Share

Bab 6

Aku berjalan tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Si pedagang yang aku tanyai, berbaik hati mengantarku ke kontrakan milik Haifa. Di sana aku pun diberitahu tentang rumah sakit tempat Abyan dirawat oleh pria paruh baya yang mengaku sebagai ketua RT setempat.

Kamar Abyan berada di deretan ruang kelas 2. Aku bergegas ke sana, ingin segera memastikan bahwa keadaan putraku tidak separah yang kutakutkan.

"Mas Gani?"

Haifa terlihat terkejut melihat kedatanganku. Mata bulatnya makin melebar ketika aku bertanya tentang Abyan.

"Bagaimana kondisi Abyan?"

"Dari mana Mas tahu Abyan dirawat di sini?" Dia malah balik bertanya.

"Dari tetangga kamu. Bagaimana kondisinya sekarang?"

"Alhamdulillah sudah lebih baik. Panasnya juga sudah turun. Kemungkinan nanti siang bisa pulang," terangnya.

"Boleh ... aku melihatnya?" tanyaku ragu. "Hari ini kemungkinan aku akan pulang ke Jakarta. Aku ingin bertemu Abyan terlebih dahulu sebelum berangkat."

"Boleh, Mas. Silakan. Tapi Abyan masih tidur."

Haifa memberiku ruang untuk mendekat ke arah ranjang tempat Abyan berbaring. Wajah tampan putraku terlihat tenang ketika sedang terlelap. Entah dorongan dari mana, aku refleks menundukkan wajah dan mengecup keningnya cukup lama.

"Cepat sembuh, Nak," bisikku di dekat telinga Abyan dengan tangan mengusap lembut rambut ikal putraku.

Kutatap lekat wajah Abyan sepuas hati. Rasanya berat sekali meninggalkan dia dalam kondisi seperti ini. Namun, aku tidak bisa tinggal lebih lama di kota ini. Berulang kali Papa menelepon dan memintaku pulang untuk mengurus perusahaan. Andai beliau tahu bahwa aku tengah bersama cucunya, Papa pasti bergerak cepat menyusulku ke sini atau bahkan, memintaku membawa mereka pulang ke Jakarta.

Akan tetapi, nyaliku belum cukup besar untuk memberitahu Papa tentang pertemuanku dengan Haifa dan Abyan. Apalagi aku belum siap jika sampai Nesya tahu aku memiliki seorang anak dari Haifa.

Ponsel dalam saku celana ini bergetar. Aku sedikit menjauh karena tidak ingin mengganggu tidur Abyan. Refleks aku tersenyum ketika melihat nama Nesya terpampang di layar.  Baru saja aku memikirkan tentang dia, kekasihku langsung menghubungiku. Apa ini yang dinamakan dengan satu hati?

"Ya, Sayang?"

[Masih belum pulang?]

"Belum. Nanti siang aku berangkat. Kenapa?"

[Kok nanya kenapa? Aku kangen, tahu!]

Aku terkekeh. Kekasihku ini memang manja.

"Sabar, Sayang. Besok juga kita pasti ketemu."

"Bunda ...."

Suara Abyan menghentikan percakapanku dengan Nesya. Aku menoleh ke arah putraku yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.

"Ya, Nak. Bunda di sini."

Haifa tergopoh mendekat ke arah putra kami. Masih bisa kulihat istriku tengah mengusap sudut matanya yang berair. Haifa menangis? Apa karena ... ah, bodoh! Aku lupa jika saat ini aku tidak sedang sendirian. Haifa pasti mendengar percakapanku dengan Nesya. Memang, seperti inilah jika sudah menyangkut tentang kekasihku. Aku bisa dibuatnya lupa diri bahkan lupa segalanya.

[Mas? Kok ada suara anak kecil? Memangnya kamu lagi di mana?]

"Oh, ini. Aku sedang di luar, cari sarapan. Banyak orang di sini," jawabku sedikit gugup.

