Share

HIDUP BARU

     Pasca melahirkan anak pertamaku,  aku bingung harus dengan apa membayar biaya persalinan.  Kutatap wajah emak yang sayu, beliau balik menatapku penuh iba.

Sejenak kemudian aku menangis dalam dekapan tubuh emak yang mulai renta. Tangannya mengusap pundakku lembut, menghangatkan.

"Mak, jual saja TV yang ada di kontrakan!" ucapku seraya mengurai pelukan, menatap wajah Emak pilu.

"Mana cukup uangnya buat bayar bu bidan." Emak menatapku penuh arti.

"Semoga saja cukup, Mak." Ku usap air mata di pipi dan melangkah menuju kamar mandi.

      Ingatanku melayang ke masa lalu di mana kedua orangtuaku ingin menjodohkan diriku.

"Nduk, Bapak sama emakmu sepakat untuk menjodohkanmu dengan anak Pak Dahlan."

Aku terkejut mendengar pernyataan bapak yang tiba-tiba.

"Tapi, Pak. Nining kan udah besar, Nining ndak mau sama orang yang belum Nining kenal," jawabku seraya bangkit hendak meninggalkan ruangan yang menurutku sangat pengap. Namun, belum juga kaki ini melangkah, emak telah memegang tanganku.

"Dengarkan kami dulu, Nduk! Ini juga demi kebaikanmu." Emak menarik tanganku pelan, berharap aku duduk kembali.

"Dia pria yang baik, kerjanya pun sudah mapan, enggak seperti Kevin, yang kerjaannya hanya malakin para warga." Bapak menimpali.

"Itu bohong, Pak. Kevin itu kerjanya di pabrik," jelasku dengan suara mulai meninggi, enggak terima.

"Wes, nurut saja, Nduk! Kami yakin kamu tidak akan kecewa," bujuk emak padaku.

"Maaf, untuk yang satu ini, Nining tidak akan mengiyakan." Aku bangkit dan berlalu pergi meninggalkan mereka dalam kekalutan.

   Berulang kali mereka membujukku, tapi aku tetap dengan pendirianku. Memilih Kevin dan menikah dengannya, meski tanpa restu dan kehadiran orang tua.Ya, bagaimana mungkin aku menikah dengan orang lain jika aku sudah menyerahkan segalanya kepada Kevin. Bahkan, aku sudah menyia-nyiakan cinta dan ketulusan dari seorang lelaki yang sangat baik yaitu Pras.

    Dahulu, tepatnya saat aku hamil tua ...  Kevin meninggalkan aku sendiri, di rumah yang kami kontrak selama ini, tanpa uang sepeser pun. Hingga saat aku melahirkan anak kami, dia pun tak kunjung pulang.

Menyesal? Tentu saja.  Kini aku lalui hari- hariku sendiri tanpa dia 'Si Pecundang'.

     Beberapa bulan kemudian. Tepatnya setelah kedatangan penagih utang dan juga seorang wanita yang mengaku sebagai kekasih dari Kevin. Dalam hati sudah kutekatkan untuk mulai melupakannya dan menghilangkan harapan yang ada. Memulai hidup baru meski tanpa dia. Penjahat cinta.

****

"Mak, kok lama to pulangnya?" tanyaku saat emak selesai meneguk segelas es teh manis.

"Iyo, Nduk. Tadi emak mampir dulu ke bengkel, sepedanya gembos."

"La bapakmu mana? Kok ndak kelihatan?" Emak berdiri mengambil tas belanjaan dan mengeluarkan isinya.

"Bapak lagi istirahat, Mak. Tadi sempat bersitegang sama penagih utang," jawabku. Tanpa basa ditambah basi emak melotot ke arahku. Dia langsung berdiri dan berlari menuju kamar bapak.

"Duh, bapak ...! Kok bisa jadi seperti ini, to? Jangan bilang kalok sampean melawan depkoktor itu," ucap emak seraya duduk di sisi ranjang.

Aku menutup mulut seraya menyentuh pundak emak lembut.

"Deptcolektor, Mak. Bukan depkoktor," sahutku lalu duduk di sampingnya.

"Yo itu maksudku lo, Nduk." Emak menatapku dan kami pun tertawa bersama-sama.

"Hush, kalian itu. Apa ndak liat badanku yang remok ini," protes bapak kemudian.

"Mananya yang sakit, Pak? Sini aku pijitin," godaku seraya menyentuh kakinya yang tertutup kain sarung.

"Ndak usah, biar emakmu saja. Kamu keluar sana!" Bapak menyenggol lenganku dengan matanya mengedip nakal pada emak.

'Sepertinya akan ada adegan ak uk ak uk sebentar lagi.'gumamku dalam hati.

     Melihat gelagat yang bapak tunjukkan, sepertinya bapak sudah ngebet banget. Akhirnya aku pun bangkit dan keluar dari kamarnya. Kulihat bapak menarik tangan emak dan menciumnya, sebelum pintu tertutup sempurna.

     Hah, hidup memang tak bisa dirangkai menuruti kehendak hati kita. Ia selalu berubah mengikuti jalan yang kita tempuh, bukan yang kita mau. Andai semua bisa diulang kembali, mungkin semua takkan terjadi seperti yang tak seharusnya.

     Aku berbalik lalu melangkah menuju kamarku, di mana anakku Rossy tertidur pulas. Aku membuka pintu dan duduk di sisi ranjang. Sesaat aku melihat Rossy yang tertidur lelap di sana.

     Tampak wajah polosnya yang begitu mirip dengan Kevin, ayahnya. Semua tinggal kenangan.  Masih segar dalam ingatanku, betapa dulu dia begitu gigih merebutku dari Pras sahabatnya sendiri. Tapi, setelah apa yang ia inginkan tercapai dan aku menyerahkan diri, dia justru membuangku dan juga darah dagingnya tanpa perasaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status