TULPA
4. Obat Penenang
"Kejora, ayo sarapan!"
Teriakan mama membuatku mempercepat gerakan menyisir rambutku. Dengan sedikit terburu-buru, kugapai tas sekolahku dan segera menuruni anak tangga menuju ruang makan. Sesampainya di sana, kulihat mama tengah mengolesi satu helai ratu lapis dengan selai kacang kesukaanku. Mama tersenyum, menyambut kedatanganku.
"Pagi," sapaku.
"Pagi juga," balas mama.
Kududuk di bangku, mengambil satu lapis roti yang sudah disiapkan oleh mamaku. Mama juga sama, dia tengah menikmati sarapannya. Suara dering telepon milik mama, mengalihkan atensi kami. Mama dengan segera bangkit untuk mengangkat telepon. Aku hanya memandangnya seraya mengigit roti milikku. Aku mengernyit, ketika mendapati mama yang tampak terburu-buru setelah mengangkat telepon.
"Maaf, Kejora hari ini mama tidak bisa mengantarmu ke sekolah. Mama harus segera pergi ke kantor, kamu tidak apa-apa 'Kan?" ujarnya.
Aku hanya mengangguk seraya tersenyum tipis. Membuat mamaku menghela napas lega. Dia berjalan ke dalam kamarnya, mengambil tas kerja dan kunci mobil. Mencium keningku sesaat sebelum akhirnya mama pamit untuk berangkat pergi. Kini hanya tersisa diriku yang duduk seorang diri di ruang makan. Tidak ada, Kelabu. Itu membuatku bosan. Memutuskan untuk segera menghabisi sarapan, aku beranjak siap berangkat ke sekolah dengan langkah ogah-ogahan. Siapa yang akan bersemangat berangkat sekolah bila sekolah adalah tempat yang membuatmu tidak nyaman sama sekali?
Aku menunduk. Beberapa warga mencoba beramah tamah denganku, menyapaku, walau pada akhirnya aku hanya mengangguk saja. Inilah aku, gadis pendiam yang sulit berinteraksi lebih tepatnya malas. Aku terlanjur sulit percaya pada orang-orang di sekitar, mengingat perilaku teman-teman satu sekolahku yang menyebalkan.
Kutendang batu kerikil seraya menyusuri jalanan. Tidak peduli dengan keramaian, tidak peduli dengan orang yang berlalu-lalang. Aku terus menunduk seraya berjalan malas. Tidak terasa, gedung sekolahku mulai terlihat di depan sana. Memang benar, jarak antara rumah dengan sekolahku tidak terlalu jauh. Berjalan kaki saja hanya membutuhkan sepuluh menit saja, mamaku saja yang sering meluangkan waktu untuk mengantarku, padahal aku sering menolaknya karena yakin waktu mama tidak terlalu senggang untuk itu. Menjadi sosok ibu sekaligus kepala keluarga tidaklah mudah, aku tahu betul itu. Maka dari itu, aku memaklumi semua yang mama lakukan.
"Selamat datang di neraka dunia," gumamku ketika kedua kakiku berhenti tepat di gerbang sekolah.
Lihatlah, baru saja sampai di depan gerbang, dapat kurasakan tatapan menghunus ke arahku. Menghela napas panjang, mencoba menyemangati diri sendiri. Semuanya akan baik-baik saja. Setelah hampir lima menit berdiam diri seperti orang bodoh di depan gerbang, akhirnya aku memberanikan diri untuk melangkah masuk. Mencoba menghiraukan bisikan dan gunjingan mereka. Aku terus menerobos para manusia-manusia menyebalkan itu.
Aku menghela napas lega, setelah sampai di depan ruang kelasku. Meraih knop pintu, membukanya. Byur! Memejamkan kedua mata, dapat kurasakan kini semua tubuhku basah kuyup. Pegangan pada knop pintu mengerat, ketika mendengar gelak tawa dari teman-teman sekelasku maupun dari kelas lain. Bau busuk, menusuk hidungku.
"Iyuh, bau!"
