Home / Fantasi / Tabib Jenius / Bab 1 Langkah Pertama Sang Tabib

Share

Tabib Jenius
Tabib Jenius
Author: sainal

Bab 1 Langkah Pertama Sang Tabib

Author: sainal
last update Last Updated: 2025-04-14 10:04:21

Kabut tipis menggulung pelan di lereng Gunung Bahal Batu, menari di antara pohon-pohon damar tinggi dan batu-batu purba yang diselimuti lumut. Di sebuah bangunan tua beratap ijuk, berdiri seorang pemuda berbaju abu-abu bersih, dengan mata jernih bagaikan danau tenang dan senyum lembut di wajahnya. Dialah Ardin Siregar, murid utama dari tabib legendaris yang dikenal dengan nama Guru Sakti dari Langit Selatan.

Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Ardin telah menguasai berbagai teknik pengobatan langka, mulai dari akupunktur spiritual, hingga meramu obat-obatan yang hanya bisa dipetik saat cahaya bulan menyentuh embun pertama. Namun, hari itu bukan hari untuk belajar. Hari itu adalah hari perpisahan.

“Ardin, waktunya kau meninggalkan gunung ini,” ucap sang guru, seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan sorot mata tajam bagaikan elang. “Dunia luar lebih luas dari bayanganmu. Tapi kali ini, tujuanmu bukan sekadar menolong orang sakit. Kau harus pergi ke Kota Jakarta dan menemui tunanganmu.”

Ardin terdiam. “Tunangan? Guru, saya belum pernah mendengar soal ini.”

Sang guru tersenyum samar. “Pertunangan ini diatur olehku dan sahabat lamaku, kakek dari seorang gadis keturunan bangsawan. Kau belum mengenalnya, dan dia pun belum tahu siapa kau. Tapi perjanjian ini suci. Dia telah tumbuh menjadi wanita kuat CEO dari perusahaan raksasa di kota. Namanya Saraswati Marga.”

Nama itu terasa asing di telinga Ardin, namun juga membangkitkan rasa penasaran.

“Guru, mengapa saya? Bukankah dia hidup di dunia yang berbeda dengan saya?” tanyanya, ragu-ragu.

“Karena hanya kau yang pantas untuknya. Dan karena dunia ini mulai berguncang. Kau harus turun gunung. Takdirmu menunggumu di kota.”

Tanpa banyak bicara lagi, Ardin membungkuk hormat dan mengambil tas kain kecil berisi ramuan serta gulungan sutra kuno. Ia mengenakan jubah sederhana, membawa tongkat kayu ulin sebagai penyangga, lalu melangkah turun dari gunung yang telah menjadi rumahnya selama sepuluh tahun.

Perjalanan menuju kota tidak semudah yang dibayangkannya.

Di tengah perjalanan menyeberangi Hutan Lasuai, ia bertemu dengan beberapa binatang buas tingkat rendah, tentu saja dengan kekuatannya saat ini itu tidak menjadi ancaman baginya. Ketika sampai di kaki gunung Hutan Lasuai, ia mendengar suara teriakan terdengar dari balik semak-semak.

“Lepaskan aku! Dasar bandit!”

Ardin segera melompat ke balik semak-semak dan mendapati tiga pria bertubuh kekar mencoba menarik seorang gadis muda. Ia mengenakan kemeja putih yang kini kusut, wajahnya bersimbah keringat namun sorot matanya tetap tajam.

Tanpa ragu, Ardin maju.

“Cukup,” ucapnya tenang.

Para bandit menoleh dan tertawa. “Anak desa mau jadi pahlawan? Minggat sebelum kau ikut kuhajar!”

Tapi sebelum mereka sempat menyerang, Ardin mengayunkan tongkatnya satu kali. Udara berdesir tajam. Tongkat kayu itu menghantam dada salah satu bandit, melemparkannya dua meter ke belakang. Yang lain mencoba menyerang dari samping, namun gerakan Ardin terlalu cepat dia memutar tubuhnya dan menusukkan dua jari ke titik akupuntur di bahu lawan.

Sekejap saja, bandit itu jatuh ke tanah, lumpuh.

Bandit terakhir gemetar dan kabur tanpa menoleh lagi.

Gadis yang diselamatkan itu menatap Ardin dengan mata terbelalak. “Kamu… siapa sebenarnya?”

“Pemuda tampan,” jawab Ardin sambil tersenyum. “Dan tampaknya kau butuh pertolongan. Sepertinya kamu terkena racun ular.”

Ia berlutut, membuka kotak kecil dari tas kainnya, lalu menempelkan ramuan hijau ke kaki sang gadis, setelah itu ia memasukkan jarum akupunktur, kurang dari 5 menit cairan hitam mulai mengalir keluar jarum akupunktur dan si gadis pun terkejut saat rasa sakitnya menghilang dalam waktu kurang dari satu menit.

