LOGIN“Victor! Dengar, wanita ini yang memulainya! Dia…” Clara berusaha membela diri, suaranya terdengar panik saat melihat tatapan tajam pria itu.
“Diam!” potong Victor dingin. Pria itu sama sekali tidak berteriak, tapi suaranya mampu membungkam Clara begitu saja. “Aku tidak butuh penjelasanmu, Clara. Aku melihat cukup banyak. Sekarang pergi, sebelum aku pastikan kau tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan apa pun di dunia entertainment lagi.”
Wajah Clara memucat. Ia menatap Adriana dengan penuh kebencian untuk terakhir kalinya, lalu berbalik dan berlari menuju mobilnya, meninggalkan suara decitan ban yang menggema di basement kosong itu saat ia akhirnya melajukan mobilnya.
Kini, hanya tersisa keheningan di antara Victor dan Adriana.
Victor mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada Adriana. Pria itu berlutut dengan satu kaki, mensejajarkan tingginya dengan Adriana yang masih terduduk di aspal dengan wajah yang memerah.
“Kau bisa berdiri?” tanyanya. Suaranya masih terdengar dingin seperti biasanya, walau Adriana merasa yakin bahwa pria ini menyembunyikan kekhawatiran.
Adriana mengangguk pelan.. “Saya… saya rasa bisa, Tuan.”
Ia mencoba menumpu tubuhnya untuk bangkit, tapi begitu lututnya yang memar bergerak, Adriana mendesis kesakitan dan tubuhnya kembali limbung. Tentu saja, rasa sakit itu nyata, tapi Adriana melebih-lebihkan reaksi tubuhnya agar ia jatuh tepat ke arah Victor yang berada di hadapannya.
Dengan sigap, tangan kekar Victor menangkap tubuhnya sebelum ia kembali menghantam beton basement itu.
“Jangan memaksakan diri,” tegur Victor.
Tanpa banyak bicara, Victor menyelipkan satu tangannya di bawah lutut Adriana dan tangan lainnya di punggung wanita itu. Dalam satu gerakan mulus, tubuh Adriana sudah terangkat dalam gendongan pria itu.
“Tuan!” Adriana memekik kaget. Ia sama sekali tidak menyangka Victor akan langsung menggendongnya alih-alih memapahnya. “A-anda tidak perlu melakukan ini. Saya berat dan pakaian Anda bisa kotor.”
“Diamlah,” jawab Victor singkat. “Kau terluka di kantorku. Ini tanggung jawabku.”
Dengan gerakan pelan dan ragu-ragu Adriana mengalungkan tangannya di leher Victor dengan berpura-pura kehilangan keseimbang.
Adriana menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Victor, menghirup aroma maskulin yang bercampur dengan sedikit aroma tembakau dan citrus yang memabukkan. Dalam hati, Adriana bersorak. Rencananya berjalan jauh lebih baik dari dugaan.
Victor membawanya kembali masuk ke dalam lift eksekutif, menekan tombol lantai teratas dengan sikunya tanpa menurunkan Adriana sedikit pun. Sepanjang perjalanan di dalam lift yang bergerak cepat itu, Adriana bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang bekerja jauh lebih keras dari biasanya.
Setibanya di ruangan Presdir yang luas, Victor menurunkan Adriana perlahan di sofa kulit panjang yang empuk.
“Tunggu di sini. Ada kotak P3K di laci mejaku.”
Adriana memperhatikan punggung lebar pria itu saat Victor berjalan menjauh. Ia meluruskan kakinya, meringis melihat lututnya yang lecet dan sedikit berdarah, serta lengannya yang merah akibat cakaran Clara.
Penampilannya benar-benar berantakan, rok pensilnya robek sedikit di bagian samping, membuat pahanya terekspos lebih banyak dari biasanya.
Victor kembali dengan kotak putih di tangannya. Ia menunduk di hadapan Adriana dan mengeluarkan kapas dan antiseptik dari kotak P3K itu..
“Ini akan sedikit perih,” gumam Victor, menuangkan cairan itu ke kapas.
“Tolong lakukan dengan pelan, Tuan…” pinta Adriana dengan suara lembut, matanya menatap Victor dengan sorot memohon.
Victor mulai membersihkan luka di siku Adriana dengan gerakan yang sangat hati-hati, kontras dengan penampilannya yang besar dan mengintimidasi. Adriana memanfaatkan momen ini dengan meletakkan tangannya di bahu Victor.
“Aahh…” Adriana sedikit meringis saat pria itu menyentuh lututnya dan mengeratkan pegangannya pada bahu Victor,
Tangan Victor berhenti sejenak, matanya bertemu dengan mata Adriana. Ada kilatan gelap di sana, tapi ia segera memutus kontak mata itu dan beralih ke kaki Adriana.
