"Ndri... Ndri..., Buka pintunya, nak. Ibu ada kabar baik buat kamu," panggil ibu dari luar kamar.
Aku menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi.
Aku membuka pintu, ibu menyambutku dengan senyuman.
"Ada apa bu, pagi-pagi begini?" tanyaku dengan nada suara malas.
"Ndri, barusan ibu dari pasar, ibu lihat Amira, Ndri," ucap ibu. Beliau mengambil nafas dalam-dalam.
Bola mataku langsung membulat. Aku sudah tak sabar ingin menjemput Amira.
"Dimana, Bu? Dimana ibu lihat Amira?" tanyaku dengan rasa penasaran yang sangat tinggi.
"Dia terlihat sangat sibuk bantu-bantu di warungnya Budhe Narti, sampai-sampai ibu panggil pun tidak menoleh," jawab ibu kemudian.
"Budhe Narti?"
"Iya budhenya si Bian, teman kamu itu lho," cerocos ibu lagi.
"Warungnya di sebelah mana, Bu?
"Dekat pasar kok."
"Andri akan kesana cari Amira, Bu," sahutku sembari menyambar jaket kesayanganku.
"Kamu gak sarapan dulu, nak?"
"Tidak, Bu. Nanti saja, aku akan bawa Amira pulang," sahutku lagi.
Aku pergi melajukan motorku, membawa sejuta harapan. Aku masih sayang sama Amira, aku juga yakin Amira pasti masih sayang padaku.
Ah, tapi kenapa Amira bersama budhe'nya Bian? Apa mereka bertemu lagi? Tapi Amira kan pergi tidak bawa ponsel? Atau mereka bertemu hanya kebetulan saja? Segera kulajukan motorku ke warungnya Budhe Narti yang berada tak jauh dari pasar.
Ditengah jalan tanpa sengaja aku bertemu dengan Bian. Bian adalah teman sekolahku dulu. Dia seorang lelaki berbadan tinggi dan tegap keluar dari dalam. Aku turun dari motorku.
"Hei bro, apa kabar?" sapanya dengan ramah. Dia menyalami tanganku. Sebenarnya aku kurang suka dengannya, boleh dibilang, dia rivalku sejak sekolah dulu. Dan akupun tahu pandangannya pada Amira itu menyiratkan kalau dia menyukai istriku.
"To the points saja Yan, apa kamu tahu dimana istriku?"
"Lho, kenapa tanya aku, bro? Kamu kan suaminya."
Aku menghela nafas dalam-dalam. "Yan, please tolong kasih tahu aku. Dari semalam aku mencarinya tapi tidak ketemu. Aku stress sekali, Yan. Lama-lama aku bisa gila kalau seperti ini terus," sahutku apa adanya.
Dia terkekeh.
"Aku serius Yan, bukan sedang bercanda," sambungku lagi.
"Kamu habis perang dunia ketiga ya jadi binimu minggat?"
"Bukan gitu, Yan. Ini semua salahku, aku sudah salah paham terhadapnya."
"Makanya sebelum bertindak itu dipikir dulu, jangan asal gegabah begitu."
"Aku tidak ingin dengar nasehatmu, aku akui sudah salah padanya. Tolong beri tahu dimana dia?"
Kali ini dia tersenyum kecut. "Dia ada di rumah budheku, mungkin sekarang dia sedang bantu-bantu di warungnya budhe," sahutnya kemudian.
"Jadi benar kamu yang..."
"Hei Ndri, tolong jangan salah paham lagi. Aku membawanya ke rumah budheku, dia pingsan di jalanan saat hujan deras. Untung saja dia ketemu aku, kalau ketemu orang lain bagaimana?"
Aku terdiam.
"Kau tidak apa-apakan istriku, bukan?"
"Ya ampun Ndri, kalau aku sudah bersikap tak sopan pada istrimu, sudah pasti dia dibawa ke rumahku yang sepi, tak ada seorangpun disana, sudah kuapa-apakan dia dari semalam. Tapi aku sama sekali tidak punya niat jahat padanya, maka dari itu kubawa dia ke rumah budheku," jawabnya dengan enteng. Seketika mukaku menjadi merah menahan amarah. Dadaku berdetak lebih cepat, ah jadi dia terang-terangan suka pada istriku ya.
"Harusnya kau berterima kasih padaku, bukannya menuduh yang tidak-tidak," timpalnya lagi.
Lagi-lagi aku terdiam.
"Lain kali jangan asal ngucap talak begitu. Kau tahu? Dia sangat terluka. Aku jadi ingin mengusap air matanya dan menjadi sandarannya."
"Ngomong apaan, kau?" Aku menarik bajunya, dan hampir saja meninjunya.
