"Lebih cepat, Mas. Ough ... Ini enak."
Langkah Amira terhenti saat mendengar suara lenguhan dan desahan dari nada yang berbeda. Satu suara laki-laki dan satunya perempuan. Diantara desahan ada suara bergetar yang saling memuji, menuntut.
"Kamu hebat, Sayang …."
Ini adalah apartemen kekasihnya, Gilang. Pagi tadi, pria itu meminta Amira untuk membelikan beberapa keperluan. karenanya, kini di tangan wanita itu ada dua kantong kresek putih dari sebuah brand mini market yang berisi bumbu-bumbu keperluan dapur, makanan kemasan siap masak, dan peralatan mandi.
Amira pun bisa dengan lancar memasukkan kode masuk apartemen yang sudah dihapalnya di luar kepala karena terlalu sering berkunjung kemari.
Seharusnya dia berbelanja esok hari, tetapi karena hari ini waktunya lebih cepat lowong, jadilah dia memutuskan untuk membeli keperluan yang dipesan Gilang hari ini.
Namun, setelah ia masuk, ia justru mendengar suara asing dari kamar Gilang.
Tanpa berpikir panjang Amira langsung menekan handle pintu dan membukanya perlahan.
Matanya langsung disuguhi dengan pemandangan menjijikan. Dua orang sedang bergelut dengan liar tanpa busana, bahkan tanpa perlu bergelung mesra di bawah selimut.
Sejenak Amira tertegun. Dada wanita berambut sepinggang yang sengaja ditata kuncir kuda itu bergemuruh marah.
Sebelum membuka pintu, dia memang sudah mempersiapkan dirinya, tetapi tetap saja, pemandangan itu membuatnya ingin muntah.
Air mata menetes di pipinya, tetapi segera dihapus Amira.
Dia sudah tahu apa yang ingin dilakukannya, tidak akan bertingkah penuh drama air mata.
Harga dirinya terluka, tetapi bukan berarti harus jatuh dan merendahkan dirinya untuk pria yang jelas-jelas telah mengkhianati kepercayaannya tersebut..
"Gilang ..." Akan tetapi, tanpa bisa ditahan, suara Amira bergetar saat mengucapkan nama kekasihnya itu..
Meskipun begitu, tak ada yang mendengar panggilan Amira. Kedua insan yang dimabuk birahi itu masih saja membaur nafsu tanpa peduli dengan keadaan sekitar.
“Gilang ….” Amira mengambil langkah maju lagi. Intonasi suaranya lebih tinggi dari yang tadi. Namun, tetap saja suaranya membuyar dalam ruangan yang menggaungkan lenguhan.
Otak Amira merasa kehilangan akal. Ketegaran yang coba dibangun runtuh perlahan.
Pada lemari rendah yang diletakkan di seberang ranjang, Amira berjalan. Salah satu vas bunga yang tiap minggu diganti wanita itu dengan bunga segar, tangannya mencengkram. Kemarahan seakan mengumpul di buku-buku tangannya.
Prang!
Sekuat tenaga Amira melemparkan vas itu ke lantai kamar. Menimbulkan suara nyaring yang membuat dua orang yang berusaha mencapai puncak kenikmatan terlonjak.
Amira bahkan harus membuang pandangannya, ketika tubuh Gilang membalik dengan sedikit melompat. Menampilkan tubuhnya yang tanpa busana dengan kemaluan yang masih menegang.
“Amira.” Suara Gilang tergagap.
Dalam sekian detik keadaan membisu. Namun, detik kemudian, Gilang langsung melompat dari ranjang dan mencoba meraih pakaiannya yang berserak di lantai.
Tentu saja kesempatan itu tidak dibiarkan Amira hingga lelaki yang telah dipacarinya selama lima tahun itu tuntas berpakaian. Hatinya membutuhkan pelampiasan. Kemarahannya sudah menggelegak hingga ke ubun-ubun.
Ia memang tidak berminat menangis untuk Gilang, pun menuntut penjelasan laki-laki itu atas pengkhianatannya, Tidak butuh!
Namun, Amira tetap perlu sasaran untuk melampiaskan kemarahannya.