“Selesai….”

Gadis itu masih memandangnya dengan curiga namun terkesan. “Namaku… Naya. Terima kasih,.”

Ia tidak menyebutkan bahwa dia adalah sekretaris pribadi dari CEO muda paling berpengaruh di Kota Jakarta.

Mendengar gadis itu menyebutkan namanya, Ardin cuma tersenyum dan berbalik pergi tanpa berkata apa-apa.

Setelah melewati beberapa desa, Ardin akhirnya tiba di kota. Dunia modern menyambutnya dengan bangunan tinggi, kendaraan berseliweran, dan suara bising yang jauh dari damai gunung. Ia mengenakan baju sederhana dan membawa tas kain usang, membuatnya tampak seperti pengembara biasa di mata orang kota.

Namun di matanya, ia melihat lebih dari sekadar beton dan logam. Ia melihat aliran energi mengalir di bawah tanah, roh-roh halus yang terjebak di tiang-tiang lampu, dan Qi yang kacau dari manusia yang tak lagi seimbang dengan alam.

Ia berjalan menuju gedung tinggi bertuliskan ‘Marga Corporation’, sesuai petunjuk yang diberikan gurunya. Saat hendak masuk, ia dihentikan oleh satpam.

“Maaf, ini bukan tempat untuk pengemis.”

Ardin hanya tersenyum dan mengangguk sopan. “Aku kemari untuk bertemu dengan Nyonya Saraswati. Katakan padanya, tunangannya sudah tiba.”

Satpam itu tertawa keras. “Apa?! Hei, pergi sebelum aku panggil polisi!”

Namun di lantai tertinggi gedung itu, seorang lelaki tua yang duduk di ruang meditasi membuka matanya perlahan. Ia tersenyum.

“Dia telah tiba…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tabib Jenius   Bab 10 Pil Kehidupan

    “Kamu terlalu banyak omong kosong, paling tidak aku kesini membawa hadiah dengan tulus untuk keluarga wijaya, walaupun itu palsu, tapi itu semua salah penjual karena menipuku.” Teriak Kiandra kepada ardin. Dia merasa malu dengan hadiah palsunya dia mengutuk penjual itu di dalam hatinya.“Kita semua telah mengeluarkan hadiah untuk putri melati, bukankah sekarang giliran tuan ardin memberikan hadiah juga kepada putri melati.” Tiba-tiba leonardo mengubah topik pembicaraan, kiandra adalah temannya jadi dia menolongnya dengan mengganti topik pembicaraannya, ia menganggap ardin tidak memiliki hadiah kalaupun ada itu hanya barang murahan karena latar belakangnya.Semua mata menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar.“Itu Ardin Siregar? Yang katanya cuma asisten pribadi?”“Katanya cuma orang gunung”“Berani-beraninya dia ikut naik ke atas panggung?”Kemudian ardin melangkah ringan, tanpa canggung sedikit pun. Ia berdiri tepat di hadapan Melati dan menatap mata gadis itu.“Selamat ulang tahun, Non

  • Tabib Jenius   Bab 9 Hadiah Ulang Tahun

    “Waktunya penampilan sang putri keluarga Wijaya,” ujar MC dengan nada khidmat. “Mohon perhatian semuanya. Mari kita sambut… Putri Melati Wijaya!”Lampu sorot beralih ke pintu besar di sisi kanan ruangan. Perlahan, pintu itu terbuka, dan suara lembut alat bantu gerak terdengar samar.Ardin yang berdiri di samping Saraswati spontan memicingkan mata. “Hmm?”Seorang gadis cantik muncul dari balik pintu, duduk di atas kursi roda, didorong pelan oleh seorang suster. Gadis itu mengenakan gaun putih kebiruan dari sutra tipis yang jatuh anggun, dihiasi bordir melati perak di bagian dada. Wajahnya pucat, namun kecantikannya terpancar kuat kulit bening seperti porselen, mata bening dan sayu, serta bibir merah alami yang kontras dengan pipinya yang pucat.“Dia…” bisik Ardin tanpa sadar. “Punya aura kehidupan yang lemah, seperti sumbu lilin yang tinggal nyala terakhir.”Saraswati menoleh. “Itu Putri Melati. Anak semata wayang keluarga Wijaya. Sejak kecil mengidap penyakit aneh. Banyak tabib dan d

