Bab 3 - Letupan

“Selamat datang, malaikat kecil…” bisik Danang lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup menusuk telinga Rama.

Rumah sakit fajar itu tidak ramai. Lampu lorong bersinar redup, menemani langkah-langkah tergesa Rama yang baru saja tiba. Masih berseragam lengkap dengan debu jalanan menempel di sepatu botnya, napasnya memburu, keringat membasahi pelipis. Begitu memasuki ruang perawatan bersalin, langkahnya terhenti mendadak.

Pintu kamar terbuka sedikit. Dari celah itu, ia melihat sesuatu yang meremukkan hatinya.

Danang duduk di sisi ranjang. Tangan lelaki itu menarik selimut yang kusut agar utuh menutupi Rani yang terbaring lemah, wajahnya pucat namun teduh. Di pelukannya, seorang bayi mungil yang baru saja lahir, masih dibalut kain rumah sakit.

Mata Rama langsung memerah. Ia membuka pintu dengan keras.

BRAKKK!

Suara pintu terbanting membuat Rani tersentak. Danang berdiri kaget. “Ra—Rama… Kau sudah sampai?”

“Apa yang kau lakukan di sini?!” bentak Rama. Suaranya tajam, penuh api.

Rani mencoba duduk, tubuhnya masih lemah. “Mas… tolong jangan marah. Aku—”

“Diam, Rani!” Rama menunjuk Danang. “Kau—atasanku—berani menyentuh istri orang?!”

Danang menunduk, tetapi matanya tak bisa menyembunyikan luka dan perasaan yang telah terlanjur tumbuh. “Aku tidak berniat buruk. Aku hanya… menolong.”

MENOLONG?!” Rama maju, tangan kanannya terkepal. “Kalau kau memang ingin menolong, kenapa tak kau bawa ke rumah sakit saat dia mulai kesakitan?! Kenapa kau malah… kau malah MENEMANI dia melahirkan?!”

Danang tidak menjawab. Sesuatu di dalam dirinya seolah membeku. Ia tidak bisa berkata apa pun.

Rama menoleh ke Rani. “Apa kau biarkan dia menyentuhmu begitu saja? Di saat paling pribadi kita sebagai suami istri?”

Rani menangis. “Aku tak punya pilihan, Mas. Saat itu Mas tidak bisa dihubungi. Dia satu-satunya yang bisa aku andalkan. Aku butuh pertolongan... bayi ini tidak bisa menunggu lebih lama.”

Danang akhirnya bersuara. Suaranya pelan tapi tajam, seperti bara api. “Rama… aku minta maaf. Tapi aku tidak bisa berpura-pura lagi. Aku mencintai Rani. Aku sudah lama menahannya. Tapi malam itu... aku hanya ingin memastikan dia dan bayinya selamat.”

“Mencintai…?” Rama tertawa getir. “Astaga, kau sudah GILA, Danang! Kau jatuh cinta pada istri bawahanmu sendiri?!”

Awalnya tidak seperti itu,” bisik Danang. “Tapi semakin sering aku melihatnya, melihat caranya mencintai dan mendukungmu, melihat senyumnya menyambut setiap malam kau pulang… Aku kehilangan kendali. Dan saat dia kesakitan… aku hanya ingin dia tahu, walau sekali saja, ada aku di sisinya.”

Rama melayangkan pukulan. Tinju keras mendarat di pipi Danang.

BUK!

Danang terhuyung. Rani menjerit. “Mas! Jangan!”

“KAU SUDAH LEWATI BATAS, DANANG!”

Danang berdiri, tidak melawan. Ia menyeka darah dari sudut bibirnya.

“Kalau bisa kukembalikan waktu, aku akan tetap menolongnya. Karena kalau bukan aku malam itu, mungkin Rani dan bayimu… tidak akan selamat.”

Sunyi sejenak.

Rani menunduk. “Sudah cukup... Aku tahu ini salah. Tapi Mas, aku pun terluka. Aku sendirian. Kau bahkan tak sempat hadir untuk melihat kelahiran anakmu sendiri. Semua yang kurasakan malam itu… bukan salah siapa-siapa. Hanya keadaan yang memaksa.”

"Mulai malam ini…” ucap Rama, “aku tak ingin melihat wajahmu lagi, Danang. Pergi. Jauh dari keluarga kami.”

Danang diam sejenak. Ia menatap bayi mungil itu untuk terakhir kalinya, lalu memalingkan wajah.

Lalu ia melangkah keluar, meninggalkan lorong panjang yang sepi dan menyakitkan.

“Selamat tinggal, Rama.. Rani,” bisiknya.