Seminggu berlalu, setelah Biya bermalam dengan Elsa ia kembali bertemu dengan teman-temannya di klub malam biasa mereka ngumpul. Biya datang bersama dengan Jay.
“Nda, Lo yakin pernah lihat Elsa kesini sama cowok?“ tanya Biya kepada Nanda memastikan.
“Iya, tanya aja Dion,“ jawab Nanda tenang karena memang begitulah adanya.
“Awas Lo, gue patahin Lo punya kaki!“ Biya merasa dibohongi oleh Elsa. Ia bertekad akan menjemputnya nanti.
“Jangan galak gitu Bi, kasian. Kalau Lo mau adopsi dia, didik yang bener. Jangan pakai kekerasan,“ ucap Aldy mengingatkan Biya. Dia adalah teman paling senior diantara empat orang dalam geng playboy. Boleh dibilang, Aldy adalah playboy insaf.
“Iya, gue paham kok. By the way gak ada yang spesial gitu?“ tanya Biya. Ia bosan dan menginginkan sesuatu yang baru.
“Minum dulu deh, Lo belum minum dari tadi. Bentar gue ambilin,“ kata Nanda yang sudah hafal tabiat Biya jika sudah berbicara seperti itu. Pemilik klub malam tempat Biya dan teman-temannya nongkrong memang memperlakukan istimewa seorang Biya. Bahkan, ia memiliki ruangan sendiri di tempat itu seperti pemiliknya.
Nanda adalah penanggung jawab tempat itu, ia dipercaya oleh pemiliknya untuk melayani Biya dengan baik. Ia keluar dari ruangan untuk mengambil minuman.
“Dy, bantuin gue. Buatin minuman untuk ruangan VIP satu. Lo ikut masuk ke dalam, juragan lagi gak enak hati.“ Nanda mengambil beberapa buah gelas dan botol minuman favorit Biya.
“Kak Nanda yakin? Tempo hari gue baru ribut sama salah satu dari mereka lho,“ jawab Adya sambil meletakkan makanan ringan di nampan.
“Yakin, Biya lagi butuh yang kalem kayak Lo. Tapi gue gak maksa, kalau Lo gak nyaman keluar aja.“ Nanda berjalan di depan Adya membawa minuman sedangkan Adya membawa makanan berjalan di belakang Nanda menuju ruangan VIP satu. Disana sudah ada beberapa wanita yang diminta Biya sebagai pemanis acara ngumpulnya.
“Baik Kak. Gue liat sikon dulu aja,“ jawabnya kepada Nanda.
Pintu ruangan terbuka, Nanda dan Adya meletakkan makanan dan minuman di meja. Adya berdiri di samping Nanda menunggu perintah atau membantu apapun yang menjadi permintaan kliennya.
“Juragan kemana?“ tanya Nanda kepada salah satu wanita di dalam ruangan tersebut.
“Lagi jemput ceweknya di parkiran sama Kak Aldy dan Pak Jay,“ jawabnya sambil membantu temannya yang lain merapikan bajunya.
“Bakalan diapain tu cewek ya? Uji nyali kalau berani lawan Biya.“ Nanda meminta para perempuan termasuk Adya untuk berbaris rapi sambil menunggu kedatangan Biya.
Tak lama kemudian kegaduhan dari luar terdengar. Biya sedang memarahi Elsa untuk kedua kalinya. Aldy dan Jay yang berada di belakang Biya tidak enak hati untuk membela Elsa karena gadis itu sudah mengakui kesalahannya yang sudah melanggar kesepakatan dengan Biya.
Biya menyeret Elsa masuk ke ruangan dengan menjewer telinganya, seperti seorang Ayah memarahi anak gadisnya. Ia tidak peduli tatapan semua orang yang berada di tempat itu.
“Sakit Kak, please!“ Elsa menjerit kesakitan karena Biya tak kunjung berhenti menjewer telinganya.
