Share

5. Minta Balikan

"Ndri... Ndri..., Buka pintunya, nak. Ibu ada kabar baik buat kamu," panggil ibu dari luar kamar.

Aku menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. 

Aku membuka pintu, ibu menyambutku dengan senyuman. 

"Ada apa bu, pagi-pagi begini?" tanyaku dengan nada suara malas.

"Ndri, barusan ibu dari pasar, ibu lihat Amira, Ndri," ucap ibu. Beliau mengambil nafas dalam-dalam.

Bola mataku langsung membulat. Aku sudah tak sabar ingin menjemput Amira.

"Dimana, Bu? Dimana ibu lihat Amira?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi.

"Dia terlihat sangat sibuk bantu-bantu di warungnya Budhe Narti, sampai-sampai ibu panggil pun tidak menoleh," jawab ibu kemudian.

"Budhe Narti?"

"Iya budhenya si Bian, teman kamu itu lho," cerocos ibu lagi.

"Warungnya di sebelah mana, Bu?

"Dekat pasar kok."

"Andri akan kesana cari Amira, Bu," sahutku sembari menyambar jaket kesayanganku.

"Kamu gak sarapan dulu, nak?"

"Tidak, Bu. Nanti saja, aku akan bawa Amira pulang," sahutku lagi.

Aku pergi melajukan motorku, membawa sejuta harapan. Aku masih sayang sama Amira, aku juga yakin Amira pasti masih sayang padaku.

Ah, tapi kenapa Amira bersama budhe'nya Bian? Apa mereka bertemu lagi? Tapi Amira kan pergi tidak bawa ponsel? Atau mereka bertemu hanya kebetulan saja? Segera kulajukan motorku ke warungnya Budhe Narti yang berada tak jauh dari pasar.

Ditengah jalan tanpa sengaja aku bertemu dengan Bian. Bian adalah teman sekolahku dulu. Dia seorang lelaki berbadan tinggi dan tegap keluar dari dalam. Aku turun dari motorku.

"Hei bro, apa kabar?" sapanya dengan ramah. Dia menyalami tanganku. Sebenarnya aku kurang suka dengannya, boleh dibilang, dia rivalku sejak sekolah dulu. Dan akupun tahu pandangannya pada Amira itu menyiratkan kalau dia menyukai istriku. 

"To the points saja Yan, apa kamu tahu dimana istriku?"

"Lho, kenapa tanya aku, bro? Kamu kan suaminya."

Aku menghela nafas dalam-dalam. "Yan, please tolong kasih tahu aku. Dari semalam aku mencarinya tapi tidak ketemu. Aku stress sekali, Yan. Lama-lama aku bisa gila kalau seperti ini terus," sahutku apa adanya.

Dia terkekeh.

"Aku serius Yan, bukan sedang bercanda," sambungku lagi.

"Kamu habis perang dunia ketiga ya jadi binimu minggat?"

"Bukan gitu, Yan. Ini semua salahku, aku sudah salah paham terhadapnya."

"Makanya sebelum bertindak itu dipikir dulu, jangan asal gegabah begitu."

"Aku tidak ingin dengar nasehatmu, aku akui sudah salah padanya. Tolong beri tahu dimana dia?"

Kali ini dia tersenyum kecut. "Dia ada di rumah budheku, mungkin sekarang dia sedang bantu-bantu di warungnya budhe," sahutnya kemudian.

"Jadi benar kamu yang..."

"Hei Ndri, tolong jangan salah paham lagi. Aku membawanya ke rumah budheku, dia pingsan di jalanan saat hujan deras. Untung saja dia ketemu aku, kalau ketemu orang lain bagaimana?"

Aku terdiam.

"Kau tidak apa-apakan istriku, bukan?"

"Ya ampun Ndri, kalau aku sudah bersikap tak sopan pada istrimu, sudah pasti dia dibawa ke rumahku yang sepi, tak ada seorangpun disana, sudah kuapa-apakan dia dari semalam. Tapi aku sama sekali tidak punya niat jahat padanya, maka dari itu kubawa dia ke rumah budheku," jawabnya dengan enteng. Seketika mukaku menjadi merah menahan amarah. Dadaku berdetak lebih cepat, ah jadi dia terang-terangan suka pada istriku ya.

"Harusnya kau berterima kasih padaku, bukannya menuduh yang tidak-tidak," timpalnya lagi.

Lagi-lagi aku terdiam.

"Lain kali jangan asal ngucap talak begitu. Kau tahu? Dia sangat terluka. Aku jadi ingin mengusap air matanya dan menjadi sandarannya."

"Ngomong apaan, kau?" Aku menarik bajunya, dan hampir saja meninjunya.

"Hei, hei, santai bro, santai. Tolong jangan emosi. Ini buat pelajaran kamu ya, kalau emosi jangan sambil buat keputusan. Kalau tidak.... Kau tahu sendiri aapa akibatnya."

"Iya, iya,"

"Kau datang saja ke rumah atau warungnya Budhe Narti, istrimu ada disana," lanjutnya lagi.

"Baik, terima kasih, Yan."

Aku segera menuju warung Budhe Narti. Jarak yang cukup dekat membuatku sampai dengan cepat.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikum salam," jawab suara dari dalam. 

Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam. Dia tersenyum padaku.