“Lututmu yang paling parah.” ucap Victor, suaranya tiba-tiba terdengar serak.
Ia meraih pergelangan kaki Adriana yang ramping lalu meletakkannya di atas pahanya sendiri agar ia bisa melihat lukanya dengan lebih jelas. Sentuhan tangan besar Victor di kulit kakinya mengirimkan sengatan yang membuat nafas Adriana tercekat.
Victor membersihkan darah di lutut Adriana dengan sangat fokus. Adriana yang memperhatikannya berpikir sejenak. Bagaimana cara agar semua ini tidak berhenti di sini begitu saja?
“Rokmu sobek,” gumam Victor pelan, matanya menelusuri robekan kain yang memperlihatkan kulit paha Adriana yang mulus. “Apa dia juga melukaimu di sini?”
Tanpa sadar, tangan Victor yang bebas bergerak naik.
Awalnya, ia mungkin hanya berniat memeriksa apakah ada memar di paha Adriana. Namun, saat jari-jari kasarnya menyentuh kulit paha bagian dalam yang sensitif itu, gerakan Victor melambat.
Jari jempolnya mengusap pelan kulit Adriana, sedikit lebih tinggi dari lutut, menyentuh area yang tidak terluka. Gerakan itu jauh lebih mirip seperti belaian.
Napas Adriana tertahan. Ia bisa melihat pandangan Victor tidak sefokus sebelumnya. Pria itu tidak sedang melihat lukanya lagi. Pria itu menatap paha Adriana, terhipnotis oleh kulit di balik rok yang tersingkap itu.
Adriana tahu ia harus mendorongnya sedikit lagi.
Ia tidak menarik kakinya. Sebaliknya, Adriana memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih jauh.
Jari telunjuknya yang lentik bergerak turun, menarik pelan ujung kain rok pensilnya yang robek. Dengan gerakan lambat yang disengaja.
Gerakan itu menyingkap kulit paha bagian dalamnya tepat dihadapan Victor yang masih berlutut dihadapan Adriana.
“Tuan…” panggil Adriana, suaranya lebih rendah daripada sebelumnya.
Adriana menatap Victor dari balik kelopak matanya yang setengah tertutup, sementara tangannya menahan kain itu agar tetap terbuka, seolah mengundang pria itu untuk memeriksa lebih dalam.
“Sepertinya…” napas Adriana tercekat saat ia merasa tangan Victor lebih naik daripada sebelumnya tanpa pria itu sadari. “Bagian sebelah sini… juga terasa sakit.”
Saat menunggu jawaban Victor, pikiran Adriana melayang ke masa lalu. Perang dingin antara dirinya dan Evelyn sudah berjalan bertahun-tahun. Dalam kurun waktu itu, Adriana tidak hanya merebut satu, tapi beberapa kekasih Evelyn. Namun, tidak ada satupun dari pria-pria itu yang pernah Adriana beri hati. Tidak sedikitpun.Baginya, prinsipnya sederhana, segala sesuatu yang pernah disentuh oleh Evelyn berarti sudah kotor.Adriana tidak suka barang kotor. Ia hanya mengambil pria-pria itu, memamerkannya di depan Evelyn, menikmati wajah hancur sang rival saat melihat kekasihnya berkhianat, lalu membuang mereka kembali ke tempat sampah segera setelah tujuannya tercapai. Hubungan itu selalu singkat, transaksional, dan murni didorong oleh kebencian.Tapi Victor...Adriana menatap mata pria di hadapannya yang kini menatapnya dengan kening berkerut.Kenapa pria ini terasa berbeda?Apakah karena Victor satu-satunya pria yang bukan bekas kekasih Evelyn? Apakah karena Victor adalah sosok "bersih" ya
"Maaf...."Adriana menarik tubuhnya mundur, menjauhkan wajahnya dari jangkauan tangan Julian berakhir menggantung di udara. Sentuhan pria itu di dagunya meninggalkan rasa tidak nyaman yang menjalar ke tubuhnya.Tawarannya memang menggiurkan secara strategis. Perlindungan dari Evelyn, kekayaan, dan jalan pintas untuk memuluskan balas dendamnya. Tapi saat menatap mata gelap Julian, Adriana melihat pantulan yang familiar.Itu adalah sorot mata yang sama dengan yang dimiliki Evelyn. Sorot mata yang memandang orang lain sebagai objek kepuasan semata.Jika Adriana menerima tawaran ini, dia tahu dia hanya akan menukar satu monster dengan monster lainnya. Adriana hanya akan menambahkan 'Evelyn' lain dalam hidupnya.Menyerahkan tubuh dan harga dirinya pada Julian, pria yang jelas-jelas sama rusaknya dengan Evelyn, bukanlah sebuah kemenangan. Itu adalah bunuh diri."Saya... tidak bisa," ucap Adriana tegas, meski suaranya sedikit bergetar.Senyum di wajah Julian perlahan memudar, digantikan oleh
