Share

Bagaikan di teror

"Abang minta maaf karena kemarin tidak main ke sini. Kebetulan Abang sedang ada urusan di Banjarmasin. Ade tidak apa-apa, kan?" ujarnya ketika perempuan itu menaruh satu porsi nila goreng lengkap dengan sambal kesukaannya.

"Tidak apa-apa, Bang. Lagian juga buat apa Abang minta maaf. Abang tidak punya salah apa pun," sahut Naila.

"Terima kasih ya, De. Oh, ya, besok hari minggu. Ade dan Nayra mau nggak Abang ajak jalan-jalan lagi?"

Naila hanya membalas dengan sebuah senyuman.

"Ade tanya Nayra dulu ya."

"Ya Allah ... semuanya tergantung dengan Nayra." Laki-laki itu tertawa kecil. Dia memulai ritual makan siangnya. Lembut dan gurih daging ikan nila goreng berpadu dengan sambal yang terasa pas di lidahnya.

"Habis mau gimana lagi? Nayra itu putri Ade satu-satunya dan Ade tidak mau jalan bersama dengan seorang laki-laki yang tidak disukai oleh Nayra."

"Iya, Abang paham kok. Jangan khawatir. Abang tak pernah memaksa kok."

"Ade mau makan juga? Ambil aja makanan yang Ade suka. Nanti Abang yang bayar kepada ibu Diana."

"Terima kasih, Abang. Abang saja yang makan. Ade sudah ada jatah makan siang dari ibu Diana." Perempuan itu tersenyum tipis.

"Ade lanjut kerja, Bang. Kalau ada perlu, panggil Ade saja ya."

❣️❣️❣️

"Benarkah, Mama?"

Gadis kecil itu memeluk dirinya begitu erat. Binar matanya tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Naila mengusap kepala putrinya.

"Berjanjilah kepada Mama untuk bersikap baik dan tidak merepotkan om Ammad. Om Ammad tidak selamanya bisa selalu ada untuk kita."

" Kenapa Mama ngomong begitu? Om Ammad baik dengan kita." Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya.

"Ya, om Ammad sangat baik, Sayang." Naila kembali mengusap kepala putrinya.

Dia masih menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan hubungan macam apa yang terjadi di antara dia dan Ammad.

Nayra masih terlalu kecil untuk mengerti. Dia hanya mengerti kalau laki-laki itu begitu baik dan menyayanginya, selayaknya seorang ayah yang menyayangi putrinya.

Biarlah Nayra menikmati perhatian laki-laki itu. Setidaknya untuk sementara ini. Naila tidak bisa terlalu banyak berharap. Untuk apa berharap banyak pada seorang laki-laki yang hanya menetap sementara?

Naila baru saja selesai melaksanakan shalat subuh ketika gadis kecil itu mendekat. Masih dengan balutan mukena, ia merebahkan  kepalanya di pangkuan Naila.

Perempuan itu tak terganggu dengan ulah putrinya. Ia masih setia dengan tasbihnya, mengurai zikir yang biasa ia lafalkan usai shat subuh.

Laa ilaaha illallah ....

Naila membaca zikir tarekat Samaniyah sebagaimana yang di ajarkan oleh gurunya sewaktu ia masih di pesantren.

Ya Allah, ampunilah umat Nabi Muhammad. Ya Allah, sayangilah umat Nabi Muhammad. Ya Allah perbaikilah kekurangan-kekurangan ibadah umat Nabi Muhammad. Ya Allah, damaikanlah umat Nabi Muhammad. Ya Allah, sehatkanlah umat Nabi Muhammad. Ya Allah, kasihanilah umat Nabi Muhammad dengan rahmat yang menyeluruh wahai Tuhan alam semesta.

Ya Allah, ampunilah umat  Nabi Muhammad dengan ampunan yang menyeluruh wahai Tuhan seru sekalian alam. Ya Allah, lapangkanlah (kesedihan) dengan kelapangan yang luas wahai Tuhan seru sekalian alam.

"Mama ...." Gadis kecil itu memanggilnya.

"Iya, kenapa, Nak?"

"Kenapa Mama tidak mendoakan om Ammad?"

"Mama selalu mendoakan om Ammad, Nak."

"Nayra tidak pernah dengar tuh. Jangan bohong, Mama!"

"Mendoakan itu tidak mesti dengan ucapan, Sayang, tapi bisa juga dalam hati." Naila mengelus kepala putrinya.

"Nayra selalu mendoakan om Ammad, Ma."

"Anak piintar. Pasti om Ammad tambah sayang dengan Nayra," pujinya.

"Nayra selalu mendoakan agar om Ammad terbuka hatinya untuk menjadi ayah Nayra."

Naila tercekat. Lagi-lagi soal itu. Dia mengangkat kepala putrinya dari pangkuannya. Mendudukkan dan melepas mukena yang melekat di tubuh kecilnya.

"Kita ke dapur yuk. Lihat Nenek sedang masak apa." Naila berusaha mengalihkan pembicaraan.

❣️❣️❣️

Topik yang sama setiap hari sungguh membuat Naila bagaikan di teror. Dia sungguh tak habis pikir, bagaimana bisa orang-orang sekelilingnya mengompori dirinya untuk menikah dengan Ammad, padahal sikap laki-laki itu saja tidak jelas.

Eh, sikap Ammad yang tidak jelas atau dirinya yang tidak peka?

Perempuan muda ini hanya sanggup mendesah dalam hati. Dia duduk menghadap di meja makan berdampingan dengan putrinya.

"Pukul berapa Ammad akan menjemput kalian?" tanya ibu. Perempuan tua tengah membuat teh manis.

"Tidak tahu, Mama. Terserah dia saja."

"Asyik .... Nayra senang sekali, Nenek. Om Ammad kemarin membelikan boneka buat  Nayra. Om Ammad itu baik ya, Nek?"

Perempuan tua itu menggelengkan kepala.

"Nayra, tidak boleh seperti itu. Kamu tidak boleh minta apapun sama om Ammad. Jangan menyusahkan orang lain, Sayang," sergah Naila.

"Iya, Ma. Nayra janji nggak akan minta macam-macam sama om Ammad." Kepala mungil itu mengangguk.

"Anak pintar." Naila mengusap kepala gadis kecilnya.

"Nayra janji akan menjadi anak yang baik, asal om Ammad mau menjadi ayah Nayra."

"Astagfirullah ... Anak Mama kok begitu ngomongnya? Nayra paham nggak akan ucapan Nayra?"

"Nayra paham, Mama. Om Ammad itu baik dan Nayra mau om Ammad yang menjadi ayah Nayra!"

"Nayra boleh menganggap om Ammad sebagai ayah Nayra, tapi bagaimanapun om Ammad tetap orang lain, Nak," ucap Nayra hati-hati.

"Hari ini Mama akan mengajak Nayra ke suatu tempat." Perempuan muda itu memandang ibunya penuh arti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status