Se connecterAdriana memegang pipinya yang baru saja di tampar oleh Clara. Wajahnya perlahan terangkat, matanya menatap kesal ke arah wanita itu.
Cukup sudah. Adriana sudah harus menghadapi sikap Evelyn yang tidak tahu malu, dan ia juga harus menghadapi sikap dingin Victor. Dan sekarang dia harus menghadapi satu wanita gila lagi?
Tangan Adriana yang tidak memegang pipinya mengepal dengan keras.
“Kau…” Clara baru saja akan membuka mulutnya lagi untuk memaki, tapi Adriana tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan perkataannya.
Adriana menjatuhkan tas kerjanya ke lantai basement dengan kasar, dan tanpa peringatan, tangannya mendarat di pipi Clara.
PLAK!
Suara tamparan itu terdengar lebih kuat dari yang Clara lakukan sebelumnya. Wanita itu melotot tidak percaya, jika tatapannya bisa membunuh mungkin Adriana sudah terkapar di lantai basement ini sekarang.
“Kau menamparku?!” pekik Clara, suaranya melengking memenuhi basement yang sunyi.
“Itu untuk menyadarkanmu dari delusi gila hormatmu, Nona Clara,” desis Adriana tajam. “Aku bukan samsak tinju untuk melampiaskan kekesalanmu karena ditolak pria.”
“Dasar jalang!”
Clara yang sudah kehilangan akal sehatnya menerjang maju ke arah Adriana. Adriana yang tidak menduga apa yang akan dilakukan oleh Clara terjatuh ke belakang.
Clara menjambak rambut Adriana dengan brutal, menarik kepalanya ke belakang hingga Adriana meringis kesakitan.
“Lepaskan!” Adriana berteriak, rasa sakit di kulit kepalanya membuat tangan Adriana meraih rambut Clara yang tertata rapi, mencengkeramnya kuat-kuat.
“Aaaakh! Lepaskan rambutku! Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk menatanya!” jerit Clara tidak terima.
“Kau duluan yang lepaskan aku!” balas Adriana tidak ingin kalah. Ia tidak akan mengalah pada wanita di hadapannya ini.
Mereka berdua saling dorong dan tarik, melupakan semua citra yang coba mereka bangun dan pertahankan selama ini.
“Wanita gila!” umpat Clara kesal. Ia tidak pernah bertemu wanita yang begitu berniat membalasnya sebelum ini.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Clara menghentakkan tubuhnya sekuat tenaga. Dan mendorong Adriana dengan bahunya.
Adriana yang kehilangan keseimbangan, berakhir terjatuh sepenuhnya.
“Akh!”
Tubuh Adriana menghantam lantai beton yang keras. Siku dan lulutnya bergesekan dengan permukaan kasar, menimbulkan rasa perih yang menyengat. Saat ia melihatnya sekilas, memar sudah mulai terbentuk di sana.
Napas Adriana tersengal-sengal. Rambutnya berantakan menutupi sebagian wajahnya.
“Itu tempat yang pantas untukmu,” hina Clara, yang sudah berdiri, bersiap untuk melangkah maju lagi, mungkin untuk menendang atau menjambak Adriana sekali lagi.
Adriana menggeram dalam hati. Wanita ini benar-benar sama buruknya dengan Evelyn. batinnya
Adriana berniat berdiri dan membalas Clara hingga tiba-tiba telinganya mendengar suara lift yang mulai bergerak terbuka dari arah lift eksekutif.
Langkah kaki tegap dan pati yang menyusul setelahnya membuat Adriana terkesiap. Itu Victor.
Rencana Adriana untuk membalas serangan fisik dari Clara menguap begitu saja, digantikan rencana lainnya.
Jika dia bangkit dan membalas Clara sekarang, dia hanya akan terlihat sama gilanya dengan wanita itu di mata Victor. Tapi, jika dia tetap di bawah sini...
Alih-alih bangkit, Adriana membiarkan tubuhnya terkulai. Ia menundukkan wajahnya, dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
“Kenapa...” suara Adriana terdengar lirih, bergetar, seolah ia sedang menahan tangis. “Kenapa Anda melakukan ini... saya hanya menjalankan tugas saya sebagai seorang sekretaris...”
