Beranda / Rumah Tangga / Takdir Tak Pernah Salah / Bab 2 - Malam yang Tak Terduga

Share

Bab 2 - Malam yang Tak Terduga

Penulis: Morningdew
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-10 17:12:10

Sejak malam di rumah Rama—malam ketika ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Rani—tidurnya tak pernah benar-benar lelap.

Langit sore menggelap lebih awal hari itu. Awan kelabu menggantung seperti pertanda badai yang belum reda, baik di langit… maupun di hati Danang.

Danang berdiri di depan cermin apartemennya, rapi dalam seragamnya, tapi matanya kosong.

Ia menyesali pikirannya sendiri. Tapi di sisi lain… ia juga tak bisa menolak bahwa Rani telah menyentuh ruang sunyi dalam hatinya. Ruang yang selama ini tak ditempati siapa pun sejak Maya pergi.

“Sudahlah, Danang. Fokus.”

Ia mencoba mengalihkan pikirannya. Namun takdir justru mempermainkannya dengan cara yang lebih halus dari yang ia kira.

FLASHBACK – Seminggu Sebelumnya

Pagi itu, Rama baru saja menerima perintah dinas mendadak ke luar kota. Rani sedang hamil delapan bulan dan jadwal kontrol ke dokter kandungannya tak bisa ditunda. Ia tampak cemas saat menelepon suaminya.

“Mas, nggak bisa diganti orang lain? Hari ini aku harus periksa USG...”

“Maaf, sayang. Aku udah coba tukar jadwal tapi gagal. Kalau kamu nggak keberatan, aku minta tolong Pak Danang ya?”

Rani terdiam sejenak. Sedikit kikuk. Tapi akhirnya ia mengangguk pelan.

Danang datang menjemput dengan mobil dinasnya. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak banyak obrolan. Rani tampak gugup, dan Danang pun lebih banyak diam.

“Maaf, Pak, jadi merepotkan,” kata Rani sambil menunduk.

“Nggak apa-apa. Ibu kan sedang hamil. Nggak boleh sendirian, apalagi naik ojek,” jawab Danang dengan suara tenang.

Suasana hening, tapi ada sesuatu yang mengalir di dalamnya. Rani tak bisa menjelaskan, tapi jantungnya terasa berdebar lebih cepat.

Di Rumah Sakit

Di ruang tunggu klinik kandungan, Rani mengisi formulir. Nama suami tertera: Rama Pratama.

Namun saat suster memanggil, ia melihat Danang yang duduk di sebelah Rani dan berkata sambil tersenyum:

“Bapak, silakan masuk. Kita mulai proses USG-nya.”

Rani hendak menjelaskan, tapi Danang lebih dulu berdiri dan ikut masuk.

“Sebenarnya saya bukan—”

“Nggak apa-apa, Pak. Sekalian lihat calon buah hati,” kata suster ramah.

Danang dan Rani hanya saling pandang sebentar. Rani tak punya energi untuk menjelaskan. Dan Danang... terlalu ingin melihat bayi itu.

Ruang USG

Suasana ruangan gelap dan dingin. Rani berbaring di ranjang dengan perut terbuka, gel bening dioleskan oleh dokter.

Layar monitor menyala. Detak jantung terdengar seperti suara drum kecil, ritmis dan menggetarkan.

Danang berdiri di sisi Rani, tak bernapas. Matanya menatap layar yang menunjukkan gambar hitam putih samar… namun sangat nyata.

“Ini... bayi perempuan, ya Bu Rani,” kata dokter tersenyum.

“Wah... cantik seperti ibunya,” timpal suster.

Danang tersenyum kaku. Tapi dalam hatinya, seperti ada sesuatu yang meledak. Ia melihat wajah mungil samar di layar, dan untuk sekejap… ia berpura-pura bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.

Sebuah ilusi yang begitu manis… dan begitu menyakitkan.

Danang (dalam hati):

“Seandainya aku pria yang pertama kau temui, Rani…”

“Seandainya… aku yang kau pilih…”

Rani melirik Danang. Wajah pria itu begitu hening, namun matanya… teduh dan berkaca-kaca.

Satu bulan kemudian...

Rabu, pukul 01:58 dini hari

Rani menggeliat lemah di atas ranjang. Perutnya yang besar terasa seperti akan meledak. Rasa sakit datang bertubi-tubi. Tangannya menggenggam erat sisi kasur. Nafasnya tercekat, peluh membasahi pelipis.

“Rama… cepatlah pulang…” bisiknya parau, berlinang air mata.

Rama—suaminya—sedang dalam tugas mendadak keluar kota. Semula mereka sepakat bahwa kelahiran akan ditangani di rumah sakit besar yang sudah disiapkan. Tapi takdir punya rencana lain malam itu.

