Jam kantor sudah hampir selesai beberapa menit lagi. Ray Dinata, sudah membereskan barang-barangnya. Hari ini dia akan langsung ke rumah sakit, untuk menjemput sang kekasih.
Sesudah menutup layar laptopnya, dia menjinjing tas kerjanya, langsung menuju pintu keluar. Di koridor kantornya, Dattan Sergio Sesha sudah menunggunya di depan lift.
"Numpang boleh, ya? Mobil di bengkel ni," ucapnya sambil memasang muka memelas.
"Nggak! Aku ada janji sama Move, mau jemput dia," tukasnya bohong, lalu menuju ke lift setelah pintu lit terbuka.
"Ikut lah, lama juga nggak bertemu dengan gadis impianku itu. "ujarnya kembali mengikuti langkah Ray di belakang.
Ray memasang tatapan tajam ke arah Dattan mendengar apa yang diucapkan laki-laki sejuta pesona itu.
"Tenang bro, gitu aja marah. Santai napa?" kilah Dattan sambil menarik senyumnya.
"Jaga mulut kamu itu!" Dengan wajah kesal Ray meninju lengan sahabatnya itu.
Dattan hanya
Hai pembaca yang baik hati, Saya up lagi. Terima kasih atas suportnya ya, jangan lupa klik vote nya ya,
Ray, berusaha menenangkan perasaannya, yang tiba-tiba tidak nyaman. Dia tidak bisa pungkiri, bahwa nama Nafisya Auriestella sangatlah berpengaruh terhadap kenyamanan hatinya sekarang. Niatnya menjemput sang kekasih, tetapi sekarang hatinya tergerak mengikuti langkah kaki ke dua wanita itu. Ray urung melangkahkan kakinya ke ruangan dokter Careld. Kini kakinya berjalan mengikuti langkah kaki Isya dan Feronika. Ketika didapatinya sebuah ruang VIP, Ray menarik napas pendek. Mencoba menerka siapa yang dirawat di ruang tersebut. Dan hatinya seolah terpukul ketika melihat sosok yang digilainya hampir 5 tahun dahulu kala itu membaringkan tubuh ringkihnya yang terlihat lebih kurus dari yang dia lihat dulu. Ada yang mengalir di hatinya, rasa yang sudah hampir puluhan tahun silam dia kubur, kini seolah-olah hadir kembali. Ada sepercik kerinduan yang menggebu dihatinya ingin berjumpa dan memeluk gadis masa silamnya itu. Ray benar-benar lupa bahwa dia
Ray masih terpaku di depan pintu. Careld berhenti sejenak, menatap sepupunya itu. "Kamu belum siap?" Ray hanya menghembuskan napas panjang. "Ikut aku sini!" Careld menarik tangan Ray menuju lorong koridor yang ada di sebelah kamar VIP Isya. "Sebenarnya apa yang mau kamu lakukan selanjutnya? Kamu mau memutuskan, Move hanya karena Nafisya kembali ke sini? Alangkah jahatnya kamu Ray!" Nafas Careld tersengal dengan muka merah. "Dengar Ray! Nafisya ke sini itu bukan sekali dua kali, dia itu sakit! Jantung sebelah kirinya bocor. Dan Aku dokter yang ia pilih untuk menangani penyakitnya. Dia datang kesini untuk berobat bukan untuk kembali padamu!" Suara Careld menggebu antara marah dan kesal. "Tapi ingat, Ray! Kalau kali ini kamu melepaskan Move, aku jamin kamu tidak akan bisa kembali lagi sama dia!" Ray tersentak sesaat. "Karena Aku tak akan pernah mengizinkanmu menyakiti dia lagi!" lanjut Careld masih dengan muka yang sama. Marah. Ra
Aku memberikan parcel itu, setelah terlebih dahulu memperbaikinya. Sebenarnya, nggak diperbaiki juga nggak apa-apa. Parcelnya kan hanya untuk adiknya. Nggak harus formal-formal banget. Tapi karena itu kesalahanku, mau nggak mau aku harus menebusnya. Laki-laki itu menatapku dengan sorot tajam sampai membuatku jengah. Apa semarah itu sama aku? Kan sudah aku perbaiki parcelnya. Aku tak mau ambil pusing. Bodo amatlah! Yang jelas aku ingin segera pergi dari tempat itu. "Sekali lagi, Aku minta maaf. Ini kesalahanku yang tak memperhatikan jalan. Maafkan Aku." Berulang kali aku minta maaf dan mengangguk hormat sebagai perminta maafan yang resmi kepadanya. Setelah itu aku memutar badanku melanjutkan langkahku yang tertunda, tanpa menunggu jawaban darinya. Entah memaafkan aku atau tidak. Aku tak peduli. Tapi tiba-tiba dia menarik tanganku hingga aku terjerembab kedalam pelukannya. Sesegera mungkin aku melepaskan pelukan yang tak sengaja itu. Ada rasa gugup di a
