Share

Di bawah selimut

"Vio, sayang~"

Saat pintu terbuka, Mamanya justru panik melihat Violet yang hampir tenggelam dengan selimutnya. Ia berpikir anaknya jatuh sakit karena terlalu banyak menangis.

"Kamu sakit? Maafkan Mama--"

"Ma- j-jangan ke sini-"

Saat Mamanya mengambil langkah, Violet spontan mencicit di balik selimutnya.

"Kenapa sayang? Kamu demam? biar Mama cek suhu badan kamu sayang. Mama takut--"

"Vio, lapar Ma- ya,.. lapar sekali"

Itu kalimat bodoh yang terpaksa ia ucapkan untuk mengalihkan Mamanya.

Giginya menekan bibir bawahnya, menahan suara laknat yang mungkin akan lolos dari sela bibirnya saat lidah basah yang bermain di bawah selimut itu menyebar di sekitar perutnya.

"Ohh ya ampun Mama hampir lupa kamu belum makan, tunggu sebentar ya. Mama ambil sesuatu untuk di makan."

Saat pintu di tutup kembali, Violet segera membuka selimutnya dan melotot pada pelaku mesum yang sedari tadi hampir menjadi kematiannya di depan Mamanya. Alih- alih bersembunyi di lemari, Elgard memilih menempel di tubuh Violet dan menyembunyikan diri di bawah selimutnya agar tidak ketahuan.

"Kita hampir ketahuan, c-cukup El~"

Violet mendorong wajah Elgard menjauh dari perutnya, membuat Elgard mengakhiri sesi bermainnya dengan perut mulus pacarnya dengan kecewa.

"Tapi kita lolos kan? Aku memang pintar bersembunyi." Elgard mengangkat alisnya bangga.

"Aku lupa, untuk rencana kita kamu udah bilang Mama sama Papa kamu?"

Violet sendiri tidak yakin kapan dirinya akan punya waktu untuk mengutarakannya, karena sampai sekarang Papa nya masih marah bahkan mengurungnya.

"Aku gak yakin bisa ikut El, maaf--"

"Gak.. gak, kamu bisa. Pasti bisa, kalau kamu gak berani izin sama orang tua kamu, biar aku yang bilang sama mereka--"

"Jangan, biar aku aja. A- aku bakalan coba bilang ke Mama nanti. Tapi aku gak janji"

Mungkin ini satu- satunya cara agar Elgard meninggalkan topik itu, bagaimanapun ia tidak bisa terlalu lama berada di kamarnya.

"Cepat pulang, Mama pasti akan kembali lagi membawa makanan. Kamu gak bisa terus berada di sini."

Elgard sebenarnya ogah untuk pergi, saat ia kembali melihat pacarnya dengan mata sembab ia menjadi berat hati. Tapi, berada di sini juga bukan pilihan yang baik. Dia tidak akan menanggung resiko tertangkap dengan wajah ini sebagai penyusup.

Dia akan datang lagi sebagai Elgard Delano dan memperkenalkan dirinya pada orang tua Violet secara resmi.

"Oke, aku pergi dulu. Tolong jangan menangis lagi ya. Kalau Papa kamu udah balikin HP kamu, please cepet- cepet telpon aku"

Violet memastikan ia mengangguk yakin agar Elgard segera meninggalkan kamarnya, bukan tidak senang, Violet hanya lebih takut dengan resiko ketahuan oleh orang tuanya.

"Aku baru sadar ini lumayan tinggi"

Ia bergidik ngeri saat melihat dasar lantai dari jendela kamar Violet.

"Apa kamu yakin mau lompat?"

Violet mengerutkan keningnya.

"Sayang~"

Mamanya masuk beriringan dengan bunyi gedebuk yang terdengar di luar jendelanya.

"Suara apa itu?" tanya Mamanya.

"Itu mungkin kucing Ma"

"Tapi kita gak pelihara kucing" ada keraguan di mata Mamanya tapi ia tak begitu menghiraukannya.

"ishh yasudahlah.. ini makan malamnya sayang, di habisin ya"

Mata Violet diam- diam mencuri pandang ke arah jendela kamar yang masih terbuka. Violet berharap pacarnya tidak mengalami patah tulang atau terkilir karena ide bodohnya.

Hampir satu jam Violet merias dirinya di cermin, bukan untuk memoles wajahnya atau menata rambut seperti biasanya, tapi ia justru berusaha menutupi noda merah yang ditinggalkan Elgard di lehernya yang sekarang sudah berubah warna menjadi lebih tua.

"Please.. please bantu aku. Ayolah"

Spons yang ia tepuk ke lehernya sudah lapisan ke lima. Ia berharap warnanya bisa menutupi sesuatu di lehernya itu.

"Ini gara- gara kamu Elgard, aku kesusahan pagi ini."