Jadi, saat kaki Gilang menapak di lantai setelah melompat dari ranjang, vas bunga kedua kembali terlempar. Melesat melewati sisi tubuh Gilang, menyentuh lantai dan pecah berkeping-keping.
Pigura foto juga ikut terbang, kali ini mengenai bokong lelaki itu. Remote TV, dompet, botol minuman, semua yang ada di atas lemari rendah itu melayang-layang melewati ruangan. Menuju satu titik, tubuh Gilang.
“Anjing!” umpat Amira pada akhirnya. Ia terengah-tengah. Namun, dengan suara tegas, wanita itu sempat berkata sebelum berbalik dan pergi dari sana.
“Kita putus! Jangan pernah kamu temui aku lagi, berengsek!”
***
Satu tahun kemudian ….
"Kamu gila, ya, nyari calon suami buatku yang berondong?"
Mata Amira mendelik ke arah lelaki yang sedang tersenyum cengegesan sambil menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Jangan berlagak kaget gitu lah, Kak," jawab lelaki yang bernama Nattaya setelah menelan makanannya. "Biar berondong, dia sukses, lho."
"Gak peduli," jerit Amira. Menghempaskan sendok dan garpunya hingga membuat sedikit bulir nasi tertumpah ke meja makan. Gadis berambut sebahu itu menghentakkan tangannya di meja.
"Amira!" Suara lelaki di ujung meja membuat Amira menciut. Itu suara ayahnya yang sedari tadi diam memperhatikan kedua anaknya adu mulut. "Jaga sikapmu."
Amira bersungut. Melipat kedua tangannya di dada, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Wajahnya ditekuk. Kedua pipinya memerah.
Hening.
Meski begitu, dalam hati Amira masih merasa kesal pada sang adik.
Bagaimana mungkin adiknya itu berencana memperkenalkan seorang lelaki pada keluarga mereka agar melakukan penjajakan dengan dirinya.
Usia 32 tahun, masih lajang dan tidak mempunyai kekasih, memang membuat Amira terdesak. Apalagi terakhir kali kekasihnya sangat berengsek hingga berselingkuh di belakangnya, membuat Amira malas percaya pada janji manis para lelaki yang mendekatinya.
Akan tetapi, keluarga sudah semakin sering menanyakan kapan dia menikah dan membangun keluarga sendiri. Seolah-olah itu tujuan utama dari hidup ini dan jika tidak segera dilakukan, dia akan tersedot ke dalam lubang hitam kehampaan.
Bah, ini jaman modern, seharusnya tidak perlu lagi seseorang dikejar-kejar pertanyaan jaman batu seperti itu. Macam tidak percaya Tuhan akan berikan jodoh pada saat yang tepat saja.
"Amira, kenapa kamu menolak menemui lelaki yang ingin dikenalkan adikmu," kata Sutomo saat mereka duduk di ruang keluarga setelah makan malam.
Amira merupakan seorang wanita yang bekerja di perusahaan advertising ternama di kota Samarinda. Memiliki jabatan sebagai manager pemasaran dan telah bekerja dari sejak dia lulus kuliah. Jika dihitung, berarti dia sudah mendampingi Langit Semesta Advertising selama 10 tahun.
Wanita itu memulai pekerjaannya dari jabatan terbawah, hingga kini menjabat sebagai manager pemasaran yang telah dijalani dua tahun. Karirnya memang cemerlang, begitu juga otaknya. Bahkan, ada kabar yang berembus, tak lama lagi dia akan mendapatkan posisi sebagai CMO di perusahaannya itu.
"Pa, usianya cuma terpaut dua tahun dari Nata. Masa iya, aku nikah sama dia?" rengek Amira sambil menggoyangkan tangan papanya yang sedang duduk di sampingnya. "Dia berondong, Pa."
"Kan, cuma kenalan," ujar Nattaya. Dia sedang duduk di lantai, bersandar di sofa di samping kaki Amira. "Jangan ge-er, deh."
"Kalau tujuannya cuma kenalan, ngapain kamu kasih tahu Mama Papa?" Amira menoyor kepala adiknya. "Pasti ada maksudnya, kan?"
