Share

4. Menyesal

Aku berdiri dengan gelisah, mondar-mandir tak tenang di depan ranjangku.

"Bagaimana, Andri?" tanya ibu menghampiriku.

"Ternyata aku sudah salah menilainya, bu. Bodohnya aku tidak percaya pada istriku sendiri," sahutku penuh sesal.

Ibu memandangku dengan tatapan iba. "Bagaimana ini? Diluar sudah mulai hujan... Kasihan Amira, pergi kemana dia? Dia tidak punya sanak saudara disini," sahut ibu, netranya nampak berkaca-kaca.

Ucapan ibu justru membuatku makin menyesal. 

"Aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Aku mengembuskan nafas dengan kasar. "Aku sudah mengucapkan kata talak tiga kali, bu," sesalku lagi.

"Astaghfirullah hal'adzim, Andriii..."

"Andri nyesel, Bu."

"Tidak ada gunanya kamu menyesal sekarang. Makanya kalau ada masalah itu selesaikan baik-baik dulu, bukan karena emosi kamu menjatuhkan talak segitu mudahnya. Kalau kayak sekarang gini gimana?"

"Apa aku masih bisa rujuk sama Mira, Bu?"

"Bisa, nanti kita tanyakan pada pak ustadz dulu ya. Tapi apa kamu yakin, Amira mau rujuk denganmu?"

Mendengar pernyataan ibu, membuatku jadi pesimis. Ah, benar-benar ini membuatku jadi gila. 

Suara gemuruh guntur menggelegar, petir saling bersahutan. Hujan turun semakin deras, aku memandang ke arah ibu. Beliau sama khawatirnya denganku. Dimana Amira?

"Aku akan cari Amira, Bu" cetusku sambil menyambar jaket kulit anti air.

"Iya, kamu hati-hati nak," sahut ibu dengan nada cemas. 

Segera kukenakan jaket itu dan mengendarai motor bebekku. Kutelusuri setiap jengkal gang-gang yang ada di kampung ini, sembari mataku menoleh ke kanan dan ke kiri, barangkali ada Amira berteduh disana.

Nihil, sudah 4x putaran aku bolak-balik mencarinya. Tapi tak juga kutemukan sosoknya yang ayu, yang sudah menemaniku selama delapan tahun ini. Aaarghhh, kenapa aku bodoh sekali. Sekarang Amira pergi, aku benar-benar merasa kehilangannya. Kenapa aku bisa percaya begitu saja dengan ucapan Mbak Lani? 

Deg. Jantungku mulai berpacu dengan cepat lagi. Nalarku mulai terbuka. Pasti dia juga yang sudah memvideo Amira dan membuat akun palsunya. Siapa lagi kalau bukan dia? Dia yang sering bermain handphone. Ini pasti ulah orang dalam kan? Tapi kenapa dia begitu tega melakukan ini pada kami? Kenapa? Apa maksudnya?

Kulajukan kembali motorku untuk pulang ke rumah. Jalanan yang begitu sepi, gelap, tak ada satu kendaraan lainpun yang lewat. Pandanganku mulai menyipit karena terciprat air hujan. Aku tidak menemukan Amira, aku akan mencarinya besok lagi. Tapi setidaknya aku harus melabrak Mbak Lani, untuk apa dia melakukan semua ini pada kami!

Tok... Tok... Tok... 

"Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikum salam..."

Ibu tergopoh-gopoh membukakan pintu. "Bagaimana, nak? Apa Amira ketemu?" tanyanya. Nampak jelas kekhawatiran di wajahnya yang sudah renta.

Aku menggeleng frustasi. Hatiku sudah dilanda dilema, antara sedih, emosi dan penyesalan.

"Ya sudah, ibu akan buatkan kamu makan dan teh hangat dulu, biar kamu tidak sakit," ucap ibu. Ibu pun berlalu ke belakang.

Aku memandang ke arah pintu kamar Mbak Lani yang ada di hadapanku. Ya, kamar mereka ada di depan.