Suara menyebalkan Diana terdengar. Sontak aku membuka mata. Diana di dalam sana tampan bergidik jijik ke arahku. Begitu pula dengan sang pacar yang duduk di sebelahnya, merangkul gadis itu posesif. Dapat kutebak bahwa semua ini adalah ulah sepasang bullying itu.
"Huuuuu, bau!"
"Udah persis kaya sampah!"
Aku kembali memejamkan kedua mataku, ketika merasakan sesuatu terlempar di atas kepalaku. Cairan berwarna hitam keputihan meluncur melewati dari. Kuseka, bau busuk seketika meruak. Itu, telur busuk. Kukepalkan kedua tanganku menahan amarah. Cukup, ini keterlaluan!
Ekor mataku menangkap sosok Kelabu yang berdiam diri di pojok ruang kelasku. Dia hanya diam, menatapku. Apa-apa ini?! Kenapa, Kelabu diam saja tanpa menolongku? Bukankah dia pernah berkata jika dirinya akan menjagaku? Tetapi, sekarang apa?
Mataku memanas. Bukan karena tindakan bullying yang menjadi-jadi yang kuterima saat ini. Aku tidak peduli semakin banyak telur busuk yang melayang ke arahku. Aku hanya memikirkan Kelabu. Apakah selama ini aku terlalu berharap kepadanya? Tetapi, kenapa rasanya sesesak ini? Tanpa sadar, air mataku mulai menetes. Sakit melihat Kelabu yang membiarkanku diperlakukan seperti ini, membuatku untuk segera pergi dari sana. Aku tidak kuat, melihatnya hanya berdiam diri saja. Bodoh! Aku bodoh! Sudah berharap lebih kepadanya.
Kututup pintu kamar mandi dengan keras, tidak lupa menguncinya. Mulai menumpahkan semua tangisanku. Aku membenci Kelabu. Aku membencinya. Dan aku, membenci diriku sendiri yang terlalu berharap padanya. Kugigit bibir bawahku, menahan suara isak tangis agar tidak lolos sampai terdengar dari luar. Menangis dalam diam. Setelah puas, aku mulai mencuci muka. Mencoba menghilangkan bengkak yang terlihat jelas di bawah mataku. Kelabu benar-benar sialan, bisa-bisanya dia membuatku menangis sampai separah ini. Awas saja jika dia datang nanti malam ke kamarku, akan kuacuhkan dirinya.
Suara ketukan pintu, membuatku terhenti. Aku menoleh, penasaran siapa yang mengetuk pintu kamar mandi yang sedang aku gunakan.
"Kamar mandi ini ada orangnya, pindah saja!" ketusku.
Namun, suara ketukan pintu masih terdengar. Aku mendengus, dengan kesal kubuka pintu kamar mandi. Terdiam, ketika di depan pintu sudah berdiri Kelabu yang menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.
"Kenapa?" tanyaku dingin. Dia tidak menjawab.
Disodorkannya satu set seragam sekolah kepadaku. Aku hanya melirik, masih enggan menerimanya.
"Maaf," ucapnya. Dia menunduk. Melihat itu entah mengapa perasaanku bergemuruh, tidak bisa membiarkan ekspresi mendung itu untuk terus-menerus. Menghembuskan napas panjang, akhirnya aku menerima pakaian itu.
"Terimakasih," ucapku.
Seketika dia mendongak. Tersenyum lebar kepadaku, kubalas dengan senyum tipis. Lalu, menutup pintu untuk berganti pakaian. Aku bersyukur, jika tidak ada Kelabu yang memberikanku pakaian, entah bagaimana nasibku sekarang. Rasa kesalku perlahan hilang. Kelabu benar-benar memiliki sesuatu yang membuatku lemah terhadapnya. Sekali lagi aku bercermin, mengecek penampilanku. Bawah mataku sudah tidak terlihat membengkak. Syukurlah.
Dengan suasana hati yang mulai membaik, aku membuka pintu kamar mandi. Tidak ada sosok Kelabu lagi di sana. Aku bahkan sampai menyusuri kamar mandi hanya untuk mengecek apakah Kelabu masih ada di sana. Tetapi hasilnya nihil. Ke mana Kelabu pergi? Kedua bahuku seketika melorot.
