LOGINZhiya menghela napas berat.
“Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruangan yang bukan air, bukan udara—namun sesuatu di antaranya. Seperti dimensi yang tidak memakai fisika manusia sebagai hukum mutlaknya. Raja Lingga tidak bergerak mendekat secara kasat mata. Namun jarak antara mereka tiba-tiba menjadi dekat dengan cara yang mustahil dijelaskan oleh ruang. “Setiap kali kau kembali…” suaranya rendah, nyaris seperti gema. “retakan batas semakin melebar.” Zhiya hanya bisa menatapnya. Tidak ada logika realistis yang tersisa untuk dilawan. Rasa takut sudah berganti jadi sesuatu yang lebih kompleks… campuran rasa ditarik, rasa dikenal, rasa pernah pulang. “Kenapa aku?” suara Zhiya pecah pelan. “Kenapa kamu memanggil aku terus? Aku bahkan tidak tahu apa hubungan kita…” Lingga mengangkat tangannya sedikit. Menyentuh kulit Zhiya dan merabanya dengan lembut. Menatap mata teduh itu dengan seksama. “Yu Zhiya. Ada sesuatu dalam dirimu yang tidak pernah padam, bahkan saat sejarah dunia mencoba menghapusnya.” Angin bayangan mengalir pelan di bawah permukaan air obsidian itu. Seolah sungai itu merespon kata-kata Lingga secara langsung. “Dunia kalian—Aetheria—sudah masuk fase percepatan. Kota itu tumbuh terlalu cepat. Teknologi kalian mengorek hal yang tak seharusnya dibuka. Lapisan realitas kalian semakin menipis, dan Sungai Bayangan akan menjadi portal paling mudah ditembus.” Zhiya menggigit bibirnya. Nafasnya berat. Ia merasakan teori itu justru masuk akal dengan cara yang mengerikan. “Jadi ini bukan mimpi?” tanya Zhiya. “Mimpi adalah bentuk paling primitif dari perjalanan antar realitas,” jawab Lingga. “Kau bukan sedang bermimpi. Kau sedang transit.” Zhiya memejam. Ruang di sekitarnya sedikit melengkung—dunia ini seperti merespon fluktuasi emosinya. “Aku tidak ingin kehilangan kewarasanku, Lingga… aku masih hidup di dunia itu. Aku punya pekerjaan. Aku punya hidup nyata.” “Kau pikir ini bukan nyata?” Tatapan Lingga berubah lebih dalam. Tidak keras. Tidak menekan. Namun terasa seperti gravitasi yang perlahan menarik pusat eksistensi Zhiya. Saat Lingga melangkah setengah langkah maju, jarak itu runtuh. Ia menundukkan sedikit wajahnya, sejajar dengan Zhiya, jarak hanya beberapa sentimeter. Bukan menyentuh. Namun kedekatan itu saja sudah cukup membuat dunia terasa bergetar di balik kulit. “Aku tidak ingin menghancurkan duniamu,” Lingga berbisik. “Tapi aku tidak bisa membiarkanmu hilang dari dunia ini juga.” Zhiya menahan napas. “Apa yang akan terjadi padaku?” gumamnya pelan. “Fragmen masa lalu akan menemukanmu satu per satu,” jawab Lingga. “Kau akan melihat hal yang orang lain tidak bisa lihat. Kau akan mendengar kematian yang pernah ditulis ulang. Dan lambat laun, kau akan tahu kenapa kau selalu kembali padaku.” Zhiya terdiam. Dadanya terasa sesak. Ia mulai sadar ini bukan sekadar kedekatan emosional. Ini adalah… keterikatan. “Kau takut padaku?” tanya Lingga perlahan. Zhiya tidak menjawab cepat. Ia justru memandang mata Lingga lama. Di sana ada banyak hal: rasa kehilangan, rindu purba, marah yang dipendam, dan pengetahuan yang terlalu besar. “Aku… bukan takut padamu,” Zhiya akhirnya menjawab. “Aku takut pada apa yang akan terjadi setelah ini.” Lingga mengangguk perlahan. “Takut adalah tanda bahwa kau masih punya kehendak bebas.” Lalu ia memutar wajahnya sedikit, menatap ke permukaan air obsidian yang anehnya memantulkan masa depan, bukan bayangan. “Kita tidak punya banyak waktu. Dunia kalian akan menemukan pecahan pertama dalam waktu dekat. Dan ketika itu terjadi… orang pertama yang akan terganggu bukan kau.” Zhiya menegang. “Maksudmu… orang lain akan terlibat?” “Orang yang paling dekat denganmu duluan,” jawab Lingga. “Yang paling sering berdiri di antara kau dan gerbang realitas.” Arga. Nama