Share

Bab 3

"Apa yang batal, Pah?" tanya Mama memandang wajah Papa dengan serius. 

Orang yang ditanya tidak menjawab. Papa mengusap wajahnya dengan kasar seraya mematikan sambungan telepon. Kemudian, ia melihat ke arah Mas Arfan yang masih mendengarkan percakapan kami.

"Ali, dia ... membatalkan niat untuk mendonorkan kornea untuk Arfan."

Kulirik wajah Mas Arfan yang langsung meredup. Pundaknya merosot dengan punggung yang disandarkan pada sofa. 

Aku mengambil tangan suamiku, menggenggam dan meletakkannya di pangkuan. Memberikan kekuatan lewat sentuhan sederhana yang mungkin tidak berarti apa-apa untuknya.

"Kok, bisa? Bukannya waktu kita jenguk dia, dia sudah yakin dengan keputusannya, Pah?" ujar Mama dengan suara yang meninggi. 

Aku tahu, ibu mertuaku itu tengah kecewa dan marah. Harapannya diputuskan tanpa alasan. 

"Huft .... Papa juga tidak tahu alasan pastinya. Sekarang Papa mau ke rumah sakit untuk menanyakan hal ini."

"Tidak perlu, Pah!" ujar Mas Arfan membuat Papa dan Mama melihat ke arahnya.

Tangan yang sedari tadi aku genggam, kini dia tarik. Ia meraba ke sampingnya, mencari tongkat yang selalu setia menemani hari-hari dia. 

"Mungkin belum saatnya aku bisa melihat kembali. Jangan memaksa orang lain untuk melakukan yang tidak dia inginkan. Aku baik-baik saja," pungkas suamiku seraya berdiri. 

Mas Arfan meninggalkan ruang keluarga dengan meraba jalan dan mengarahkan tongkatnya ke lantai. Ia kecewa dengan kabar yang baru saja dia dengar. Bahkan Mas Arfan tidak mengajakku untuk ikut dengannya. Dia ... memilih menyendiri.

Ada rasa lega saat tahu suamiku tidak jadi mendapatkan donor kornea mata. Namun, hati kecilku menjerit melihat suami terkasihku harus menelan kekecewaan. 

Harapannya hancur dalam sekejap, mematahkan cita-cita yang sudah melambung tinggi. 

"Ma, Pa, Tari ke kamar dulu, ya?" ujarku berpamitan.

"Silahkan. Tolong hibur Arfan, ya Tar? Dia tengah bersedih."

"Baik, Pah. Permisi," ucapku seraya berdiri. 

Aku meninggalkan kedua mertuaku dan masuk ke dalam kamar. Entah hanya perasaanku saja, atau memang kenyataannya seperti ini. Aku merasa, kamar ini terasa sepi dan dingin. 

Tidak ada sapaan dari suamiku saat aku masuk ke dalam. Dia diam membisu seraya duduk di sofa tunggal yang mengarah ke jendela. 

"Mas," ucapku mengusap kedua pundaknya.

"Aku tidak bisa menepati janjiku, Tar. Maaf."

Aku memejamkan mata seraya menarik napas dengan dalam.

"Janji yang mana?" tanyaku. 

"Janji untuk mengunjungi keluargamu. Dan janji untuk membawamu pindah dari sini. Aku ... ingkar janji."

Hatiku berdenyut nyeri kala Mas Arfan mengatakan itu. Dia teramat kecewa, hingga harus meminta maaf atas kesalahan yang sama sekali tidak dia lakukan. 

Kata-katanya dingin, seperti awal aku mengenal dia. Tidak ada semangat, seperti tadi pagi.

Aku merendahkan tubuhku, memeluk lehernya dari belakang. Kutempelkan pipiku pada cengkuk lehernya.

"Kamu tidak ingkar janji, Mas. Jika kamu mau, besok pun kita bisa pergi ke rumah ayah dan ibu."

"Tapi, mataku—"

"Sssttt ... jangan bahas soal mata. Sudah pernah aku bilang 'kan, kalau mataku, adalah matamu. Kamu buta seumur hidup pun, tidak akan mengurangi rasa sayangku padamu. Ingat itu," ujarku tepat di telinganya. 