"Mungkin dia ada urusan," gumamku.
Lagi-lagi aku berharap padanya. Aku berharap Kelabu masih setia menungguku dan akan mengantarkanku ke kelas. Kupukul kepalaku, mencoba mengenyahkan halusinasi yang mulai merangkak memenuhi pikiranku. Sadar, Kejora jangan mudah berharap atau berhalusinasi lagi seperti itu jika tidak mau dijatuhkan oleh kenyataan.
***
Kulempar tas sekolahku ke kasur. Lalu, menghempaskan diri ke kasur. Menatap langit-langit kamar. Mama belum pulang dan aku yakin pasti mama akan kembali lembur seperti yang sudah-sudah. Kupejamkan kedua mataku, penat. Sebuah sapuan halus di pipiku, membuatku tersenyum tipis.
"Kelabu?" ujarku masih dalam posisi memejamkan mata.
"Hm?"
Tidak salah lagi, suara itu adalah suara Kelabu. Kubuka mataku dan beralih menjadi posisi duduk. Kupeluk dirinya, tumpah sudah tangisku. Dapat kurasakan sesaat tubuhnya menegang mendapatkan pelukan dariku secara tiba-tiba. Kurasakan tangan lembutnya mengelus lembut punggungku.
"Kau–kau menyebalkan!" ujarku. Tangan kiriku sudah memukul dadanya kesal. Dia tidak menjawab.
"Kau bohong! Katanya kamu akan menjagaku! Tapi–tapi tadi apa?" Kekesalanku meluap. Kelabu belum juga menjawab. Sampai tangisku perlahan mereda. Kelabu melepaskan pelukan kita. Mengusap air mataku dengan ibu jarinya.
"Maafkan aku. Saat itu aku tidak bisa menolongmu," ujarnya penuh sesal.
"Kenapa?" tanyaku gemetar.
Kelabu terdiam. Hening menyapa kami berdua.
"Karena kamu belum sepenuhnya menerima kehadiranku, Kejora." Jawabannya membuatku kesal.
"Kalau begitu mulai sekarang aku sudah menerimamu sepenuhnya!" jawabku. Tangisku kembali pecah. Aku kesal, sungguh.
"Terimakasih," balas Kelabu seraya tersenyum. Aku mengangguk saja. Ditariknya lenganku pelan, membawanya ke dalam dekapannya.
Entah mengapa, aku sangat nyaman di dalam pelukannya. Hangat dan menenangkan. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang berbau coklat manis bercampur dengan aroma air hujan yang merembes ke dalam tanah. Menyejukkan. Dan kini, aku menyatakan bahwa pelukan Kelabu adalah obat penenangku.
Bersambung ....
TULPA5. BersamanyaPagi ini cukup menggemparkan untukku. Bagaimana tidak? Sosok Kelabu sudah dengan rapi mengenakan seragam SMA yang sama denganku. Bahkan, dia dengan semangatnya berujar 'hai' saat pertama kali kumembuka mata. Tentu saja hal itu membuatku terkejut luar biasa, mengingat wajah Kelabu yang cukup dekat dengan wajahku saat itu.Kini aku sudah siap dengan seragamku. Pertama kali keluar dari kamar mandi, dapat kulihat Kelabu yang tengah duduk di kursi belajarku seraya membaca buku pelajaranku. Tidak tahu pasti apakah dia benar-benar membacanya atau hanya membolak-balikkannya saja. Aku mendekat, mengajaknya untuk turun ke bawah. Beberapa kali memanggil nama mama, tetapi tidak ada sahutan. Kutatap Kelabu, dia masih setia berdiri di belakangku, mengerjap polos, membuatku gemas akan tingkahnya."Kau lapar?" tanyaku. Dia mengangguk lucu. Dengan segera aku menyiapkan roti selai untuknya dan
