Share

Hati yang tak Tenang

Setelah menempuh kurang lebih dua jam perjalanan, aku pun tiba di rumah orang tuaku.

"Assalamualaikum ... Bundaaa ... Ayaaah ...!" ucapku begitu sampai di depan pintu rumah yang cukup megah dengan didominasi warna putih itu, rumah yang pernah aku tinggali hingga puluhan tahun lamanya, hingga akhirnya orang tuaku melepasku setelah aku menikah dengan Mas Firman.

"Waalaikumsalam ... Litaa ...!" Bundaku membuka pintu dan langsung memelukku, pelukannya terasa hangat sama seperti dulu, padahal aku sudah sering ke sini kalau aku mengecek rumah makan ayam gorengku, tapi tetap saja aku merasa senang Bunda menyambutku dengan pelukan hangat seperti ini.

"Kok tumben baru ke sini, biasanya awal bulan?" tanya Bunda seraya mengurai pelukannya.

"Maaf Bunda, aku sibuk di Jakarta. Baru kali ini aku bisa ke sini, Ayaaah ... mana Bunda?" ucapku sambil celingukan mencari keberadaan ayah.

"Ayah lagi diajak jalan sama adik kamu, gak tahu ke mana!" jawab Bunda.

"Azra lagi di sini, Bun?" tanyaku antusias, adikku ini biasanya selalu sibuk bekerja, jarang ada waktu untuk berkunjung ke rumah Ayah Bunda.

"Iya, dari tadi malam."

"Oooh ... tumben ke sini, biasanya berbulan-bulan baru ke sini?"

"Iya, katanya kangen sama Ayah Bunda, lagian kerjaannya lagi gak banyak katanya, jadi dia sempetin pulang."

'Bagus juga tuh anak ada di sini, aku bisa tanya-tanya soal Maya, hehehe!' gumamku sambil menyeringai.

"Ya udah sana, simpen dulu tasnya di kamar, kamu mau berapa lama di sini?" tanya Bunda.

"Sekitar tiga harian, Bun. Ya udah aku ke kamar dulu yah!" Aku menaiki tangga menuju kamarku di lantai atas, kamar semasa aku masih gadis dan sampai sekarang aku masih menempatinya bila aku berkunjung ke Bandung.

*****

Setelah cukup beristirahat dan makan siang, aku langsung berangkat menuju restoranku di cabang satu.

Sang manager dan para karyawan menyambut kedatanganku dengan hormat.

"Gimana perkembangan restoran, Zahra?" tanyaku langsung pada Zahra, sang manager.

"Baik Bu, makin hari makin bertambah langganan kita."

"Bagus!"

Aku berkeliling dengan manager itu dan sambil diberi penjelasan oleh sang manager tentang kemajuan restoran itu, bagaimana dia memberikan promosi dan memberikan pelayanan terbaiknya.

"Bagus! Kerja yang bagus." Aku memujinya sambil menepuk pelan bahu Zahra.

"Terima kasih, Bu."

"Ayo ke ruangan saya, saya ingin lihat laporan keuangannya."

"Ini Bu," sang manager memberikan map berwarna merah berisi laporan keuangan bulan ini.

"Oke, oke!" Aku menganggukkan kepalaku, manager baruku ini meskipun dia seorang perempuan, tapi dia sangat gesit dan juga sangat smart segala cara dia lakukan agar restoran ini maju, dari promosi, penambahan menu hingga pelayanan para karyawannya.

"Saya suka kinerja kamu, Zahra"

"Terima kasih Bu." Dia tersenyum bangga.

"Zahra, kamu udah kerja sama saya selama dua tahun, tapi kinerja kamu sungguh luar biasa. Bagaimana kalau kamu kelola di cabang dua juga? Di sana belum ada managernya, saya biasanya yang langsung turun tangan."

"Iyaaa ...? Ibu percaya sama saya, mengelola dua cabang sekaligus?" Matanya terbelalak, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

"Saya sangat percaya sama kamu, Zahra. Saya sudah lihat bagaimana kinerja kamu mengelola cabang ini, jadiii ... apa kamu bersedia, Zahra?" tanyaku lagi.

"Baik Bu, saya bersedia," jawabnya bersemangat.

"Bagus, kalau begitu besok kita akan ke sana."

"Iya Bu, siap!"

Aku sangat senang dengan semangat gadis muda ini, umurnya baru 24 tapi semangatnya begitu besar.

*****

"Eeeh ... Kak Lita, kapan sampai sini?" tanya Azra, adikku, setelah aku kembali ke rumah Bunda.

"Tadi siang, Zra."

"Hmmm ... Zra, ada yang mau Kakak tanyain sama kamu! Tapi jangan di sini!" bisikku sambil menengok keadaan rumah, tak ingin pembicaraanku ini terdengar oleh Ayah Bunda.

