Share

Desas Desus

“Loh Pak Leo!” seru Bapak penuh rasa kaget.

“Kami salah apa?” tanya Ibu memelas.

“Oh, ternyata mereka tidak berduaan, ada Bapak dan Ibu Mira di dalam rumah. Saya salah mendengar informasinya. Jadi, saya mohon, warga kembali ke rumah masing-masing,” tegas Leo kepada semua warga yang berkumpul. Warga desa ‘pun, satu persatu mulai meninggalkan pekarangan rumah Mira, sambil mengeluarkan suara keluh kesah.

Sekarang, hanya tinggal Leo dan kedua temannya yang diam mematung memandang Ibu dan Bapak Mira dengan tajam, sambil menunggu hingga tidak ada satu ‘pun warga. “Lihatlah! Semua bisa aku lakukan untuk memperdaya banyak orang, berhati-hatilah!”

“Aku sudah mengatakan ke Mira untuk tidak lagi bertemu dengan Noval, tapi tidak dihiraukan. Sekarang lihat akibatnya. Aku bisa melakukan lebih dari yang Ibu, Bapak, dan Mira pikirkan.” Leo bersama dua temannya segera meninggalkan Ibu dan Bapak yang masih terdiam, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Kemudian Ibu tersadar, menepuk pundak Bapak untuk segera masuk ke dalam rumah. Bapak mengikuti Ibu dengan langkah lunglai karena masih merasakan getaran di kedua kakinya.

“Ada apa Bu?” tanya Mira.

Ibu menarik nafas dalam, mengelus kedua paha dengan kedua tangannya berusaha menghilangkan ketakutan dalam dirinya. “Ternyata tadi Leo yang menghasut warga. Dia berkata kepada warga kalau kamu dan Noval berduaan saja di rumah ini.”

“Astaga, dia juga bisa melakukan hal seperti itu!” seru Noval kaget merasa tidak percaya dengan yang Ibu katakan.

“Maaf sekali lagi, sepertinya, Nak Noval harus segera pulang, agar tidak terjadi sesuatu yang mencengangkan seperti tadi,” jelas Bapak setelah ketakutannya berangsur menghilang.

“Baiklah kalau begitu, saya permisi pulang dulu,” ucap Noval.

“Saya berharap, Nak Noval tidak lagi bertemu dengan Mira,” tegas Bapak.

Bapak, Ibu dan Mira mengantarkan Noval keluar rumah. “Aku akan berusaha mendapatkanmu kembali Mira, tunggu saja,” kata Noval di atas kendaraannya. Setelah itu, dia bergegas melajukan motornya dan pergi meninggalkan mereka.

Mira melihat kepergian Noval dengan kesedihan yang tidak terkira, air matanya tidak henti-hentinya mengalir. Ibu dan Bapak berusaha menguatkan Mira. “Sabar, Nak!” Hanya itu yang bisa mereka ucapkan.

Tiba-tiba Leo berjalan santai mendekati mereka, tidak tahu dari mana arah datangnya. “Bagus sekali Mira, akhirnya sekarang, hanya tinggal kau dan aku,” ucap Leo sambil bertepuk tangan, bibirnya tersenyum sinis penuh kemenangan.

Mira mendekati Leo dengan wajah yang masih basah dengan air mata, tangannya diangkat ingin menampar wajah lelaki itu. Namun dengan sigap, lelaki gagah itu menangkapnya. Kemudian, tanpa diduga, Leo mencium punggung tangannya. Mira terkejut, dengan cepat dia menarik tangannya kembali.

Leo tertawa kecil melihat respon Mira. Kemudian, dia pergi tanpa berkata apapun. 

Mira mengernyitkan dahi, bingung dengan sikap Leo.

***

Dua minggu setelah berpisah dengan Noval, perasaan Mira berangsur-angsur membaik, sehingga Ibu memberanikan diri untuk memintanya keluar rumah, saat sore yang cerah. “Mira, tolong Ibu belikan gula satu kilo di warung Mak Yah, ya!” pinta Ibu.

“Iya, Bu.”