Clara, yang tidak menyadari kehadiran Victor di belakangnya, tertawa sinis. “Berhenti berakting, sialan! Bangun dan lawan aku!”
Clara melangkah maju, tangannya terangkat, hampir menyakiti Adriana lagi, hingga suara itu terdengar.
“Clara!”
Suara berat itu memenuhi basement. Clara membeku. Tangannya masih melayang di udara, wajahnya pucat pasi saat ia menoleh perlahan ke belakang. Sementara Adriana menampung Senyuman di kedua tangannya.
Victor Sterling berdiri di sana. Aura di sekelilingnya begitu dingin dan mencekam, jauh lebih menakutkan daripada saat di ruangannya tadi siang. Matanya menatap Clara dengan sorot kemarahan, sebelum beralih perlahan ke sosok Adriana yang tergeletak tak berdaya di lantai beton yang dingin.
Adriana melepaskan tangannya dari wajahnya dan menatap Victor, membiarkan setetes air mata jatuh membasahi pipinya yang merah akibat bekas tamparan dari Clara sebelumnya.
Adriana memegang pipinya yang baru saja di tampar oleh Clara. Wajahnya perlahan terangkat, matanya menatap kesal ke arah wanita itu.Cukup sudah. Adriana sudah harus menghadapi sikap Evelyn yang tidak tahu malu, dan ia juga harus menghadapi sikap dingin Victor. Dan sekarang dia harus menghadapi satu wanita gila lagi?Tangan Adriana yang tidak memegang pipinya mengepal dengan keras.“Kau…” Clara baru saja akan membuka mulutnya lagi untuk memaki, tapi Adriana tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan perkataannya. Adriana menjatuhkan tas kerjanya ke lantai basement dengan kasar, dan tanpa peringatan, tangannya mendarat di pipi Clara.PLAK!Suara tamparan itu terdengar lebih kuat dari yang Clara lakukan sebelumnya. Wanita itu melotot tidak percaya, jika tatapannya bisa membunuh mungkin Adriana sudah terkapar di lantai basement ini sekarang.“Kau menamparku?!” pekik Clara, suaranya melengking memenuhi basement yang sunyi.“Itu untuk menyadarkanmu dari delusi gila hormatmu, Nona Cla
Adriana tersentak saat mendengar panggilan itu. Dengan cepat ia menarik tangannya dari dasi Victor dan mundur dua langkah.Sayang? Tapi berita-berita di media itu tidak menyebutkan bahwa Victor sedang memiliki kekasih saat ini.Sial, bagaimana ini? Sudah terlalu jauh jika dia mundur sekarang. Adriana mengangkat wajahnya sedikit untuk mengintip. Wanita itu terlihat beberapa tahun lebih tua dari Adriana. Tapi wajahnya begitu cantik.Penampilannya juga begitu elegan, lengkap dengan suara yang begitu menenangkan. Apa ia juga seorang model atau aktris?“Apa yang kau lakukan di sini, Clara?” suara dingin Victor membuat Adriana sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa pria itu akan merespon sebegitu dingin.“Apa maksudmu?” wajah wanita bernama Clara itu berubah sedih. Seperti tidak menyangka jawaban yang diberikan oleh Victor. “Kita kan sudah sangat lama sekali tidak bertemu. Aku hampir mengira kamu melupakanku.”Tidak ada jawaban dari Victor, tapi suasana penuh tekanan yang Adriana rasakan m
Wajah Adriana memerah dengan hebat saat mendengarkan perkataan Victor.Adriana melupakan fakta bahwa pria itu berbeda dengan para pria muda bodoh yang begitu mudah digoda. Pria itu punya lebih banyak pengalaman, dan dia mungkin adalah predator sebenarnya di sini.Adriana masih berdiri di tengah ruangan itu, tapi Victor sudah kembali duduk di mejanya. Mengabaikan Adriana sepenuhnya dan memenuhi ruangan dengan suara keyboard.Adriana menunduk akibat rasa malu yang menyusup dalam dirinya. “Saya permisi dulu.”Adriana tidak menunggu jawaban dari victor dan segera keluar dari ruangan dengan gerakan terburu. Begitu pintu tertutup ia langsung menutup wajahnya dengan dokumen yang masih ia pegang.“Aaaaa…” Adriana berteriak pelan, ia ingin pulang. Ia bahkan ingin segera berhenti bekerja. Perkataan Victor benar-benar merusak kepercayaan dirinya.Kenapa ayah dan anak itu begitu mirip dalam hal seperti ini? Adriana sudah benar-benar berjalan dengan begitu lemas ke mejanya ketika lagi-lagi ponseln