"Hei, hei, santai bro, santai. Tolong jangan emosi. Ini buat pelajaran kamu ya, kalau emosi jangan sambil buat keputusan. Kalau tidak.... Kau tahu sendiri aapa akibatnya."
"Iya, iya,"
"Kau datang saja ke rumah atau warungnya Budhe Narti, istrimu ada disana," lanjutnya lagi.
"Baik, terima kasih, Yan."
Aku segera menuju warung Budhe Narti. Jarak yang cukup dekat membuatku sampai dengan cepat.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam," jawab suara dari dalam.
Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam. Dia tersenyum padaku.
"Ada apa, nak? Mau pesan apa? Tapi masakannya belum siap, baru beberapa saja yang matang."
"Budhe, aku ingin bertemu dengan Amira, budhe. Aku ingin menjemputnya pulang," ucapku menuturkan maksudku yang sebenarnya.
"Amira, nduk, kesini nduk, ada yang sedang nyariin kamu..." panggil Budhe Narti.
Tak berselang lama seorang wanita berparas ayu keluar dari dalam rumah. Namun dia memakai kemeja laki-laki, membuat hatiku sedikit terbakar. Ah tidak, tidak, aku tak boleh salah paham lagi.
Aku menatapnya lekat-lekat. Tak ada senyuman di wajahnya. Bibirnya mengatup dengan rapat, tanpa sepatah kata apapun yang terlontar padaku. Matanya yang begitu sembab, membuatku menyesal. Dia pasti sangat terluka, dia pasti sudah menangis semalaman.
"Dek, maafin mas. Mas sudah salah paham padamu. Kembalilah, ayo kita pulang," ajakku dengan nada lembut. Aku menghampirinya, kalau tak ada Budhe Narti pasti sudah kupeluk wanitaku itu.
Dia hanya berdiam diri, mematung ditempatnya.
"Kemarin mas menjatuhkan talak dalam keadaan emosi, mas sudah salah padamu. Mas minta maaf, mas ingin kita rujuk lagi," sambungku lagi.
Dia masih terdiam.
"Mas janji, gak akan melakukan itu lagi. Mas akan berubah dek, ayo dek, kita pulang," ajakku lagi.
Kulihat sudut matanya mulai mengembun, dan air mata itupun luruh kembali.
"Begini nak Andri, lebih baik kamu undang pak ustadz dulu, untuk memberikan solusi pada masalah kalian. Dan biar nak Amira juga mantap dengan keputusannya," sahut Budhe Narti.
Aku mengangguk mengerti.
"Baik budhe, aku akan jemput ibu dan juga pak ustadz dulu," ucapku.
"Kalian datang saja ke rumah budhe ya, kalau di warung takut nantinya ada banyak orang yang datang."
Kemudian aku berlalu pergi untuk menjemput ibu terlebih dahulu.
"Ibu, aku sudah menemui Amira, bu," ucapku menghampiri ibu. Terlihat Mas Restu dan Mbak Lani datang mendekat. Namun aku tak menggubris mereka. Kulihat pandangan Mbak Lani seakan-akan tak suka.
"Ayo bu, kita susul Amira, Bu. Emmh kita temui pak ustadz dulu ya bu, biar beliau bisa membantu kami mencari jalan tengahnya," sambungku lagi.
"Iya nak, ayo..." sahut ibu.
Sebelum ke tempat Budhe Narti, kamipun menemui Pak ustadz di rumahnya. Kuutarakan maksudku pada Pak Ustadz, mengenai permasalahanku dan bagaimana solusinya. Beliaupun setuju untuk membantu masalah kami.
***
Sesampainya di rumah Budhe Narti, kami semua sudah berkumpul. Aku, ibu, Pak Ustadz, Amira dan juga Budhe Narti."Begini pak ustadz, kemarin dalam keadaan emosi, saya mengucapkan kata talak sebanyak tiga kali dalam satu waktu, kira-kira bagaimana hukumnya ustadz, apakah jatuhnya itu talak tiga? Atau talak berapa? Lalu, bagaimana solusinya kalau saya mau rujuk dengan istri?" tanyaku mengawali pembicaraan.
"Talak yang kamu ucapkan tiga sekaligus dalam satu waktu, misalnya, engkau kutalak tiga, atau engkau kutalak, engkau kutalak, engkau kutalak, atau engkau kutalak 100! Menurut Empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbalî) jatuhnya talak tiga," sahut Pak Ustadz.
"Meskipun diucapkan dengan nada marah, Ustadz?" tanyaku dengan nada getir.
"Ya, meskipun kamu ucapkan dalam keadaan marah, talak itu tetap sah, jatuh talak. Sebab, kita perlu membiasakan siapapun yang marah jangan sampai melakukan hal-hal seperti itu. Makanya perlu melatih hati, jangan gampang mengatakan kata cerai dan cerai."
