Share

TRANSMIGRASI : Cinta dan Balas Dendam
TRANSMIGRASI : Cinta dan Balas Dendam
Penulis: Miss_Violeet

Part 1

Ding, dong ...

Ding, dong ...

Bunyi bel yang ditekan tidak beraturan bergema keseluruh penjuru rumah. Mengusik ketenangan seorang gadis cantik yang tengah merebahkan diri di ranjang queen size miliknya, seraya membaca novel.

Tanpa membuka pintu pun dia sudah tahu betul, siapa tamu tak diundang yang datang malam-malam kerumahnya. Yang sekarang dapat dipastikan tengah merutukinya karena lama membukakan pintu.

"Ada apa dengannya? Kenapa suka sekali datang malam-malam ke rumahku!" gerutunya kesal, ketenangannya terganggu oleh makhluk jadi-jadian yang berwujud sahabatnya itu.

"Huh! ... " Dengan wajah kesal, gadis itu akhirnya bangkit dari ranjangnya untuk membukakan pintu.

Ceklek! ...

Pintu dibuka. Terpampang lah wajah seorang gadis dengan alis melengkung dan bibir yang mengerucut, tengah menatapnya jengkel.

"Kenapa lama sekali membuka pintu?" cecarnya saat pintu terbuka.

Gadis yang tadi membukakan pintu hanya menatapnya jengah. "Masuklah Fiona! Jangan banyak bicara. Kalau tidak, ku tutup lagi pintunya," ucapnya sudah membuat ancang-ancang akan menutup pintu, tapi ditahan oleh gadis yang ia panggil dengan nama Fiona.

"Minggir lah! Kau menghalangi jalanku!" Lalu Gadis yang dipanggil Fiona tersebut masuk kedalam rumah. Tujuannya saat ini adalah kamar Diora, nama gadis yang tadi membukakan pintu. Namun sebelum itu ia berujar, "Diora, ambilkan aku minum, aku haus."

"Kau pikir aku pelayanmu?" sahut Diora sedikit meninggikan nada bicaranya.

Tak ada jawaban. Fiona tetap saja melongos pergi tanpa menghiraukan Diora yang dongkol padanya.

"Yang benar saja gadis itu!" Diora berdecak sebal. Kemudian dia menutup pintu dan langsung bergegas mengikuti Fiona ke kamar. Namun sebelumnya dia sempatkan juga mengambil air untuk sahabatnya yang menyebalkan itu.

Diora mengulurkan botol berisi air pada Fiona. "Bertengkar dengan ibumu lagi?" tanyanya menebak. Karena biasanya Fiona akan mengungsi ke rumahnya seperti ini, jika sedang bertengkar dengan ibunya.

Fiona mengangguk. "Dia berkata ingin menjual ku."

"Kali ini apa lagi yang kau lakukan?" Diora sangat yakin, pasti Fiona membuat ulah lagi. Sampai-sampai tante Ana berkata begitu.

"Aku hanya memberi makanan kepada seorang nenek-nenek. Aku merasa kasihan melihatnya duduk di tepi trotoar, sepertinya dia kelaparan." Fiona kembali teringat wajah nenek-nenek yang sedang terduduk lemas di tepi trotoar. Dia melihatnya tak jauh dari rumahnya, jadi dia berinisiatif untuk memberikan makanan.

Diora mengernyit, "Mana mungkin tante Ana marah, jika Fiona hanya memberikan makanan," batinnya. "Apa lagi yang kau berikan selain makanan?"

"Aku hanya memberikan makanan," tegas Fiona, "kau tahu, aku menyusun makanannya secantik mungkin di dalam kotak tupperware. Aaa ... Nenek itu pasti senang." sambung Fiona dengan wajah bangga.

Diora menepuk jidatnya sendiri. Sekarang dia paham mengapa tante Ana ingin menjual putri satu-satunya ini.

Kenapa sahabatnya ini sangat bodoh. Tidak tahukah dia betapa mahalnya harga tupperware? Apalagi tante Ana adalah pecinta tupperware akut, sudah pasti dia sangat kesal. Diora saja rasanya ingin mencekik Fiona, saking kesalnya.

"Kenapa tidak memberikannya dengan pembungkus makanan biasa saja?" Diora menatap sahabat bodohnya itu.

"Aku lupa," sahut Fiona singkat. Diora menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kebodohan Fiona. Namun, dia tak ambil pusing. Nanti juga ibu dan anak itu akan berbaikan kembali, seperti sebelum-sebelumnya.