"Move!" Suara dokter Careld terdengar begitu keras di lorong rumah sakit. Dokter tampan dengan wajah ke bule-bule-an itu masih mengejar langkahku yang semakin cepat menuju lift. Aku sendiri tidak tahu, sebenarnya mau kemana. Ruang kerjaku di ruang praktek dokter Careld, sedang aku sudah di depan lift. Memang sebentar lagi jam istirahat dan makan siang. Tapi rasanya aku sudah tidak selera. Sakit banget rasanya hati ini. Semua skenario yang Ray rencanakan, hanya kali ini aku merasakan paling sakit luar biasa. Karena dia lebih memilih wanita lain di bandingkan dengan aku. Bahkan, Ray sama sekali sudah tidak perduli padaku. Seolah cinta 6 tahun itu hilang begitu saja, seperti cuma sampah di matanya yang bisa di buang seenak jidat dia. Air mataku benar-benar dengan suka rela terjun bebas di pipiku. Bahkan aku juga tidak berniat untuk mencegahnya. Punggungku terguncang hebat dengan suara isak tangis yang luar biasa ku tahan. Namun pertahananku bobol. Aku sesengguka
Aku menahan napas, ketika melewati ruang VIP tersebut. Ku urungkan niatku untuk memeriksa kondisi Nafisya, karena masih kulihat sosok Ray di situ. Kulanjutkan langkshku ke ruang praktek dikter Careld. Di sana masih kosong. Dokter muda itu belum kembali sama sekali dari urusannya. Aku hanya termangu sambari membereskan barang-barangku. Karena sebelum pulang harus memeriksa kondisi Isya terlebih dahulu. Rasanya berat sekali kaki ku melangkah ke sana. Tapi memang harus aku paksakan. Berharap nanti setelah beberapa jam yang akan datang, sosok Ray, sudah pergi. Baru saja aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku, ku dengar dari arah pintu ada suara langkah kaki menuju ruang kerjaku. Aku tersenyum ketika melihat sosok itu sudah kembali. Tapi senyumku seakan lenyap tertarik dengan bibirku, ketika ku sadari ada sosok lain yang bergeleyut di lengan dokter tampan itu. Seorang gadis yang penampilannya persis banget kayak bule. Selain cantik juga badannya ramping,
Setelah Aku mengurai senyum lagi buat penghuni ruang VIP lantai 2 itu, aku segera berlalu. Kulewati dokter Careld yang ada tepat di depan pintu masuk ruangan tersebut. "Move!" serunya sambil mengejarku dari belakang. Aku tampak tak acuh. Terus saja ku langkahkan kaki ku meninggalkan dokter tampan itu. "Eh! Kok Aku dibaikan sich?!" tanyanya sambil meraih pergelangan tanganku dan menghentikan langkahku. Aku hanya menghela napas dan menatapnya tak mengerti. "Kamu kenapa, Move?" Baru kali ini aku melihat dokter Careld tampak gusar. "Saya nggak apa-apa, Dok. Malah harusnya Saya yang tanya sama Dokter, kenapa, seperti sedang marah. Marah dengan siapa Dok?" "Dengan Kamu!" jawabnya jujur membuatku mengerutkan dahi. "Dengan Saya? ucapku sambil menunjuk diriku sendiri. Lho, Saya kanapa, Dok?" Dokter Careld hanya mendengus dengan napas kesal. Aku semakin heran, ada apa dengan dokter yang satu ini. Moodnya lagi nggak bagus kali, ya
Aku terpana mendengar pertanyaan dari wanita uang masih kelihatan anggun dan cantik itu, meskipun umurnya hampir mendekati setengah abad. Sedang Ray, sampai tersedak mana kala dia sedang meneguk air mineral, mendengar permintaan mamanya Nafisya dan Nathan. Nathan sendiri tidak berekspresi seperti yang lainnya. Mukanya datar, bahkan lebih terkesan dingin dan tak acuh. Yang lebih membuatku heran, papa dari mereka berdua hanya tersenyum tipis mendengar permintaan istrinya. Sedang aku masih bingung dan kaget bahkan terpana, tidak menyadari bahwa di balik pintu sudah ada 2 orang anak manusia menguping pembicaraan kami. "Kamu dapat mempertimbangksn dulu, Move. Tante yakin, Kamu orang yang baik." "Tapi, Tante-" Ucapanku menggantung. Sumpah! Aku bingung mau ngomong apa. Kalau aku terus terang siapa aku yang sesungguhnya pasti mereka akan kecewa sama aku. Tapi kalau aku tidak jujur, akan lebih parah lagi di suatu hari nanti. "Tante, belum
Keningku beradu dengan keningnya, badanku nubruk badannya. Auto aku meringis kesakitan, karena dahiku terasa nyeri. "Kalau jalan itu matanya dipakai." Aku terhenyak mendengar suara berat itu. Kutatap wajah orang itu. Dan kulihat sosok itu hanya menatapku tak acuh. Akh! Segera saja aku menarik diriku dari badannya. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera meninggalkan dia. Kudengar langkah kakinya mengikutiku. Seketika itu, aku berhenti dan menoleh ke arahnya. "Ada perlu sama Aku?" tanyaku tanpa basa-basi. Dan seseorang itu mendekati dimana aku berdiri. "Jangan nikah dengan Nathan!" titahnya seperti aku ini budaknya. Sesaat aku hanya terpaku lantas tersenyum getir. "Kenapa masih mengatur hidupKu?" tanyaku tanpa menghiraukan perintahnya. "Karena Aku masih mencintaimu." jawabnya polos persis anak kecil yang belum tahu dosa. "Brengsek!" Dalam hati aku memaki dan mengumpat. Manusia macam apa sich sebenarnya, dia? Mar