"Sudah dulu, ya. Nanti aku telepon lagi kalau sampai di Hotel."

[Oke. Miss you.]

Aku melirik ke arah Haifa sejenak. Ternyata dia sedang fokus dengan putra kami.

"Miss you too," jawabku lirih karena tidak ingin Haifa sampai mendengarnya.

Setelah sambungan telepon terputus, aku kembali menghampiri Abyan yang sudah duduk dibantu oleh bundanya.

"Abyan sudah sehat?" tanyaku begitu berada di dekatnya.

"Om? Om Gani kan?" tanyanya.

"Iya, Om ke sini untuk menjenguk Abyan. Bagaimana? Abyan sudah sehat?"

"Sudah, Om. Kata Bunda nanti siang Abyan boleh pulang. Abyan gak betah di sini," rajuknya yang membuatku mengulum senyum.

"Kalau begitu, Abyan istirahat lagi, biar pas pulang nanti makin sehat. Om mau bicara sebentar sama Bunda, boleh?"

Abyan mengangguk. "Boleh, silakan, Om."

"Kita bicara di luar?" Aku beralih menatap Haifa.

"Iya."

Aku berjalan lebih dulu kemudian disusul Haifa setelah berpamitan kepada Abyan. Kami duduk di bangku tunggu yang tersedia di depan ruang perawatan. Haifa mengambil tempat duduk cukup jauh denganku. Sepertinya, istriku sengaja ingin menjaga jarak denganku.

"Aku yang akan membayar biaya pengobatan Abyan," ucapku setelah kami cukup lama sama-sama saling diam.

"Tidak usah, Mas. Aku masih punya tabungan untuk membayar biaya rumah sakit," tolaknya.

Aku sudah menduga Haifa akan memberikan penolakan.

"Aku ayahnya, jangan lupa itu. Aku bertanggung jawab atas segala yang berhubungan dengan Abyan. Pokoknya aku yang akan membayar biaya rumah sakit dan setelah itu aku yang akan mengantar kalian pulang," tegasku tak ingin dibantah.

"Tapi aku sudah menghubungi Bu Wanti. Beliau yang akan menjemput kami pulang."

"Batalkan saja. Kalian akan tetap pulang denganku," putusku final.

Haifa terlihat pasrah. "Baiklah. Nanti aku memberitahu Bu Wanti supaya tidak usah ke sini."

"Aku kebagian administrasi dulu. Kamu persiapkan semua keperluan Abyan untuk pulang."

Aku beranjak meninggalkan Haifa yang masih duduk di kursi tunggu. Tepat pukul dua siang, akhirnya Abyan pulang bersamaku dan bundanya. Rasa haru tiba-tiba saja menyeruak ketika kami berada di dalam mobil bertiga. Haifa duduk di sebelahku sambil memangku Abyan yang masih sedikit lemah. Kami layaknya keluarga bahagia yang tengah menikmati kebersamaan. Seharunya memang begitu, bukan? Akan tetapi, hal seperti itu tidak mungkin terjadi karena pada kenyataannya ada jarak yang membentang antara aku dengan Haifa dan Abyan.

"Mobil Om pasti bagus. Wangi banget ya, Bun!" celoteh Abyan membuatku tersenyum.

"Iya, Nak. Mobil Om memang bagus." Haifa menjawab pertanyaan putra kami.

"Abyan suka?" tanyaku ikut menimpali obrolan mereka.

"Suka banget, Om. Abyan belum pernah naik mobil bagus kayak begini. Eh, pernah sekali waktu Abyan diajak ke Mall sama Om Akram. Abyan lupa!" ujarnya seraya tersenyum lebar.

"Om Akram?" Siapa?" Aku penasaran.

"Om Akram anaknya Nenek Wanti. Dia pernah ajak Abyan jalan-jalan naik mobil bagus kayak gini. Mobil Om Akram juga wangi."