itu muncul langsung dalam pikiran Zhiya, lebih cepat daripada kata lain. Zhiya menelan ludah. Rasa bersalah mulai masuk. “Aku tidak mau dia terluka. Kumohon. Dia tidak ada hubungannya dengan ini,” lirih Zhiya. “Itu sebabnya kau harus berhenti menyangkal,” Lingga menatap Zhiya lurus. “Kau harus mulai menerima bahwa kedua dunia ini akan saling menelan.” “Apa maksudmu? Jadi, keduanya akan hancur?” tanya Zhiya. Lingga menggeleng. Ia mendekat dan menyentuh pelan rahang Zhiya. “Hidup adalah pilihan. Dan kau, harus bisa memilih hidup yang ingin kau jalani. Entah diduniamu, atau didunia ini bersamaku.” Zhiya terdiam. Lidahnya kaku. Ia mencoba mencerna setiap perkataan dari mulut Lingga. Dan di detik itu—dunia Sungai Bayangan mulai terasa berubah. Arah angin bergeser. Kontur langit memudar. Gelombang air menyebar seperti pola data digital. Lingga bergerak mendekat sedikit lagi. Masih tidak menyentuh. Tapi Zhiya bisa merasakan getaran energi halus itu seperti menyentuh garis auranya langsung. “Aku akan datang ke duniamu,” Lingga berbisik. Jantung Zhiya berhenti sepersekian detik. Tubuhnya mulai bergetar hebat. “B-bagaimana?” suaranya gemetar. “Melalui fraktur memori. Melalui representasi sejarah. Melalui arsip yang kau sentuh. Kau adalah pintunya.” Zhiya memandangnya sangat lama — dadanya naik turun pelan. Dunia realistisnya terasa jauh. Aetheria terasa seperti sesuatu yang mulai memudar dari kejauhan, bukan sebaliknya. “Kapan… kapan itu akan terjadi?” Zhiya bertanya. Lingga menatapnya dengan sorot yang tidak lagi kabur oleh waktu. “Sudah dimulai.”Malam-malam berikutnya, pikiran itu tidak lagi sekadar bayangan. Ia menetap. Zhiya duduk sendirian di pantai, pasir dingin menyentuh telapak kakinya. Laut berkilau gelap, memantulkan cahaya bulan yang kian menipis. Di kejauhan, mercusuar berputar pelan—penanda arah bagi kapal yang ragu. Ia menatapnya lama, lalu menunduk, menyadari ironi yang membuat dadanya sesak. Selama ini ia bertahan di Aetheria karena tubuhnya ada di sini. Karena kehidupan yang seharusnya. Karena rasa aman yang masuk akal. Namun Qingzhou memanggilnya bukan sebagai pelarian. Melainkan sebagai tujuan. Ia teringat wajah Lingga saat berkata ia merindukannya—bukan permintaan, bukan tuntutan. Hanya kebenaran yang dibiarkan berdiri apa adanya. Ia teringat kematian yang disaksikannya, pengorbanan yang tak pernah diberi pilihan. Dan ia teringat kata-kata ibunya: jangan pergi karena ditarik—pergilah karena memilih. Zhiya menutup mata. “Aku tidak ingin kembali sebagai roh yang terseret,” bisiknya pada angin l
Udara di kamar itu kembali berubah. Bukan seperti mimpi yang runtuh, melainkan seperti kenyataan yang bergeser setengah langkah. Cahaya lampu meredup tanpa padam. Bayangan di sudut ruangan memanjang, lalu berhenti—terlalu teratur untuk sekadar permainan cahaya. Zhiya merasakannya lebih dulu daripada melihatnya. Ia menoleh perlahan. Di dekat jendela, di tempat tirai tipis bergoyang pelan, sebuah bayangan berdiri. Bukan hitam pekat, melainkan berlapis—seperti siluet yang diisi cahaya redup dari dalam. Garis bahunya tegas. Posturnya dikenalnya terlalu baik. “Lingga…?” suaranya nyaris tak keluar. Bayangan itu bergerak satu langkah maju. Lantai kayu tidak berbunyi, namun keberadaannya terasa—menekan udara, menenangkan sekaligus menggentarkan. “Aku tidak ingin kau melihatnya dengan cara itu,” suara Lingga terdengar. Bukan gema, bukan bisikan. Nyata. Berat. “Tapi kau memang harus tahu.” “Lingga, aku, tak sanggup melihatmu menderita seperti itu,” lirih Zhiya dengan air mata ya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seolah waktu di pesisir Aetheria kehilangan kebiasaan lamanya. Zhiya tenggelam dalam pikirannya. Ia tetap bangun pagi, membantu ibunya di rumah, berjalan menyusuri