"Apa yang batal, Pah?" tanya Mama memandang wajah Papa dengan serius.
Orang yang ditanya tidak menjawab. Papa mengusap wajahnya dengan kasar seraya mematikan sambungan telepon. Kemudian, ia melihat ke arah Mas Arfan yang masih mendengarkan percakapan kami.
"Ali, dia ... membatalkan niat untuk mendonorkan kornea untuk Arfan."
Kulirik wajah Mas Arfan yang langsung meredup. Pundaknya merosot dengan punggung yang disandarkan pada sofa.
Aku mengambil tangan suamiku, menggenggam dan meletakkannya di pangkuan. Memberikan kekuatan lewat sentuhan sederhana yang mungkin tidak berarti apa-apa untuknya.
"Kok, bisa? Bukannya waktu kita jenguk dia, dia sudah yakin dengan keputusannya, Pah?" ujar Mama dengan suara yang meninggi.
Aku tahu, ibu mertuaku itu tengah kecewa dan marah. Harapannya diputuskan tanpa alasan.
"Huft .... Papa juga tidak tahu alasan pastinya. Sekarang Papa mau ke rumah sakit untuk menanyakan hal ini."
"Tidak perlu, Pah!" ujar Mas Arfan membuat Papa dan Mama melihat ke arahnya.
Tangan yang sedari tadi aku genggam, kini dia tarik. Ia meraba ke sampingnya, mencari tongkat yang selalu setia menemani hari-hari dia.
"Mungkin belum saatnya aku bisa melihat kembali. Jangan memaksa orang lain untuk melakukan yang tidak dia inginkan. Aku baik-baik saja," pungkas suamiku seraya berdiri.
Mas Arfan meninggalkan ruang keluarga dengan meraba jalan dan mengarahkan tongkatnya ke lantai. Ia kecewa dengan kabar yang baru saja dia dengar. Bahkan Mas Arfan tidak mengajakku untuk ikut dengannya. Dia ... memilih menyendiri.
Ada rasa lega saat tahu suamiku tidak jadi mendapatkan donor kornea mata. Namun, hati kecilku menjerit melihat suami terkasihku harus menelan kekecewaan.
Harapannya hancur dalam sekejap, mematahkan cita-cita yang sudah melambung tinggi.
"Ma, Pa, Tari ke kamar dulu, ya?" ujarku berpamitan.
"Silahkan. Tolong hibur Arfan, ya Tar? Dia tengah bersedih."
"Baik, Pah. Permisi," ucapku seraya berdiri.
Aku meninggalkan kedua mertuaku dan masuk ke dalam kamar. Entah hanya perasaanku saja, atau memang kenyataannya seperti ini. Aku merasa, kamar ini terasa sepi dan dingin.
Tidak ada sapaan dari suamiku saat aku masuk ke dalam. Dia diam membisu seraya duduk di sofa tunggal yang mengarah ke jendela.
"Mas," ucapku mengusap kedua pundaknya.
"Aku tidak bisa menepati janjiku, Tar. Maaf."
Aku memejamkan mata seraya menarik napas dengan dalam.
"Janji yang mana?" tanyaku.
"Janji untuk mengunjungi keluargamu. Dan janji untuk membawamu pindah dari sini. Aku ... ingkar janji."
Hatiku berdenyut nyeri kala Mas Arfan mengatakan itu. Dia teramat kecewa, hingga harus meminta maaf atas kesalahan yang sama sekali tidak dia lakukan.
Kata-katanya dingin, seperti awal aku mengenal dia. Tidak ada semangat, seperti tadi pagi.
Aku merendahkan tubuhku, memeluk lehernya dari belakang. Kutempelkan pipiku pada cengkuk lehernya.
"Kamu tidak ingkar janji, Mas. Jika kamu mau, besok pun kita bisa pergi ke rumah ayah dan ibu."
"Tapi, mataku—"
"Sssttt ... jangan bahas soal mata. Sudah pernah aku bilang 'kan, kalau mataku, adalah matamu. Kamu buta seumur hidup pun, tidak akan mengurangi rasa sayangku padamu. Ingat itu," ujarku tepat di telinganya.
Mas Arfan menarik kedua tanganku hingga melingkar lebih erat di lehernya. Ia mencium kedua tanganku bergantian seraya menyandarkan kepalanya di dadaku.
Ucapanku bukan kata-kata tanpa makna. Aku lebih senang dan bahagia jika Mas Arfan tetap buta. Karena itu, akan membuat Mas Arfan tetap menjadi suamiku. Berbeda cerita jika akhirnya dia bisa melihat lagi. Aku tidak tahu bagaimana nasib pernikahanku nantinya.
"Mas, sudah lama, loh kamu tidak mengunjungi makam Mbak Saffa dan Safiya. Gimana, kalau besok kita ke sana?" tawarku mencoba mengalihkan kesedihan Mas Arfan.