Tiba-tiba, suara pintu utama berderit.

Krek...

“Rama!” seru Rani penuh harap.

Namun harapan itu langsung runtuh ketika sosok yang muncul bukanlah suaminya, melainkan Danang—atasan Rama sekaligus sahabat keluarga mereka.

“Pak Danang…?” suara Rani tercekat.

Danang berdiri di ambang pintu, wajahnya panik. “Rani! Aku ditelepon Rama. Dia panik, bilang kamu sudah kontraksi hebat. Aku disuruh antar kamu ke rumah sakit.”

Rani hanya bisa mengangguk sambil menahan nyeri. Tubuhnya gemetar. Cairan ketubannya pecah di bawah kain tipis yang melapisi ranjang.

“Saya… saya sudah nggak kuat… tolong…”

Danang segera menghampiri. Dia berlutut, panik. “Ayo, kita ke mobil…”

Namun saat mencoba membopongnya, Rani menjerit. Kepalanya menoleh lemah, wajahnya pucat. “Sudah turun… saya nggak bisa jalan…”

Danang tersentak. Jantungnya berpacu. Posisinya kini di tengah krisis. Rumah sakit terlalu jauh untuk ditempuh dengan kondisi seperti itu.

“Ya Tuhan… ini harus lahir sekarang…” gumamnya.

Danang mengeluarkan ponsel. Tidak ada sinyal. Tidak ada ambulan. Tidak ada bidan. Hanya dia dan Rani. Dan bayi yang akan segera datang.

Rani menatapnya dengan mata berkaca. “Tolong, Pak… saya mohon…”

Danang menarik napas dalam-dalam. Ia melihat Rani sudah tak bisa menahan diri. Tangannya mencengkeram seprei, tubuhnya menggeliat, matanya berair.

“Rani, saya… saya tidak punya pengalaman. Tapi saya akan bantu. Saya harus… demi keselamatanmu dan bayinya,” kata Danang dengan nada berat.

Rani hanya mengangguk sambil meringis.

Danang mengunci pintu kamar—bukan karena niat buruk, melainkan untuk menjaga privasi dan fokus. Dia segera mengambil handuk bersih, air hangat, dan sarung tangan medis dari kotak P3K. Tangannya gemetar.

“Ayo, tarik napas dalam… buang perlahan… dorong saat rasa ingin mengejan datang.”

“NGGHHHHH!!!”

"Rani… tenang. Tarik napas. Aku di sini," ucap Danang sambil berjongkok di samping ranjang, menggenggam tangan Rani erat-erat.

Mata Rani berkaca-kaca, tubuhnya menggigil, antara rasa takut, sakit, dan pasrah. Ia mengejan dengan kekuatan yang hampir habis. Nafasnya tersendat, keringat membanjiri wajahnya. Tubuhnya bergetar hebat setiap kali kontraksi datang, dan kali ini, lebih kuat dari sebelumnya.

"Aaahhh... D-Danang...!" erangnya dalam suara yang tak lagi bisa ditahan, serak dan penuh getaran. Tangannya mencengkeram pergelangan Danang yang terjulur dari sisi bawah tempat tidur, keras, nyaris mematahkan sendi. Tapi Danang tak gentar—ia malah semakin erat memegang tangan itu.

Keringat membasahi pelipis dan leher Rani, dan dengan gemetar, Danang mengambil handuk kecil, menyeka wajahnya dengan hati-hati.

"Sedikit lagi, Ran... tolong, kuat sebentar lagi," bisik Danang, setengah memohon, setengah menggigil.

Namun dalam dekapan kedaruratan itu, tak bisa ia mungkiri, pandangannya sempat terperangkap pada tubuh perempuan yang pernah (dan masih) ia cintai—dalam kondisi paling rapuh namun juga paling agung sebagai seorang perempuan: melahirkan.

Gaun Rani sudah setengah basah dan tersingkap seadanya. Tubuhnya tegang dalam kontraksi yang tak berkesudahan. Danang menunduk, memusatkan perhatian di antara paha Rani yang terbuka untuk kehidupan baru, bukan untuk gairah. Tapi ia tetap lelaki. Naluri tak pernah benar-benar mati, meski disembunyikan di balik rasa tanggung jawab dan iba.

Danang menggigit bibir, menahan gejolak batin yang menggunung, yang bergemuruh di antara peluh dan teriakan. Tapi ia tahu, malam ini bukan tentang dirinya. Ini tentang seorang ibu dan anak yang sedang menjemput dunia.

"Rasanya... aahh... seperti robek... Danang… sakit sekali..." lirih Rani, hampir tak terdengar.

Danang menyeka air matanya dengan tangan kosong. "Aku tahu... aku tahu... maafkan aku tak bisa menggantikan rasa sakitmu," gumamnya lirih.

