Share

Part 4

Pagi-pagi sekali, kediaman Medison sudah terdengar ricuh. Suara para pelayan yang tengah sibuk mondar-mandir mendominasi kediaman tersebut.

Lagi dan lagi, Duke William dibuat pusing oleh tingkah laku kedua anaknya tersebut. Padahal hari ini adalah hari pertama mereka belajar ke akademi Lancaster. Tapi, lihatlah! Keduanya bahkan belum bersiap-siap. Jangankan bersiap-siap, Nathan bangun saja belum. Nathalie sedari tadi berlari-lari ke sana kemari dan sekarang entah menghilang kemana.

"Arrrggh!" Duke William mengusap wajahnya kasar. Kenapa anaknya ini selalu saja membuatnya naik darah. Untung saja dia sayang. Jika tidak, Nathan dan Nathalie sudah pasti dia buang.

"Duke, Lady Nathalie tidak kami temukan," adu Emily yang entah keberapa kalinya.

"Biarkan saja dulu. Kau siapkan saja pakaiannya," ujar Duke William yang dibalas anggukan oleh Emily.

Kemudian langkah kakinya membawa tubuhnya ke dalam kamar Nathan. Di sana sudah terdapat beberapa pelayan yang tengah membangunkan Nathan dengan sopan.

Duke William menggeleng-gelengkan kepala. "Nathan, Bangun!" serunya seraya mengguncang badan Nathan. Namun tak ada sahutan.

Kemudian tatapannya tak sengaja melihat kearah gelas berisi air putih di atas meja. "Rasakan ini," ujarnya memercikkan air ke wajah Nathan.

Nathan adalah salah satu mahluk yang sangat sulit untuk dibangunkan. Jadi tetesan air yang mengenai wajahnya, tidak mengusik tidurnya sama sekali.

"Bocah ini benar-benar!" gerutu Duke William kesal. Tanpa aba-aba lagi, dia langsung saja menyiramkan air yang berada di dalam gelas ke wajah Nathan. Hal tersebut sukses membangunkan Nathan.

"Ayah, bangunkanlah aku dengan cara yang manusiawi," ujar Nathan kesal.

"Dari Tadi aku sudah membangunkan mu dengan cara yang paling manusiawi, tetapi kau tidak bangun juga," ketus Duke William bersidekap dada.

"Tapi tetap sa-"

"Cepatlah bersiap, kalau tidak kau akan terlambat!" Potong Duke William.

"Dan untuk kalian ..." Duke William melirik para pelayan yang sedari tadi menunduk. "Bangunkan Nathan seperti caraku membangunkan nya tadi, jika dia susah dibangunkan."

Meski takut-takut, para pelayan tetap mengangguk. Sedangkan Nathan, dia mendengus kesal mendengar ucapan ayahnya barusan.

Satu masalah selesai. Sekarang Duke William tengah mencari keberadaan Nathalie. Entah apa penyebab putrinya itu bersikap seperti ini. Segitu tidak maunya kah dia belajar di akademi Lancaster? Padahal itu adalah akademi impian semua anak bangsawan di kerajaan Florenza.

"Emily," panggil Duke William kepada Emily yang tengah menyiapkan sepatu Nathalie.

Emily menoleh. "Ya, Duke?" sahutnya berdiri tegap.

Duke William terlihat memperhatikan seisi kamar. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Nathalie di sini, yang berarti Nathalie masih berada entah di mana.

Tanpa mengucap sepatah kata, Duke William bergegas pergi dari depan kamar Nathalie, dengan Emily yang mengekor di belakangnya.

"Kau yakin sudah periksa kesemua tempat?" tanya Duke William tanpa menghentikan langkah.

"Sudah Duke. Saya dibantu oleh beberapa pelayan lainnya," jawab Emily.

Duke William memutar otak. Sekiranya ditempat mana lagi Nathalie berada? Tidak mungkin dia sampai keluar dari kediaman. Penjagaan kediaman sangat ketat. Jika bukan perintahnya, maka gerbang tidak akan dibuka. Itupun tadi dia sudah menerima laporan, bahwa tidak ada yang keluar dari kediaman. Bahkan sampai sekarang gerbangpun masih ditutup.

Tanpa aba-aba, Duke William menghentikan langkahnya. Membuat Emily yang berjalan setengah berlari karena menyeimbangi langkah cepat Duke William, hampir saja menabraknya.