Aku menunduk. Seperti ada batu besar yang menghantam dadaku.
"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain," jelas Pak Ustadz kembali.
Jleb! Seperti ada yang menusuk-nusuk hatiku. Dadaku seakan memikul beban berat, beban berat yang penuh dengan penyesalan. Kini, Amira tak bisa kembali lagi, kecuali dia menikah dengan laki-laki lain. Tapi sanggupkah aku melihatnya menikah dengan orang lain?
"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain." Ucapan Pak Ustadz tadi pagi masih saja terngiang-ngiang ditelingaku.Bayang wajah Amira kembali hadir menari-nari di kepalaku."Mas, nih aku bikin cemilan kue, coba nih dicicipinya dulu," ucapnya kemudian langsung menyuapiku kue itu dengan tangannya."Mas, aku punya tanaman baru, ayo lihat dulu," ajaknya sambil menggamit lenganku lalu menunjukkan tanaman-tanaman hias kesukaannya."Mas, terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum manis lalu merangkulku, setelah kuberikan sebagian gajiku padanya. Ya, hanya sebagian karena yang sebagian lagi aku pakai untuk biaya hidupku disana. Tapi dia tak pernah mengeluh tentang hal itu, Amira selalu menerimanya dan mengelola uang itu dengan baik."Mas, aku bikin nasi goreng lho, coba ni
Air mata ini tak berhenti menitik. Kenapa Mas Andri tak menghargai perasaanku? Semudah itu mengucap kata talak dan semudah itu juga bilang mau mencarikan muhalil untukku? Apakah sebuah pernikahan tak berarti untukmu, mas? Apakah pernikahan bagimu adalah sebuah permainan?Aku menghela nafas dalam-dalam. Kuseka air mata yang berulang kali jatuh tanpa kompromi. Kenapa aku mendadak mellow begini."Beliiii...." teriak suara dari luar.Aku terkesiap, lalu menghapus air mataku dan mengecilkan nyala kompor agar masakan tetap hangat namun juga tidak gosong.Aku tergopoh-gopoh menghampiri pelanggan, seorang bapak-bapak dengan perawakan tambun, dan sebuah kacamata hitam disampirkan di kepala."Ya mau pesan apa, pak?" tanyaku sembari membawa kertas kecil dan pena untuk menuliskan pesanannya.Pria tambun itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan genit dan menggoda."Pesan kamu, neng? Berapa?" ujarnya dengan kerlingan m
"Bagaimana hasilnya, Nduk?" tanya Budhe Narti ketika kami sampai."Mbak Amira hamil, Budhe," celetuk Mas Bian. Dia melirikku yang masih terdiam membisu."Bukankah ini kabar gembira? Kenapa kamu murung, Nduk?" tanya Budhe Narti lagi."Tidak apa-apa, budhe," jawabku. Sebenarnya aku khawatir dengan kehidupan anak ini selanjutnya. Apakah aku bisa menghidupi dan mendidiknya dengan baik? Selain menjadi seorang ibu, aku juga harus menjadi seorang ayah untuknya."Padahal sudah kubilang budhe, supaya Mbak Amira gak perlu khawatir masalah kebutuhan bayinya, aku bisa membantunya. Tapi dia masih saja murung," sahut Mas Bian lagi."Bian, masalahnya gak semudah itu. Wanita itu punya perasaan. Banyak yang harus dipikirkan. Bukan hanya kebutuhan fisik bayinya saja, psikisnya juga perlu. Bayi itu juga butuh kasih sayang seorang ayah. Sedangkan disini posisi Amira sedang sulit. Mungkin dia masih shock. Dia baru bercerai dengan sang suami. Bahkan mungkin suaminya pun
Hari demi hari berganti, menjalani kehamilan pertama tanpa suami rasanya nano-nano, menyedihkan. Tidak ada yang bisa menjadi sandaran hati ketika rasa lelah menanti. Meskipun Budhe Narti sudah melarangku untuk bekerja, tapi aku merasa tak enak hati. Aku memang sudah tak membantunya berjualan di warung, karena hidungku terlalu sensitif, mencium aroma masakan saja sudah membuatku mual. Jadi, aku hanya melakukan tugas rumahan yang ringan."Hueek... Hueek... Hueek..."Mendadak perutku mual-mual kembali. Apakah bawaan bayi memang seperti ini? Pusing, mual, muntah, badan meriyang tak karuan. Rasanyaaku ingin menangis saja."Sabar ya mbak, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Oh iya, ini mbak, ada buah dan susu hamil untukmu. Biasanya ibu hamil suka yang seger-seger," tukas Mas Bian. Dia memberikan parsel berisi buah-buahan dan juga susu untuk ibu hamil."Mas, gak usah repot-repot," sahutku."Aku gak merasa direpotkan kok. Sudah tanggung jawabku," jawabnya la
