Share

6. Kelakuan Lani

"Kemudian, setelah wanita itu dicerai tiga oleh sang suami maka sang suami tidak boleh kembali lagi ke mantan istri, tidak boleh rujuk lagi ke mantan istri kecuali mantan istri sudah menikah lagi dengan laki-laki lain." Ucapan Pak Ustadz tadi pagi masih saja terngiang-ngiang ditelingaku.

Bayang wajah Amira kembali hadir menari-nari di kepalaku. 

"Mas, nih aku bikin cemilan kue, coba nih dicicipinya dulu," ucapnya kemudian langsung menyuapiku kue itu dengan tangannya.

"Mas, aku punya tanaman baru, ayo lihat dulu," ajaknya sambil menggamit lenganku lalu menunjukkan tanaman-tanaman hias kesukaannya.

"Mas, terima kasih ya," jawabnya sambil tersenyum manis lalu merangkulku, setelah kuberikan sebagian gajiku padanya. Ya, hanya sebagian karena yang sebagian lagi aku pakai untuk biaya hidupku disana. Tapi dia tak pernah mengeluh tentang hal itu, Amira selalu menerimanya dan mengelola uang itu dengan baik. 

"Mas, aku bikin nasi goreng lho, coba nih dimakan dulu, enak gak?" tuturnya lagi sambil menyuapiku makan.

"Hmmm, masakanmu selalu enak," aku akan menjawab seperti itu. Lalu senyuman itupun merekah dari bibirnya yang manis, memperlihatkan sebuah lesung di pipi kirinya.

"Alhamdulillah, mas sudah pulang?" pertanyaan yang selalu ia lontarkan ketika aku pulang, dia langsung menggamit lenganku dengan mesra, setelah kudaratkan ciuman di puncak kepalanya.

Tapi sekarang, aku tak bisa lagi bermanja-manja dengan istriku. Aku tak bisa bermesraan dengan istriku. Semuanya hanya tinggal kenangan. Amira, istriku yang menerima aku apa adanya. Kadang kala dia termenung, mungkin rindu mendamba seorang anak karena sudah sekian lama berumah tangga. Ya, tapi dia tak menunjukkan kesedihannya padaku, dia benar-benar menjaga perasaanku. Karena disinilah aku yang sedikit bermasalah, tapi tidak menutup kemungkinan suatu saat kami akan punya anak, jika Allah sudah menghendaki. 

Aku menghela nafas panjang. Semua bayangan Amira kutepis kuat-kuat agar tak kembali hadir memenuhi kepala.

Aku melangkah dengan gontai, kujatuhkan diriku diatas sofa, di ruang televisi. Penat sekali rasanya. Aku tak bisa lagi kembali bersama Amira, walaupun bisa dia harus menikah dulu dengan orang lain. Aaarghhh ... Sialnya, kenapa aku harus mengalami ini semua?

Kupejamkan mata sebentar, dengan badan yang kusenderkan di sofa.

"Mas, ini diminum dulu teh manisnya, setidaknya bisa mengurangi rasa cemasmu, mas."

Aku terbelalak kaget, melihat Mbak Lani sudah duduk disampingku. Aku meliriknya dengan tatapan dingin, namun tak kuhiraukan ucapannya. Gara-gara dia rumah tanggaku hancur. Ah tapi, memang aku juga yang bodoh, percaya begitu saja dengan ucapannya.

Aku berlalu ke dalam. Namun baru beberapa langkah, dia mencegahku.

"Tunggu, mas!" ucapnya sambil meraih tanganku. 

Aku terkesiap, segera kukibaskan tanganku dengan kasar. Apa maunya Mbak Lani ini?

"Mas? Kenapa kamu selalu mengabaikanku? Dari dulu kamu selalu saja begitu," lirihnya yang membuatku tak mengerti.

"Hah? Apa maksudmu, Mbak?"

"Mas, kamu jangan pura-pura gak tahu. Kamu pasti paham dengan perasaanku," ujar mbak Lani lagi. 