Duke William berbalik. "Apa kau juga sudah memeriksa kamarku?" tanyanya. Seingatnya dulu saat main petak umpet Nathalie selalu bersembunyi didalam kamarnya, agar sulit ditemukan oleh para pelayan yang bermain dengannya.

Emily menutup mulutnya dengan tangan. Bagaimana mungkin dia lupa memeriksa tempat itu. Dengan pelan, dia menggelengkan kepalanya.

Duke William menghela nafas. Kemudian melangkahkan kaki menuju kamarnya, diikuti oleh Emily yang masih mengekor.

Sesampainya didalam kamar, Duke William tidak melihat keberadaan Nathalie. Emily juga sudah mencari ke kolong tempat tidur, namun nihil. Padahal dulu itu adalah tempat favorit Nathalie jika main petak umpet.

"Duke, bagaimana ini?" tanya Emily yang khawatir.

Disaat keduanya tengah berfikir, tiba-tiba terdengar suara dengkuran dari arah jendela. Gorden jendela itu juga terlihat bergerak, padahal tidak ada angin.

Duke William menghampiri jendela itu lalu menyingkap gordennya. Setelahnya terdengar helaan nafas lega dari kedua orang tersebut.

"Di sini kau rupanya," gumam Duke William menatap Nathalie yang tengah tertidur dalam posisi duduk.

°°°

Sedari tadi Nathalie terlihat resah. Sesekali dia menggigit kukunya seraya bergumam "bagaimana ini."

"Kau ini kenapa? Cacingan?" tanya Nathan yang duduk disamping Nathalie. Sedari mereka berangkat tadi, Nathalie tidak bisa duduk diam. Membuat Nathan yang mengantuk jadi tidak bisa tertidur akibat gerakan yang Nathalie buat.

Nathalie mencebikkan bibirnya kesal. Bisa-bisanya Nathan mengatakan dia cacingan. Tidak tahu saja Nathalie sekarang tengah gugup bukan main. Padahal dia sudah memantapkan hatinya sedari kemarin, tapi tetap saja tidak bisa tenang.

Dengan tatapan kesal, Nathalie merubah posisi duduknya jadi memunggungi Nathan. Melihat wajah Nathan membuat harinya tambah suram.

"Duduk dengan diam, atau ku turunkan kau di jalan ini!" Ancam Nathan.

Nathalie menatap Nathan dongkol, "Coba saja kalau berani," tantangnya.

Nathan sudah akan membalas ucapan Nathalie, namun matanya tak sengaja melihat gerbang dengan tulisan "Akademi Lancaster" tak jauh dari kereta kuda mereka.

"Ya, ya, ... Kau akan ku turunkan ..." ucapnya menggantung kalimat. Kemudian dia mengarahkan kepala Nathalie menghadap kedepan, "tapi di sana," bisiknya.

Nathalie membelalakkan matanya kaget. Ternyata mereka sudah sampai di akademi Lancaster.

"Cepatlah turun," ujar Nathan mengulurkan tangannya pada Nathalie. Nathalie menerima uluran tangan Nathan dengan cemberut.

"Kau ini kenapa? Senyum lah sedikit. Cemberut begini kau tambah jelek," ejek Nathan menggandeng tangan kembarannya itu sesuai dengan instruksi dari ayahnya tadi pagi. Katanya sih, supaya Nathalie tidak berbuat macam-macam lagi.

Nathalie menatap sekelilingnya. Banyak sekali para putra putri bangsawan disini, baik yang setingkat dengannya, maupun yang dibawahnya. Kelasnya juga bermacam-macam. Mulai dari Bronze, yakni tempat para bangsawan paling rendah, Silver tempat bangsawan menengah, dan Gold tempat bangsawan kelas atas dan untuk anggota kerajaan. Tentunya Nathalie berada di kelas Gold, tempat bangsawan kelas atas.

"Ayo," ucap Nathan menarik tangan Nathalie. Mau tidak mau akhirnya Nathalie mengikuti Nathan.

"Nathan!" panggil seorang pemuda yang tidak diketahui Nathalie namanya.

Nathan menoleh kearah pemuda tersebut. "Apa?" sahutnya.

"Kemari lah! Ada yang ingin aku tunjukkan," ujar pemuda tersebut memamerkan kotak yang dia bawa.