"Memang kenapa, Kakak mau maen rahasia-rahasiaan yah sama ayah bunda?" tanya Azra sambil berbisik pula.

"Sssst ... jangan berisik! Ayo kita taman belakang," bisikku lagi, takut ayah bunda akan mendengar ucapan Azra.

Azra mengikuti aku menuju ke gazebo yang ada di taman belakang.

"Memangnya apa yang mau tanyakan sama aku?" Azra bertanya padaku.

"Kamu tahu ada Sekretaris baru di kantor kakak ipar kamu, Zra?" tanyaku to the point.

"Tahu dong, masa gak tahu, cewek cantik nan mempesona itu kan?"

"Iya, itu si Maya, dia mau gantiiin Jihan yang bentar lagi mau cuti menikah."

"Pinter amat yah Mas Firman cari sekretaris cantik-cantik... coba Jihan belum ada jodohnya, udah lama aku lamar tuh cewek," ucapnya cuek begitu saja.

"Jihan itu udah lama pacarannya, sebelum kamu kenal juga dia udah punya pacar, jadi memang gak ada kesempatan buat kamu, Zra."

"Aaah ... Kakak bikin adikmu parah hati saja!Hmm ... kalau sama Maya yang boleh gak?" Azra menaik turunkan alisnya, ada maksud hati mendekati Maya.

"Enggak!" tegasku.

"Kok gitu amat sih Kak, jawabnya ketus amat?" Azra tampak mengerucutkan bibirnya.

"Dia sepertinya bukan wanita baik-baik, Zra," ucapku, kali ini lebih menurunkan tempo bicaraku.

"Maksud Kak Lita?" tanya Azra tampak keningnya berkerut.

Aku pun menceritakan semua tentang Maya sampai sedetail-detailnya.

"Waaah ... agak misterius juga yah, aku jadi ragu buat deketinnya."

"Iya, makanya aku gak kepengen kamu deketin Maya juga."

"Iya Kak, ternyata dibalik wajah cantik dan penampilannya yang menawan, diaaa ... aaah sudahlah, aku urungkan saja niatku buat deketin dia."

"Tapi itu belum pasti seratus persen sih Zra, makanya aku mau minta bantuin sama kamu Zra, aku ingin kamu selidiki dia selama dia di kantor yah, gimana sikap dia sama Mas Firman."

"Kak Lita, takut Mas Firman tertarik sama dia yah?" Azra kelihatan curiga padaku.

Aku mengangguk, memang itu ketakutan terbesarku, aku takut Mas Firman berpaling dariku.

"Khawatir amat, Mas Firman kan suami setia, Kak, di kerjaan juga kan dia sering ketemu cewek cantik, tapi Mas Firman gak pernah tuh lirik sana lirik sini, dia itu bukan cowok genit tukang tebar pesona Kak. Kak Lita tenang aja, dia gak mungkin tertarik sama wanita lain, dia kan cinta mati sama Kak Lita," tutur Azra berusaha menghibur dan menenangkanku.

"Aku tahu Zra, tapi gak tahu kenapa perasaanku lain mengenai Maya, makanya Kakak minta tolong sama kamu yah!" Aku memohon pada Azra berharap dia mau menuruti keinginanku.

"Iya Kak, tapi aku gak bisa full yah ngawasin dia, aku kan di divisi keuangan jarang-jarang maen tuh ke ruangan direktur. Tapi aku akan usahakan Kak, walaupun gak tiap hari yah, aku takut Mas Firman curiga kalau aku sering-sering ke ruangannya."

"Iya, iya Zra, gak apa-apa. Makasih yah!" Aku senang Azra mau mengikuti keinginanku.

******

Hingga malam tiba, janji Mas Firman untuk menghubungiku tidak juga dia ditepati, aku tengok ponselku, tak ada pesan maupun panggilan yang masuk.

'Uuuh ... katanya mau nelepon, video call, ini ngirim pesan pun enggak!' gerutuku dalam hati.

Tiba-tiba aku teringat ucapan Tita, soal Maya yang mencium Mas Firman saat tertidur, 'Ya ampun ... mudah-mudahan hal itu gak terjadi.' Aku jadi membayangkan hal yang tidak-tidak, gimana aku gak takut, hari ini aku tinggalkan mereka aku gak tahu apa yang mereka lakukan di belakangku.

Tapi aku sudah merubah letak cctv di dekat kamar Tita tanpa pengetahuan mereka, jadi begitu pulang akan aku lihat hasil rekamannya.

Aku mencoba tidur untuk melupakan pikiran-pikiran negatifku. 'Mungkin besok Mas Firman akan meneleponku!' aku mencoba menenangkan diriku sendiri.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status