TULPA6. Pengganggu"Ini hasilnya menjadi tiga bukan dua, Kelabu."Aku menghela napas panjang, ketika menatap Kelabu yang malah mengembungkan kedua pipinya seraya menggeleng tegas. Dia masih bersikukuh dengan jawabannya yaitu dua. Di saat, ditanya mengapa dia pilih dua, karena dia maunya kaya gitu. Mengingat hal itu, membuatku harus sabar mengajari cowok itu. Memilih mengangguk kecil, mengiyakan jawaban Kelabu. Lelah rasanya bila terus berdebat dengannya.Lihatlah, hanya dengan melihat senyum manisnya yang sekarang mengembang, rasa kekesalanku kepadanya seketika menghilang. Kini, dia mulai berkutat ke nomer lainnya. Ya, malam ini aku memutuskan untuk mengajarinya menghitung dan membaca. Untungnya, Kelabu adalah anak dengan tingkat kepahaman yang tinggi, jadi tidak membutuhkan waktu lama Kelabu dapat menguasainya. Jujur saja, aku cukup terkejut ketika dia menanyakan deretan angka-angka yang berada di buku pak
TULPA7. Rai dan Hilangnya Kelabu"Incess Rai datang! Karpet merahnya mana?!"Aku menatap malas pintu depan rumahku yang sudah berkali-kali diketuk oleh sepupuku, Rai. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa pintu tersebut tidaklah dikunci. Dengan malas, kumelangkah membuka pintu rumahku dengan terpaksa, mempersilahkan gadis dengan rambut panjang, bergelombangnya dengan bando merah bertengger cantik di atas kepalanya itu. Tangan kanannya sibuk, mengoleskan bedak yang dipegangnya seraya mengaca."Itu bedak belum luntur juga." Rai menatapku sinis."Iri bilang sepupu!" balasnya lalu melangkah berlenggak-lenggok memasuki rumahku.Aku menghela napas panjang, sudah dipastikan kehidupanku untuk dua minggu ke depan tidak akan tenang. Mengingat sifat dan sikap sepupuku ini. Lihatlah, bahkan sekarang Rai dengan santai duduk di sofa ruang tamu seraya melemparkan kopernya
TULPA8. KeanehanAku termangu, duduk di bawah pohon mangga yang baru berbunga. Angin silir menerpa, membuat beberapa anak rambutku turut berkibar. Mengembuskan napas sekali lagi, sudah satu minggu sosok Kelabu menghilang. Entah ke mana dirinya pergi, membuat isi hatiku turut bersedih. Aku merasa kesepian tanpanya. Sunyi, senyap. Kehidupanku terasa seperti semula. Di mana dia? Apakah dia mulai bosan berteman denganku? Atau ada sesuatu yang terjadi dengannya? Rasa cemas dan takut akhir-akhir ini berhasil membuat jam tidurku terganggu. Terkadang, pukul dua pagi aku terbangun, terkadang aku baru bisa terlelap pada pukul dua belas malam. Rai juga beberapa kali berhasil memergokiku yang tengah melamun dan berakhir dengan godaannya. "Sedang putus cinta ya?" Godanya waktu itu. Dan hanya kubalas dengan gumaman saja. Putus cinta? Aku pun tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Yang aku tahu, aku takut kehilangan Kelabu. "Jauhin dia."Aku sontak menoleh, menatap sengit sosok Kelam yang kini
TULPA9. ImajiBruk! Aku mengembuskan napas berat. Suara tawa menggelegar. Aku hanya bergumam pelan, meratapi nasibku yang masih saja menjadi korban bullyan mereka. Mencoba mempertahankan wajah biasa-biasa saja, aku segera bangkit seraya menepuk-nepuk pelan rok sekolahku yang sedikit berdebu karena terjatuh. Kali ini aku memang berangkat sendirian. Rai dengan kurang ajarnya meninggalkanku tanpa membangunkan aku. Ya, aku bangun kesiangan karena jam alarmku rusak semalam. "Woi!"Teriakkan Rai berhasil membuat mereka yang semula tertawa senang karena aku terjatuh dengan tidak elitenya segera bungkam. Mereka langsung membubarkan diri, tidak mau berhadapan dengan sepupuku yang entah mengapa akhir-akhir menjadi superhero untuk kehidupanku yang kelam. Ngomong-ngomong soal Kelam, cowok itu semakin bertingkah aneh. Setiap kali kudapati dia diam-diam memperhatikanku dari jarak jauh. "Ra, gapapa 'Kan?" Aku mengerjap. Tersadar akan lamunan. Dengan segera aku mengangguk untuk membalas pertanyaa