"Mbak, buka pintunya mbak," ucapku dengan emosi di ubun-ubun.

Tak lama dia muncul membukakan pintu, layaknya orang yang habis tertidur pulas. Rambutnya acak-acakan. Dia mengenakan tanktop dan mini hotpants, membiarkan tubuh mulusnya terlihat. Berbeda sekali dengan Amira, dia memakai baju yang tertutup meskipun di dalam rumah.

"Mbak, pasti kamu kan pelakunya?!" tuduhku. Entah kenapa raut wajahnya seperti tidak tahu apa yang terjadi.

"Maksudnya apa, mas?"

"Jangan pura-pura tidak tahu deh! Mbak kan yang melakukan ini semua?!"

"Aku memang gak tahu mas, apa yang mas maksud itu?!"

"Video!"

"Video apa?!"

"Mbak kan yang merekam Amira sedang mandi? Dan membuat akun palsu Amira?!" tanyaku dengan nada emosi.

"Mas, jangan menuduh sembarangan deh!"

"Baik, akan kupastikan sendiri. Mana sini pinjam handphone mbak!!"

"Tidak! Itu privacyku!" sanggahnya.

"Kenapa? Mbak takut kalau semua itu bakal ketahuan?"

"Jangan mengada-ada deh, mas!" serunya lagi.

Aku tak sabar dan Aku masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil handphonenya yang tergeletak diatas meja rias. Namun dia tetap berusaha keras menghalangiku. 

"Jangan, mas! Kau tidak boleh mengambil ponselku!" teriaknya. Dia berlari mengejarku, tapi tiba-tiba dia tersandung kakinya sendiri. Dia terjatuh, dia menarik bajuku hingga membuatku terjatuh juga. Posisi kami terjatuh sungguh membuat orang salah paham.

Tiba-tiba saja ada yang menyeret bajuku lalu memukulku dengan beringas. 

Duugh.. Duggh... 

Dia memukulku hingga aku tersungkur.

"Aaaww...!" aku mengaduh kesakitan. Ah aku baru sadar, Mas Restu pulang dan dia memukulku karena salah paham.

"Adik kurang ajar! Berbuat tak senonoh pada kakak iparmu sendiri!" bentaknya penuh amarah.

"Ampun mas! Ini tidak seperti yang mas bayangkan, mas salah paham!" sahutku.

Mas Restu tak peduli dengan ucapanku. "Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Adik macam apa kamu!" bentaknya lagi, dia mengangkat tangannya lagi dan akan melayangkan pukulannya padaku.

"Hentikan!!" teriakan ibu membuyarkan kami semua.

Kepalaku kembali berdenyut-denyut karena rasa sakit yang diberikan oleh Mas Restu. Wajahku pasti sudah babak belur sekarang.

"Kalian ini ada apa? Kenapa ribut-ribut?!" Seru ibu, beliau memandang kami secara bergantian. 

"Restu, kenapa kamu pulang-pulang langsung marah-marah begitu? Kenapa kau pukul adikmu?" tanya ibu lagi.

"Tanya saja pada anakmu yang manja itu, bu!" celetuk Mas Restu, dia menatapku dengan sinis. "Dia sudah berlaku tak senonoh pada istriku!" teriaknya lagi.

Aku memegang wajahku yang tadi dipukul oleh Mas Restu. Terasa sakit, apalagi hatiku. Aku ditinggalkan oleh istriku dan sekarang kakakku salah paham terhadapku.

"Tidak, bu. Mas Restu salah paham, aku tidak berbuat apa-apa pada mbak Lani. Mas Restu salah paham, bu," jawabku membela diri.

"Lani, tolong katakan yang sejujurnya. Apa yang dikatakan Restu benar? Andri sudah berbuat tak pantas kepadamu? Atau itu hanya salah paham?!" tukas Ibu. 

Mbak Lani datang menghampiri kami dan memeluk lengan Mas Restu.

