Aku berdiri dengan gelisah, mondar-mandir tak tenang di depan ranjangku.
"Bagaimana, Andri?" tanya ibu menghampiriku.
"Ternyata aku sudah salah menilainya, bu. Bodohnya aku tidak percaya pada istriku sendiri," sahutku penuh sesal.
Ibu memandangku dengan tatapan iba. "Bagaimana ini? Diluar sudah mulai hujan... Kasihan Amira, pergi kemana dia? Dia tidak punya sanak saudara disini," sahut ibu, netranya nampak berkaca-kaca.
Ucapan ibu justru membuatku makin menyesal.
"Aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Aku mengembuskan nafas dengan kasar. "Aku sudah mengucapkan kata talak tiga kali, bu," sesalku lagi.
"Astaghfirullah hal'adzim, Andriii..."
"Andri nyesel, Bu."
"Tidak ada gunanya kamu menyesal sekarang. Makanya kalau ada masalah itu selesaikan baik-baik dulu, bukan karena emosi kamu menjatuhkan talak segitu mudahnya. Kalau kayak sekarang gini gimana?"
"Apa aku masih bisa rujuk sama Mira, Bu?"
"Bisa, nanti kita tanyakan pada pak ustadz dulu ya. Tapi apa kamu yakin, Amira mau rujuk denganmu?"
Mendengar pernyataan ibu, membuatku jadi pesimis. Ah, benar-benar ini membuatku jadi gila.
Suara gemuruh guntur menggelegar, petir saling bersahutan. Hujan turun semakin deras, aku memandang ke arah ibu. Beliau sama khawatirnya denganku. Dimana Amira?
"Aku akan cari Amira, Bu" cetusku sambil menyambar jaket kulit anti air.
"Iya, kamu hati-hati nak," sahut ibu dengan nada cemas.
Segera kukenakan jaket itu dan mengendarai motor bebekku. Kutelusuri setiap jengkal gang-gang yang ada di kampung ini, sembari mataku menoleh ke kanan dan ke kiri, barangkali ada Amira berteduh disana.
Nihil, sudah 4x putaran aku bolak-balik mencarinya. Tapi tak juga kutemukan sosoknya yang ayu, yang sudah menemaniku selama delapan tahun ini. Aaarghhh, kenapa aku bodoh sekali. Sekarang Amira pergi, aku benar-benar merasa kehilangannya. Kenapa aku bisa percaya begitu saja dengan ucapan Mbak Lani?
Deg. Jantungku mulai berpacu dengan cepat lagi. Nalarku mulai terbuka. Pasti dia juga yang sudah memvideo Amira dan membuat akun palsunya. Siapa lagi kalau bukan dia? Dia yang sering bermain handphone. Ini pasti ulah orang dalam kan? Tapi kenapa dia begitu tega melakukan ini pada kami? Kenapa? Apa maksudnya?
Kulajukan kembali motorku untuk pulang ke rumah. Jalanan yang begitu sepi, gelap, tak ada satu kendaraan lainpun yang lewat. Pandanganku mulai menyipit karena terciprat air hujan. Aku tidak menemukan Amira, aku akan mencarinya besok lagi. Tapi setidaknya aku harus melabrak Mbak Lani, untuk apa dia melakukan semua ini pada kami!
Tok... Tok... Tok...
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikum salam..."
Ibu tergopoh-gopoh membukakan pintu. "Bagaimana, nak? Apa Amira ketemu?" tanyanya. Nampak jelas kekhawatiran di wajahnya yang sudah renta.
Aku menggeleng frustasi. Hatiku sudah dilanda dilema, antara sedih, emosi dan penyesalan.
"Ya sudah, ibu akan buatkan kamu makan dan teh hangat dulu, biar kamu tidak sakit," ucap ibu. Ibu pun berlalu ke belakang.
Aku memandang ke arah pintu kamar Mbak Lani yang ada di hadapanku. Ya, kamar mereka ada di depan.
"Mbak, buka pintunya mbak," ucapku dengan emosi di ubun-ubun.