Satu minggu pertama bekerja, Adriana memilih pakaian yang lebih sopan dari yang gunakan saat interview bersama Victor Sterling. Bagaimanapun, ia masih harus melakukan serah terima pekerjaan dengan Ammy, mantan sekretaris pria itu.Walau Adriana ingin segera melaksanakan rencananya, gerakan yang ia punya terbatas. Sebagian dirinya yang masih cukup ‘waras’ terus mengingatkan dirinya untuk bersikap profesional di mata orang lain.Ia berakhir hanya memberikan ‘sinyal-sinyal’ kecil seperti sentuhan tidak sengaja saat ia hanya berdua dengan pria itu. Yang berakhir benar-benar diabaikan.Tapi, perubahan Adriana terjadi dengan cepat begitu sekretaris Victor yang ia gantikan sudah tidak masuk kerja kembali.Adriana menatap pantulan dirinya di cermin toilet kantor. Belahan di blouse yang ia kenakan sedikit lebih rendah dari jarak aman yang biasa ia kenakan. Begitu juga rok pensil yang lebih ketat dari biasanya.Seseorang akan memanggil dirinya wanita penggoda. Jika bukan orang lain, setidaknya
“Ya. Dia ada di dalam, kan?”Adriana melihat dari kejauhan, Evelyn sudah menyerahkan tasnya pada wanita yang bertanya padanya untuk dibawakan.“Ya, Nona, tapi sedang ada interview di dalam,” jawab wanita itu.Menyadari Evelyn akan bergerak ke arahnya, Adriana dengan panik bergerak menuju arah berlawanan, memunggungi arah datang Evelyn. Semoga saja wanita itu tidak menyadari kehadiran Adriana di sana.“Interview? Untuk posisi apa? Jarang ada yang interview langsung dengan ayahku.” Evelyn bertanya bingung.“Sekretaris barunya, Nona.” Suara wanita yang mengikuti Evelyn terengah karena mengikuti langkahnya yang cepat.“Oh, kau akan berhenti?” Evelyn akhirnya berhenti berjalan dan melihat ke arah wanita itu.“Iya… saya akan menikah dan pindah keluar kota.” jawabnya canggung.“Aku harus melihat langsung kandidatnya.” ucap Evelyn sambil kembali berjalan. Perlahan, ia mulai mendengus pelan. “Semoga sekretaris itu biasa saja seperti dirimu, dan bukan gold digger yang mengincar harta ayahku. Ak
“Ehem.” Adriana berdehem pelan, merasa canggung dengan diam yang sudah berlangsung sejak ia masuk ke ruangan milik Victor Sterling.Pria itu masih membolak-balik resume miliknya, membaca dengan seksama. Adriana mulai merasa tidak nyaman dengan posisi duduknya, sehingga secara refleks ia menutupi pahanya yang tersingkap dengan tas.Tunggu. Bukankah ini justru bertentangan dengan tujuan Adriana datang kemari?Dengan perlahan, Adriana menurunkan tas itu dari pangkuannya. Adriana membiarkan helaian rambutnya jatuh menyapu bahu, kemudian menyisihkannya ke belakang telinga perlahan dengan ujung jari. Berada dalam kompetisi yang terus berjalan dengan Evelyn telah mengajarkan Adriana banyak cara menggoda seorang laki-laki. Dan diantara semuanya, cara halus itu selalu berhasil mencuri fokus.Adriana menarik tubuhnya lebih tegak, mengatur agar bahunya rileks, lehernya terekspos lebih jelas saat ia menoleh sedikit ke samping. Berpura-pura tertarik pada apapun yang berada di sudut ruangan. Tida