Victor baru saja membuka pintu ruangannya untuk menyusul Adriana ketika ia menemukan asistennya sedang berdiri di sana, berniat mengetuk pintu.“Ada apa?” tanya Victor.“Mengenai pertemuan siang ini.” jawab Davian. “Pertemuannya masih satu jam lagi, tapi saya baru saja mengecek dan kondisi jalanan cukup macet, saya ingin menyarankan agar kita bisa pergi lebih awal tuan.”Victor menghela nafas, benar, ia masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.Matanya beralih ke layar yang menunjukkan lift itu sudah turun dengan Adriana di dalamnya.“Baiklah.” ucapnya akhirnya. “Siapkan barang-barang yang perlu dibawa.”=Adriana duduk di hadapan Julian di restaurant mewah yang menjadi tempat pertemuan mereka. Tangannya ia kepalkan di atas paha. Wajahnya menunduk, sementara Julian memperhatikannya dengan lekat."Apa hubunganmu dengan Evelyn?" tanya Julian akhirnya tanpa basa-basi.Adriana menelan ludah, berusaha menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak mengerti maksud pembicaraan Julian.. "Saya
Adriana menatap layar ponselnya dengan mata yang membelalak. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut suaranya akan membangunkan Victor yang terlelap di sampingnya.Julian tidak main-main. Pria itu sepertinya tahu sesuatu.Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak setelah ia melangkah sejauh ini. Tidak setelah ia berhasil masuk ke ranjang dan kehidupan Victor.Adriana segera mengetikkan balasan untuk Julian. Berusaha terdengar tidak mengerti dengan perkataan pria itu.[Apa yang Anda inginkan, Tuan Julian?] ketik Adriana cepat. [Kenapa Anda melakukan ini?]Ponselnya bergetar lagi.[Aku tidak suka diabaikan, Adriana. Dan aku tidak suka kau lari dariku seperti tadi. Kau berhutang penjelasan padaku tentang banyak hal.]Pesan berikutnya masuk sebelum Adriana sempat membalas.[Besok siang. Aku akan mengirimkan alamat restorannya padamu. Datanglah sendiri, dan jangan coba-coba membuat alasan bodoh tentang pekerjaanmu lagi.]Adriana membaca pesan itu berulang kali. Julian sedang m
Petugas keamanan itu mengerjap bingung, tangannya yang kasar membolak-balik buku catatan kusam di hadapannya."Siapa tadi namanya, Tuan? Ariana? Atau...""Adriana Brown," sela Julian tajam, suaranya meninggi\karena kesabarannya sudah habis. "Apa kau tuli? Aku sudah mengatakannya dua kali."Nada bicara Julian membuat si petugas panik. "B…baik, Tuan! Sebentar! Maaf!"Julian mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas meja dengan irama cepat, menahan keinginan untuk menyeret petugas itu keluar dan mencari di bukunya sendiri.Saat itulah, seorang petugas keamanan lain yang terlihat lebih muda masuk ke dalam pos sambil membawa gelas kopi."Ada keributan apa ini?" tanyanya, melihat rekannya yang berkeringat dingin."Tuan ini... mencari unit Nona Adriana Brown," jawab petugas pertama dengan gugup."Oh..." Petugas kedua itu mengangguk-angguk paham. "Wanita yang tinggal di lantai 5 itu, kan? Yang waktu itu diserang pria gila di depan gerbang?"Alis Julian terangkat sedikit. Diserang pria?"Ya,
"Apa Julian mengganggumu?"Pertanyaan itu langsung meluncur dari mulut Victor begitu bunyi klik terdengar dari pintu ruangan yang baru saja ditutup Adriana. Pria itu duduk diam di balik meja kerjanya, namun tatapannya tajam dan menyelidik.Adriana menghela napas panjang, berusaha menetralkan detak jantungnya yang masih berpacu.Otaknya berputar cepat. Apa yang harus ia katakan?Haruskah ia berkata jujur tentang betapa intimidatifnya pria itu? Mengaku bahwa ia ketakutan? Atau...Sebuah ide melintas di benaknya. Apa Adriana harus memanfaatkan situasi ini untuk keuntungannya? Melihat ekspresi Victor yang sepertinya cemburu tadi…"Tuan Julian..." Adriana melangkah mendekat perlahan, ekspresinya sengaja ia buat setenang mungkin. "Beliau hanya mengajak saya makan malam."Victor bangkit perlahan dari kursinya. Ia melangkah mendekat, menghapus jarak antara dirinya dan Adriana. "Lalu?" Victor menatap tajam ke manik mata Adriana. "Apa kau menerima ajakannya?"Adriana tidak mundur. Sebaliknya,