"Ya, kalau kamu suka, Andi gak keberatan juga, sih." Nattaya tergelak. "Dia juga udah lihat kamu beberapa kali."
"Amira, kenapa tidak dicoba dulu saja, siapa tahu cocok," bujuk Sutomo kemudian, menengahi perdebatan kedua anaknya.
"Gak ada cocok-cocoknya," gerutu Amira. "Dia sudah pasti bukan tipeku, Pa."
"Tipemu itu macam Gilang yang selingkuh itu, ya?"
Amira melempar bantal yang ada di sampingnya ke arah Nattaya dengan geram. Bisa-bisanya adiknya menyebut nama bajingan itu sekarang.
Mengingat nama Gilang rasanya masih sakit.
"Jangan pernah sebut nama dia lagi," geram Amira.
Nattaya memberikan cengiran kecil dan kembali berbalik menghadap televisi. "Coba aja dulu ketemu Andi, Ka. Pemikirannya dewasa, kok."
"Nggak!"
Akan tetapi kata tidak yang Amira semburkan tidak berarti apa-apa. Saat esoknya dia pulang kerja, sebuah Honda Civic berwarna putih keluaran terbaru sudah terparkir rapi di halaman rumahnya.
Di ruang tamu keluarga, tampak Sutomo sedang berbincang-bincang asik dengan lelaki seusia dirinya. Di sana juga hadir Nattaya dan Ambarwati, serta seorang lelaki yang tampak seusia Nattaya. Dia duduk dengan tubuh tegap dan memperhatikan kedua orang tua itu bicara.
"Amira sudah pulang?" Ambarwati berdiri dan menghampiri Amira.
Dengan tatapan bingung, Amira duduk di sofa tunggal tanpa sandaran yang ada di hadapan Sutomo. Di sampingnya, di sofa panjang Nattaya meringis dan menghindari tatapan Amira. Senyumnya terus dikulum, seolah takut jika mulutnya terbuka ada tawa yang keluar tanpa jeda.
"Bram, kenalin anak tertuaku Amira," kata Sutomo sambil merentangkan tangannya menunjuk ke arah Amira. "Amira, kenalkan teman lama Papa, Bramono dan anaknya, Andi."
Amira menegang. Matanya melirik ke arah Nattaya yang menahan tawa.
Namun, demi kesopanan, Amira berdiri dan mencium punggung tangan Bramono. Lalu mengulurkan tangan ke arah Andi dengan senyum kecil.
Begitu antusias Andi menerima uluran tangan Amira dengan senyum lebar. Lalu dia berkata, "Pa, akhirnya aku ketemu jodohku."
Amira memandang lelaki yang ada di sampingnya dengan perasaan kesal yang kentara. Andi balik memandangnya dengan senyum lebar yang dibuat-buat.Setelah acara makan malam, mereka diminta untuk berbicara berdua saja. Jadilah, saat ini mereka duduk berdua di ruang tamu, sementara penghuni lain dan Bramono ngobrol asik di ruang keluarga rumah Amira. Suara mereka terdengar seperti gumaman dan sesekali ada tawa yang menghiasi."Kamu ngapain sih, ngomong seperti itu di hadapan orang tua kita," semprot Amira setelah sekian menit hanya ada kebisuan. "Kita ini belum kenal, lho. Lagian, kamu kemudaan buat aku.""Umur cuma Angka, Mira.""Heh, kamu gak kenal sopan santun, ya? Aku lebih tua dari kamu, jangan langsung nyebut nama." Amira mendelik.Andi menyeringai lucu. Tidak merasa terintimidasi dengan sikap Amira yang mengobarkan permusuhan. Bahkan, dia terlihat menikmati wajah Amira yang berubah kian cemberut."Ya, kan, kalau kita udah nikah, gak mungkin lagi aku manggil kamu dengan embel-embel,"