Papanya adalah orang yang teliti, ia sangat memperhatikan detai kecil tentang sesuatu jadi Violet tidak akan membiarkannya tertangkap basah saat Papanya mengantarnya pagi ini ke sekolah.

"Hmmm perfect" Violet cukup puas dengan hasilnya.

Semenjak terakhir kali Papanya memarahinya, belum ada obrolan lagi antara Violet dan sang Papa. Tapi itu adalah posisi menguntungkan untuk saat ini, karena ia justru harus menghindari hal- hal yang akan membuatnya ketahuan.

"Pa.."

Kukunya yang setengah panjang di mainkan terus menerus selama perjalanan, bibirnya gatal untuk menanyakan sesuatu pada Papanya.

"Ada apa?" respon Papanya datar, masih fokus ke jalanan.

Violet melirik sekilas wajah sang Papa mencoba membaca mood nya hari ini. Tadi pagi Papanya membaca koran, itu artinya hatinya sedang tenang kan? batin Violet.

"Pa, Vio mau HP Vio di balikin"

Kata demi kata ia rangkai tanpa celah, seperti pengemis ulung yang sedang memohon untuk di kasihani. Wajahnya harus memelas juga bukan?

"Enggak hari ini"

Singkat, padat dan menyakitkan. Mungkin begitu yang Violet ingin katakan.

"Tapi Pa, Vio butuh buat ngerjain proyek di kelas. Juga buat telpon Mama sama driver kalau Vio pulang nanti"

Violet mulai gelisah saat Papanya mengetukkan jarinya ke kemudi, alisnya yang tebal memberi isyarat bahwa ia sedang berpikir.

"Oke, kamu boleh ambil. HP kamu ada di tas Papa di kursi belakang."

Violet spontan menoleh ke arah yang Papanya instruksikan. Tangannya yang kurus dan panjang ia coba gunakan untuk mengambil tas Papanya.

Saat resleting tas itu berhasil dia buka, ada hal lain yang menarik perhatiannya.

"Sayang, Papa hampir lupa. Sekalian ambil brosur itu juga. Kemarin Papa minta Gio membawakannya agar kamu bisa lihat- lihat dulu."

Dengan perasaan yang campur aduk, Violet mengeluarkan lembaran yang berisi informasi tentang universitas tempat Gio kuliah saat ini. Tempat yang selalu membuat dia dan Papanya sering bertengkar.

"Jangan lupa di baca ya"

Violet memasukan kertas itu dengan asal ke tas sekolahnya, tak lupa mengantongi ponselnya ke saku bajunya.

Gesekan antara ban mobil dan aspal membuatnya sadar bahwa ia telah sampai. Baru saja ia hendak ke luar, Papanya kembali bersuara dari arah punggungnya.

"Tunggu"

Violet bergerak canggung, ia menarik rambutnya sedikit ke depan agar leher yang ia sembunyikan tak tampak dari tatapan Papanya yang sedang menelisik.

"Kenapa kamu pakai turtleneck? Kamu sakit?"

"Enggak kok Pa, Vio cuma agak pilek dan kedinginan akhir- akhir ini jadi butuh pakai ini supaya lebih tebal dan hangat"

Kenapa akhir- akhir ini kamu begitu sering berbohong Violet, gerutunya dalam hati.

"Itu pasti efek dari bekerja di Cafe sialan itu, anak Papa jadi sakit. Hati- hati untuk hari ini. Telpon Papa kalau kamu mulai gak enak badan dan ingin pulang."

Violet mendapat pelukan dan kemudian Papanya berlalu untuk pergi ke perusahaan. Ada satu yang belum Violet katakan pada Papanya, tentang liburan semester yang Elgard janjikan. Violet belum berani meminta izin sampai saat ini.

Sebelum pelajaran di mulai biasanya Elgard selalu menemui Violet untuk sekedar memberinya semangat pagi atau kecupan. Karena mereka memang berada si kelas yang berbeda. Tapi sampai pelajaran pertama berakhir pun Elgard belum terlihat batang hidungnya.

"Vio, lu kok masih di sini? Anak kelas B lagi siap- siap ke rumah pacar lu tuh"

Mata Violet seluruhnya terbuka, kenapa mereka pergi ke rumah Elgard?

"Elgard kenapa? D-dia dimana sekarang?"

Violet mendadak di landa panik di siang bolong.

"Lu gak tau kalau pacar lu patah tulang?"

"P-patah tulang? Maksud kamu?"

Rahang Violet hampir jatuh, demi tuhan ia tidak pernah menyumpahi pacarnya dengan kalimat buruk apapun walaupun ia sedikit kesal tadi malam, tapi apa mungkin itu benar- benar terjadi. Elgard patah tulang setelah melompat dari jendela kamarnya tadi malam.

"Lu mau ikut gak?"

"I-iya aku ikut"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status