"Ada apa, nak? Mau pesan apa? Tapi masakannya belum siap, baru beberapa saja yang matang."

"Budhe, aku ingin bertemu dengan Amira, budhe. Aku ingin menjemputnya pulang," ucapku menuturkan maksudku yang sebenarnya.

"Amira, nduk, kesini nduk, ada yang sedang nyariin kamu..." panggil Budhe Narti.

Tak berselang lama seorang wanita berparas ayu keluar dari dalam rumah. Namun dia memakai kemeja laki-laki, membuat hatiku sedikit terbakar. Ah tidak, tidak, aku tak boleh salah paham lagi. 

Aku menatapnya lekat-lekat. Tak ada senyuman di wajahnya. Bibirnya mengatup dengan rapat, tanpa sepatah kata apapun yang terlontar padaku. Matanya yang begitu sembab, membuatku menyesal. Dia pasti sangat terluka, dia pasti sudah menangis semalaman.

"Dek, maafin mas. Mas sudah salah paham padamu. Kembalilah, ayo kita pulang," ajakku dengan nada lembut. Aku menghampirinya, kalau tak ada Budhe Narti pasti sudah kupeluk wanitaku itu.

Dia hanya berdiam diri, mematung ditempatnya. 

"Kemarin mas menjatuhkan talak dalam keadaan emosi, mas sudah salah padamu. Mas minta maaf, mas ingin kita rujuk lagi," sambungku lagi.

Dia masih terdiam.

"Mas janji, gak akan melakukan itu lagi. Mas akan berubah dek, ayo dek, kita pulang," ajakku lagi.

Kulihat sudut matanya mulai mengembun, dan air mata itupun luruh kembali. 

"Begini nak Andri, lebih baik kamu undang pak ustadz dulu, untuk memberikan solusi pada masalah kalian. Dan biar nak Amira juga mantap dengan keputusannya," sahut Budhe Narti.

Aku mengangguk mengerti. 

"Baik budhe, aku akan jemput ibu dan juga pak ustadz dulu," ucapku. 

"Kalian datang saja ke rumah budhe ya, kalau di warung takut nantinya ada banyak orang yang datang."

Kemudian aku berlalu pergi untuk menjemput ibu terlebih dahulu. 

"Ibu, aku sudah menemui Amira, bu," ucapku menghampiri ibu. Terlihat Mas Restu dan Mbak Lani datang mendekat. Namun aku tak menggubris mereka. Kulihat pandangan Mbak Lani seakan-akan tak suka.

"Ayo bu, kita susul Amira, Bu. Emmh kita temui pak ustadz dulu ya bu, biar beliau bisa membantu kami mencari jalan tengahnya," sambungku lagi.

"Iya nak, ayo..." sahut ibu. 

Sebelum ke tempat Budhe Narti, kamipun menemui Pak ustadz di rumahnya. Kuutarakan maksudku pada Pak Ustadz, mengenai permasalahanku dan bagaimana solusinya. Beliaupun setuju untuk membantu masalah kami. 

***

Sesampainya di rumah Budhe Narti, kami semua sudah berkumpul. Aku, ibu, Pak Ustadz, Amira dan juga Budhe Narti.

"Begini pak ustadz, kemarin dalam keadaan emosi, saya mengucapkan kata talak sebanyak tiga kali dalam satu waktu, kira-kira bagaimana hukumnya ustadz, apakah jatuhnya itu talak tiga? Atau talak berapa? Lalu, bagaimana solusinya kalau saya mau rujuk dengan istri?" tanyaku mengawali pembicaraan.

"Talak yang kamu ucapkan tiga sekaligus dalam satu waktu, misalnya, engkau kutalak tiga, atau engkau kutalak, engkau kutalak, engkau kutalak, atau engkau kutalak 100! Menurut Empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbalî) jatuhnya talak tiga," sahut Pak Ustadz.

"Meskipun diucapkan dengan nada marah, Ustadz?" tanyaku dengan nada getir.

"Ya, meskipun kamu ucapkan dalam keadaan marah, talak itu tetap sah, jatuh talak. Sebab, kita perlu membiasakan siapapun yang marah jangan sampai melakukan hal-hal seperti itu. Makanya perlu melatih hati, jangan gampang mengatakan kata cerai dan cerai."

Aku menunduk. Seperti ada batu besar yang menghantam dadaku.

"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain," jelas Pak Ustadz kembali.

Jleb! Seperti ada yang menusuk-nusuk hatiku. Dadaku seakan memikul beban berat, beban berat yang penuh dengan penyesalan. Kini, Amira tak bisa kembali lagi, kecuali dia menikah dengan laki-laki lain. Tapi sanggupkah aku melihatnya menikah dengan orang lain?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
sulikah
Seandainya amira nikah dengan orang lain amira juga harus melaksakan melayani suami dengan nafkah batin baru boleh cerai dan rujuk dengan mantan itupun harus nunggu masa iddah tetapi apakah menikah harus jadi permainan yg pasti klo seorang wanita yang sudah menikah lagi pasti akan menyayangi suaminy
goodnovel comment avatar
Renni Sartika
thor.. belajar lagi ilmu tentang talak yaaa... dalam 1 waktu dia menyebutkan kata talak. mau itu sampai 10x.. jatuhnya tetap talak 1... jangan asal thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status