Tak lama dia muncul membukakan pintu, layaknya orang yang habis tertidur pulas. Rambutnya acak-acakan. Dia mengenakan tanktop dan mini hotpants, membiarkan tubuh mulusnya terlihat. Berbeda sekali dengan Amira, dia memakai baju yang tertutup meskipun di dalam rumah.
"Mbak, pasti kamu kan pelakunya?!" tuduhku. Entah kenapa raut wajahnya seperti tidak tahu apa yang terjadi.
"Maksudnya apa, mas?"
"Jangan pura-pura tidak tahu deh! Mbak kan yang melakukan ini semua?!"
"Aku memang gak tahu mas, apa yang mas maksud itu?!"
"Video!"
"Video apa?!"
"Mbak kan yang merekam Amira sedang mandi? Dan membuat akun palsu Amira?!" tanyaku dengan nada emosi.
"Mas, jangan menuduh sembarangan deh!"
"Baik, akan kupastikan sendiri. Mana sini pinjam handphone mbak!!"
"Tidak! Itu privacyku!" sanggahnya.
"Kenapa? Mbak takut kalau semua itu bakal ketahuan?"
"Jangan mengada-ada deh, mas!" serunya lagi.
Aku tak sabar dan Aku masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil handphonenya yang tergeletak diatas meja rias. Namun dia tetap berusaha keras menghalangiku.
"Jangan, mas! Kau tidak boleh mengambil ponselku!" teriaknya. Dia berlari mengejarku, tapi tiba-tiba dia tersandung kakinya sendiri. Dia terjatuh, dia menarik bajuku hingga membuatku terjatuh juga. Posisi kami terjatuh sungguh membuat orang salah paham.
Tiba-tiba saja ada yang menyeret bajuku lalu memukulku dengan beringas.
Duugh.. Duggh...
Dia memukulku hingga aku tersungkur."Aaaww...!" aku mengaduh kesakitan. Ah aku baru sadar, Mas Restu pulang dan dia memukulku karena salah paham.
"Adik kurang ajar! Berbuat tak senonoh pada kakak iparmu sendiri!" bentaknya penuh amarah.
"Ampun mas! Ini tidak seperti yang mas bayangkan, mas salah paham!" sahutku.
Mas Restu tak peduli dengan ucapanku. "Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Adik macam apa kamu!" bentaknya lagi, dia mengangkat tangannya lagi dan akan melayangkan pukulannya padaku.
"Hentikan!!" teriakan ibu membuyarkan kami semua.
Kepalaku kembali berdenyut-denyut karena rasa sakit yang diberikan oleh Mas Restu. Wajahku pasti sudah babak belur sekarang.
"Kalian ini ada apa? Kenapa ribut-ribut?!" Seru ibu, beliau memandang kami secara bergantian.
"Restu, kenapa kamu pulang-pulang langsung marah-marah begitu? Kenapa kau pukul adikmu?" tanya ibu lagi.
"Tanya saja pada anakmu yang manja itu, bu!" celetuk Mas Restu, dia menatapku dengan sinis. "Dia sudah berlaku tak senonoh pada istriku!" teriaknya lagi.
Aku memegang wajahku yang tadi dipukul oleh Mas Restu. Terasa sakit, apalagi hatiku. Aku ditinggalkan oleh istriku dan sekarang kakakku salah paham terhadapku.
"Tidak, bu. Mas Restu salah paham, aku tidak berbuat apa-apa pada mbak Lani. Mas Restu salah paham, bu," jawabku membela diri.
"Lani, tolong katakan yang sejujurnya. Apa yang dikatakan Restu benar? Andri sudah berbuat tak pantas kepadamu? Atau itu hanya salah paham?!" tukas Ibu.
Mbak Lani datang menghampiri kami dan memeluk lengan Mas Restu.
"Mas, jangan mas. Mas sudah salah paham, Mas Andri gak salah. Tadi aku tersandung, dan kami terjatuh," ucap Mbak Lani.
"Yakin kamu tidak diapa-apain sama dia?" tanya Mas Restu pada istrinya itu.
"Iya mas, mas hanya salah paham saja," sahut Mbak Lani kembali.