Diora mengambil novel yang tadi dia baca. Namun matanya tak sengaja melihat ransel penuh yang dibawa oleh Fiona. "Apa yang kau bawa?"

"Itu beberapa baju dan juga seragamku," jawabnya. Tapi seketika ekspresinya berubah.

"Kenapa?" tanya Diora yang melihat perubahan raut wajah Fiona.

"Aku lupa membawa uang," ucap Fiona lemas.

Diora memperhatikan Fiona yang seakan seluruh tubuhnya kehilangan enegi, "Memangnya kau punya uang?" cibirnya.

Diora tahu betul, sahabatnya yang satu ini sangat tidak pandai menghemat. Jadi bagaimana mungkin dia memiliki uang, kecuali hasil palakan nya. Sebagai informasi, Fiona sering memalak kakaknya, Brian, yang berada di kelas atas SMA, dua tahun di atas mereka.

"Kau benar, aku tidak punya uang," ujar Fiona tersenyum hambar. "Yasudah, besok akan ku minta pada kak Brian," putusnya sepihak.

"Ck!ck!ck!" Diora merasa prihatin melihat Brian yang hampir setiap hari dimintai uang oleh Fiona.

Diora lalu kembali memfokuskan diri pada novel yang ada di tangannya.

"Kau sedang membaca apa?" tanya Fiona melihat kearah buku yang ada ditangan Diora.

"Ini novel yang aku beli kemarin bersamamu," jawab Diora seadanya. "Sebenarnya aku sudah selesai membacanya, tetapi karena novelnya seru, aku jadi membaca ulang."

Fiona jadi sedikit tertarik, "Seseru itu?" gumamnya. "Boleh aku meminjamnya?"

"Bacalah." Diora memberikan novel tersebut pada Fiona.

"Princess Nathalie," celetuk Fiona membaca judul novel tersebut.

"Iya, tokoh utama wanitanya bernama Nathalie," sahut Diora. Kemudian dia merebahkan dirinya di samping Fiona yang terlihat mulai membalikkan buku tersebut. "Aku tidur dulu," ucapnya.

"Hemm ... " Fiona berdehem sebagai bentuk respon. Dia tengah asyik membaca kalimat demi kalimat yang tertulis pada novel tersebut. Tapi mana yang dianggap penting saja. Fiona paling malas membaca novel secara keseluruhan. Baginya itu terlalu lama.

Memang hari sudah agak larut. Kadang Fiona jadi merasa bersalah karena telah mengganggu waktu istirahat sahabatnya ini. Tapi apa boleh buat, hanya rumah Diora tempatnya mengungsi jika sedang bertengkar dengan ibunya.

Diora hanya tinggal bersama pembantunya, kedua orangtuanya keluar kota untuk menjalankan bisnis. Berbeda dengan rumahnya yang diisi dengan keluarga lengkap. Kadang Diora berkata bahwa dia iri padanya, karena bisa merasakan hangatnya kebersamaan dengan orang tua. Tapi tetap saja bagi Fiona ... Ibunya sangat cerewet dan menjengkelkan.

Saat sedang asyik membaca, Fiona dikagetkan dengan suara ponselnya yang berdering. Menampilkan tulisan "Ibu tiri" di sana. Padahal itu adalah panggilan dari, Ana, ibu kandungnya.

"Ck!" Dengan decakan sebal, Fiona mengangkat telpon.

"Anak nakal! Di mana kau? Pulang sekarang juga!" omel ibunya setengah teriak dari seberang telepon. Untung saja Fiona tidak terlalu mendekatkan ponselnya ke telinga. Jika tidak, pasti telinganya berdenging saat ini.

"Tidak mau!" tolaknya.

"Jangan macam-macam, pulang se-" belum selesai ibunya bicara, Fiona sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon.

"Bukannya membujukku pulang, tapi malah marah-marah! Membuat tambah kesal saja," gerutunya. Lalu mencari posisi ternyaman untuk melanjutkan membaca novel, yang kata Diora sangat seru ini.

°°°

Bel masuk telah berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Pintu gerbang pun telah ditutup oleh satpam sekolah. Fiona melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul 07:25 yang artinya dia terlambat lima menit.

"Ayolah pak, biarkan saya masuk! Saya ada ulangan harian," ucap Fiona merengek, menampilkan puppy eyes-nya, yang jika dilihat-lihat bukannya membuat gemas, tetapi malah membuat mual.

"Tidak," tolak satpam itu.

"Ta-"

Perkataan Fiona terhenti oleh kedatangan seorang pemuda yang wajahnya terlihat asing.

