Pov Haifa
"Fa, pria tadi itu beneran teman kamu? Kok Ibu baru melihatnya sekarang."Bu Wanti bertanya ketika kami tiba di rumah dan kini tengah duduk di kursi rotan yang berada di teras depan. Abyan sengaja aku suruh untuk beristirahat karena keadaannya yang belum pulih setelah kemarin putraku itu terserang demam.Bu Wanti sudah kuanggap seperti Ibu kandung sendiri. Pertama kali aku datang ke kota ini, dialah yang membantuku mencarikan kontrakan yang tidak jauh dari rumahnya. Wanita paruh baya itu adalah seorang janda dengan satu anak. Suaminya meninggal tiga tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Hingga saat ini, Bu Wanti selalu ada jika aku sedang membutuhkan pertolongan. Termasuk menawarkan diri untuk menjaga dan mengantar Abyan ke sekolah ketika aku sedang berjualan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Bu Wanti mengandalkan uang pensiun suaminya yang dulu bekerja sebagai Guru di Sekolah Menengah Atas. Ditambah kiriman dari putranya yang bekerja sebagai TNI yang kini sedang bertugas di Papua.Tak hentinya aku bersyukur karena telah dipertemukan dengan orang baik seperti Bu Wanti. Di tengah kesedihan karena harus mengandung dan merawat Abyan seorang diri, Tuhan telah mengirimkan sosok malaikat tak bersayap untuk meringankan beban hidup yang harus kuhadapi. Hanya kepada Bu Wanti aku menceritakan tantang kisah hidupku, termasuk nasib rumah tanggaku dengan Mas Gani."Bunda, apa Abyan punya Ayah? Kenapa Ayah tidak pernah menemui Abyan?"Pertanyaan Abyan waktu itu terasa mengiris hati ini. Selayaknya anak yang lain, Abyan pasti ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Namun, aku tidak berani berkata jujur demi menjaga perasaan putraku. Tidak mungkin aku mengatakan jika sang ayah kemungkinan tidak akan bisa menerima kehadirannya, terlebih dengan kondisi Abyan yang seperti ini."Ayah sedang bekerja di tempat yang jauh. Nanti kalau Ayah pulang, Abyan pasti bisa ketemu sama Ayah."Hanya itu yang bisa aku katakan untuk menjawab pertanyaan Abyan. Meski aku tahu jawaban dariku seakan memberi harapan palsu untuknya, tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Biarlah untuk sementara Abyan berharap sampai nanti saatnya aku mengatakan yang sebenarnya. Dia masih terlalu kecil untuk memahami permasalahan yang sedang dihadapi ibunya ini."Kamu senang karena akhirnya aku menyentuhmu? Dengar, Haifa. Andai aku tidak sedang mabuk, aku tidak sudi melakukannya. Jangan merasa di atas angin apalagi sampai ngelunjak! Harusnya kamu tahu diri. Aku tidak pernah menginginkanmu baik dulu maupun saat ini. Kehadiranmu hanya membuat hidupku tambah kacau! Enyahlah dari hadapanku!"Perkataan Mas Gani malam itu membuat harga diriku sebagai seorang istri terasa tercabik. Ia menyentuhku dengan kasar serta menyebut nama wanita lain. Aku menangis, merintih, memintanya untuk berhenti tetapi dia sama sekali tak menggubris. Setelah kesucianku terenggut, Mas Gani tertidur pulas di sebelahku dengan senyum kepuasan yang terukir di bibirnya. Aku ingin marah dan memakinya saat itu juga. Namun, aku kembali disadarkan tentang statusku yang masih menjadi istrinya. Sudah menjadi kewajibanku untuk melayaninya termasuk menyerahkan harta berharga yang selama ini aku jaga untuk suamiku kelak.Mas Gani mencintai wanita lain, aku tahu itu. Namun, aku tetap memilih bertahan dengan keyakinan bahwa cinta itu akan hadir seiring kebersamaan kami. Akan tetapi, ternyata aku salah. Jangankan cinta, melihatku pun Mas Gani sepertinya sangat muak. Tidak ada pilihan lain setelah batas kesabaran ini habis. Aku memilih pergi sebelum Mas Gani mengucapkan kata talak yang ingin ia lontarkan untukku. Jujur saja, aku belum siap mendengarnya karena hati ini masih menaruh sedikit harapan tentang perubahan di pernikahan kami.Setelah delapan tahun lamanya aku pergi, aku sadar kalau aku terlalu egois jika tetap menahan Mas Gani dalam pernikahan yang tidak dia inginkan. Aku ikhlas jika memang kata talak itu harus terucap saat ini ketika kami ditakdirkan untuk bertemu kembali."Fa, kamu melamun?"Sentuhan lembut di punggung tangan, membuyarkan lamunan ini. Aku memaksakan senyum sebelum menjawab pertanyaan Bu Wanti."Maaf, Bu.""Kamu belum menjawab pertanyaan Ibu. Pria tadi itu siapa? Benar dia teman kamu?" tanyanya lagi.Aku menghela napas dalam sebelum akhirnya menjawab. "Sebenarnya dia ... dia itu ayahnya Abyan."Bu Wanti terperangah. Genggamannya pada tangan ini sampai terlepas. "Maksud kamu, dia suami kamu?""Iya, Bu. Dia Mas Gani, suamiku." Aku mengangguk."Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Andai Ibu tahu, ibu pasti sudah menampar wajahnya berkali-kali!" umpatnya dengan tangan yang mengepal."Aku tidak ingin Abyan tahu dan mendengarnya, Bu. Aku ... aku takut Abyan akan kecewa," lirihku."Ibu paham. Ibu hanya terlalu emosi kalau ingat cerita kamu waktu itu. Ibu heran, kok sampai ada lelaki seperti itu. Tega menelantarkan istrinya sampai bertahun-tahun.""Aku yang memilih pergi, Bu. Mas Gani tidak tahu kalau aku kabur dari rumah.""Ckk, Ibu heran sama kamu. Pria b*jingan seperti dia masih saja kamu bela. Terus tadi dia bicara apa saja? Dia sudah mentalak kamu?""Belum. Tadi keburu Abyan dan Ibu datang jadi pembicaraan kami terhenti. Mas Gani juga sudah tahu kalau Abyan itu anaknya, makanya tadi dia mendekati Abyan. Mungkin besok kami akan berbicara lagi untuk menuntaskan semuanya," terangku."Bagus. Lebih baik kamu memintanya untuk segera menceraikanmu. Untuk apa kamu punya suami kalau kenyataan selama ini kamu menghidupi dirimu sendiri. Kalau statusmu sudah jelas, kan kamu bisa mencari lagi lelaki yang lebih baik dari dia.""Bu, aku tidak pernah kepikiran sampai ke sana.""Kamu masih muda dan cantik, Haifa. Banyak pria di sini yang menyukaimu, termasuk ... Ah, sudahlah. Ibu mau pulang dulu. Kamu istirahat sana. Jangan lupa nanti Abyan disuruh minum obat.""Iya, Bu. Terima kasih, Ibu sudah menjaga Abyan dengan baik.""Ibu senang bisa menjaga Abyan. Dia anak yang baik dan pintar. Ibu tidak bisa membayangkan kalau suatu saat kalian pergi dan kita tidak bisa bertemu lagi," ucapnya sebelum benar-benar beranjak meninggalkanku yang masih termenung.Pergi? Memangnya aku dan Abyan mau pergi ke mana selain tinggal di kota ini?🍁🍁🍁"Bunda, dingin.""Bunda."Suara Abyan yang mengigau, membangunkanku yang terlelap di sampingnya. Aku terperanjat ketika mendapati keningnya yang terasa panas, pun dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan."Badan kamu panas lagi, Nak." Aku panik. Pasalnya, kondisi Abyan tidak pernah sampai separah ini. Kalaupun demam, Abyan pasti akan segera sembuh setelah aku memberinya obat dari Apotik. Namun kali ini, sudah terhitung empat hari Abyan mengalami demam yang turun naik seperti ini."Nak.""Bunda, dingin.""Ya Allah, badan kamu panas sekali. Kamu tunggu sebentar ya, Nak. Bunda ke rumah Nenek Wanti dulu."Aku bergegas menuju rumah Bu Wanti yang hanya terhalang dua rumah dari kontrakan ini. Meski merasa sungkan harus membangunkan wanita paruh baya itu selarut ini, tetapi aku tidak punya pilihan lain selain meminta bantuannya."Haifa? Ada apa? Kenapa malam-malam begini membangunkan ibu?" tanyanya setelah membuka pintu."Abyan demam lagi, Bu. Kali ini panasnya makin naik.""Ya, Allah! Kita bawa ke rumah sakit saja. Kamu siap-siap biar Ibu yang akan meminjam mobil sama Pak RT."Aku mengangguk dan bergegas kembali menuju rumah. Bersiap memangku Abyan yang terkulai lemas sambil tak hentinya mengigau."Yang kuat ya, Nak. Abyan harus bertahan demi Bunda," lirihku di tengah kecemasan.**Bersambung."Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk
Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s
"Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s
"Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa
"Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat
"Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,