Share

Bab 3

Author: Pena_yuni
last update Huling Na-update: 2022-03-09 10:38:18

"Apa yang batal, Pah?" tanya Mama memandang wajah Papa dengan serius. 

Orang yang ditanya tidak menjawab. Papa mengusap wajahnya dengan kasar seraya mematikan sambungan telepon. Kemudian, ia melihat ke arah Mas Arfan yang masih mendengarkan percakapan kami.

"Ali, dia ... membatalkan niat untuk mendonorkan kornea untuk Arfan."

Kulirik wajah Mas Arfan yang langsung meredup. Pundaknya merosot dengan punggung yang disandarkan pada sofa. 

Aku mengambil tangan suamiku, menggenggam dan meletakkannya di pangkuan. Memberikan kekuatan lewat sentuhan sederhana yang mungkin tidak berarti apa-apa untuknya.

"Kok, bisa? Bukannya waktu kita jenguk dia, dia sudah yakin dengan keputusannya, Pah?" ujar Mama dengan suara yang meninggi. 

Aku tahu, ibu mertuaku itu tengah kecewa dan marah. Harapannya diputuskan tanpa alasan. 

"Huft .... Papa juga tidak tahu alasan pastinya. Sekarang Papa mau ke rumah sakit untuk menanyakan hal ini."

"Tidak perlu, Pah!" ujar Mas Arfan membuat Papa dan Mama melihat ke arahnya.

Tangan yang sedari tadi aku genggam, kini dia tarik. Ia meraba ke sampingnya, mencari tongkat yang selalu setia menemani hari-hari dia. 

"Mungkin belum saatnya aku bisa melihat kembali. Jangan memaksa orang lain untuk melakukan yang tidak dia inginkan. Aku baik-baik saja," pungkas suamiku seraya berdiri. 

Mas Arfan meninggalkan ruang keluarga dengan meraba jalan dan mengarahkan tongkatnya ke lantai. Ia kecewa dengan kabar yang baru saja dia dengar. Bahkan Mas Arfan tidak mengajakku untuk ikut dengannya. Dia ... memilih menyendiri.

Ada rasa lega saat tahu suamiku tidak jadi mendapatkan donor kornea mata. Namun, hati kecilku menjerit melihat suami terkasihku harus menelan kekecewaan. 

Harapannya hancur dalam sekejap, mematahkan cita-cita yang sudah melambung tinggi. 

"Ma, Pa, Tari ke kamar dulu, ya?" ujarku berpamitan.

"Silahkan. Tolong hibur Arfan, ya Tar? Dia tengah bersedih."

"Baik, Pah. Permisi," ucapku seraya berdiri. 

Aku meninggalkan kedua mertuaku dan masuk ke dalam kamar. Entah hanya perasaanku saja, atau memang kenyataannya seperti ini. Aku merasa, kamar ini terasa sepi dan dingin. 

Tidak ada sapaan dari suamiku saat aku masuk ke dalam. Dia diam membisu seraya duduk di sofa tunggal yang mengarah ke jendela. 

"Mas," ucapku mengusap kedua pundaknya.

"Aku tidak bisa menepati janjiku, Tar. Maaf."

Aku memejamkan mata seraya menarik napas dengan dalam.

"Janji yang mana?" tanyaku. 

"Janji untuk mengunjungi keluargamu. Dan janji untuk membawamu pindah dari sini. Aku ... ingkar janji."

Hatiku berdenyut nyeri kala Mas Arfan mengatakan itu. Dia teramat kecewa, hingga harus meminta maaf atas kesalahan yang sama sekali tidak dia lakukan. 

Kata-katanya dingin, seperti awal aku mengenal dia. Tidak ada semangat, seperti tadi pagi.

Aku merendahkan tubuhku, memeluk lehernya dari belakang. Kutempelkan pipiku pada cengkuk lehernya.

"Kamu tidak ingkar janji, Mas. Jika kamu mau, besok pun kita bisa pergi ke rumah ayah dan ibu."