"Mas, jangan mas. Mas sudah salah paham, Mas Andri gak salah. Tadi aku tersandung, dan kami terjatuh," ucap Mbak Lani.

"Yakin kamu tidak diapa-apain sama dia?" tanya Mas Restu pada istrinya itu.

"Iya mas, mas hanya salah paham saja," sahut Mbak Lani kembali.

Akupun keluar dari kamar mereka disusul oleh ibu. Aku menuju kamarku sendiri. Kepalaku terasa pusing, pikiranku begitu penat. Andai ada Amira, dia pasti sudah memijit kepalaku dan badanku yang sudah kelelahan.

"Kamu kenapa masuk ke kamar kakak iparmu itu?" tanya ibu. Beliau duduk di sampingku, di tepi ranjang.

"Aku hanya ingin memastikan saja bu, kalau dia yang merekam video Amira yang sedang mandi dan membuat akun palsunya."

"Kenapa kau mencurigai dia?"

"Ya siapa lagi kalau bukan dia, bu. Aku yakin pasti itu Mbak Lani. Aku sudah mengecek hp Amira, tak ada video apapun disana."

Ibu terlihat mengambil nafas dalam-dalam.

"Nanti biar ibu kompres dulu lukamu itu ya, ibu juga mau bicara sama kakakmu dulu," jawab ibu.

Ibupun berlalu meninggalkanku sendirian. Tak lama ibu membawa sebuah nampan. Ada air hangat untuk mengompres, ada juga teh hangat untukku.

Ibu mulai mengompres lukaku. Ibu tak berbicara apapun padaku, mungkin beliau tahu perasaanku saat ini. Kalut dan kacau, semuanya terjadi begitu cepat.

"Kau minum dulu tehnya, kalau mau makan langsung saja ke meja makan. Ibu sudah siapkan semuanya. Andri, tolong jangan bertindak gegabah lagi, kau itu sangat ceroboh," ujar ibu memperingatkanku.

Aku melangkah gontai menuju ke meja makan, mereka sudah berkumpul disana. Mas Restu masih memandangku dengan tatapan tajam. Kulihat ibu yang menyiapkan semua makanannya, biasanya Amira selalu membantu ibu, dengan senyum yang sumringah. Berbeda sekali dengan istri kakakku itu, dia hanya duduk manis sambil terkadang memainkan handphonenya. Anaknya sendiripun dicueki kalau dia minta disuapi. Sehingga Reni lebih dekat dengan istriku.

"Mana istrimu? Kenapa dia gak ikut makan disini?" tanya Mas Restu memecah ketegangan diantara kami.

Aku terdiam sambil memandang ibu.

"Mas, Amira sudah pergi," sahut Mbak Lani.

"Pergi? Maksudmu?"

"Iya, mereka habis bertengkar. Jadi Amira sudah pergi dari rumah ini, karena Mas Andri sudah menalaknya. Amira sudah berselingkuh dengan laki-laki lain..." jawab Mbak Lani. Mulut manisnya ingin sekali ku uleg pake sambel. Gemaasss. 

"Berselingkuh? Mana mungkin? Dia wanita baik-baik," sahut Mas Restu kembali.

"Ya kalau gak, mana mungkin Mas Andri menalaknya begitu, iya kan?"

"Cukup, mbak!!" bentakku. "Jangan jelek-jelekin istriku lagi! Kau sudah memfitnahnya! Kau yang membuat kami berpisah!" teriakku. Aku sudah kepalang emosi dibuatnya.

"Apa maksudmu, Ndri?!" 

"Tanyakan saja pada istrimu itu!" sahutku lagi, aku bangkit dan berlalu menuju kamar. Tak sudi aku makan bersama mereka sekarang.

"Ndriii... Andriii...!" Ibu memanggilku. Aku tak menghiraukannya, segera kukunci pintu kamarku. 

Apa yang harus aku lakukan? Hidupku sudah hancur. Amira, Amira, akankah kau menerimaku kembali jadi suamimu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status