“Gue dah bilang apa aja sama Lo, coba ulangi!“ Kali ini Elsa sudah duduk di depan Biya yang masih terlihat kesal. Semua orang di ruangan itu hanya memperhatikan drama dihadapannya.
“Bi, kasian. Itu anak udah nangis minta maaf lho!“ Aldy mencegah Biya menjewernya lagi.
“Ampun Kak!“ Elsa memegang kedua telinganya yang sudah memerah.
“Lo ambilin gue minum, yang lain nari aja. Eh, baju merah. Sapa nama Lo?“ tanya Biya kepada Adya.
“Adya Kak, ada yang bisa dibantu?“ tanya Adya bersikap profesional.
“Lo bisa pole gak?“ tanya Biya kepadanya.
“Bisa Kak, mau sekarang?“ tanya Adya sambil menyalakan layar monitor untuk menyetel lagu.
“Boleh, bajunya ganti yang seksi dong!“ Biya mengedipkan matanya genit kepada Adya.
“Cuma pole aja kan Kak?“ Adya kembali bertanya untuk memastikan.
“Iya, nari aja. Nda, Lo gak ada stok baju pole lagi?“ tanya Biya yang sudah kembali duduk di depan Elsa.
“Ada, Adya Lo ambil sendiri di ruangan gue. Neh kuncinya,“ ucap Nanda sambil menyerahkan kunci laci yang ia maksud.
Adya keluar dari ruangan tersebut dan menuju ke ruangan dimana Nanda menyimpan beberapa baju pole. Adya mengambil salah satu kostum yang ia rasa tidak terlalu terbuka namun manis dipakai untuk menari, rok pendek berwarna putih dengan atasan kaos ketat dengan warna yang sama.
Ia kembali ke ruangan tersebut, musik sudah dinyalakan oleh teman-temannya yang lain. Adya datang menghampiri Nanda dan Biya yang sedang berbincang.
“Gimana Kak?“ tanya Adya meminta persetujuan Biya.
“Oke, Lo gabung sama yang lain. Gue mau lihat.“ Biya mengibaskan tangannya meminta Adya bergabung dengan yang lain untuk menari.
Biya yang masih kesal, merasa terhibur dengan keberadaan Adya yang dilihatnya begitu luwes dalam menari. Tubuhku memang mungil tapi proporsional dan seksi sesuai ukurannya. Pandangannya tak luput dari Adya, ia mengabaikan wanita-wanita malamnya yang sudah berkeringat menari di samping Adya.
“Body nya bagus, gue suka. Anak baru ya Nda?“ Biya menanyakan status Adya di tempat itu.
“Cuma event aja Bi, dia datang setiap weekend. Ada kerjaan lain juga di mall.“ Nanda menuangkan minuman di gelas yang sudah berisi es batu untuk Biya.
“Suruh dia kesini terus, gue suka sama dia. Pas banget kalau dipegang. Nenen nya gak gede, kecil juga enggak tapi pas.“ Biya mendeskripsikan bagian tubuh Adya yang sedang menari di hadapannya.
Biya mendekati Adya yang tidak menyadari keberadaannya. Ia meneliti setiap lekukan tubuh Adya yang masih dalam posisi menari. Biya menariknya untuk turun dari tiang pole dan mengajaknya duduk di sofa.
“Duduk sini Lo, gue mau nanya.“ Biya memintanya duduk di sebelah Elsa.
“Lo minta berapa?“ tanya Biya tanpa basa-basi.
“Hah, maksudnya apa?“ Adya bingung dengan pertanyaan Biya. Ia melirik Nanda meminta penjelasan.
“Dia pole aja Bi, gak ada open.“ Nanda menengahi kebingungan Adya dan Biya yang tidak sabar menunggu jawaban.
“Serius Lo?“ tanya Biya tidak percaya.
“Iya kak, kebetulan saya ada kerjaan lain. Saya BA parfume.“ Adya menjawab pertanyaan Biya dengan tenang. Ia tahu, Biya tipikal orang tidak sabaran.