"Tapi, mataku—"

"Sssttt ... jangan bahas soal mata. Sudah pernah aku bilang 'kan, kalau mataku, adalah matamu. Kamu buta seumur hidup pun, tidak akan mengurangi rasa sayangku padamu. Ingat itu," ujarku tepat di telinganya. 

Mas Arfan menarik kedua tanganku hingga melingkar lebih erat di lehernya. Ia mencium kedua tanganku bergantian seraya menyandarkan kepalanya di dadaku. 

Ucapanku bukan kata-kata tanpa makna. Aku lebih senang dan bahagia jika Mas Arfan tetap buta. Karena itu, akan membuat Mas Arfan tetap menjadi suamiku. Berbeda cerita jika akhirnya dia bisa melihat lagi. Aku tidak tahu bagaimana nasib pernikahanku nantinya. 

"Mas, sudah lama, loh kamu tidak mengunjungi makam Mbak Saffa dan Safiya. Gimana, kalau besok kita ke sana?" tawarku mencoba mengalihkan kesedihan Mas Arfan. 

Ia tidak langsung menjawab. Mas Arfan menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar. 

Saffa dan Safiya adalah istri dan putri Mas Arfan yang meninggal lima tahun yang lalu. Setiap bulannya, Mas Arfan selalu rutin mengunjungi makam istri pertamanya itu. 

"Alvin sedang sibuk dengan pekerjaannya. Papa dan mama pun sama. Tidak ada yang bisa mengantarkanku ke sana."

"Aku bisa!" kataku.

Mas Arfan menoleh, seolah-olah ingin menatap wajahku.

"Kamu melawak?" Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan suamiku itu. "Kamu mana bisa nyetir, Mentari," lanjutnya lagi.

Ah, ya aku melupakan sesuatu. Aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun bahwa sebenarnya aku bisa mengendarai mobil. Bahkan, aku memiliki surat izin mengemudi kendaraan roda empat itu.

Akan tetapi, sepertinya tidak akan jadi masalah jika aku jujur tentang itu. Setidaknya, aku bisa membuat Mas Arfan senang jika kami bisa mengunjungi peristirahatan terakhir istri dan anaknya. 

"Sebenarnya ... aku bisa mengendarai mobil, Mas. Aku bisa nyetir," ujarku melepaskan pelukan dan berjalan mengitari sofa. 

Aku duduk di ambang jendela yang terbuka, seraya menghadap ke arah Mas Arfan yang tengah menautkan kedua alis karena ucapanku.

"Kamu tidak percaya?" tanyaku seraya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. 

"Apa menurutmu, aku harus percaya dengan candaanmu? Sini, mendekatlah. Akan aku tarik hidungmu," ujar Mas Arfan seraya terkekeh. 

Aku tertawa terbahak saat tangan Mas Arfan mencari-cari tubuhku. Aku menghindar dengan berjinjit menaikan kaki pada jendela. 

Wajah suram yang tadi aku lihat dari Mas Arfan, kini sudah tidak nampak. Suamiku kembali tertawa melupakan kesedihan yang tadi dirasakannya. 

"Sudah, hentikan, Mas. Aku akan jatuh," ujarku terus menghindar. 

"Ok ok. Aku akan berhenti. Tolong ambilkan minum, ya, aku sedikit haus mendengar gombalan dan candaan dari istriku ini."

"Hm ... baiklah. Tunggu sebentar, aku akan pergi ke dapur," ujarku segera berdiri dan keluar dari kamar. 

Sampai di dapur, aku segera mengambil dua gelas air putih dan menyimpannya di atas nampan. Tidak lupa, aku pun mengambil beberapa buah-buahan untuk dinikmati Mas Arfan.

Prok ... prok ... prok ...!

Suara tepukan tangan membuatku yang hendak mengangkat nampan, harus mengurungkan niat. 

Alvin, dia datang seraya bertepuk tangan, menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak. 

"Hebat! Kamu memang luar biasa, Paramita Mentari. Selamat, selamat atas keberhasilanmu!"

Aku mengernyitkan kening melihat adik iparku yang tiba-tiba datang seraya berucap demikian. 