Akupun keluar dari kamar mereka disusul oleh ibu. Aku menuju kamarku sendiri. Kepalaku terasa pusing, pikiranku begitu penat. Andai ada Amira, dia pasti sudah memijit kepalaku dan badanku yang sudah kelelahan.
"Kamu kenapa masuk ke kamar kakak iparmu itu?" tanya ibu. Beliau duduk di sampingku, di tepi ranjang.
"Aku hanya ingin memastikan saja bu, kalau dia yang merekam video Amira yang sedang mandi dan membuat akun palsunya."
"Kenapa kau mencurigai dia?"
"Ya siapa lagi kalau bukan dia, bu. Aku yakin pasti itu Mbak Lani. Aku sudah mengecek hp Amira, tak ada video apapun disana."
Ibu terlihat mengambil nafas dalam-dalam.
"Nanti biar ibu kompres dulu lukamu itu ya, ibu juga mau bicara sama kakakmu dulu," jawab ibu.
Ibupun berlalu meninggalkanku sendirian. Tak lama ibu membawa sebuah nampan. Ada air hangat untuk mengompres, ada juga teh hangat untukku.
Ibu mulai mengompres lukaku. Ibu tak berbicara apapun padaku, mungkin beliau tahu perasaanku saat ini. Kalut dan kacau, semuanya terjadi begitu cepat.
"Kau minum dulu tehnya, kalau mau makan langsung saja ke meja makan. Ibu sudah siapkan semuanya. Andri, tolong jangan bertindak gegabah lagi, kau itu sangat ceroboh," ujar ibu memperingatkanku.
Aku melangkah gontai menuju ke meja makan, mereka sudah berkumpul disana. Mas Restu masih memandangku dengan tatapan tajam. Kulihat ibu yang menyiapkan semua makanannya, biasanya Amira selalu membantu ibu, dengan senyum yang sumringah. Berbeda sekali dengan istri kakakku itu, dia hanya duduk manis sambil terkadang memainkan handphonenya. Anaknya sendiripun dicueki kalau dia minta disuapi. Sehingga Reni lebih dekat dengan istriku.
"Mana istrimu? Kenapa dia gak ikut makan disini?" tanya Mas Restu memecah ketegangan diantara kami.
Aku terdiam sambil memandang ibu.
"Mas, Amira sudah pergi," sahut Mbak Lani.
"Pergi? Maksudmu?"
"Iya, mereka habis bertengkar. Jadi Amira sudah pergi dari rumah ini, karena Mas Andri sudah menalaknya. Amira sudah berselingkuh dengan laki-laki lain..." jawab Mbak Lani. Mulut manisnya ingin sekali ku uleg pake sambel. Gemaasss.
"Berselingkuh? Mana mungkin? Dia wanita baik-baik," sahut Mas Restu kembali.
"Ya kalau gak, mana mungkin Mas Andri menalaknya begitu, iya kan?"
"Cukup, mbak!!" bentakku. "Jangan jelek-jelekin istriku lagi! Kau sudah memfitnahnya! Kau yang membuat kami berpisah!" teriakku. Aku sudah kepalang emosi dibuatnya.
"Apa maksudmu, Ndri?!"
"Tanyakan saja pada istrimu itu!" sahutku lagi, aku bangkit dan berlalu menuju kamar. Tak sudi aku makan bersama mereka sekarang.
"Ndriii... Andriii...!" Ibu memanggilku. Aku tak menghiraukannya, segera kukunci pintu kamarku.
Apa yang harus aku lakukan? Hidupku sudah hancur. Amira, Amira, akankah kau menerimaku kembali jadi suamimu?