Gerakannya sungguh tak terduga. Tiba-tiba saja dia memelukku dengan erat.

"Eh mbak, apa-apaan ini. Sadar dong mbak, kamu itu istri kakakku," tukasku sembari melepaskan pelukannya itu.

"Gak usah khawatir, mas. Mas'mu sedang pergi bersama Reni, ibu juga sedang tidak ada di rumah. Biarkan aku memelukmu sebentar saja," sahutnya lagi.

"Tidak!" Kudorong tubuhnya agak menjauh.

"Aku kangen sama kamu," rajuknya lagi. Entah kenapa Mbak Lani jadi seperti ini. 

Glek! Aku menelan saliva, lelaki mana yang tak tergoda disuguhkan pemandangan yang tak biasa. Benar saja, sepertinya Mbak Lani sengaja memancingku. Dia memakai pakaian yang terbuka, dengan memperlihatkan belahan dadanya.

"Assalamualaikum..." 

Suara salam sapa dari luar mengagetkan kami. Ya, pintu depan memang sengaja dibiarkan terbuka. Aku langsung beranjak ke kamar dan mengunci pintu. Aku terlalu pengecut, takut disalahkan lagi dan dipukuli tanpa ampun. Entahlah siapa yang datang. Tapi samar-samar kudengar suara Reni dan juga Mas Restu, terkadang mereka tertawa bersama.

***

[Mas, aku selalu iri dengan kemesraan kalian, kalau boleh memilih, mending aku saja yang jadi istrimu] 

Bunyi chat wa Mbak Lani yang pernah dikirimkan kepadaku suatu hari. Aku tak pernah 'ngeh' maksudnya itu apa. Kupikir karena dia rindu pada kakakku, makanya dia mengirim chat itu padaku.

[Tunggu saja Mas Restu pulang, kan bisa mesra-mesraan] balasku waktu itu.

[Kalau sama dia mah kurang asyik, aku maunya sama kamu] balasnya lagi.

Aku tak mau ambil pusing, segera kuhapus chat itu dan tak pernah menanggapinya lagi. Barulah pesan WA'nya kemarin kutanggapi, sebuah pesan yang membuatku tersulut emosi. Foto tentang Amira dengan lelaki itu, Bian. Wajah Amira terlihat tersenyum padanya, hatiku langsung terbakar cemburu.

"Ndri, sini makan dulu. Nih mas udah beliin mie ayam favoritmu," titah Mas Restu dari balik pintu. Dia berulang kali mengetuk pintu membuat telingaku berisik.

Tak berselang lama aku bangkit, aku membuka pintu itu. Sebenarnya Mas Restu adalah kakakku tersayang, tapi entah kenapa sekarang aku jadi ikut sebal padanya karena sudah membela istrinya.

"Dek, sana ganti pakaianmu. Harusnya kamu malu pakai begitu, kan ada adik iparmu," perintah Mas Restu pada Mbak Lani.

"Iya, mas," jawabnya kemudian berlalu.

"Ayo sini, makan bareng. Sudah lama kita gak makan bersama seperti ini, kalau mas gak pulang," ajaknya lagi.

Aku hanya mengangguk.

"Habis makan, mas perlu bicara empat mata denganmu, Ndri," ujar Mas Restu lagi. Nada bicaranya cukup lembut namun begitu tegas.

Aku mengangguk lagi. Beberapa menit kemudian, ibupun datang. Tergurat lelah di wajahnya.

"Ibu habis dari mana?" tanya Mas Restu.

"Dari Budhe Narti, habis ngobrol sama Amira," sahut ibu dengan ekspresi datar. 

"Bagaimana kabar Amira, Bu?" tanya Mas Restu.

"Ya, dia masih menangis. Ibu paham perasaannya, dia pasti sangat terluka karena tiba-tiba ditalak tanpa alasan yang jelas," jawab ibu sambil melirikku.

"Iya Bu, ini semua salah Andri," jawabku.

