Share

BUKAN SEMANIS MADU

    Hari pun berganti, waktu berlalu dengan begitu cepatnya. Hubungan gelap antara aku dan Kevin terjalin begitu rapi dan indah. Tanpa Pras ketahui, hingga detik di mana terjadi perubahan pada tubuhku. Di situ aku tau bahwa sirkulasi bulananku telah lama berlalu.

Panik. Segera aku mencari tes kehamilan di apotik terdekat.

"Kevin, tolong temui aku di tempat biasa."

      Segera kustarter motor matic kesayangan menuju cafe yang biasa kami kunjungi. Setengah jam kemudian sampai juga di tempat yang kutuju. Kulihat dari jauh Kevin melambaikan tangan. Cepat kuparkirkan motorku kemudian menghampirinya.

"Hai, Sayang!" Dia meraih tanganku lalu mencium pipi kanan dan kiriku.

"Santai, Sayang. Coba jelaskan apa yang membuatmu menemuiku secara mendadak gini," ucapnya lagi.

Tanpa menjawab pertanyaan darinya, aku merogoh tas dan memberikan benda pipih kecil seperti lidi padanya.

"Apa ini, Sayang?"

"Lihatlah sendiri!" jawabku ketus.

Diraihnya benda itu dan memeriksanya dengan seksama.

"Sayang, kamu?" tanyanya dengan mimik wajah kaget.

Aku mengangguk lemah. Seketika wajahnya berubah lesu. Tiada lagi senyumnya yang mengembang seperti tadi.

"Aku ingin kamu bertanggung jawab akan benih yang kukandung saat ini," desakku padanya.

"Apa kamu yakin itu anakku, bisa saja itu benih dari Pras," sangkalnya.

Kaget. Ku angkat wajahku yang sedari tadi hanya menunduk.

"Kamu lebih tau siapa Pras ketimbang aku," elakku.

Kevin terdiam, seakan dia mengiyakan pernyataanku barusan.

Ya, Pras adalah sosok lelaki penyayang dan sangat menghargai status "Perawan". Dia tidak akan menyentuh melebihi batasannya.

Karena selama tiga tahun aku berhubungan dengannya, tidak pernah sekalipun dia menyentuh organ intimku selama kami berhubungan.

"Baiklah, aku akan mencobanya. Lusa aku akan datang ke rumahmu." Kevin menyanggupi permintaanku, meski terlihat berat di raut wajahnya.

"Terima kasih kamu mau bertanggung jawab atas janin ini." Ku elus perut ini yang masih rata,

"Besok aku akan menemui Pras," lanjutku lagi.

"Terserah kamu, aku pergi dulu. Ada urusan," jawabnya ketus.

Kevin bangkit dan berlalu dari hadapanku. Kupandangi dia hingga tubuhnya tak terlihat lagi bersama mobil yang dikendarainya.

    Lima bulan berlalu. Kevin telah mempersuntingku sebagai istrinya.

Awal hidup yang baru, begitu indah dan bahagia, bagai dunia milik berdua.

Canda tawa selalu mewarnai hari-hari kami. Sempurna seperti yang kami harapkan.

     Namun, setelah melewati beberapa purnama, terkuaklah jati diri Kevin.

Hanya bermodalkan tampang dan rayuan. Ternyata cinta tak seindah yang aku bayangkan, manisnya hanya di awal, pahitnya tak bermuara.

       Kala itu, saat aku tengah berada di rumah persalinan.

"Mas, anak kita sudah lahir." Aku menjelaskan, saat panggilan dari ponselku tersambung.

"Maaf, yang anda maksud, siapa, ya?" Terdengar suara seorang wanita menjawab dari seberang sana.

      Hening sejenak, menela'ah ucapan yang baru saja kudengar lalu segera memutuskan sambungan ponselku.

Siapa wanita itu? Kenapa dia yang mengangkat telponnya?

     Rasa penasaran yang besar membuat aku berfikir dan berinisiatif untuk menghubungi mertua.

Tuutt ...!Tuutt ...!Tuutt ...!

"Kenapa telpon?"

Terdengar suara dari nomor yang kutuju. Sinis.

"Mas Kevinnya ada, Ma? Ini mau ngabarin, kalau anak kami, cucu Mama sudah lahir."

Hening tanpa jawaban.

"Ma!" panggilku . Mencoba mencari seseorang di sambungan telepon.

"Saya tidak punya menantu ...  istri Kevin sudah mati."

     Bagaikan petir di siang hari, jawaban terakhir yang kudengar sungguh memilukan, menyayat hati.

     Begitu kejam mereka mempermainkan hidupku, mematikan aku yang sesungguhnya masih ada. Di mana naluri mereka, membuat hidupku juga bayi yang tak berdosa ini turut menanggungnya.

      Detik berikutnya panggilan dari ponselku dimatikannya. Kuletakkan gawaiku dan mendekap erat tubuh emak yang sedari tadi setia menemaniku. Menangis pilu di pangkuannya.

Menyesal kini tiada guna. Pembangkanganku terhadap kedua orang tua, membuahkan hasil yang begitu perih. Banyak pelajaran yang kupetik dari kisahku yang pilu. Dan, kini ku sendiri.

"Nanti sore kita sudah diperbolehkan pulang, Nduk," ucap emak sembari mengemas baju kotor dalam kantong plastik.

"Umh ... benarkah, Mak?" tanyaku kemudian.