"Ndri... Ndri..., Buka pintunya, nak. Ibu ada kabar baik buat kamu," panggil ibu dari luar kamar.Aku menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.Aku membuka pintu, ibu menyambutku dengan senyuman."Ada apa bu, pagi-pagi begini?" tanyaku dengan nada suara malas."Ndri, barusan ibu dari pasar, ibu lihat Amira, Ndri," ucap ibu. Beliau mengambil nafas dalam-dalam.Bola mataku langsung membulat. Aku sudah tak sabar ingin menjemput Amira."Dimana, Bu? Dimana ibu lihat Amira?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi."Dia terlihat sangat sibuk bantu-bantu di warungnya Budhe Narti, sampai-sampai ibu panggil pun tidak menoleh," jawab ibu kemudian."Budhe Narti?""Iya budhenya si Bian, teman kamu itu lho," cerocos ibu lagi."Warungnya di sebelah mana, Bu?"Dekat pasar kok.""Andri akan kesana cari Amira, Bu," sahutku sembari menyambar jaket kesayangan
"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain." Ucapan Pak Ustadz tadi pagi masih saja terngiang-ngiang ditelingaku.Bayang wajah Amira kembali hadir menari-nari di kepalaku."Mas, nih aku bikin cemilan kue, coba nih dicicipinya dulu," ucapnya kemudian langsung menyuapiku kue itu dengan tangannya."Mas, aku punya tanaman baru, ayo lihat dulu," ajaknya sambil menggamit lenganku lalu menunjukkan tanaman-tanaman hias kesukaannya."Mas, terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum manis lalu merangkulku, setelah kuberikan sebagian gajiku padanya. Ya, hanya sebagian karena yang sebagian lagi aku pakai untuk biaya hidupku disana. Tapi dia tak pernah mengeluh tentang hal itu, Amira selalu menerimanya dan mengelola uang itu dengan baik."Mas, aku bikin nasi goreng lho, coba ni
Air mata ini tak berhenti menitik. Kenapa Mas Andri tak menghargai perasaanku? Semudah itu mengucap kata talak dan semudah itu juga bilang mau mencarikan muhalil untukku? Apakah sebuah pernikahan tak berarti untukmu, mas? Apakah pernikahan bagimu adalah sebuah permainan?Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuseka air mata yang berulang kali jatuh tanpa kompromi. Kenapa aku mendadak mellow begini."Beliiii...." teriak suara dari luar.Aku terkesiap, lalu menghapus air mataku dan mengecilkan nyala kompor agar masakan tetap hangat namun juga tidak gosong.Aku tergopoh-gopoh menghampiri pelanggan, seorang bapak-bapak dengan perawakan tambun, dan sebuah kacamata hitam disampirkan di kepala."Ya mau pesan apa, pak?" tanyaku sembari membawa kertas kecil dan pena untuk menuliskan pesanannya.Pria tambun itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan genit dan menggoda."Pesan kamu, neng? Berapa?" ujarnya dengan kerlingan m
"Bagaimana hasilnya, Nduk?" tanya Budhe Narti ketika kami sampai."Mbak Amira hamil, Budhe," celetuk Mas Bian. Dia melirikku yang masih terdiam membisu."Bukankah ini kabar gembira? Kenapa kamu murung, Nduk?" tanya Budhe Narti lagi."Tidak apa-apa, budhe," jawabku. Sebenarnya aku khawatir dengan kehidupan anak ini selanjutnya. Apakah aku bisa menghidupi dan mendidiknya dengan baik? Selain menjadi seorang ibu, aku juga harus menjadi seorang ayah untuknya."Padahal sudah kubilang budhe, supaya Mbak Amira gak perlu khawatir masalah kebutuhan bayinya, aku bisa membantunya. Tapi dia masih saja murung," sahut Mas Bian lagi."Bian, masalahnya gak semudah itu. Wanita itu punya perasaan. Banyak yang harus dipikirkan. Bukan hanya kebutuhan fisik bayinya saja, psikisnya juga perlu. Bayi itu juga butuh kasih sayang seorang ayah. Sedangkan disini posisi Amira sedang sulit. Mungkin dia masih shock. Dia baru bercerai dengan sang suami. Bahkan mungkin suaminya pun