pantai saat matahari naik rendah. Dari luar, ia tampak baik-baik saja—lebih sehat bahkan, dibanding saat ia terbaring tak sadar di rumah sakit. Namun di dalam dirinya, kata-kata Lingga terus berulang, berlapis-lapis, tak mau diam. Bulan hitam akan naik. Rohmu akan tertarik kembali. Setiap kali angin laut menyentuh kulitnya, Zhiya bertanya-tanya apakah itu benar-benar angin, atau hanya cara lain dunia lain mengingatkannya. Saat malam tiba dan bulan biasa menggantung pucat di langit, ia menatap terlalu lama, menunggu sesuatu yang tidak seharusnya datang. Tidurnya dangkal. Dalam mimpi, ia tidak selalu kembali ke Qingzhou. Kadang hanya koridor kosong tanpa lentera. Kadang suara langkah kaki yang berhenti tepat di belakangnya. Kadang bayangan Lingga yang berdiri jauh, ti
Beberapa hari berlalu dengan ritme yang pelan—ritme yang sengaja dipilih agar tubuh Zhiya benar-benar belajar tinggal. Pagi itu, sinar matahari jatuh lembut di kamar rawat. Zhiya duduk setengah bersandar, sudah tanpa infus, hanya monitor kecil yang sesekali berbunyi tenang. Ibunya duduk di kursi dekat jendela, mengupas apel dengan gerakan hati-hati, seolah setiap potongan adalah doa kecil agar semuanya baik-baik saja. Arga berdiri di ambang pintu ketika dokter masuk, membawa map tipis. “Kondisi pasien stabil,” katanya. “Hari ini boleh pulang, dengan catatan istirahat total. Tidak begadang, tidak stres berat.” Zhiya tersenyum kecil. “Siap, Dok.” Setelah dokter pergi, ibunya menoleh. “Kita pulang ke rumah ibu dulu,” katanya tegas namun penuh sayang. “Apartemenmu terlalu sunyi untuk orang yang baru kembali.” Zhiya mengangguk. “Aku juga ingin itu.” Arga membantu membereskan barang-barang kecil. Saat semuanya siap, Zhiya berdiri pelan, merasakan lantai dingin di telapak kakinya
Di Qingzhou, senja belum sempat jatuh ketika Zhiya terhuyung. Kali ini bukan pusing yang bisa ia tahan dengan napas. Tarikannya datang mendadak—kuat, kasar—seperti tangan yang merenggut pergelangan kakinya dari balik kabut. Lututnya menghantam lantai kamar Lingga, suara benturannya kering dan nyata. “Zhiya!” Lingga sudah berlutut di hadapannya. Simbol di pergelangan tangan Zhiya berkilat tak beraturan, denyutnya melonjak liar. Udara di ruangan terasa berat, seolah ruang itu sendiri menolak mempertahankannya lebih lama. “Tubuhku…” Zhiya terengah, jari-jarinya mencengkeram kain jubah Lingga. “Mereka… membawaku ke rumah sakit.” Lingga menegang. Wajahnya mengeras—bukan marah, melainkan sadar. “Mereka menyentuh batas,” katanya pelan. “Tubuhmu memanggil dengan paksa.” Zhiya menggeleng lemah. “Aku belum selesai.” “Kau sudah,” jawab Lingga lembut namun tak memberi ruang bantahan. Ia mengangkat wajah Zhiya agar menatapnya. “Qingzhou aman. Jizhou mundur. Tidak ada lagi yang mengik
Di Aetheria, kepanikan tidak lagi bisa disamarkan sebagai kekhawatiran biasa. Arga duduk di tepi ranjang sejak entah kapan. Jam dinding sudah berpindah beberapa kali, namun Zhiya tetap tak bergerak. Napasnya masih ada—tipis, teratur dengan cara yang membuat jantung Arga justru semakin berdebar. Seperti tubuh yang bertahan hanya karena lupa bagaimana caranya berhenti. “Zhiya…” Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat. Dingin. Terlalu dingin untuk seseorang yang keningnya panas. Ia berdiri, mondar-mandir di kamar sempit itu, lalu kembali lagi. Ponselnya sudah berada di tangannya sejak tadi, layar menyala dengan nomor darurat yang belum juga ia tekan. Setiap detik berlalu seperti pengkhianatan. “Kenapa kamu belum bangun?” suaranya pecah. “Kamu bilang cuma mimpi. Kamu bilang kamu bisa kembali kapan saja.” Zhiya tidak menjawab. Arga menempelkan telinganya ke dada Zhiya, memastikan detak jantung itu masih ada. Ada. Namun lemah. Seolah jaraknya semakin jauh dari dunia ini.