Rani kembali mengejan, dan kali ini lebih kuat. Tangannya menggenggam bantal di belakang kepala, sementara kakinya bergetar hebat. Tubuhnya seolah terbelah dua. Danang melihat kepala bayi mulai muncul—sebuah keajaiban yang membuat dunia sejenak terdiam.

“Kepalanya sudah kelihatan… ayo sedikit lagi…”

"Satu kali lagi, Rani… ayo, demi anakmu... demi Dira..." Danang nyaris menangis.

Erangan panjang terdengar, menyerupai desahan lirih. Namun tak ada sensualitas di dalamnya, hanya sakit yang begitu purba dan luhur. Rani mengejan sekuat tenaga, tubuhnya melengkung, napasnya tercekat, dan—

“AAARRRGHHH!!”

Beberapa detik kemudian…

“Oeee... oeee…”

Tangisan nyaring memecah malam.

Danang menangis, tubuhnya gemetar sambil memegangi bayi merah yang baru saja lahir. Ia membungkusnya dengan selimut dan meletakkan dengan lembut di dada Rani.

“Anakmu… selamat, Rani…”

Rani menatap bayi itu dengan mata basah. “Terima kasih… Pak Danang…”

Di momen itu, tak ada cinta yang bicara. Tak ada niat tersembunyi. Hanya kemanusiaan. Hanya insting seorang pria yang terpaksa menjadi penolong saat tak ada siapa-siapa.

Namun… apa pun yang terjadi malam itu, akan mengubah segalanya. Rama melihat cctv dari ponselnya, "Danang mengunci kamar bersama Rani di dalam, dan tak kunjung keluar?!!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Takdir Tak Pernah Salah    BAB 9 – LUKA LAMA YANG TERUNGKAP

    “Assalamualaikum…”Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Suara lembut menyusul, namun jelas berwibawa.Senja turun perlahan, menyelimuti kota dengan cahaya jingga yang redup. Di ruang tamu rumah sederhana itu, Rani duduk dengan wajah pucat. Tubuhnya tampak kurus, rambutnya sedikit kusut. Dira tertidur di pangkuannya setelah lelah bermain, napas bayi kecil itu teratur, seakan tak terpengaruh badai yang tengah mengguncang rumah tangga orang tuanya. Rani menoleh. Di ambang pintu berdiri seorang perempuan berseragam polisi lengkap. Wajahnya teduh, rambutnya diikat rapi ke belakang. Sorot matanya tegas, namun di dalamnya terselip kelembutan.“Waalaikumsalam…” Rani menjawab ragu. Pandangannya mengamati sosok itu lebih dalam. Lalu seakan tersadar, ia bergumam pelan, “Mia?”Mia mengangguk sambil tersenyum tipis. “Ya. Aku Mia… rekan kerja Rama. Dulu kita sempat bertemu sebentar, kau mungkin sudah lupa. Boleh aku masuk?”Rani sedikit kikuk. Ia membuka pintu lebih lebar. “Silakan…”Mia duduk pe

  • Takdir Tak Pernah Salah    Bab 8 – “Matahari yang Tak Pernah Menyapa”

    "Mas, aku mohon... biarkan aku bebas. Bebas dari bayang-bayang cinta yang bukan untukku." Di ujung ranjang rumah sakit, Danang duduk mematung. Rambutnya berantakan, matanya sembab. Jemarinya menggigil menahan rasa sesak yang tak bisa dia tumpahkan. Ia telah memohon. Ribuan kali. Dengan suara serak, dada terhempas, air mata yang habis-habisan—tapi keputusan Nina tetap bulat. Nina berkata itu dengan suara paling tenang yang pernah Danang dengar, namun hatinya seperti dihantam gelombang yang tak ada jeda. Di balik ketenangan Nina, Danang tahu: ada luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan oleh waktu. "Aku tahu… setiap kau menatap langit, bukan aku yang kau pikirkan. Tapi dia—Rani—yang raganya jauh, tapi jiwanya kau peluk dalam diam." Danang hanya bisa tertunduk. Tak sanggup menjawab. Tak sanggup membantah, sebab Nina benar. Dan akhirnya, berkas perceraian itu pun ditandatangani. Dengan pena yang menggigil dan hati yang retak-retak. Bukan karena tak ada cinta, tapi karena cinta