"Apa maksudmu, Al?" tanyaku.

"Maksudku, kamu adalah wanita licik yang cerdas!"

Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan yang dia berikan padaku. Meskipun, sebenarnya aku tahu ke mana arah pembicaraannya. 

"Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan, Al," ujarku mengangkat nampan hendak melangkah pergi.

"Kamu adalah orang dibalik batalnya operasi yang akan dilakukan Arfan."

PRANG!!

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 46

    Dua gelas minuman serta satu piring red velvet terhidang di depan kami. Sesekali, tangan suamiku memberikan suapan ke dalam mulut ini. Tidak kuasa untuk menolak, aku menikmati setiap suapan yang dia berikan.“Manis?” tanyanya dengan senyum terindah.“Enggak,” jawabku.“Dasar pembohong. Kalau tidak manis, tidak mungkin kamu makan.”“Aku mau makan, bukan karena rasanya yang enak, tapi yang nyuapinnya teramat sangat manis. Hingga sampai ke sini,” ujarku seraya meraba dada.Tentu saja hal itu membuat Mas Arfan terkekeh seraya mengacak rambutku. Aku merengut karena rambut yang berantakan. Tapi, tidak marah karena aku memang sulit untuk marah padanya.Saat ini, akulah wanita paling bahagia. Bisa kembali kepada orang yang aku cinta, dan menghabisi waktu berdua.“Malam ini, kita nginap di sini. Besok pagi baru kita pulang,” ujarnya seraya kembali memberikan suapan untukku.“Tidak pulang juga tidak apa-apa. Aku lebih senang kita tinggal berdua.”“Tunggulah sebentar lagi, sampai aku benar-benar

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 45

    “Tar, nanti kita akan tinggal dengan mama dan papa lagi, ya? Kamu tidak keberatan, “kan?“Memangnya, kenapa jika kita tinggal di rumah kamu, Mas?” tanyaku.Pria yang memakai kemeja warna putih itu mengalihkan pandangan pada bunga anggrek yang tumbuh subur di halaman rumah. Saat ini, aku dan Mas Arfan tengah menikmati udara segar di teras rumah.“Sebenarnya tidak apa-apa, jika aku sudah benar-benar sembuh dari trauma itu. Untuk saat ini, aku masih sering ... berubah-ubah. Mood-ku kadang baik, kadang buruk. Emosiku juga sering meledak dan ... aku tidak mau nantinya akan menyakiti kamu. Apalagi di rumah itu banyak sekali kenangan dia.”“Maaf,” ucapku setelah Mas Arfan menjelaskan.Mas Arfan hanya diam tidak merespon kata maafku. Mungkinkah sebenarnya dia memang belum bisa memaafkanku. Dan dia melakukan semua ini hanya untuk anak dalam kandunganku?Bisa saja.“Mas—“Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat Mas Arfan menyuruhku diam dengan memberikan isyarat lewat tangannya. Sedangkan tatapa

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 44

    Hari ini menjadi hari terindah bagiku. Entahlah, meski aku dan dia sudah bukan suami istri, tapi semua tentang dia membuatku bahagia.“Ah ....” Aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang. Kupandangi langit-langit kamar seraya terus tersenyum kegirangan.Namun, kembali aku menekuk wajah saat mengingat percakapan kami di mobil tadi. Aku meminta dia untuk merujukku, tapi entah akan dia turuti atau tidak.Harapanku memang kita bersama, tapi jika dia tidak mau, aku bisa apa.Beberapa saat diam di dalam kamar, aku turun ke bawah saat mendengar suara Mama dan Papa tengah berbincang.“Mama dan Papa dari mana?” tanyaku.Aku duduk di sofa yang berada dengan kedua orang tuaku yang duduk bersisian.“Dari acara teman Papa. Kata Bibi, tadi kamu dari rumah sakit. Gimana keadaan kamu sekarang?” Papa balik bertanya.“Baik,” jawabku singkat.Mama dan Papa menelisik memindai wajahku dengan lekat.“Kandunganmu?” Kini Mama yang bertanya.“Baik, Mah. Semuanya sehat. Aku dan anakku.” Aku menjawab dengan pas