Mira segera pergi ke warung Mak Yah, membeli keperluan yang diminta oleh Ibunya. Di sana, begitu banyak pemuda-pemudi yang berkumpul, sekedar menyeruput kopi, bercanda gurau, atau ikut mengantri untuk membeli beberapa keperluan. Warungnya cukup luas dan ramai.

“Mir, dengar-dengar kamu dijodohkan ya, dengan Leo, anak konglomerat di desa kita ini?” tanya salah satu pemuda yang sedang memegang cangkir kopi yang mau diseruputnya.

Mira menjawabnya dengan senyuman kecil, sambil menundukkan kepala karena takut dan bingung harus menjawab apa.

“Apa kamu belum pernah dengar, cerita yang beredar tentang keluarga konglomerat itu?”

“Ngeri lo Mir.”

Seorang pemuda lain yang memegang puntung rokok ditangan kanannya, menghirup rokok dalam-dalam dan perlahan melepaskan asapnya melalui bibirnya yang hitam. Kemudian, membuang puntung rokok itu, menginjaknya hingga mati dan memulai ceritanya. 

“Dulu, waktu Leo masih SMA. Ada beberapa anak laki-laki yang menghina dan memukuli Leo sampai babak belur. Ketika dia pulang ke rumah, mamanya marah sekali melihat keadaan Leo dengan wajah yang lebam.”

“Malam harinya Mama Leo segera mendatangi rumah anak laki-laki itu satu persatu, dan keesokan harinya, rumah-rumah itu sudah tidak berpenghuni.”

“Yang membuat lebih mengerikan ... seminggu kemudian, ditemukan tubuh, salah satu anak yang memukul Leo, sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Hih merinding aku kalau ingat kejadian itu.” Pemuda itu mengelus kedua tangan karena bulu kuduknya berdiri.

Seorang wanita paruh baya mendekati Mira sambil memakan gorengan ditangan kanannya, mendekatkan bibirnya ke telinga Mira, menceritakan peristiwa ketika dia memergoki Bapak Mira yang mau berhutang ke Leo . “Bapakmu sudah saya ingatkan, jangan berhutang pada keluarga kaya itu, bahaya. Mereka tidak segan-segan menerima imbalan bukan berupa uang, bahkan nyawa ‘pun bisa jadi taruhannya. Tapi Bapakmu tidak mau mendengarkan, nekat.” Wanita itu kembali melanjutkan memakan gorengannya.

Mata Mira membulat, namun berusaha tetap terlihat tenang. Segera dia mengambil gula pemberian dari Mak Yah, yang ditukarkan dengan uang kertas yang dibawanya. Gadis manis itu berpamitan dengan orang di sekitarnya, kemudian mengambil langkah seribu.

Glek!

Mira menelan ludahnya sendiri. Duduk di salah satu kursi ruang tamu, tangan kanannya masih membawa gula, pesanan dari Ibu. Keringatnya bercucuran, pengap merasakan hawa nafasnya yang hangat akibat berlari cepat.

“Ya Tuhan, cerita yang menyeramkan,” gumam Mira sambil menutup mulutnya, seakan tidak percaya dengan cerita yang baru dia dengar.

Tin!

Suara klakson mobil menghentikan pikiran Mira. Matanya memercing berusaha memperjelas pandangannya. “Oh ... Papanya Leo.” Hatinya tenang sekaligus penuh tanya, apa gerangan yang membawa Papa Leo datang ke sini?

Papa Leo menghentikan langkahnya di depan pintu ruang tamu, mengucapkan salam kemudian memberikan senyuman kepada Mira. “Kebetulan sekali, kamu berada di rumah. Saya ingin kamu sekeluarga berkunjung ke rumah kami sekarang, untuk lebih mengenal keluarga kami.”

Papa Leo melihat jam tangannya kemudian berkata kepada Mira, “Saya kira lima belas menit cukuplah untuk kamu, dan kedua orang tuamu berganti pakaian serta berdandan sedikit. Baiklah, akan saya tunggu.”

