emak yang kupeluk tanpa bisa berkata apapun. Emak hanya bisa menangis.

Semua barang dan tas besar milikku sudah dinaikkan ke atas mobil pick up. Arsyad langsung naik di jok depan sebelah supir. Sementara Aku menggendong zaki. Mas Dani pamit dengan emak. Aku tidak mampu melihat rumahku untuk yang terakhir kalinya. Rumah yang penuh perjuangan. Banyak sekali kenangan yang tertoreh di sana. Dulu aku dan bapak bahu membahu mengumpulkan uang untuk membangun rumah. Kini bapak pergi meninggalkan dunia ini dengan membawa rumah dan semua peninggalannya. Aku tidak mau bersedih atau meratapinya semuanya. Bagiku semuanya adalah takdir.

Dalam perjalanan Mas Dani hanya mendiamkanku. Dia tidak menyapa, bahkan sibuk dengan ponselnya. Entah dia mengirim pesan kepada siapa. Aku akan menghadapi kehidupan di kampung suamiku. Satu kampung dengan istri pertamanya dan saudara dari suamiku.

Setelah menempuh perjalanan setengah jam, mobil memasuki sebuah gang yang sempit. Rumah kakak iparku terletak di dalam gang itu. Tidak ada akses mobil sampai ke depan rumah kakak iparku. Terpaksa mobil pick up itu berhenti di pinggir jalan. Mas Dani turun dari mobil dan menurunkan semua barangku. Aku turun mendekap Zaki dalam gendongan sambil menggandeng tangan Arsyad. Aku melangkah pasti menuju ke rumah kakak iparku. Semoga aku bisa menjalani hidup dengan kakak iparku.

"Assalamualaikum," sapaku pada Mbak Desi, kakak iparku.

"Wa alaikum salam," sahut Mbak Desi langsung menyambutku dengan ramah.

"Masuk, Dek Minah. Sini Zaki aku gendong. Kamu bereskan semua barang yang ada di jalan," ujar Mbak Desi langsung mengambil Zaki dari dalam gendonganku.

Semua tetangga Mabk Desi memandangku dengan pandangan yang menyelidik.

"Mbak, istrinya Mas Dani ya?" tanya Sri salah satu tetangga Mbak Desi.

"Iya Mbak,"sahutku sambil menenteng tas besar bajuku. Mereka hanya melihat saja tanpa ada yang mau bantu mengangkat barangku. Aku hanya menghela nafas panjang.

Setelah semua barangku masuk ke dalam rumah Mbak Desi, aku istirahat sebentar sambil minum es. Tadi aku lihat Mas Dani dijemput temannya menggunakan sepeda motor. Aku agak kikuk ketika pertama kali masuk ke rumah Mbak Desi.

Mbak Desi adalah kakaknya Mas Dani. Dia adalah janda mempunyai dua anak laki-laki. Anak yang pertama sudah menikah dengan anak tetangga kampung. Sementara anak kedua masih bujang dan belum bekerja. Pekerjaan Mbak Desi adalah tukang urut yng suka menolong orang yang datang ke rumah. Zaki sudah tidur digendong Mbak Desi.

"Sini Mbak biar aku gendong Zaki," ujarku mencoba mengambil Zaki dari gendongan Mbak Desi. Biar aku bisa lekas rebahan dan istirahat sebentar.

"Biar Zaki ikut aku aja,Dek Minah. Oh ya tolong masakin mi rebus buat Mbak Desi, ya, Dek. Kebetulan tadi Mbak Desi belum makan," titah Mbak Desi kepadaku.

"Ya, Mbak. Di mana minya?" tanyaku agak kikuk karena belum pernah masuk ke dapur Mbak Desi .

"Itu lo di dalam lemari," sahut Mbak Desi.

Aku mencari mi yang dimaksut dengan Mbak Desi. Ternyata memang benar hanya ada sebungkus mi. Lalu bagaimana dengan anakku kalau minta nanti?

Melihat keadaan dapur mendadak kepalaku menjadi pusing. Dapur berantakan dengan piring bekas makan yang berserakan. Bau menyengat dari dapur yang hampir membuatku muntah.Benar-benar jorok kakak iparku ini. Baju kotor menumpuk di ember besar dalam kamar mandi. Lantai licin dan sampah juga membusuk lama tidak dibuang.

Aku sepertinya ingin berteriak dengan sekuat tenaga. Aku masuk ke dalam tempat yang paling menjijikkan di dunia. Kesan pertama dengan kakak iparku adalah dia hanya bisa memerintah dan tidak ada sisa makanan di dapur.

"Ya Tuhan, semoga aku kuat hidup satu atap dengan kakak iparku," bisikku.

Aku melamun hingga tidak sadar mi yang kurebus habis airnya. Tercium bau hangus di kompor.

"Aduh, alamat kena marah dari kakak iparku," pikirku. Wajahku sedikit pucat dengan jantung yang berdetak lebih kencang.

"Dek MInah!" teriak Mbak Desi dari luar.

"Kok hangus to," teriaknya lagi.

"Iya Mbak. Hangus," sahutku dengan suara bergetar.

"Ya sudah beli lagi, Dek. Aku lapar banget," ucap Mbak Desi

Aku keluar dapur dan meminta uang sama Mbak Desi. Tapi jawaban Mbak Desi malah membuatku mengurut dada.

"Mbak Desi lagi gak punya uang. Ya sudah pakai uangmu dulu deh," kata Mbak Desi.

"Ya Allah perhitungan sekali mbak Desi," batinku sambil berlalu dari hadapannya dan menuju warung untuk membeli mi rebus.

Semoga aku kuat hidup dengannya.

Aku menuju warung untuk membeli mi yang dimaksut oleh Mbak Desi. Di sana bertemu dengan Mbak Must. Wanita yang seumuran denganku memandang lama.

"Maaf Mbak. Kok baru lihat. Mbak ini siapa?" tanya Mbak Must.

"Saya Minah, Mbak. Istrinya Mas Dani," ucapku memperkenalkan diri.

"Apa istrinya Mas Dani? Bukannya dia sudah punya istri?" tanya Mbak Must.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku segera berlalu dari warung itu. Semoga aku kuat dengan gunjingan tetangga.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 121. Akhir Sebuah Perjalanan( Tamat)

    Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab. 120.Menikmati Malam Pertama

    Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 119. Akhirnya Sah

    Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 118. Persiapan

    Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 117. Menunggu Hari Itu

    Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 116. Melupakan Masa Lalu

    Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status