Share

Pulang

***

“Ahh aku sungguh lelah!”

“Ada apa sobat?”

Yuno berjalan menuju kasur besar nan mewah Isaac. Terdapat empat bantal dengan selimut raksasa yang membentang di atasnya, juga ornamen di bagian sandaran depannya yang terlihat mahal. Yuno duduk di tepi dan bergaya meninju salah satu bantal Isaac yang tidak terpakai.

“Ahhh!”

“Biar kutebak! Kau habis uhuk... dimarahi?”

“Kau sepertinya tidak perlu menebak untuk hal ini.”

“Benar juga, semua kan sesuai dugaanku.” Isaac berlagak mengusap janggutnya yang sama sekali belum tumbuh.

“Ibumu sang Ratu alias nyonya besar, memarahiku cuma gara-gara aku memakan ikan dengan tangan!”

Isaac memiringkan kepalanya tanda kebingungan.

“Lalu?”

“Aku sudah mencuci tangan! Lagi pula duri ikan itu sangat banyak! Bagaimana bisa aku makan sementara tanganku sibuk dengan sepasang sendok dan garpu sedang ada begitu banyak duri yang boleh jadi akan menusuk leherku kemudian aku tersedak?”

“Oi oi uhuk... tenanglah sedikit sobat. Kau pernah belajar soal tata bahasa dan titik koma bukan?”

“Entahlah.”

“Memang begitu sobat. Tapi bukannya kepala pelayan sudah bertanya kepadamu sebelum dia menghidangkan makanan?”

“Hmm? Memangnya ada?”

Yuno mengingat pertemuannya dengan kepala pelayan beberapa jam lalu.

***

“Paduka Yuno. Untuk malam ini kami akan menghidangkan ikan slevish segar dari sungai Indu. Karena itu, saya ingin bertanya enis masakan apa yang sekiranya akan Paduka nantikan malam ini?”

“Hmm? Apaan dah?”

“Kalau Paduka tidak keberatan, saya bisa memberikan beberapa rekomendasi.” Kepala pelayan itu menundukkan kepala, membuat topi tingginya hampir mengenai Yuno.

“Contohnya?”

“Kami bisa memasakan hidangan rebus, sup, bakar, dikukus dengan uap, dengan bara, atau bahkan dibungkus dengan tanah liat. Juga untuk persiapan ikannya bisa dijadikan fillet, ikan segar utuh, atau yang sudah dipotong-potong.”

Yuno melirik ke atas seperti menimbang-nimbang saran dari kepala pelayan itu.

「DIkukus dengan bara? Apa itu? Apa orang ini mau menghanguskan masakannya sendiri?」

「Lalu apa-apaan dibungkus dengan tanah liat? Aku tidak mau memakan makanan yang tercampur dengan pasir dan lumpur, apalagi sering ada kerikil dan benda aneh di dalam tanah liat. Memangnya mereka anak kecil yang sedang bermain masak-masakan apa?」

“Eh mmm... begini...”

“Ada apa, Paduka?”

“Katakan saja pada Chaplin untuk memasak makanan yang paling biasa saja. Aku tidak perlu yang aneh-aneh.”

***

“Astaga kawan. Kau benar-benar meminta uhuk... itu untuk disajikan?”

“Ya mau bagaimana lagi. Karena tahu masakannya adalah ikan, aku tidak mau ambil pusing untuk memilih makanan yang paling tidak jelas bagaimana nanti bentuknya.”

Isaac hanya diam dan menatap Yuno dengan wajah seperti menahan tertawa.

“Lalu kau tahu? Chaplin bodoh itu bahkan tidak mengeluarkan isi perut dari ikan ini. Dia benar-benar seperti merebus ikan ini di dalam sebuah panci dan meninggalkannya begitu saja. Kemudian dia meminta kepala penjaga itu untuk menyajikan ini kepadaku bahkan tanpa garam!”

“HAHAHAHAH uhuk uhuk...”

“Hei, Isaac. Bukannya waktu itu kau sudah terlihat baikan? Kau sedang tertekan oleh apa sampai kambuh kembali seperti ini?”

“Ah bukan apa-apa, aku juga kurang mengerti. Anggap saja ini karena aku yang terlalu bersemangat karena jarang bisa mendengar orang bercerita dan menanggapinya.”

“O-oh... begitu, ya?”

Isaac mengangguk, lalu mengangkat tangan dan mengarahkannya kepada Yuno, memintanya untuk melanjutkan cerita.

“Ikan itu ampas! Makanannya bahkan terlihat lebih buruk daripada bubur pucatmu itu. Aku akan menendang bokong Chaplin sehabis ini. Kebetulan sekali, kapan lagi aku bisa memarahi orang tanpa takut akan dihajar balik.”

Yuno bertingkah sombong seperti Isaac tadi, mengelus-elus janggut yang masih licin.

“Kau meminta yang biasa uhuk... tentu saja dia menghidangkan hidangan paling minimal. Omong-omong bagaimana kau bisa mengenal kepala koki— Chaplin? Bukannya kau baru uhuk... beberapa hari tinggal di sini?”

“Hei hei, kau tiduran saja dulu.” Ucap Yuno sambil membantu menurunkan tubuh Isaac yang terlihat sudah sangat kelelahan sejak tadi.

“Aku baik-baik saja, lanjutkan ceritamu!”

“Minimal dengan artinya masakan tanpa usaha? Bahkan adikku yang baru bisa berjalan bisa memasak ini. Dia tinggal meminta orang menyalakan kayu bakar dan menuangkan air ke dalam panci, kemudian tinggal melempar ikan sembarang ke dalam panci itu.”