"Yahh ... sudah telat!" Samar-samar Fiona mendengar pemuda tersebut bergumam.

"Murid pindahan?" tanya satpam menebak pemuda tersebut.

"Iya, Pak," jawab pemuda itu. "Saya kira masuk pukul 07.30," imbuhnya.

Terlihat satpam itu menimang-nimang, "Karena murid pindahan, untuk kali ini kamu saya biarkan masuk, tapi lain kali jangan telat lagi. Ingat! Jam masuk pukul 07-20." tuturnya membukakan pintu gerbang.

"Terimakasih, Pak!" ucap pemuda tersebut. "Saya masuk dulu," pamitnya.

Fiona yang melihat pintu gerbang terbuka lantas diam-diam mengikuti pemuda tersebut. Berharap pak satpam sudah melupakan kehadiran dirinya.

"Kau ... " ucap satpam itu memegang tas Fiona, yang sontak membuat langkahnya terhenti. Begitu juga dengan si murid pindahan, dia juga menghentikan langkahnya.

Fiona hanya tersenyum canggung, dirinya sudah tertangkap basah.

"Pak ... Tolong biarkan sekali ini saja! Besok saya tidak akan terlambat lagi!" ucap Fiona memelas. Dia tidak bohong mengatakan bahwa dia ada ulangan pagi ini.

"Kemarin kamu juga berkata tidak akan terlambat lagi, tapi sekarang masih saja terlambat. Mana buktinya?"omel sang satpam pada Fiona.

"Pffttt ... " Terdengar suara gelak tertahan dari pemuda yang berada dua langkah di depannya.

Fiona mendelik tajam, runtuh sudah harga dirinya didepan murid pindahan ini.

"Kau masuklah!" ucap satpam itu kepada murid baru. "Sedangkan kau, lari lima kali keliling lapangan. Ditambah satu kali lagi karena terlambat dua hari berturut-turut." Tunjuknya pada Fiona.

Dengan langkah kesal, Fiona melewati kedua manusia yang berjenis kelamin laki-laki itu. Tak lupa memandang sinis kearah satpam yang langsung dibalas dengan tatapan tak kalah sinis dari satpam tersebut.

Tujuannya saat ini adalah lapangan, untuk menjalankan hukumannya. Sia-sia dia berlari terburu-buru, bahkan dia tidak sempat sarapan.

"Awas kau Diora, ini semua salahmu karena tidak membangunkan ku," gerutunya kesal, menghentakkan kaki.

Namun langkahnya terhenti saat mendengar penuturan dari si murid pindahan, "Aku juga akan berlari keliling lapangan. Hitung-hitung ini akan jadi pelajaran untukku agar kedepannya tidak telat lagi."

Bukankah tadi dia yang meminta untuk diperbolehkan masuk. "Dasar caper," cibir Fiona dalam hati, kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda, persetan dengan si murid pindahan yang minta dihukum.

Seperti ucapannya tadi, sekarang murid pindahan itu benar-benar dihukum. Fiona sendiri tak menggubris kehadirannya yang tengah berlari bersamanya.

"Namaku Justin," ucap murid pindahan itu memperkenalkan diri.

Fiona menghela nafas, lalu menyebutkan namanya,"Fiona." Sebenarnya dia enggan berbicara, tetapi karena si murid pindahan yang bernama Justin itu tampan, dia jadi tidak tega.

"Salam kenal Fiona," ucap Justin yang dibalas senyum singkat oleh Fiona.

Namun sedetik kemudian, Fiona berhenti berlari karena merasakan kepalanya teramat pusing dan perutnya juga tiba-tiba terasa nyeri.

"Aww ... " ringis nya memegang kepala. Dia juga oleng. Reflek Justin yang berada didekatnya memegangi tangannya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Justin khawatir.

Fiona tidak menjawab, tetapi keseimbangannya hilang total, sehingga ambruk. Untung saja dengan sigap Justin menyambutnya. Kalau tidak, sudah dapat dipastikan kepala indah Fiona akan membentur tanah.

"Fiona! Hei!" panggil Justin seraya menepuk pelan pipi Fiona.

Tak mendapat sahutan, Justin langsung saja menggendong Fiona untuk mendapatkan pertolongan.

Fiona merasakan tubuhnya melayang. Samar-samar dia melihat wajah Justin yang sedang menggendongnya.

"Aku akan membalas bantuanmu lain kali," ucap Fiona dalam hati. Setelah itu, semuanya terlihat gelap total.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status