TULPA10. Mimpi“Kejora....” Aku menoleh. Suara Kelabu terdengar sangat menyenangkan. Ada apa dengan Kelabu? Apakah terjadi sesuatu dengannya? "Kejora...." Rintihan itu.... "Kelabu?" Aku memanggil. Coba mencari sosoknya. Saya sendiri dibuat bingung dengan suasana yang kini berada di sekelilingku. sebuah padang rumput, dengan beribu kunang-kunang yang berterbangan ke sana kemari. Angin kecil berhembus, bersamaan dengan suara Kelabu yang kembali terdengar. Seakan-akan angin yang telah mengantarkan suara Kelabu untukku melaluinya. "Kelabu?" Suaraku meninggi. Rasa takut dan bercampur menjadi satu. Aku mulai melangkah. Mengandalkan indera pendengarku, aku mencoba mencari sumber suara Kelabu. Kedua mataku menyipit. Mencoba dengan melihat sosok yang berbaring di sebuah pohon beringin yang berdiri kokoh beberapa meter di depanku. Siluet seseorang yang tengah menyandar di batang besar pohon itu. Entah mengapa, detak jantungku semakin cepat. Apa suara Kelabu yang berasal dari sana. Apakah
TULPA11. Kue Kering HarapanKutopang menggunakan kedua tanganku. Menatap keluar jendela. Siluet matahari yang mulai terbenam, menjadi titik pandanganku. Walau nyatanya, pikiranku bukan tengah mengagumi keindahan hari ini. aku menatap kedua mataku saat sapuan halus dari angin sakit saat menyapanya. Memang dengan sengaja jendela kamarku kubuka lebar, setidaknya itu bisa membuat pikiranku lebih segar. "Non, ada telepon dari nyonya," suara Bibi Sum membuatku tersadar darilamunan. Dengan langkah tergesa-gesa aku menuju ke lantai pertama karena telepon rumah terletak di sana. Beberapa hari tanpa memberi kabar kepadaku, membuatku yakin mama. Apakah mama istirahat dengan baik di sana? "Halo, Bu?" Aku membuka suara. "Sayang, kepulangan mama diundur dua hari. Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan Rai? Ngomong-ngomong Bibi Sum sudah kembali bekerja bukan?" tanya mama bertubi-tubi. Aku mengangguk, walau aku tahu mama tidak akan melihatnya. "Kami baik-baik saja, Ma. Iya Bibi sudah kembali
TULPA12. Cewek Gue! Pagi ini, aku berangkat ke sekolah sendirian. Rai tiba-tiba jatuh sakit. Tadi pagi dia berkata padaku bahwa dia merasa tidak enak badan. Benar saja saat kucek, dia mengalami demam. Tidak ada sosoknya, sudah dipastikan mereka akan melakukan semena-mena lagi padaku. Ibaratnya, Rai itu adalah pengganti sosok Kelabu yang selama ini akan menjagaku saat dirundung. Sepupuku itu walau terkesan centil, dia juga memiliki sifat bar-bar dan mulut pedas. "Lihat mainan kita berangkat sendirian, Sayang." Suara itu berhasil membuat tubuhku menegang. Mencoba rileks, aku mendongak. Benar saja di kursi depan kelas duduk sepasang kekasih bullying yang selama ini sudah jarang menggangguku karena kehadiran Rai. Mencoba tidak peduli, aku mempercepat langkah. Segera melewati mereka. Tetapi, rupanya mereka sudah sangat rindu denganku sehingga tidak ingin melepaskanku begitu saja. Kucengkeram kuat, kedua tali tasku. Mencoba mengurangi rasa takut yang mulai bergelayar di tubuhku. Jangan