"Ya sudah, sementara jangan bahas itu dulu. Ibu makan dulu ya, tadi Restu udah beliin makanan favorit kalian," ucap Mas Restu sambil memberikan sebuah bungkusan bakso.

"Iya, terima kasih nak," jawab ibu.

Mbak Lani kembali, sudah berganti pakaian dengan yang lebih sopan. Sesekali Mbak Lani mencuri pandang ke arahku. Entahlah apa yang dia pikirkan.

***

"Ndri, sebenarnya apa yang terjadi pada kamu dan istrimu?" tanya Mas Restu dengan nada lirih.

Aku menatapnya, melihat wajah teduh kakakku. Lalu kuberikan ponselku yang berisi chat dari Mbak Lani.

"Terus kamu langsung percaya dengan ini?" tanya Mas Restu lagi.

Aku mengangguk.

"Kenapa gak kau tanyakan dulu pada istrimu atau pada ibu?"

Aku terdiam. Mas Restu mengambil nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.

"Kamu itu gak pernah berubah ya, terlalu gegabah, apa-apa langsung emosi, gak dipikir-pikir dulu."

"Iya mas, aku menyesal, sudah salah paham padanya. Hatiku hancur sekarang, aku sudah tidak bisa kembali dengan Amira."

Mas Restu terlihat mengerutkan keningnya. "Mas gak bisa bantu memperbaiki hubungan kalian, tapi mas akan coba bantu, kenapa istri mas mengirim pesan seperti itu, apa maksudnya."

Aku mengangguk.

"Ya sudah kamu yang sabar ya, dek. Jadikan ini sebagai bahan pelajaran agar kamu bisa menghargai hubungan dan tidak serta merta mengambil keputusan secara emosi," ucap Mas Restu, kemudian diapun beranjak pergi.

***

Pagi harinya, aku berpamitan untuk berangkat kerja. Begitu pula dengan Mas Restu.

"Ndri, mas belum sempat cari tahu. Mas ada panggilan mendadak dari kantor, makanya hari ini mas berangkat," bisiknya.

Akupun mengangguk, kami bersalaman dengan ibu.

"Hati-hati dijalan ya, nak," ungkap ibuku.

"Mas, aku duluan ya," pamitku. Segera kulajukan motorku dengan kencang, aku menuju ke rumah Budhe Narti, rumah tampak sepi, jadi aku menuju ke warungnya. Benar saja, kulihat Amira sedang membantu Budhe Narti, kebetulan dia ada di luar sedang mencuci sayuran. Aku menghampirinya.

"Dek," sapaku.

Dia terkejut melihat kedatanganku, lalu menghentikan aktivitasnya sebentar.

"Ada apa, mas?" tanyanya. Wajahnya sudah lebih tenang, tak nampak mendung di matanya.

"Apa kamu baik-baik saja?"

"Ya, mas. Seperti yang kau lihat," jawabnya.

"Kamu bekerja disini?"

"Iya mas, aku bantu-bantu budhe, kebetulan warungnya kan ramai."

Aku hanya mengangguk-angguk seperti orang bodoh. Entah apalagi yang harus kukatakan padanya, ada kecanggungan diantara kami.

"Dek, mas kangen sekali padamu," ucapku. Dia hanya menunduk.

"Mira, titip masakan ini sebentar, nak. Budhe mau ke pasar dulu!" suara teriakan dari dalam memecah kecanggungan kami.

"Iya, iya, budhe. Tunggu sebentar," jawab Amira dengan nada setengah berteriak.

"Mas, maaf, aku harus ke dalam dulu."

Dia kemudian berbalik.

"Dek, tunggu," cegahku. Dia berhenti, namun tetap membelakangiku.

"Kalau masa iddahmu selesai, bagaimana kalau mas yang mencarikan muhalil untukmu?" 

Kuberanikan diri untuk mengungkapkan hal itu. Tak ada jawaban darinya, dia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata apapun.

"Dek, mas masih ingin rujuk denganmu," gumamku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status