แชร์

Jalan Masuk yang semakin terbuka

ผู้เขียน: QuinzeeQ
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-10 13:13:14

Zhiya menghela napas berat.

“Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.”

Lingga menatapnya tanpa kedipan.

“Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga.

“kita saling memanggil.”

Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan.

Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia.

“Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga.

“Sungai ini akan menelan batas.”

Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan:

“Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?”

Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno.

“Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.”

Sungai Bayangan itu terasa bagai ruangan yang bukan air, bukan udara—namun sesuatu di antaranya. Seperti dimensi yang tidak memakai fisika manusia sebagai hukum mutlaknya.

Raja Lingga tidak bergerak mendekat secara kasat mata.

Namun jarak antara mereka tiba-tiba menjadi dekat dengan cara yang mustahil dijelaskan oleh ruang.

“Setiap kali kau kembali…” suaranya rendah, nyaris seperti gema.

“retakan batas semakin melebar.”

Zhiya hanya bisa menatapnya. Tidak ada logika realistis yang tersisa untuk dilawan. Rasa takut sudah berganti jadi sesuatu yang lebih kompleks… campuran rasa ditarik, rasa dikenal, rasa pernah pulang.

“Kenapa aku?” suara Zhiya pecah pelan.

“Kenapa kamu memanggil aku terus? Aku bahkan tidak tahu apa hubungan kita…”

Lingga mengangkat tangannya sedikit. Menyentuh kulit Zhiya dan merabanya dengan lembut. Menatap mata teduh itu dengan seksama.

“Yu Zhiya. Ada sesuatu dalam dirimu yang tidak pernah padam, bahkan saat sejarah dunia mencoba menghapusnya.”

Angin bayangan mengalir pelan di bawah permukaan air obsidian itu. Seolah sungai itu merespon kata-kata Lingga secara langsung.

“Dunia kalian—Aetheria—sudah masuk fase percepatan. Kota itu tumbuh terlalu cepat. Teknologi kalian mengorek hal yang tak seharusnya dibuka. Lapisan realitas kalian semakin menipis, dan Sungai Bayangan akan menjadi portal paling mudah ditembus.”

Zhiya menggigit bibirnya. Nafasnya berat. Ia merasakan teori itu justru masuk akal dengan cara yang mengerikan.

“Jadi ini bukan mimpi?” tanya Zhiya.

“Mimpi adalah bentuk paling primitif dari perjalanan antar realitas,” jawab Lingga.

“Kau bukan sedang bermimpi. Kau sedang transit.”

Zhiya memejam. Ruang di sekitarnya sedikit

melengkung—dunia ini seperti merespon fluktuasi emosinya.

“Aku tidak ingin kehilangan kewarasanku, Lingga… aku masih hidup di dunia itu. Aku punya pekerjaan. Aku punya hidup nyata.”

“Kau pikir ini bukan nyata?”

Tatapan Lingga berubah lebih dalam. Tidak keras. Tidak menekan. Namun terasa seperti gravitasi yang perlahan menarik pusat eksistensi Zhiya.

Saat Lingga melangkah setengah langkah maju, jarak itu runtuh. Ia menundukkan sedikit wajahnya, sejajar dengan Zhiya, jarak hanya beberapa sentimeter. Bukan menyentuh. Namun kedekatan itu saja sudah cukup membuat dunia terasa bergetar di balik kulit.

“Aku tidak ingin menghancurkan duniamu,” Lingga berbisik.

“Tapi aku tidak bisa membiarkanmu hilang dari dunia ini juga.”

Zhiya menahan napas.

“Apa yang akan terjadi padaku?” gumamnya pelan.

“Fragmen masa lalu akan menemukanmu satu per satu,” jawab Lingga.

“Kau akan melihat hal yang orang lain tidak bisa lihat. Kau akan mendengar kematian yang pernah ditulis ulang. Dan lambat laun, kau akan tahu kenapa kau selalu kembali padaku.”

Zhiya terdiam. Dadanya terasa sesak. Ia mulai sadar ini bukan sekadar kedekatan emosional. Ini adalah… keterikatan.

“Kau takut padaku?” tanya Lingga perlahan.

Zhiya tidak menjawab cepat. Ia justru memandang mata Lingga lama. Di sana ada banyak hal: rasa kehilangan, rindu purba, marah yang dipendam, dan pengetahuan yang terlalu besar.

“Aku… bukan takut padamu,” Zhiya akhirnya menjawab.

“Aku takut pada apa yang akan terjadi setelah ini.”

Lingga mengangguk perlahan.

“Takut adalah tanda bahwa kau masih punya kehendak bebas.”

Lalu ia memutar wajahnya sedikit, menatap ke permukaan air obsidian yang anehnya memantulkan masa depan, bukan bayangan.

“Kita tidak punya banyak waktu. Dunia kalian akan menemukan pecahan pertama dalam waktu dekat. Dan ketika itu terjadi… orang pertama yang akan terganggu bukan kau.”

Zhiya menegang. “Maksudmu… orang lain akan terlibat?”

“Orang yang paling dekat denganmu duluan,” jawab Lingga.

“Yang paling sering berdiri di antara kau dan gerbang realitas.”

Arga.

Nama itu muncul langsung dalam pikiran Zhiya, lebih cepat daripada kata lain.

Zhiya menelan ludah. Rasa bersalah mulai masuk.

“Aku tidak mau dia terluka. Kumohon. Dia tidak ada hubungannya dengan ini,” lirih Zhiya.

“Itu sebabnya kau harus berhenti menyangkal,” Lingga menatap Zhiya lurus.

“Kau harus mulai menerima bahwa kedua dunia ini akan saling menelan.”

“Apa maksudmu? Jadi, keduanya akan hancur?” tanya Zhiya.

Lingga menggeleng. Ia mendekat dan menyentuh pelan rahang Zhiya. “Hidup adalah pilihan. Dan kau, harus bisa memilih hidup yang ingin kau jalani. Entah diduniamu, atau didunia ini bersamaku.”

Zhiya terdiam. Lidahnya kaku. Ia mencoba mencerna setiap perkataan dari mulut Lingga.

Dan di detik itu—dunia Sungai Bayangan mulai terasa berubah. Arah angin bergeser. Kontur langit memudar. Gelombang air menyebar seperti pola data digital.

Lingga bergerak mendekat sedikit lagi. Masih tidak menyentuh. Tapi Zhiya bisa merasakan getaran energi halus itu seperti menyentuh garis auranya langsung.

“Aku akan datang ke duniamu,” Lingga berbisik.

Jantung Zhiya berhenti sepersekian detik. Tubuhnya mulai bergetar hebat.

“B-bagaimana?” suaranya gemetar.

“Melalui fraktur memori. Melalui representasi sejarah. Melalui arsip yang kau sentuh. Kau adalah pintunya.”

Zhiya memandangnya sangat lama — dadanya naik turun pelan. Dunia realistisnya terasa jauh. Aetheria terasa seperti sesuatu yang mulai memudar dari kejauhan, bukan sebaliknya.

“Kapan… kapan itu akan terjadi?” Zhiya bertanya.

Lingga menatapnya dengan sorot yang tidak lagi kabur oleh waktu.

“Sudah dimulai.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kehidupan yang mulai tidak normal

    “…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kutukan Dari Garis Leluhur

    “Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pikiran yang bercabang

    “Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Jalan Masuk yang semakin terbuka

    Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Ketertarikan yang nyata

    Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri.
Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. 
“Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Suara Air yang memanggil

    “Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status