Perasaan ini langsung tak nyaman mendengar putraku juga akrab dengan pria lain. Apalagi kalau sampai pria itu masih muda dan belum berkeluarga. Bisa saja dia yang akan menggantikanku memberi peran ayah untuk Abyan.

Ah, aku tidak rela!

Suasana menjadi hening hingga kami sampai di rumah Haifa. Aku membantu menggendong Abyan meski anak itu sempat menolak. Hati ini terenyuh melihat kondisi rumah yang ditinggali istri dan anakku. Rumah sederhana yang bahkan luasnya tidak lebih besar dari dapur di rumahku.

"Abyan istirahat ya. Om tunggu di luar," ucapku setelah membaringkan Abyan di atas kasur tipis di kamarnya.

"Iya, Om. Terima kasih, Om sudah membantu Abyan dan Bunda. Om baik banget. Semoga ayahnya Abyan juga baik kayak Om."

Mulut ini tercekat. Mati-matian menahan laju air mata yang hendak menerobos keluar dari kedua netra ini.

Ini Ayah, Nak. Ayahnya Abyan! Sayangnya Ayah tidak sebaik yang Abyan kira.

"Om."

"I-iya, Nak."

"Abyan boleh minta tolong?"

"Katakan, Abyan mau minta tolong apa?"

"Tolong hibur Bunda. Bunda pasti sedih karena Abyan sakit. Abyan sering dengar Bunda nangis. Om mau kan bantu Abyan?"

"I-iya, Sayang. Om pasti bantu Abyan. Sekarang istirahat, ya. Om mau menemui Bunda kamu di luar."

"Iya, Om."

Aku keluar kamar dan mendapati Haifa sedang meletakkan segelas air putih di atas karpet yang digelar di ruang depan. Aku menghampiri dan duduk bersila di sana.

"Diminum dulu, Mas."

Aku bergeming. Meneliti wajah ayu itu yang terlihat lelah. Haifa dengan segala beban hidup yang harus ia tanggung, tentu tidak mudah untuk dihadapinya. Rasa bersalah dalam diri ini terasa kian besar. Akan tidak adil bagi Haifa jika ia harus mengurus dan membesarkan Abyan sendirian.

"Mas ...." Haifa terlihat gugup.

"Ya?"

"Mas, mau pulang ke Jakarta sekarang kan?"

"Ya, seharusnya begitu," jawabku ragu.

"Sebelum Mas pulang, alangkah lebih baik kalau kita selesaikan urusan yang tertunda kemarin. Aku ... aku benar-benar sudah siap. Silakan Mas ucapkan kata talak sekarang."

Aku terbelalak. Tidak pernah menduga Haifa akan bersikeras memintaku memberinya talak sekarang juga.

"Mas--"

"Aku belum bisa, Haifa."

"Kenapa? Bukankah lebih cepat akan lebih baik?" kejarnya.

"Aku ... pokoknya aku belum siap mengucapkannya sekarang," tegasku.

"Bersiaplah. Besok kamu dan Abyan ikut aku pulang ke Jakarta. Dan untuk malam ini ... aku akan tidur di sini," ujarku lagi.

Haifa terbelalak. Kepalanya menggeleng dengan cepat seakan tidak setuju atas apa yang aku ucapkan.

"Jangan menolak karena aku masih suamimu!" putusku final.

*

*

Bersambung.

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
aneh bgt, klo udh gk dikasi nafkah lahir batin bbrpa bulan ya udh bsa dikatakan becerai, haifah pun satu, goblok bgt
goodnovel comment avatar
Jess
abyan kok tahu klo mobil om gani bagus
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
harusnya setelah sekian tahun gk ada kewajiban lahir batin yg ditunaikan keduanya...pernikahannya sudah auto cerai dong kalo secara agama, harusnya kalo mau kembali ya nikah lagi,cukup scr agama saja, krn pastinya scr negara masih tercatat sah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status