Di depan kamar Nattaya, lelaki bermata dalam itu berusaha menutup kamarnya dengan sekuat tenaga. Menghalangi agar Amira tidak masuk dan menghajarnya habis-habisan. Dia memang sempat mengejek Amira, dengan menunggunya di depan pintu sebelum menutup pintu ketika kakaknya itu tinggal beberapa langkah lagi mendekatinya.Jadilah, saat ini terjadi dorong-dorongan di antara keduanya. Nattaya yang berusaha menutup pintu dan Amira yang berusaha mendorongnya."Buka, Nata!" teriak Amira kesal. Dia sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk melawan kekuatan Nattaya. "Aku ogah mati muda.""Aku cuma mau bicara," geram Amira."Emang aku percaya?" Nattaya terkekeh."Beneran ...." Suara Amira mengecil. Kekuatannya mendorong juga berkurang. "Aku tau kamu bohong, Kak. Aku gak bakal terkecoh."Amira memukul-mukul pintu dengan keras berkali-kali. Telapak tangannya terasa pedas. Mulutnya rapat menahan geram. "Buka!!!""Ogah!"Amira berpikir cepat. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya dari mulut. M
“Dia tunanganmu?” Sebelah alis Gilang terangkat tidak mempercayai pendengarannya.“Apa aku mengatakannya kurang jelas,” jawab Andi tanpa mengubah intonasi suaranya.“Kamu terlalu muda buatnya.” Gilang memundurkan langkahnya. “Sebaiknya jangan ikut campur.”“Aku harus ikut campur,” sanggah Andi. “Kamu menyakiti wanitaku.”Amira terperangah. Dipandangnya wajah Andi yang menatap tajam ke arah Gilang. Bagaimana bisa bocah tengil itu bisa berubah menjadi seserius ini, pikir Amira. Dia bahkan rela pasang badan untuknya.Gilang terkekeh mendengar ucapan Andi. “Apa kamu dibayar oleh Amira untuk mengatakan itu?” cemooh Gilang.“Uang Amira tidak cukup banyak untuk menyogokku.”Kedua tangan Gilang dimasukkannya ke dalam kantung celana. Ditatapnya lekat Andi seakan mencari kebohongan di dalamnya. Namun, wajah tegas Andi seakan menampik apa yang dipikirkannya.“Terserah.” Akhirnya Gilang berkata. “Apa seleramu lebih muda sekarang, Mir?” Gilang melongokan kepalanya. Amira masih berada di belakang
Rambut Amira seperti singa saat dia menuruni tangga. Wajahnya masih kusut masai dengan bekas eyeliner menggambar abstrak di bawah mata. Ketika kakinya menapaki dasar tangga, dia menguap lebar dengan bersuara. Menggaruk asal perutnya yang membuat baju kaos pink oversize bergambar Donald Bebek sedikit tersingkap. “Mira!!! “ Teriakan itu menyentakkan Amira yang langsung kaget bukan kepalang. Nyawanya belum benar-benar terkumpul, karena langsung bangun dari tidur tanpa melamun terlebih dahulu. Dia haus. Dalam kamarnya tidak tersedia air karena buru-buru tidur tadi malam. “Mama bikin kaget aja.” Amira mengurut dada. Akan tetapi, kekagetannya tidak berhenti sampai di sana. Dia mendapati wajah Andi di belakang Ambarwati. Sejenak dia mematung, seakan pikirannya sedang loading. Dalam hati sebenarnya Amira malu, tetapi di hadapan Andi tentu saja wanita itu tidak ingin seperti ABG yang kalang kabut sendiri ketemu gebetan dalam keadaan sedang kacau.Berpura-pura santai, Amira hanya membenar
Langkah Amira terhenti seketika. Matanya terbelalak lebar dan menyembunyikan geram. Baru saja dia keluar dari lift yang langsung menghadap ke lobi kantor. Pada sofa yang memang disediakan untuk para tamu, dia melihat Andi sedang duduk santai sambil memegang ponselnya. Kepala lelaki itu tertunduk dan terlihat fokus pada benda yang ada di dalam genggamannya. "Mir, ngapain kamu tiba-tiba diam?" tanya Daisy. Suaranya sedikit keras karena memang dia berada beberapa langkah di depan Amira dan baru menyadari bahwa wanita itu tidak berjalan di sampingnya. Amira tergeragap. Memandang Daisy dengan mata mengerjap-ngerjap. Sepintas, dia masih sempat melirik ke arah Andi dan berharap lelaki itu tidak menyadari keberadaannya. Kalau bisa, wanita yang hari ini mengenakan blazer hitam dan rok ketat bandage warna merah itu ingin pergi secara diam-diam dari kantornya. Kehadiran Andi sudah bisa ditebaknya, pasti ingin menunggunya pulang. Tapi buat apa? Apa cowok itu sengaja datang hanya untuk menunju