Mulut Mira masih belum tertutup, saat Papa Leo memintanya berganti pakaian. Dia tersadar, setelah Papa Leo menjentikkan jarinya tepat di depan wajahnya. “I-iya Om, saya akan bergegas,” jawab Mira dengan gerakan berdiri cepat seperti gerakan baris berbaris di perlombaan gerak jalan.

Bapak, Ibu dan Mira akhirnya tiba juga di kediaman Leo. Bangunan tiga lantai yang mewah dengan dominan cat putih membuat rumah itu terlihat begitu menawan.

“Silahkan duduk di sini, sebentar ya! Saya akan memberitahu Leo dan mamanya mengenai kedatangan kalian,” ucap Papa Leo.

Bapak, Ibu dan Mira menunggu kedatangan Leo dan mamanya dengan memandangi keadaan dalam rumah. Furniture yang berderet rapi namun modern memberi kesan mewah dan elegan bagi siapapun yang melihat. Mereka berada di ruang keluarga yang bersebelahan dengan bar kecil, betul-betul suasana yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Di belakang bar kecil tersebut, ada ruang dapur. Mira mengamati dapur itu penuh takjub, terasa berbeda dengan dapur yang dimilikinya di rumah.

“Selamat datang Keluarga Mira di kediaman Leo,” kata Mama Leo sambil menuruni tangga yang berada tepat di depan ruang keluarga. Tangganya memutar dengan karpet panjang mewah membentang di bagian tengah, memberi kesan ratu atau raja bagi siapapun yang menuruninya.

Mama Leo mengatupkan kedua tangannya, memandang bergantian ke arah Bapak, Ibu dan yang terakhir Mira. “Apa sebaiknya yang harus kami hidangkan, sebentar, coba saya lihat dulu ke dapur.” Dengan anggunnya Mama Leo melewati mereka.

Glek!

Tiba-tiba Mira ingat dengan cerita yang didengarnya di warung Mak Yah tadi. Bulu kuduknya berdiri, kedua tangannya meremas rok di ujung pahanya karena getaran ketakutan yang hebat.

Gadis manis itu mengamati gerak-gerik Mama Leo. “Astaga, serbuk apa itu, yang dimasukkan ke dalam minuman kami?” tanya Mira dalam hati, sambil menggigit bibir bawahnya karena kawatir.

Kemudian datanglah salah satu pembantu. Dia berdiri tepat di sebelah Mama Leo. Saat Mira memperhatikan dengan seksama, tiba-tiba dia melihat wanita anggun itu, seperti menghunjamkan pisau besar di bagian perut pembantu itu.

Bleb!

Suara benda yang dipotong dengan keras oleh pisau. Mira tidak kuasa melihatnya, dia menutup kedua mata berusaha menahan suara agar tidak sampai keluar. Gadis manis itu akhirnya mengalihkan wajah ke arah kedua orang tuanya. Matanya masih tertutup, tangannya gemetaran.

“Silahkah dicicipi hidangan kami ini!” ajak Mama Leo sambil membawa minuman.

Mira memberanikan diri membuka kedua matanya, ditelan air salivanya sekali lagi. Diamatinya wajah Ibu dan Bapaknya penuh resah. “Minuman apa ini, apakah ini aman untuk kami?”

“Bagaimana kalau itu beracun?”

“Bagaimana caranya bisa keluar dari sini dengan selamat?” tanya Mira dalam hati.  Bibirnya digigit, geram dengan kedangkalan pikirannya.

“Hai, Mir.” Mira terperanjat dengan keberadaan Leo yang duduk tepat dihadapannya.

“Sejak kapan dia berada di situ?” batin Mira.

“Besok malam ikut aku, ya?” ajak Leo sambil menyodorkan undangan di depan Mira.

Tiba-tiba ketakutan Mira menghilang berganti dengan rasa penasaran. “Undangan apa ini?” tanya Mira sambil menerimanya.

“Buka saja,” pinta Leo sambil meletakkan kakinya di atas kaki satunya dengan santai.

Mira membuka undangan itu, kemudian membacanya. “Apa?!” teriaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status