“Hahahahaha. Nanti kau minta saja roti atau semacamnya kepada pelayan yang sering berjalan melewati lorong istana.”

“Tentu akan kulakukan. Ibumu sang Ratu alias nyonya besar benar-benar memaksaku untuk mengunyah daging itu. Yang pada akhirnya tidak kuhabiskan karena Ayahmu juga terlihat tidak menghabiskan makanannya. Untung Ibumu tidak protes melihatku.”

Isaac tidak menjawab dan hanya menurunkan kepalanya sedikit ke bawah.

“Apa jangan-jangan kau tidak dekat dengan Ayahmu? Tenang saja sobat, selama aku ada di sini, aku akan mencari cara agar kejadian lama seperti kau mencuri beberapa koin tembaga dari laci kerja Ayahmu tidak akan diungkit lagi!”

“Aku ini bangsawan, Yuno. Bagaimana mungkin kau berpikir aku mau rela-rela  berusaha hanya untuk mencuri beberapa koin tembaga dari laci Ayahku sendiri?”

Yuno menaikkan dagunya seperti baru paham sesuatu.

“...dan bagaimana pula Ayahku sang Raja bisa mempermasalahkan koin tembaga hingga menjadi konflik internal?”

“Begitu, ya? Aku mengerti aku mengerti.”

“Aku harap kau benar-benar mengerti.”

Isaac menghela napas sambil menggeleng-geleng kebingungan.

「Kacau udah orang ini. Aku sungguh berharap dia tidak meruntuhkan kerajaan karena tidak sengaja melakukan perbuatan bodoh kepada salah satu bangsawan. Seperti tidak sengaja memanah bokong tamu politik misalnya.」

“Omong-omong soal Ayah. Aku merasa keluargaku bisa-bisa akan cukup khawatir kalau aku terlalu lama meninggalkan rumah tanpa izin. Sepertinya pagi-pagi buta nanti aku akan menyelinap untuk kabur dan kembali ke rumah.”

“Tetapi gerbang kerajaan selalu dijaga ketat oleh ksatria yang bersiaga bukan? Mereka berpatroli dan berjaga setiap satu jam.”

“Tenang saja sobat. Dan lagi kau harus lebih banyak berkeliaran menyapa bawahanmu! Aku menemukan jalan masuk istana yang dijaga oleh kenalanku sendiri.”

“Memangnya kapan kau mengenalnya?” Isaac bertanya seperti itu karena Yuno baru saja pindah ke kerajaan ini beberapa hari yang lalu. Tidak mungkin dia sudah membuat banyak hubungan dengan berbagai orang.

“Kemarin!”

Kalau saja Isaac punya penyakit jantung, mungkin dia sudah lemas dari tadi.

“Aha iya, terserahmu saja. Tetapi kalau misalnya kau sampai ketahuan, berhati-hatilah kepalamu bisa menghilang.”

Yuno menelan ludah mengingat kemungkinan itu masih ada.

“... dan lagi aku sepertinya tidak bisa membelamu.”

“Kenapa?”

“Menurutmu Raja dan Ratu akan membiarkan aku keluar dan bicara di depan umum untuk memberikan pernyataan kalau kau adalah anak kampung yang baik hati? Tentu tidak. Mereka akan mengurungku di kamar dengan dua puluh dokter dan perawat yang akan membuat kamar seukuran gaban ini terasa pengap dan sesak.”

Yuno mengangguk-angguk. Ia berpikir kalau ada baiknya dia juga tidak berbicara dengan Chaplin ataupun penjaga mengenai rencananya untuk pulang pagi besok.

“Mumpung kau masih punya waktu beberapa jam hingga bisa memastikan kebanyakan orang di istana sudah tidur. Bagaimana kalau kau mencoba berbaring di kasur ini? Aku kasihan melihatmu harus tidur di sofa itu kemarin.”

Sedikit yang Isaac tahu kalau Yuno sudah lama tidak tidur di kasur semenjak dia sudah dianggap dewasa. Ia pindah ke kamar lain dan tidur di atas semacam karpet bambu yang disebut tatami. Ia sudah tidak asing dengan banyaknya bekas tidur karena tekanan dari tatami. Bahkan untuk kasurnya sendiri yang digunakan oleh orang tuanya, hanya diisi oleh sedikit kapuk yang sudah memadat menjadi sangat keras.

Membayangkan tawaran Isaac untuk tidur di atas kasur gila yang tak pernah diimpikan Yuno membuatnya tak ingin menolak karena takut menyesal. Sofa yang ia tiduri semalam bahkan sudah sangat nyaman apabila dibandingkan dengan tatami keras berlipat. Isaac dan dirinya juga tidak memiliki tubuh yang begitu besar hingga tak perlu khawatir sama sekali kalau kasurnya menjadi sempit, masih ada banyak ruang sisa yang tersedia.

“Ba-baiklah, k-kalau begitu. A-aku permisi sebentar...”

Yuno menyingkap selimut yang menutupi bagian atas kasur, pelan-pelan meraba benda empuk itu dan mulai masuk dengan hati-hati.

「WOH INI GILA. ASTAGA INI GILA, AKU AKU AKU AKU AKU—」

Yuno tertidur tanpa sempat memuji apapun.

“Astaga anak ini? Aku pikir ia akan begitu bersemangat hingga mau menemaniku begadang malam ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku akan berjaga dan membangunkannya saat pagi nanti.”

Isaac menjulurkan tangannya ke samping, kemudian memutar sebuah lampu minyak di dekat kasurnya, membuat cahaya menjadi redup. Kemudian ia mengeluarkan sebuah buku dari balik selimutnya dan mulai membaca.

Jangn pernah meniru kebiasaan bangsawan penyakitan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status