Mata Andi dan Gilang bertemu melalui cermin. Keduanya menampakkan pancaran yang dingin.Andi baru saja membasuh wajahnya dan menepuk-nepuk lembut kedua pipinya saat salah satu pintu toilet terbuka. Gilang keluar dari sana dengan wajah lega walau sesaat kemudian raut mukanya berubah kaku. Itu saat dia memandang ke depan, pada dinding yang dihiasi cermin lebar dan panjang yang ada di depan wastafel.Langkah Gilang perlahan saat dia juga mendekati wastafel. Dia memberi jarak sekitar satu meter dari Andi. Sebenarnya Andi ingin mengabaikan saja kehadiran Gilang. Dia sempat tercenung sejenak, kemudian kembali pada aktivitasnya. Menarik tisu yang ada di bawah cermin untuk mengeringkan jejak-jejak air yang tersisa di wajah."Kita ketemu lagi," ujar Gilang tiba-tiba sambil meletakan kedua telapak tangan di bawah kran wastafel.Andi hanya menjawab dengan deheman kecil. Tidak berniat membuka pembicaraan."Masih berniat berpura-pura menjadi tunangan Amira?" Suara Gilang sinis, membuat Andi tiba-
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" Akhirnya mereka gagal makan dan berakhir di dalam mobil, masih di parkiran cafe El Barlito. Andi tidak langsung menjawab pertanyaan Amira. Dia malah menunduk menekuri sepatu kets hitam yang dikenakannya. "Andi," sentak Amira dengan tidak sabar. "Bukan apa-apa, tidak begitu penting." Akhirnya Andi menjawab. "Dan menurutmu aku percaya?" "Banyak ungkapan serius yang aku ucapkan, kamu memilih untuk nggak percaya." "Aku serius." Amira memandang Andi dengan tatapan tajam. Andi mengembuskan napas panjang. Dia sebenarnya tidak ingin mengungkapkan apa yang menjadi penyebab pertengkarannya dengan Gilang. Perkataan mantan pacar Amira itu terasa merendahkan wanita itu dan dia tidak ingin wanita yang diinginkannya untuk menjadi pendamping hidup itu mengetahuinya. "Hanya menyelesaikan yang kemarin tertunda." Andi mencoba berbohong. "Saat kita bertemu dengannya di mall?" Amira menukas. "Aku tidak percaya." "Memang itu." "Aku ingin kamu mengatakan kejujurann
Andi baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk, ketika ponselnya berdering. Lelaki itu memperhatikan panggilan yang hanya terdiri atas deret angka. Nomor panggilan baru yang tidak ada di kontaknya. "Halo," sapa Andi sembari duduk di tepi ranjang. "Ini dengan Andi?" tanya suara di seberang saluran. "Ya." "Ini aku, Gilang." Wajah Andi mengeras. Kekesalannya akibat perkelahian tadi sore terkenang lagi. "Apa maumu?" tanya Andi dingin. "Aku bisa melaporkanmu karena memukulku lebih dulu," kata Gilang tanpa basa-basi. Andi tidak menjawab. Dia hanya menatap ke depan, pada dinding hitam doff polos yang menjadi kombinasi warna cat kamarnya, selain putih dan abu muda. Menunggu mantan Amira itu mengucapkan lanjutan apa yang dia ingin bicarakan. "Tapi aku ingin kita berdamai," lanjut Gilang lagi. Ada desahan di ujung kalimatnya. "Apa timbal baliknya?" Terdengar suara tawa dari seberang sana, membuat Andi membuat Andi memutar bola mata malas. Tidak mu