"Ngeh, cah ayu," jawab emak yang tengah sibuk mengemas barang-barang kami. Beliau bangkit mengambil kotak nasi kemudian menyuapiku.

   Tangan yang mulai kisut itu menyendok nasi dengan sedikit lauk lalu mendekatkan ke mulutku. Sejenak kutatap mata emak yang mulai mengembun. Bibirku bergetar saat menerima suapan dari wanita di depanku.

     Diusapnya butiran bening yang membasahi pipiku dan berkata, "Nduk, jangan bersedih. Ada Emak di sini untukmu."

      Kuraih tubuh renta emak dan memeluknya erat.

Emak, sungguh berdosanya diriku.

Telah kugoreskan luka di hatimu dan membuatmu menangis karena ulahku. Andai bisa kuputar waktu, tak akan kubuat diriku seegois itu.

Maafkan aku.

      Usai membayar semua biaya persalinan, emak memboyongku pulang ke rumah. Beliau merawatku juga bayi ini dengan penuh kasih sayang. Tanpa mengeluh menyiapkan segala yang aku butuhkan.

"Nduk, ini Emak ambilkan makan," ucap emak seraya menyodorkan sepiring nasi dan segelas teh hangat.

"Makasih, mak. Letakkan dulu di meja, Nining lagi kasih ASI buat Rossy." Emak lantas meletakkannya di atas meja dan berhambur keluar kamar.

Oh, ya. Anakku adalah seorang perempuan. Namanya Rossy. Aku sengaja memberinya nama itu karena Valentino Rossy adalah idolaku.

"Nduk, Emak mau pergi ke pasar. Kamu minta dibeli'in apa?" tanya emak yang sudah berdiri di ambang pintu dengan menenteng tas.

Aku menoleh dan menggelengkan kepala, "Ndak usah, Mak. Nining ndak pingin apa-apa."

"Ya, sudah. Emak tinggal dulu, ya?"

Kujawab dengan anggukan dan emak pun berlalu meninggalkanku sendiri.

Sekian menit kemudian, terdengar kegaduhan dari arah luar.

"Seperti suara bapak, tapi dengan siapa?" lirihku. Karena penasaran kutidurkan Rossy dalam ayunannya dan bergegas keluar, melihat apa yang tengah berlaku.

Nampak dari jauh bapak terjatuh di lantai dengan tangan memegangi perutnya. Aku pun segera berlari dan menghampirinya.

Kaget bukan kepalang saat kulihat seseorang telah berdiri di sampingku dengan membawa sebilah pisau di tangannya.

"Kamu!"

"Argghhh ...!" teriakku. Tangan ini mencoba meraih tangan kekar yang erat menggenggam sebagian rambutku.

"Lepas ...!" pintaku pada pria itu. Aku meringis menahan sakit. Alih-alih kutendang kakinya. Bukannya terlepas malah semakin kuat dia menarik rambutku.

"Apa maumu?" tanyaku kemudian.

Detik berikutnya pria itu mulai mengendurkan genggaman, melepas tangannya dan berundur perlahan.

"Katakan! Dimana Kevin berada?" tanya pria itu dengan pisau yang masih setia dalam genggamannya.

Baru saja aku akan menjawabnya tiba-tiba seorang wanita paruh baya dengan penampilannya yang glamor, perlahan keluar dari mobil Ferrari merah yang terparkir tak jauh dari rumah kami. Kulihat dari baju, riasan juga wangi tubuhnya dengan seksama.

"Siapa lagi dia? Sepertinya bukan orang sembarangan," batinku.

Belum hilang keterkejutanku akan kedatangan depkolektor yang tiba-tiba, kini datang lagi seorang wanita di rumah orang tuaku. Yang tentunya akan mencari dia, Kevin Sang Pengecut.

Wanita itu melenggang menawan, tubuhnya yang masih sintal dan bohai perlahan mendekatiku. Kurapikan rambut yang berantakan, dan membantu bapak untuk berdiri.

"Permisi, apakah Mas Kevinnya ada?" Wanita itu melepas kaca mata, memperlihatkan matanya yang indah.

"Anda ini siapa, Nona?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.

Wanita itu tersenyum lalu mengelus perutnya yang mulai membuncit.

"Namaku Sindi, aku ingin Mas Kevin menemaniku menjelang kehamilanku yang semakin membesar," ucapnya penuh harap.

"Maksudnya?" Aku shock akan pengakuannya.

"Iya, ini anak kami," jawabnya sembari memperhatikan perutnya kembali.

      Aku hanya terdiam tanpa memberi jawaban. Merasakan sakit di dalam hati yang belum jua sembuh dan kini aku dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan.

Cinta sungguh kejam mempermainkan perasaanku. Menghancurkan hati juga asaku.

      Mereka pun pergi setelah aku memberitahukan keberadaan Kevin pada mereka, tanpa menjelaskan tentang statusku.

     Entah mengapa, dari awal menikah hingga kini, tak pernah kurasakan damai dalam hidupku. Ada saja yang datang dan pergi di setiap hariku. Entah sudah berapa banyak penagih hutang, juga wanita yang selalu singgah dalam gubuk derita yang kuanyam tanpa restu orang tua.

Menyakitkan. Hutang yang tanpa kutahu siapa pemakainya, harus kulunasi demi ketentraman hidupku. Karena saat itu aku tengah mengandung benih dari penyatuan cinta kami.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status