Mas Arfan menarik kedua tanganku hingga melingkar lebih erat di lehernya. Ia mencium kedua tanganku bergantian seraya menyandarkan kepalanya di dadaku. 

Ucapanku bukan kata-kata tanpa makna. Aku lebih senang dan bahagia jika Mas Arfan tetap buta. Karena itu, akan membuat Mas Arfan tetap menjadi suamiku. Berbeda cerita jika akhirnya dia bisa melihat lagi. Aku tidak tahu bagaimana nasib pernikahanku nantinya. 

"Mas, sudah lama, loh kamu tidak mengunjungi makam Mbak Saffa dan Safiya. Gimana, kalau besok kita ke sana?" tawarku mencoba mengalihkan kesedihan Mas Arfan. 

Ia tidak langsung menjawab. Mas Arfan menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar. 

Saffa dan Safiya adalah istri dan putri Mas Arfan yang meninggal lima tahun yang lalu. Setiap bulannya, Mas Arfan selalu rutin mengunjungi makam istri pertamanya itu. 

"Alvin sedang sibuk dengan pekerjaannya. Papa dan mama pun sama. Tidak ada yang bisa mengantarkanku ke sana."

"Aku bisa!" kataku.

Mas Arfan menoleh, seolah-olah ingin menatap wajahku.

"Kamu melawak?" Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan suamiku itu. "Kamu mana bisa nyetir, Mentari," lanjutnya lagi.

Ah, ya aku melupakan sesuatu. Aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun bahwa sebenarnya aku bisa mengendarai mobil. Bahkan, aku memiliki surat izin mengemudi kendaraan roda empat itu.

Akan tetapi, sepertinya tidak akan jadi masalah jika aku jujur tentang itu. Setidaknya, aku bisa membuat Mas Arfan senang jika kami bisa mengunjungi peristirahatan terakhir istri dan anaknya. 

"Sebenarnya ... aku bisa mengendarai mobil, Mas. Aku bisa nyetir," ujarku melepaskan pelukan dan berjalan mengitari sofa. 

Aku duduk di ambang jendela yang terbuka, seraya menghadap ke arah Mas Arfan yang tengah menautkan kedua alis karena ucapanku.

"Kamu tidak percaya?" tanyaku seraya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. 

"Apa menurutmu, aku harus percaya dengan candaanmu? Sini, mendekatlah. Akan aku tarik hidungmu," ujar Mas Arfan seraya terkekeh. 

Aku tertawa terbahak saat tangan Mas Arfan mencari-cari tubuhku. Aku menghindar dengan berjinjit menaikan kaki pada jendela. 

Wajah suram yang tadi aku lihat dari Mas Arfan, kini sudah tidak nampak. Suamiku kembali tertawa melupakan kesedihan yang tadi dirasakannya. 

"Sudah, hentikan, Mas. Aku akan jatuh," ujarku terus menghindar. 

"Ok ok. Aku akan berhenti. Tolong ambilkan minum, ya, aku sedikit haus mendengar gombalan dan candaan dari istriku ini."

"Hm ... baiklah. Tunggu sebentar, aku akan pergi ke dapur," ujarku segera berdiri dan keluar dari kamar. 

Sampai di dapur, aku segera mengambil dua gelas air putih dan menyimpannya di atas nampan. Tidak lupa, aku pun mengambil beberapa buah-buahan untuk dinikmati Mas Arfan.

Prok ... prok ... prok ...!

Suara tepukan tangan membuatku yang hendak mengangkat nampan, harus mengurungkan niat. 

Alvin, dia datang seraya bertepuk tangan, menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak. 

"Hebat! Kamu memang luar biasa, Paramita Mentari. Selamat, selamat atas keberhasilanmu!"

Aku mengernyitkan kening melihat adik iparku yang tiba-tiba datang seraya berucap demikian. 

"Apa maksudmu, Al?" tanyaku.

"Maksudku, kamu adalah wanita licik yang cerdas!"

Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan yang dia berikan padaku. Meskipun, sebenarnya aku tahu ke mana arah pembicaraannya. 

"Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan, Al," ujarku mengangkat nampan hendak melangkah pergi.

"Kamu adalah orang dibalik batalnya operasi yang akan dilakukan Arfan."

PRANG!!

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status