Nathan mengangguk. "Nathalie, kau duluan saja, aku ada urusan. Nanti di lorong ini, cari saja pintu yang berukiran emas. Di situlah kelas kita," jelas Nathan.

Nathalie mengangguk, lalu meninggalkan Nathan yang tengah menghampiri pemuda yang tadi memanggilnya.

Setelah berjalan kurang lebih dua menit, Nathalie akhirnya menemukan pintu dengan ukiran emas. Dia yakin ini adalah kelasnya. Sebelum masuk, dia menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. "Tidak perlu gugup Nathalie. Cukup kau tidak jatuh cinta saja padanya, maka kau akan berumur panjang," gumamnya menyemangati diri.

Nathalie melangkahkan kaki memasuki ruangan. Saat dia masuk, semua mata tertuju padanya. "Apa-apaan ini," batin Nathalie. Dia tidak suka jadi bahan tontonan seperti ini.

Nathalie memilih untuk mengabaikan tatapan semua orang padanya. Dia mencari bangku kosong untuk tempatnya duduk.

"Itu dia!" gumamnya setelah menemukan tempat duduk paling strategis. Tidak terlalu di depan, tidak pula terlalu di belakang.

Namun saat akan ketempat duduknya, Nathalie dihadang oleh gadis berambut biru.

Nathalie menatap gadis di hadapannya ini dengan tatapan heran. Yang ditatap pun hanya diam. Seisi kelas juga diam memperhatikan mereka berdua.

Nathalie menghela nafas lelah. "Apa lagi ini?" gerutunya dalam hati. Akhirnya dia memilih untuk melewati gadis berambut biru tersebut.

"Ternyata rumor itu benar," celetuk gadis berambut biru. Nathalie membalikkan tubuhnya. Sekarang mereka saling berhadapan.

Nathalie menaikkan sebelah alisnya, pertanda ia tak paham maksud dari ucap gadis berambut biru barusan.

"Kau benar hilang ingatan?" tanya gadis rambut biru bersidekap dada.

"Apa masih perlu ku jawab?" sahut Nathalie.

Terlihat gadis berambut biru itu terkekeh sinis. Nathalie yakin, gadis di hadapannya ini adalah salah satu musuhnya. Di novel pun dikatakan bahwa Nathalie memiliki musuh dimana-mana.

"Bahkan setelah hilang ingatan pun, cara bicaramu masih terdengar menyebalkan," ucap gadis berambut biru itu.

"Aku hanya menyesuaikan dengan cara bicaramu," balas Nathalie tak mau kalah.

Gadis berambut biru itu tertawa sumbang. "Kalau begitu, perkenalkan, namaku Alice Johanes. Musuh sejati mu," ucapnya mengulurkan tangan.

Nathalie membalas uluran tangan tersebut. "Salam kenal, musuh sejati ku."

"Kalian berdua!" Terdengar suara dari arah pintu. Di sana terlihat Nathan dan antek-anteknya tengah menatap mereka berdua.

"Aku baru tahu, ternyata ada musuh sejati," ucap Dion.

"Kau kan bodoh. Jadi mana tahu," jawab Sean. Kemudian dia menghampiri Nathalie. "Mau duduk di sampingku?" tanyanya.

"Nathalie duduk di sampingku," celetuk Nathan.

Sean tak terima mendengarnya. "Keputusan ada pa-"

"Professor datang!" teriak salah seorang murid. Sontak seisi kelas duduk ditempatnya masing-masing.

"Perkenalkan, nama saya Aldrich Peter. Saya akan menjadi pembimbing kalian selama belajar di akademi ini," jelas Professor Aldrich, memperkenalkan diri secara singkat.

"Dan suatu kehormatan besar bagi kalian semua, karena di tahun ini akan belajar, bersama anggota kerajaan yang terhormat, yakni pangeran ke dua Florenza. Pangeran silahkan masuk," sambung Professor seraya mempersilahkan pangeran Gavin masuk.

Seketika jantung Nathalie ingin copot rasanya. Dia akan bertemu dengan calon adik ipar sekaligus selingkuhan yang menyebabkannya mati muda.

Nathalie melihat seorang pemuda jangkung dengan kulit seputih susu serta bola mata berwarna biru safir masuk ke dalam ruangan. Seketika ia menutup mulutnya kaget. Tak percaya akan sosok yang ia lihat sekarang. Bukan karena ketampanannya, melainkan ... "Ba-bagaimana mungkin Justin bisa ada di sini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status