  • Tabib Jenius   Bab 8 Empat Keluarga Besar

    Jakarta di malam hari tampak seperti lautan cahaya yang gemerlap. Dari kejauhan, langit kota metropolitan tampak seperti dibakar ribuan lentera, padahal hanya pantulan dari gedung-gedung tinggi yang menjulang. Di tengah kilau gemerlap itulah, Ardin Siregar berdiri di balkon kamar tamunya di rumah keluarga Marga, mengamati keramaian dengan sorot mata dalam yang penuh misteri.Sudah seminggu sejak konferensi pers itu, dan nama Ardin makin dikenal. Media sosial ramai membicarakannya. Ada yang menganggapnya hanya tukang akupunktur aneh, ada pula yang mulai menyebutnya Tabib Sakti dari Gunung Namun malam ini, Saraswati datang menemuinya di halaman belakang. Wanita muda itu mengenakan gaun hitam elegan, rambutnya digelung ke atas, memberi kesan anggun namun tetap kuat. Ardin sampai harus menelan ludah diam-diam saat melihatnya.“Ganti baju. Kita diundang ke ulang tahun anak keluarga Wijaya,” ujar Saraswati dingin, walau ada sorot mata aneh yang tak biasa.“Ah? Ulang tahun? Aku harus ikut j

  • Tabib Jenius   Bab 7 konferensi pers

    Gedung Marga Corporation hari itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional. Karpet merah dibentangkan, spanduk besar bertuliskan “Konferensi Pers Marga Corporation Keajaiban Medis dan Masa Depan Pengobatan Modern” terpampang di atas panggung. Di dalam aula konferensi, puluhan kamera telah terpasang. Mikrofon disiapkan, dan para jurnalis memegang catatan, siap mencatat setiap kalimat yang terlontar. Di tengah keramaian itu, Ardin Siregar duduk dengan santai mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, celana kain sederhana, dan sandal gunung yang masih menempel di kakinya. Para wartawan memandang heran ini kah sosok yang menyembuhkan direktur utama Marga Corporation dengan hanya beberapa jarum? Di sisi Ardin, duduk Saraswati Marga dalam balutan jas putih elegan, wajahnya tegas namun anggun. Di barisan belakang, Paman Darsa, adik dari ayah Saraswati, duduk bersama putranya Leonardo. Mereka tampak tenang, namun sesekali saling berbisik dengan ekspresi waspada. Acara dimulai. S

  • Tabib Jenius   Bab 6 Cemburu

    Satu jam kemudian ketika mobil hitam sederhana berhenti di depan rumah keluarga Marga. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri megah di balik pagar besi hitam. Ardin turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Naya. Gadis itu tampak ragu untuk keluar. “Kenapa?” tanya Ardin, menatapnya dengan bingung. “Aku… merasa tak enak. Ini rumah keluarga Marga. Aku hanya sekretaris,” jawab Naya pelan, menunduk. Ardin tertawa kecil. “Santai saja. Aku juga cuma asisten pribadi, dan lebih sering bikin onar.” Saat keduanya berjalan menuju gerbang, suara langkah kaki terdengar dari arah taman samping rumah. Sesosok wanita dengan rambut terikat rapi dan gaun santai berwarna putih muncul di balik taman. Saraswati Marga. Cahaya lampu taman menyinari wajahnya yang menawan namun datar. Matanya langsung tertuju pada Ardin… lalu pada Naya yang berdiri di sampingnya. Hening. Naya spontan memberi hormat, canggung. “Selamat malam, Nona Saraswati…” Saraswati tak menjawab. Pandangannya tajam, namu

  • Tabib Jenius   Bab 5 memasuki perusahaan

    Langit Jakarta tertutup awan kelabu ketika Ardin Siregar menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ke kantor pusat Marga Corporation, gedung pencakar langit berlantai emat puluh yang menjulang angkuh di jantung ibu kota. Mengenakan kemeja putih yang sedikit kebesaran dan celana kain yang tak seirama warnanya, Ardin berdiri canggung di lobi mewah. Seorang satpam menatapnya curiga, namun begitu melihat kartu akses khusus dengan segel emas yang diberikan langsung oleh Kakek Marga, ia langsung membungkuk hormat. “Silakan naik, Tuan Ardin.” Ardin mengangguk ringan, lalu naik ke lantai dua puluh delapan, lantai khusus manajemen utama. “APA? KAU MEMAKSAKU MENERIMA DIA SEBAGAI ASISTEN PRIBADI?!” Saraswati mengeraskan suaranya di ruang rapat pribadi. Kakeknya hanya menyeruput teh dengan tenang di sudut ruangan. “Dia sudah disetujui oleh dewan direksi. Dan… dia tunanganmu. Setidaknya, beri dia kesempatan. Atau kau takut kalah saing?” “Dengan dia? Pemuda nyentrik yang bahkan tak tahu cara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status