Hari demi hari berganti, menjalani kehamilan pertama tanpa suami rasanya nano-nano, menyedihkan. Tidak ada yang bisa menjadi sandaran hati ketika rasa lelah menanti. Meskipun Budhe Narti sudah melarangku untuk bekerja, tapi aku merasa tak enak hati. Aku memang sudah tak membantunya berjualan di warung, karena hidungku terlalu sensitif, mencium aroma masakan saja sudah membuatku mual. Jadi, aku hanya melakukan tugas rumahan yang ringan."Hueek... Hueek... Hueek..."Mendadak perutku mual-mual kembali. Apakah bawaan bayi memang seperti ini? Pusing, mual, muntah, badan meriyang tak karuan. Rasanyaaku ingin menangis saja."Sabar ya mbak, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Oh iya, ini mbak, ada buah dan susu hamil untukmu. Biasanya ibu hamil suka yang seger-seger," tukas Mas Bian. Dia memberikan parsel berisi buah-buahan dan juga susu untuk ibu hamil."Mas, gak usah repot-repot," sahutku."Aku gak merasa direpotkan kok. Sudah tanggung jawabku," jawabnya la
Aku mulai membukakan mata, kulihat sekeliling, ruangan yang rapi, suasana hening, ada selang infus yang menancap di tanganku. Sudah kupastikan ini pasti sebuah ruang perawatan di rumah sakit. Seketika aku tersadar. Bayiku, bagaimana dengan bayiku?"Alhamdulillah mbak, kamu sudah sadar," ucap seseorang. Aku menoleh, ada Mas Bian duduk di sisi kananku yang tak kusadari kehadirannya."Bayiku, bayiku gimana, mas?" tanyaku sembari meraba perut yang masih rata."Alhamdulillah, bayi mbak gak apa-apa.""Beneran, mas? Aku gak keguguran kan?""Enggak. Nanti kalau dokter berkunjung, tanyakan langsung saja," sahut Mas Bian.Aku mengangguk. Tak berselang lama, Bu dokter dan perawat datang. Perawat memeriksa tensi darahku lalu mencatatnya."Alhamdulillah semuanya normal, besok ibu sudah boleh pulang," ucap Bu dokter."Bayi saya tidak apa-apa kan, dokter?""Alhamdulillah tidak apa-apa. Lain kali harus dijaga ya, jangan sampai jatuh lag
POV BianAku tak mengerti apa yang ada dipikiran Amira, wanita itu seringkali menangis. Membuat hati ini ikut merasa iba. Kenapa air mata itu tak kunjung kering justru semakin banyak, padahal sudah berbulan-bulan, bahkan tiap hari dia selalu menitikkan air mata.Dia terlalu melankolis. Aku paham, masalah ini terlalu berat untuknya. Diceraikan oleh sang suami dengan tuduhan selingkuh denganku, serta video dia sedang mandi dan tetiba hamil, pasti dia sangat shock menjalani semuanya. Dikucilkan oleh para tetangga, bahkan ada yang hampir melecehkannya adalah sanksi sosial yang ia dapatkan dari ulah seseorang yang tak bertanggung jawab.Sedangkan disatu sisi, sang suami, maksudku sang mantan suami seakan angkat tangan tidak mau mencari tahu siapa sebenarnya yang sudah menjebak Amira. Bahkan dia sibuk mencari pembenaran sendiri, ingin rujuk lagi dengan Amira dan meminta aku menjadi muhalilnya. Ironis bukan?Sungguh aku tak habis pikir dengan jalan p
"Awas ya, Amira! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ancam Lani sembari mengacungkan jari telunjuknya ke muka Amira.Lani kemudian pergi begitu saja meninggalkan Amira dengan dada yang berguncang emosi. Amira menghela nafas dalam-dalam."Mas Bian, keluarlah, jangan sembunyi terus!" seru Amira yang membuatku terkejut. Ah, jadi dia sudah tahu aku ada disini.Aku keluar dari persembunyian dan mensejajari langkahnya. Akuu tersenyum sembari menggaruk-garuk kepala yang tak gatal."Kenapa kau mengikutiku, Mas?" tanyanya yang membuatku gelagapan."Ah... Aku khawatir sama kamu," jawabku."Bukankah kamu sendiri yang nyuruh aku jadi wanita yang kuat? Yang harus bisa membela diri?" sanggahnya lagi."Emhh iya, itu benar. Tapi aku gak nyangka kamu bisa berubah secepat ini.""Iya, ini semua ini karena kamu. Terima kasih sudah selalu mendukungku. Ucapanmu tempo hari membuatku berpikir. Kamu benar, mas. Kalau bukan aku yang melindungi diri sen