Ia tidak langsung menjawab. Mas Arfan menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar.
Saffa dan Safiya adalah istri dan putri Mas Arfan yang meninggal lima tahun yang lalu. Setiap bulannya, Mas Arfan selalu rutin mengunjungi makam istri pertamanya itu.
"Alvin sedang sibuk dengan pekerjaannya. Papa dan mama pun sama. Tidak ada yang bisa mengantarkanku ke sana."
"Aku bisa!" kataku.
Mas Arfan menoleh, seolah-olah ingin menatap wajahku.
"Kamu melawak?" Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan suamiku itu. "Kamu mana bisa nyetir, Mentari," lanjutnya lagi.
Ah, ya aku melupakan sesuatu. Aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun bahwa sebenarnya aku bisa mengendarai mobil. Bahkan, aku memiliki surat izin mengemudi kendaraan roda empat itu.
Akan tetapi, sepertinya tidak akan jadi masalah jika aku jujur tentang itu. Setidaknya, aku bisa membuat Mas Arfan senang jika kami bisa mengunjungi peristirahatan terakhir istri dan anaknya.
"Sebenarnya ... aku bisa mengendarai mobil, Mas. Aku bisa nyetir," ujarku melepaskan pelukan dan berjalan mengitari sofa.
Aku duduk di ambang jendela yang terbuka, seraya menghadap ke arah Mas Arfan yang tengah menautkan kedua alis karena ucapanku.
"Kamu tidak percaya?" tanyaku seraya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.
"Apa menurutmu, aku harus percaya dengan candaanmu? Sini, mendekatlah. Akan aku tarik hidungmu," ujar Mas Arfan seraya terkekeh.
Aku tertawa terbahak saat tangan Mas Arfan mencari-cari tubuhku. Aku menghindar dengan berjinjit menaikan kaki pada jendela.
Wajah suram yang tadi aku lihat dari Mas Arfan, kini sudah tidak nampak. Suamiku kembali tertawa melupakan kesedihan yang tadi dirasakannya.
"Sudah, hentikan, Mas. Aku akan jatuh," ujarku terus menghindar.
"Ok ok. Aku akan berhenti. Tolong ambilkan minum, ya, aku sedikit haus mendengar gombalan dan candaan dari istriku ini."
"Hm ... baiklah. Tunggu sebentar, aku akan pergi ke dapur," ujarku segera berdiri dan keluar dari kamar.
Sampai di dapur, aku segera mengambil dua gelas air putih dan menyimpannya di atas nampan. Tidak lupa, aku pun mengambil beberapa buah-buahan untuk dinikmati Mas Arfan.
Prok ... prok ... prok ...!
Suara tepukan tangan membuatku yang hendak mengangkat nampan, harus mengurungkan niat.
Alvin, dia datang seraya bertepuk tangan, menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak.
"Hebat! Kamu memang luar biasa, Paramita Mentari. Selamat, selamat atas keberhasilanmu!"
Aku mengernyitkan kening melihat adik iparku yang tiba-tiba datang seraya berucap demikian.
"Apa maksudmu, Al?" tanyaku.
"Maksudku, kamu adalah wanita licik yang cerdas!"
Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan yang dia berikan padaku. Meskipun, sebenarnya aku tahu ke mana arah pembicaraannya.
"Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan, Al," ujarku mengangkat nampan hendak melangkah pergi.
"Kamu adalah orang dibalik batalnya operasi yang akan dilakukan Arfan."
PRANG!!
