Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa ia tidak bisa pergi dari sini. Tidak sekarang.
Cahaya masih belum sadar. Napasnya teratur, tetapi wajahnya masih tampak pucat dan lelah. Kaivan menatapnya lama, lalu mengalihkan pandangan ke bayi mungil yang terbaring di dalam inkubator.Bayinya… selamat.Seolah mendengar pembicaraan mereka, Cahaya menggeliat pelan. Matanya mulai bergerak di balik kelopak yang berat. Kaivan segera mendekat.Kelopak mata Cahaya bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan. Pandangannya masih samar, tapi saat melihat Kaivan di sampingnya, matanya sedikit melebar."Kamu…?" Suaranya serak dan lemah.Kaivan mengangguk. "Kau sudah sadar."Cahaya mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rintihan kecil lolos dari bibirnya. Wajahnya meringis kesakitan."Jangan banyak bergerak dulu," Kaivan memperingatkan. "Kamu baru saja operasi caesar."Cahaya tampak bingung sejenPart 30 "Halo, Cahaya ... Jaga baik-baik suamimu, ya ... Jangan sampai ada hal buruk yang terjadi." Klik. Telepon terputus. Cahaya tercekat, jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel di meja. Siapa itu? Ia menoleh ke sisi tempat tidur, melihat Angkasa yang tertidur lelap dengan Altair di pelukannya. Cahaya menggigit bibir, menahan ketakutan yang berdesir di dadanya. Tak ingin membangunkan suaminya, Cahaya beringsut turun dari ranjang. Ia melangkah ke ruang tamu, memeriksa semua pintu dan jendela, memastikan semuanya terkunci rapat. Hatinya semakin gelisah. Cahaya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan suara misterius di telepon tadi terus menghantui pikirannya. Esok paginya, Angkasa menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Cahaya. Wanita itu terlihat pucat dan gelisah, tapi memilih bungkam.
Cahaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berat melepas Bu Ratna pergi."Kalau ada apa-apa, Mama janji langsung kasih kabar, ya?" pintanya lirih."Tentu, Nak. Mama juga nggak akan jauh-jauh. Mama selalu ada buat kalian."Angkasa yang sedari tadi mendengar percakapan mereka, ikut angkat bicara meski suaranya masih lemah."Terima kasih, Ma... buat semuanya."Bu Ratna menoleh, matanya berkaca-kaca. Ia mendekat, mengecup kening putranya lembut."Kamu harus cepat sembuh, Nak... Jangan buat Cahaya sedih lagi."Angkasa hanya mengangguk pelan, hatinya kembali terenyuh oleh kasih sayang ibunya.Setelah berpamitan, Bu Ratna berangkat meninggalkan rumah dengan berat hati. Cahaya menatap punggung wanita itu hingga menghilang di balik gerbang.***Beberapa hari berlalu, luka-luka Angkasa mulai membaik. Wajahnya yang pucat kini kembali bersemu, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Cahaya setia merawatny
Part 29"Tante, saya benar-benar nggak tahu apa-apa."Cahaya mendengus pelan, melihat Elena yang berpura-pura polos."Mbak nggak tahu apa-apa?" Suara Cahaya bergetar lalu tersenyum masam.Elena mengedip pelan, wajahnya berusaha tampak tenang, tapi kilat gugup terlihat di matanya."Serius, Cahaya ... Aku cuma datang buat jenguk.""Pergi dari sini, Elena," ucap Angkasa tegas.Elena menoleh ke arah Angkasa yang masih terbaring lemah. Tatapan pria itu dingin, sama sekali tak ada keramahan seperti dulu."Aku cuma mau memastikan Mas Angkasa baik-baik saja.""Kamu nggak perlu repot-repot memastikan," sela Bu Ratna tajam. "Kami keluarga di sini, cukup buat menjaga Angkasa. Nggak perlu orang asing."Elena tersenyum getir, berusaha menahan rasa malu yang menjalar di wajahnya. Namun, ia tetap bersikap manis."Baiklah, kalau memang kehadiran aku nggak diterima..." Ia melangkah mundur, tapi sebelum
Kedua preman itu melesat pergi dengan mobilnya meninggalkan Angkasa yang tergeletak di pinggir jalan. Salah seorang pria menelepon."Halo, Kak Elena... udah beres. Orangnya babak belur.""Dia tidak mati bukan?""Tenang saja, dia masih hidup. Paling masuk rumah sakit."Elena tersenyum puas mendengar laporan itu."Bagus. Biar dia tahu rasa."Ia menutup telepon, menyesap minuman di gelas kristal sambil memandangi hujan di luar jendela.***Cahaya mondar-mandir di ruang tamu, sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Hatinya semakin gelisah. Angkasa belum juga pulang, padahal tadi sore ia bilang hanya akan keluar sebentar.Ponselnya berkali-kali ia cek, tapi tak ada panggilan ataupun pesan masuk. Ia bahkan menghubunginya tapi nomornya tidak aktif.Bu Ratna yang duduk di sofa menatap menantunya dengan cemas."Cahaya... duduk dulu, Nak. Mungkin Angka
Part 28"Mas A--Angkasa... a--aku cuma... aku cuma--""Cuma apa, hah? Cuma mau balas dendam karena aku nggak mau sama kamu?!" Angkasa semakin mempererat cengkeramannya, membuat napas Elena semakin tersengal.Air mata Elena mulai mengalir, wajahnya pucat. Tapi Angkasa tak peduli. Amarah yang membara di dadanya nyaris membuatnya hilang kendali.Tiba-tiba, suara dering ponsel dari sakunya membuatnya tersadar. Napasnya memburu, tapi perlahan ia melonggarkan cengkeramannya. Elena terjatuh ke lantai, terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya.Angkasa merogoh saku, melihat nama Cahaya di layar ponsel. Seketika hatinya mencelos.Ia menatap Elena yang masih terengah-engah di lantai."Aku nggak akan tinggal diam, Elena. Kamu bakal bayar semua ini." Suaranya dingin, penuh ancaman.Tanpa menunggu jawaban, Angkasa berbalik dan melangkah keluar.Angkasa menekan tombol hijau di layar ponselnya, menempelkan perangkat it
Bu Ratna berdiri, berjalan mendekati Angkasa. Matanya berkaca-kaca, tapi sorot kemarahan begitu nyata. "Kamu penyebab semua ini, Angkasa... Sejak awal Mama sudah bilang, jangan berhubungan lagi dengan dia! Kamu sudah punya Cahaya kenapa cari perempuan lain di luar sana 'hah?" Angkasa memejamkan mata, menahan sakit yang terasa menyesakkan dada. "Aku... minta maaf, Ma..." "Kata maaf tidak bisa mengembalikan Papamu!" bentaknya. Cahaya mencoba meredam kemarahan ibu mertuanya. "Ma, tolong jangan begini ... Mama duduk dulu ya, aku tahu perasaan Mama masih kalut." Bu Ratna perlahan merosot duduk di kursi tunggu, bahunya bergetar menahan isakan. Cahaya ikut duduk di sampingnya, merangkul ibu mertuanya dengan penuh kasih. "Mama, jangan begini... Mama harus kuat." Cahaya berusaha menenangkan meski suaranya bergetar. Bu Ratna bersandar di bahu Cahaya, air mat