Aku mulai membukakan mata, kulihat sekeliling, ruangan yang rapi, suasana hening, ada selang infus yang menancap di tanganku. Sudah kupastikan ini pasti sebuah ruang perawatan di rumah sakit. Seketika aku tersadar. Bayiku, bagaimana dengan bayiku?"Alhamdulillah mbak, kamu sudah sadar," ucap seseorang. Aku menoleh, ada Mas Bian duduk di sisi kananku yang tak kusadari kehadirannya."Bayiku, bayiku gimana, mas?" tanyaku sembari meraba perut yang masih rata."Alhamdulillah, bayi mbak gak apa-apa.""Beneran, mas? Aku gak keguguran kan?""Enggak. Nanti kalau dokter berkunjung, tanyakan langsung saja," sahut Mas Bian.Aku mengangguk. Tak berselang lama, Bu dokter dan perawat datang. Perawat memeriksa tensi darahku lalu mencatatnya."Alhamdulillah semuanya normal, besok ibu sudah boleh pulang," ucap Bu dokter."Bayi saya tidak apa-apa kan, dokter?""Alhamdulillah tidak apa-apa. Lain kali harus dijaga ya, jangan sampai jatuh lag
POV BianAku tak mengerti apa yang ada dipikiran Amira, wanita itu seringkali menangis. Membuat hati ini ikut merasa iba. Kenapa air mata itu tak kunjung kering justru semakin banyak, padahal sudah berbulan-bulan, bahkan tiap hari dia selalu menitikkan air mata.Dia terlalu melankolis. Aku paham, masalah ini terlalu berat untuknya. Diceraikan oleh sang suami dengan tuduhan selingkuh denganku, serta video dia sedang mandi dan tetiba hamil, pasti dia sangat shock menjalani semuanya. Dikucilkan oleh para tetangga, bahkan ada yang hampir melecehkannya adalah sanksi sosial yang ia dapatkan dari ulah seseorang yang tak bertanggung jawab.Sedangkan disatu sisi, sang suami, maksudku sang mantan suami seakan angkat tangan tidak mau mencari tahu siapa sebenarnya yang sudah menjebak Amira. Bahkan dia sibuk mencari pembenaran sendiri, ingin rujuk lagi dengan Amira dan meminta aku menjadi muhalilnya. Ironis bukan?Sungguh aku tak habis pikir dengan jalan p
"Awas ya, Amira! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ancam Lani sembari mengacungkan jari telunjuknya ke muka Amira.Lani kemudian pergi begitu saja meninggalkan Amira dengan dada yang berguncang emosi. Amira menghela nafas dalam-dalam."Mas Bian, keluarlah, jangan sembunyi terus!" seru Amira yang membuatku terkejut. Ah, jadi dia sudah tahu aku ada disini.Aku keluar dari persembunyian dan mensejajari langkahnya. Akuu tersenyum sembari menggaruk-garuk kepala yang tak gatal."Kenapa kau mengikutiku, Mas?" tanyanya yang membuatku gelagapan."Ah... Aku khawatir sama kamu," jawabku."Bukankah kamu sendiri yang nyuruh aku jadi wanita yang kuat? Yang harus bisa membela diri?" sanggahnya lagi."Emhh iya, itu benar. Tapi aku gak nyangka kamu bisa berubah secepat ini.""Iya, ini semua ini karena kamu. Terima kasih sudah selalu mendukungku. Ucapanmu tempo hari membuatku berpikir. Kamu benar, mas. Kalau bukan aku yang melindungi diri sen
"Ya, para tetangga pada ngomongin kalian. Seolah-olah rumor yang beredar bahwa kalian berselingkuh di belakang Andri itu benar, apalagi kamu sering datang kesini," ucap Budhe lagi."Budhe yang bilang sendiri kalau aku suruh nemanin Amira tiap hari," kilah Mas Bian."Iya, memang budhe yang nyuruh. Tapi makin kesini budhe makin tak nyaman dengan ocehan tetangga.""Baik, aku siap tanggung jawab. Aku akan menikahi Amira. Tapi apa Amira siap menikah denganku?" sahutku. Aku menatapnya lekat.Dia tertunduk, sepertinya malu. Aku justru terkekeh melihat tingkahnya yang tanpa sadar dia memegangi perut dan pipinya secara bergantian."Bagaimana denganmu, Amira? Kalian sudah sangat cocok," cetus Budhe lagi."Emmh... Aku... Maksudku, apa Mas Bian gak malu punya istri seperti aku? Mas Bian masih lajang, sedangkan aku...""Aku akan terima apapun kondisimu," tukasku dengan cepat.Wajahnya merona lagi, namun dia tetap diam."Kamu ma