“Semalam doang sama gue, Lo minta berapa gue kasih. Jarang-jarang gue nawarin anak baru kayak Lo.“ Biya berusaha mengelus pipi mulus Adya namun berhasil ia tepis.
“Maaf Kak, saya gak nerima tawaran seperti yang kakak sebutkan barusan.“ Adya menolak halus. Ia memandang Nanda meminta bantuan untuk terlepas dari situasi seperti ini.
“Lo gak sayang, tawaran gue gede kalau Lo masih perawan,“ ucap Biya enteng lalu menenggak minumannya lagi.
“Sorry Kak, thanks tawarannya. Permisi.“ Adya meninggalkan Biya di mejanya begitu saja. Ketika akan mengejar, Biya ditahan oleh Aldy.
“Dia udah nolak, Lo gak boleh maksa lagi Bi!“ seru Aldy. Ia tak ingin Biya mendapatkan masalah jika memaksakan kehendaknya.
“Emang gue penyakitan apa, berani-beraninya dia nolak gue!“ Biya tersulut emosi. Yang berada di ruangan itu mendadak diam dan tidak memancing emosi Biya termasuk Elsa. Biya melemparkan gelas ke arah pintu saking kesalnya terhadap Adya.
“Bukan gitu Bi, ada banyak hal yang gak bisa Lo beli sama uang Lo yang banyak itu. Lo harus pahami.“ Kembali Aldy memberi petuah.
“Brengsek Lo!“ Biya melempar Aldy dengan kulit kacang. Namun dari gelagatnya menyetujui ucapan Aldy.
Denting suara gelas crystal goblet, arthur coctail, dan sejenisnya coba Adya tata sepelan dan sehati-hati mungkin pada tempatnya. Pekerjaan yang seperti terlihat sepele, hanya menata gelas, tapi sebenarnya beresiko tinggi. Setiap kali melakukan rutinitas paginya itu, Adya selalu selipkan doa dan wajah ibunya akan muncul dalam benak dan hatinya. Wajah pucat dan senyuman tulus seorang ibu yang membuat seorang Adya selalu berhati-hati melakukan pekerjaannya. Harga gelas-gelas itu bisa melebihi gajinya selama setahun, jadi sebisa mungkin Adya tak memecahkannya, ataupun hanya meretakkannya. Memang benar pikir Adya, kalau hati manusia seperti layaknya gelas-gelas itu, bila tidak di jaga dan di perlakukan dengan sepenuh jiwa akan mudah retak bahkan pecah.Adya menatap wajahnya pada pantulan gelas-gelas kristal itu. Senyuman terlukis di sana. Kebersamaan bersama Abiya semalam tiba-tiba terlinta
Setelah Adya menikmati makan malam dengan orang tua Biya, ia sempat berbincang sebentar di ruang tengah. Papa Esa dan Mama Risna hanya bertanya hal-hal umum untuk menghindari suasana tidak enak. Tepat pukul sembilan malam, Biya mengantar gadis itu kembali ke rumah kost nya.“Makasih Kak, Adya masuk dulu.“ Gadis itu berpamitan masuk ke dalam rumah kost. Biya mengantarkan gadis itu pulang dengan hati gembira.“Istirahat, jangan drakor terus.“ Biya menyandarkan tubuhnya di badan mobilnya untuk memastikan gadis pujaannya masuk ke dalam kamarnya. Ia cukup melihat dari kaca spion mobil kesayangannya untuk memastikan Adya masuk.Sementara itu, di kediaman Mahesa Dipta terjadi perbedaan pendapat antara Papa Esa dan Mama Risna.“Papa yakin? Mama masih belum percaya kalau Biya beneran cinta sama gadis itu. Bisa jadi, Biya hanya dimanfaatkan Pa!“ Mama Risna sedikit menaikkan