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 43

    “Mas Arfan ...,” lirihku nyaris tak bersuara.Beberapa kali aku mengerjapkan mata untuk memastikan jika mataku tidak salah melihat. Semakin aku dekat, dia semakin jelas terlihat.“M—Mas ...,” ucapku tercekat.“Mau periksa kandungan, ‘kan? Ayo, naik.”Tanpa menoleh, tanpa berbasa-basi, Mas Arfan menyuruhku masuk ke mobilnya.Sikapnya masih begitu dingin, tapi entah kenapa aku tidak mempermasalahkan hal itu. Seperti ada magnet yang menarik, aku pun langsung masuk tanpa penolakan.“Mas, tahu dari mana aku hamil?” tanyaku setelah mobil melaju.“Harusnya aku tahu lebih dulu, bukannya malah tahu dari orang lain. Aku ayahnya, bukan?” ujar Mas Arfan membuatku menunduk seraya menggigit bibir.Aku tidak menjawab pertanyaannya. Memilih diam memperhatikanku jalanan yang lengang tanpa kemacetan.Mungkin Mas Arfan marah karena aku terkesan menyembunyikan kehamilanku. Aku juga paham, kalau dia masih menganggapku sebagai orang dibalik meninggalnya istri dan anaknya. Jadi, diam adalah pilihan terbaik

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 42

    “Sembuh? Apa Mas Arfan sakit?” tanyaku penuh selidik.Hati kecilku masih begitu sangat peduli. Rasa khawatir tiba-tiba muncul membuatku semakin risau akan kesehatan ayah dari cabang bayi yang aku kandung.“Ah, tidak-tidak. Arfan hanya sedang berkonsultasi dengan psikolog, mengenai ... trauma yang dia derita,” jawab Alvin kemudian.“Trauma?” Kembali aku bertanya.“Iya. Kecelakaan yang dulu dialami Arfan, membuat dia trauma. Bukan karena benturan hebat, tapi kebencian dia terhadapmu yang tak wajar. Ya ... semacam pobia gitu.”Sekarang aku mendapatkan jawaban atas pesan yang dia kirim padaku, yang katanya dia bilang sedang berjuang. Jadi, itu perjuangan dia? Berjuang untuk sembuh dari traumanya terhadapku.Ada setitik rasa bahagia karena Mas Arfan mau berusaha memperbaiki hubungan kami. Jika ia memutuskan untuk berobat, itu artinya dia memang ingin kembali menjalin hubungan denganku.Tidak terasa kedua sudut bibir ini terangkat membayangkan jika nanti aku dan Mas Arfan bisa kembali tanpa

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 41

    Di dalam kamar yang temaram, aku meringkuk di atas pembaringan yang luas. Namun, mataku enggan terpejam membuat pikiranku terus melayang jauh.Awal mula masalah dalam hidupku, keputusan menebus kesalahan, hingga pernikahan yang dilandasi kebohongan menari indah seperti potongan sebuh film.Rindu. Rasa itu tiba-tiba muncul tanpa aku undangan.Teringat dengan pesan yang tadi dia kirimkan, aku pun mengambil ponsel untuk melihat ada tidaknya pesan balasan dari dia.“Huft ....” Aku mengembuskan napas kasar.Ternyata tidak ada pesan darinya.Namun, mataku memicing saat melihat Mas Arfan mengunggah sebuah foto di story WhatsApp-nya.Sebuah buku kecil di atas meja yang tak lain adalah buku diary-ku. Catatan hatiku yang aku tulis di sana.Sebuah pesan tiba-tiba masuk membuatku cepat-cepat membukanya.[Tunggu. Aku tengah berjuang.]Lagi, Mas Arfan mengirimkan pesan yang tidak bisa aku mengerti.Apa yang sedang dia perjuangan?Aku?Senyumku tiba-tiba terukir seraya terus melihat pesan darinya. T

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status