Share

Bab 2

"Ternyata apa?" 

Aku terperanjat saat mendengar suara Mas Arfan dari belakang. Ia berjalan mendekat dengan tongkat sebagai pemandu langkahnya. 

"Kenapa diam, Alvin. Ada apa dengan istriku?" tanya Mas Arfan lagi kepada adiknya.

Kulihat Alvin mengusap wajah dengan kasar. Matanya sedikit memerah dengan keringat yang mulai hadir menghiasi wajahnya.

Setali tiga uang dengan Alvin. Aku pun merasakan suhu tubuhku sedikit panas. Hatiku tiba-tiba tidak tenang karena kedatangan Mas Arfan yang tiba-tiba. 

'Mungkinkah, dia mendengarkan semua pembicaraan Alvin?'

"Hem ... selain cantik, istrimu juga ... manis, Mas," ujar Alvin seraya melirikku dengan tajam.

Kata yang keluar dari bibirnya, tidak sama dengan isi hatinya. Aku bisa melihat dari mimik wajah Alvin.

Mas Arfan mengangkat tongkat di tangannya, lalu diarahkan ke depan, seolah-olah ada adiknya di sana. Padahal, akulah yang ada tepat di depan tongkat yang dia acungkan.

"Jangan main-main denganku, Al. Jangan sampai kamu menyukai iparmu sendiri. Dia adalah Mbakmu," ujar Mas Arfan.

Aku memegang ujung tongkat, lalu menariknya dengan pelan. 

"Ini aku, Mas," ucapku.

Mata Mas Arfan membulat dengan mimik wajah kebingungan. 

"Alvin sudah lari, saat melihatmu mengangkat tongkat. Dia takut, kamu akan benar-benar menghajarnya," ujarku lagi seraya berdiri dan menuntun suamiku untuk duduk.

Mas Arfan terkekeh. "Dia memang penakut. Baru saja dibecandain seperti itu, sudah kabur. Bagaimana mau punya istri, kalau untuk melindungi dirinya saja dia tidak bisa. Dasar bocah."

Alvin yang masih berada di tempat yang sama, hanya melihatku sekilas. Kemudian dia berdiri dan berjalan pergi tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. 

Tanpa aku berkata langsung pun, Alvin sudah paham jika aku menyuruhnya pergi. Dan untungnya, dia mau menuruti isyarat yang aku berikan. 

"Mas, ada apa ke sini?" tanyaku saat hanya kami berdua di tempat ini. 

"Aku menunggumu, tapi kamu lama. Aku takut jika terjadi apa-apa denganmu, Tari. Makanya, aku susul ke sini. Dan ternyata benar saja, kamu sedang digodain jomblo kesepian di sini."

Mas Arfan tertawa setelah mengakhiri ucapannya. Aku pun melakukan hal yang sama, meskipun terdengar sumbang. 

Satu tahun menjadi istri Mas Arfan, membuatku tahu jika dia adalah pria yang sangat lembut pada wanita. Tentunya kepada istri, dan aku merasa sempurna bersamanya. Dia cacat dalam hal fisik, tapi tidak dengan perlakuannya padaku. 

Dalam kekurangan yang dia miliki, Mas Arfan selalu bisa membuatku tersenyum di setiap harinya. Dengan kata-katanya, juga dengan perlakuannya. 

"Tari, aku ingin ke taman belakang. Bisa kita ke sana?" 

Setelah beberapa saat kita saling diam dengan jari yang saling bertautan, Mas Arfan memintaku membawanya ke tempat tersejuk di rumah ini. 

"Tentu saja bisa. Ayok, kita ke sana," jawabku seraya berdiri terlebih dahulu.

Kami berjalan bergandengan menuju taman kecil yang dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman hijau. Semilir angin begitu segar membelai kulit wajah serta lenganku yang tidak tertutup kain.

"Jika nanti mataku sudah bisa melihat, kita akan keluar dari rumah ini. Aku akan mengajakmu tinggal di rumahku. Kamu bersedia?" tanya Mas Arfan.