  • Takdir Tak Pernah Salah    Bab 7 - Langit yang Tak Pernah Menjawab

    'Plakkk!!!' tangan Rama melayang cepat dan mendarat ke pipi Rani hingga membuat Rani tersungkur ke lantai. "Jangan ikut campur urusanku. Urus saja urusanmu dan Danang sialan itu!!" teriak Rama yang saat itu emosi karena terus di interogasi Rani saat ia pulang karaoke sampai larut malam, lagi. Hujan belum juga reda, seolah langit pun ikut menangis atas luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Rani berdiri di jendela kamarnya, tubuhnya tampak lelah—bukan karena letih biasa, melainkan karena hati yang terus-menerus tersayat. Di bawah cahaya remang lampu kamar, tampak jelas bekas merah di sudut bibirnya, memudar namun tak bisa dibohongi. Luka itu nyata. Luka yang ditorehkan oleh tangan yang pernah ia percaya untuk menggenggam hidupnya: Rama. Semua berawal dari cemburu yang membutakan hati. Sejak malam itu—malam kelahiran Dira yang disertai badai dan bisikan—Rama berubah. Ia menjadi lelaki yang tak lagi mengenal cinta, melainkan hanya cemburu dan amarah. Dan malam kemarin, untuk pert

  • Takdir Tak Pernah Salah    Bab 6 - Runtuhnya Keheningan

    “Kau yakin hanya persalinan yang terjadi malam itu? Aku sempat dengar dari dokter, hubungan suami istri dapat memicu kontraksi di kehamilan tua.” tanya Rama dengan nada dingin suatu malam, ketika mereka duduk di ruang tamu setelah Dira tidur. Rani menoleh padanya, terluka. “Kau berpikir kotor seperti itu, kau sendiri yang meminta dia menolongku malam itu. Harusnya kau yang ada di sana.” “Dan aku bodoh telah mempercayai Danang!” Rama menggebrak meja. “Dia bukan hanya menolong mu… dia menikmati kesempatan itu! Dia menyentuhmu saat aku tak ada!” Rani berdiri. “Cukup, Rama. Aku sudah capek. Berapa kali harus ku jelaskan? Aku nyaris melahirkan tanpa siapa pun di sampingku. Apa kau lebih memilih aku mati malam itu?” Rama tak menjawab. Ia menunduk, rahangnya mengeras. Tapi cemburunya membutakan logika. Dalam pikirannya, bayangan Danang dan Rani di kamar itu selalu muncul. Rasa bersalah karena tak ada di sana bercampur dendam. Maka ia mencari pelarian.Sudah beberapa bulan sejak Dan

  • Takdir Tak Pernah Salah    Bab 5 - Hilangnya Senja

    “Aku hamil, Mas.” Suara Nina terdengar sumbang di seberang . Hening sejenak. Danang berdiri di balkon asrama dinas, memandangi matahari yang tenggelam, tangannya bergetar saat menggenggam gawai di telinganya. Danang terdiam. Dunia seolah berhenti bergerak. “Aku periksa dua kali. Hasilnya sama. Aku baru dari dokter juga tadi sore.” Senyum kecil mengembang di wajah Danang. Tapi senyum itu segera tenggelam dalam kabut perasaan yang lebih rumit dari sekadar bahagia. “Mas?” tanya Nina pelan. “Selamat ya, Nin…” jawabnya akhirnya. “Kamu hebat. Kamu kuat.” “Kamu… senang?” “Tentu,” bohong Danang, separuh dari hatinya berkata sebaliknya. "Kita akan jadi orang tua." Nina menangis pelan di ujung telepon. “Kapan kamu pulang? Kita perlu bicara. Tentang semuanya.”...Dua bulan telah berlalu sejak malam di mana semua batas dilanggar. Hujan kini turun dengan cara yang sama seperti malam itu—diam-diam tapi dalam. Kota kecil tempat Rama dan Rani tinggal perlahan kembali tenang, namun

  • Takdir Tak Pernah Salah    BAB 4 - Garis Dua

    Garis merah kedua perlahan menebal. Nina berdiri di depan cermin kamar mandi. Tangannya gemetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya jatuh tanpa suara. “Mas Danang…” bisiknya. “Apa secepat itu kamu benar-benar bisa berpaling ke Rani?” Ia menatap bayangan dirinya sendiri. Seorang wanita yang seharusnya menjadi istri, yang seharusnya menjadi ibu dari anak yang dinanti-nanti. Tapi kini hatinya penuh keraguan—tentang cinta, tentang masa depan. Danang tak tahu kabar itu. Ia sedang dalam dinas luar kota. Tapi Nina memutuskan untuk menyimpan rahasia itu dulu… hingga waktunya tepat. Atau hingga ia kuat. flashback sebulan sebelumnya.. Senja turun perlahan di balik jendela apartemen bergaya minimalis yang ditinggali Nina. Suasana tenang, nyaris sempurna seperti hidup Nina saat itu—calon istri dari seorang perwira polisi muda yang cerdas, tenang, dan mapan: Danang. Nina sedang menata album foto di meja ruang tamu. Foto-foto prewedding,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status