Biya berangkat ke kantor seperti biasanya, ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani dan selesaikan sebelum menjemput Adya siang nanti.“Jay, gak ada jadwal ketemu klien kan?“ tanya Biya memastikan. Ia sudah duduk di kursi kebesarannya menyesap kopi hitam favoritnya.“Sudah dikosongkan, hari ini free. Khusus untuk agenda mempertemukan Bu Risna dan yayang Adya,“ jawab Jay meledek Biya.“Lagak Lo, udah bosan ikut gue Lo?“ Biya berkata sinis kepada Jay yang belakangan sudah lebih berani membantahnya. Namun, Biya paham betul alasan Jay sehingga ia tidak bisa memarahinya.“Jangan marah-marah dulu, mau dipesankan burger apa yang lain? Mumpung masih ada waktu,“ Jay menawarkan sarapan lagi kepada Biya karena ia tahu, sarapannya tadi di rumah Biya kurang menikmati.“Kayak biasanya aja, pesenin yang seger-seger deh. Biar adem otak
Mama Risna terlihat mondar mandir di dalam kamarnya, ia resah. Seperti apa wanita yang dipacari oleh Biya, ia tidak menyangka Biya bisa tertarik dengan wanita malam.“Ma, jangan Kau mondar-mandir kayak setrikaan begitu, capek Papa lihatnya,“ Papa Esa menegurnya.“Ish, Papa ini juga tenang-tenang saja. Dipikirkan dong anaknya!“ Risna mengomel.“Dipikirkan bagaimana, anak sudah besar ya sudah. Tinggal diawasi, diingatkan kalau salah. Apalagi?“ tanya Papa Esa dengan nada datar seperti biasanya.“Itu perempuan juga siapa yang dipacari Pa, udah diajak kemana-mana sama Biya. Ini gak bisa, gak bisa!“ Mama Risna terlihat sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya.“Kita undang ke rumah kalau memang Mama penasaran. Tidak seperti itu caranya,“ tegur Papa Esa.“Ide bagus, Mama mau hubungi Biya untuk aj
Biya duduk diantara teman-temannya, luka kecil di pelipisnya bahkan tidak dipedulikan. Semua memandang heran Biya yang senyam-senyum sendiri sambil meneguk minumannya.“Lo dari mana?“ tanya Aldy kepada Biya.“Ketemu Adya, eh bantuin itu cewek urus dokumen identitas. Habis dirampok dia, untung gue gak buru-buru pergi dari sana,“ kata Biya dengan bangga.“Itu pelipis luka karena baku hantam?“ tanya Jay khawatir. Ia meminta salah satu pegawai klub memberikan kotak obat untuk Biya.“Yoi, mereka main keroyokan. Mana badannya gede-gede, awas aja ketemu mereka lagi gue masukin ke penjara itu preman.“ Biya berdecak kesal mengingat wajah-wajah tengil perampok tadi.“Udah, luka Lo kudu dibersihkan. Gue bisa dipecat sama Pak Mahesa kalau biarin Lo luka-luka kayak gini,“ Jay mengomelinya.“Aawwhhh, pelan-p
Pagi ini Bella yang sudah mandi akhirnya berpamitan pulang kepada Biya, walaupun sudah bermalam dengan wanita lain tak bisa membuat Biya melupakan bayang-bayang Adya dalam pikirannya. Di depan televisi, ia berdecak kesal karena pikirannya tentang Adya tidak bisa ia hindari. “Punya ilmu pelet apa sih tu cewek, astaga gue bisa gila kalau begini caranya.“ Biya mengomel sendiri. Weekend kali ini adalah weekend yang menyebalkan baginya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Jay untuk memintanya datang. Dan secepat kilat pria itu sudah berada di hadapannya. Tak berselang lama, Biya sedang menyantap sarapan yang dibawa Jay, karena yakin jika majikannya itu belum makan. “Jadi apa solusimu Jay?“ tanya Biya setela