Bersambung
Refleks aku melepaskan nampan yang sedari tadi aku genggam. Alhasil, gelas yang berisikan air, jatuh dan pecah berantakan di lantai.Buru-buru aku berjongkok, lalu memungut pecahan gelas yang berserakan."Kenapa Tari? Kamu kaget, karena aku tahu rencanamu?" ujar Alvin lagi terus memojokkanku.Aku berdiri. Melihat tajam kepada adik ipar yang selalu berpikiran buruk padaku."Aku kaget, karena tidak percaya jika kamu akan menuduhku seperti itu, Al. Apa kamu punya bukti, atas ucapan kamu barusan?" ujarku menantangnya.Alvin tersenyum mengejek. Ia melipat kedua tangannya di perut, menatapku dengan tajam."Haruskah aku membuka semuanya agar kamu mengakuinya, Tari? Kamu ingin aku memperlakukanmu, begitu?""Silahkan! Silahkan lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan padaku, Al. Buktikan jika apa yang tad
"Ekhem! Mas, sepertinya kamu harus segera istirahat. Kita ke kamar, yuk!" ujarku langsung memotong ucapan Alvin yang menggantung.Bagaimanapun, aku harus menghentikan ucapan Alvin yang akan menjabarkan ciri-ciri fisikku. Ini belum saatnya Mas Arfan untuk tahu tentang diriku.Aku masih ingin dicintai oleh suamiku. Masih ingin hidup tenang dengan penuh kasih sayang."Sebentar, Sayang. Aku ingin mendengar Alvin berbicara." Mas Arfan menolakku.Hatiku semakin risau, keringat di punggung sudah bercucuran. Kulihat Alvin menyunggingkan senyum mengejek ke arahku, karena aku gagal mengajak suamiku pergi."Lanjutkan, Al," ujar Mas Arfan pada adiknya."Ok. Apa Mas, benar-benar ingin tahu?""Ya, tentu saja. Aku penasaran karena setiap aku menanyakan itu pada Mbakmu, d
"Kamu bukan orang biasa, 'kan? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Benar?" ujar Mas Arfan membuatku kembali bungkam.Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku menetralkan detak jantungku menjadi lebih tenang lagi."Ya, aku memang bukan orang biasa. Aku wanita luar biasa, yang sudah diajarkan mandiri sejak kecil. Kamu pasti bingung 'kan, karena baru tahu jika aku bisa nyetir mobil?"Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat saat aku mengucapkan kata itu. Dalam pikirannya, mungkin aku ini telah menipu dia. Padahal ... memang seperti itu. Tapi, tidak semuanya."Kamu membohongiku?" tanyanya."Tidak!" sanggahku dengan cepat, "Aku hanya belum menceritakan ini padamu.""Sejak kapan bisa nyetir?" tanya Mas Arfan lagi."Sudah sejak dulu. Aku pernah cerita sama kamu 'kan, kalau aku ini
"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku."Alhamdulillah baik, Bu.""Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu.Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil."Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan.Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini."Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu.Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan m
"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku."Ah, biasa saja, Mas.""Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku."Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar."Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku.Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan.Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa."Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku."Sukalah,
"Mas, mau ke mana?" tanyaku saat Mas Arfan melangkahkan kaki. Namun, bukan ke depan, melainkan ke samping di mana ada seorang wanita tengah berdiri terpaku di tempatnya."Aku ingin bertemu Meta. Dia harus bertanggung jawab atas tindakan konyolnya yang telah membuatku seperti ini. Juga, dia yang sudah membuat kedua orang terkasihku tiada."Kilatan amarah begitu terpancar dari wajah Mas Arfan. Napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Ia kembali melangkah tak tentu arah."Mas, jangan gegabah. Nama yang tadi dipanggil, bukan Meta yang kamu maksud," ujarku mencekal lengannya."Jangan menghalangiku, Tari. Aku harus bertemu dengannya!" Untuk yang kedua kali, Mas Arfan mengentakkan tanganku.Namun, aku tidak mau kalah darinya. Aku kembali mencekal lengan suamiku dengan sekuat tenaga. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya, hingga membuat dia diam tak lagi berontak.
Ternyata lelah juga terus berbohong. Ingin rasanya mengakhiri, tapi membayangkan perpisahan dengan Mas Arfan, mengurungkan niatku untuk jujur.Aku belum siap kehilangan pria ini. Pria yang sudah memberikan warna baru dalam hidupku."Mas, sudah sore. Kita pulang, yuk!""Pulang? Jadi, kita tidak jadi ke kebun ayah?""Lain kali saja, ya? Takutnya orang rumah pada khawatir karena kita perginya lama," ujarku lagi.Inginnya aku, kita bisa menginap di sini. Tapi sepertinya akan repot jika semua orang rumah harus bersandiwara sepertiku. Aku tidak ingin menyeret kedua orang tuaku dalam kebohongan yang telah aku ciptakan."Yasudah, ayo kita temui ibu dan ayah untuk berpamitan."Aku menuntun tangan Mas Arfan, membawanya berjalan menemui kedua orang tuaku yang tengah menikmati acara televisi.
Senja mulai datang, langit mulai menggelap. Hariku sebentar lagi akan berakhir, berganti dengan malam di mana waktunya untuk menanamkan mimpi.Kuangkat kepala menghirup udara sebanyak mungkin, untuk menetralkan perasaan yang tidak menentu. Dua tangan menyusup memeluk pinggangku, setelah tadi kudengar hentakkan tongkat yang beradu dengan lantai."Kenapa masih berdiri di sini? Katanya mau menutup jendela, tapi malah diam," bisik seorang pria yang membuatku selalu merasa takut.Takut kehilangannya."Aku sedang menikmati angin sore di sini. Rasanya ... sangat segar," ucapku seraya mengusap dan menggenggam tangannya yang melingkar indah di perutku."Sudah mau maghrib, tidak baik masih membuka pintu. Tutup, Sayang."Aku tidak lagi berucap. Kututup jendela dan gorden berwarna hitam itu. Warna kesukaan suamiku, setelah dia kehilangan penglihatannya.