Aku tidak langsung menjawab. Aku mendudukkan dia di bangku panjang tepat di bawah pohon yang begitu rindang dengan daun yang lebat. Aku duduk di sampingnya, menarik napas dengan dalam.

"Apa alasanku untuk menolak, Mas? Kamu suamiku, imamku, dan aku akan ikut ke mana pun kamu pergi. Ke mana pun," ujarku pasti.

Untuk kesekian kalinya aku melihat wajah Mas Arfan begitu cerah. Aku tahu dia tengah bahagia mendengar jawaban dariku. 

Mas Arfan memang sudah memiliki rumah di tempat lain. Namun, dia harus tinggal di sini sejak matanya buta. Kedua orang tua Mas Arfan khawatir jika putra pertamanya tinggal seorang diri.

Saat tengah mengobrol saling bergurau, ponselku berdenting. Aku melihat pesan yang ternyata dikirim adikku. 

"Isna?" lirihku nyaris tanpa suara.

Alisku terangkat sebelah dengan bibir yang kutarik ke atas saat melihat hanya gambar jempol yang Isna kirimkan untukku.

"Pesan dari siapa, Tar?" tanya Mas Arfan. 

Buru-buru aku memasukan ponselku kembali ke dalam saku celana. 

'Eh, Mas Arfan 'kan, tidak bisa melihat. Untuk apa juga aku harus menyembunyikan ponselku?'

Aku menggelengkan kepala merutuki kebodohan yang kubuat sendiri.

"Dari Isna, Mas. Biasalah, dia menanyakan kabarku."

Mas Arfan manggut-manggut. Dia tahu semua keluargaku sangat sayang dan perhatian padaku. Juga, pada dirinya. 

"Kapan kita ke rumah ayah dan ibu? Rasanya sudah lama kita tidak berkunjung," ujarnya lagi membuatku diam sejenak.

Bukan aku tidak ingin mendatangi keluargaku. Namun, semuanya harus dipersiapkan terlebih dahulu, jika aku datang dengan Mas Arfan. Aku harus menelepon Isna, untuk memberitahukan jika aku dan suamiku akan datang berkunjung.

"Eh, nanti saja, deh, kalau aku sudah bisa melihat. Biar aku bisa tahu bagaimana suasana di rumah mertuaku," tutur Mas Arfan lagi membuatku meneguk ludah. 

Aku hanya bergumam untuk menjawab setiap kata yang keluar dari bibirnya. 

Setelah beberapa saat kami diam di taman belakang, Mas Arfan meminta kembali masuk ke dalam rumah. Waktu pun sudah sore. Dan pastinya kedua orang tua suamiku sudah pulang dari kantor. 

"Dari mana, Fan?" tanya Mama saat melihat kita masuk. 

Ternyata mereka sudah berada di ruang keluarga sembari menikmati teh hangat. 

"Dari taman, Mah. Mama sudah lama pulang?" Mas Arfan balik bertanya. 

Aku menuntun suamiku untuk duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya. Pastinya, mereka akan saling bertukar cerita tentang perusahaan dan pekerjaan kantor yang seharusnya dikelola suamiku. Namun, harus mama yang turun tangan karena keterbatasan yang dialami Mas Arfan. 

"Baru saja. Kita baru sampai, ya Pa?" ujar Mama seraya menepuk paha suaminya. 

Papa hanya mengangguk, lalu kemudian mengambil ponsel miliknya yang berdering. Papa menempelkan ponsel ke telinga, dengan wajah yang tidak biasa. 

"Apa, batal? Kenapa bisa dibatalkan?" ujar papa dengan rahang yang mengeras.

Mas Arfan melihat ke samping, menajamkan pendengarannya. Sedangkan aku dan mama, melihat ke arah papa yang wajahnya sudah merah padam. 

'Apa sekiranya yang batal? Apa jangan-jangan ....'

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status