แชร์

Pikiran yang bercabang

ผู้เขียน: QuinzeeQ
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-11 17:42:00

“Sudah dimulai.”

Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.

Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak.

“Kita pulang,” lirih Lingga.

Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya.

Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh.

“Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang.

“Baik, Paduka,” ucap mereka serentak.

“M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya.

Lingga tak menjawab. Ia kembali berjalan melewati koridor istana yang sangat sunyi.

“Apakah istana memang sesunyi ini?” tanya Zhiya dengan wajah lugunya.

“Ini bukan pertama kalinya kau kemari, Zhiya,” ucap Lingga.

Zhiya pun mendengus kesal. Ia melirik tajam kearah Lingga sebelum membuang wajahnya ke lain arah.

“Apa semua raja kuno memang tidak bisa menyenangkan hati wanita seperti dia?” racau Zhiya didalam hati.

“Apa yang kau katakan?” tanya Lingga.

Zhiya membulatkan matanya. Ia lupa bahwa Lingga dapat mendengar apa yang ia katakan dalam hati.

“Tidak. Turunkan aku,” ucap Zhiya.

“Ada apa, Zhiya?”

“Turunkan aku!” berontak Zhiya.

Lingga pun menurunkan tubuh Zhiya. Zhiya kemudian menghentakkan kakinya ketanah dan pergi meninggalkan Lingga dan menuju ke danau yang terletak tak jauh dari koridor istana.

“Zhiya!”

“Yu Zhiya!”

Zhiya tak menoleh. Ia tetap berjalan kearah danau dan duduk di batu yang terletak ditepi danau.

“Ada apa, Zhiya?” tanya Lingga.

Air danau di tepi istana tampak berkilau diterpa sinar bulan purnama. Permukaannya tenang, memantulkan langit ungu yang cerah dihiasi sinar bintang. Angin berhembus lembut, menggerakkan helai rambut Zhiya yang berdiri membelakangi Raja Lingga. Gaun sutranya berkibar ringan dan mengenai tubuh Lingga.

Lingga tersenyum tipis melihat raut wajah Zhiya yang menurutnya begitu menggemaskan. Pria itu kemudian berlutut dihadapan Zhiya, membuat semua pengawal dan pelayan istana tercengang.

“Kau marah?” tanya Lingga sembari mengecup pelan punggung tangan mulus milik Zhiya.

“Tidak. Aku hanya, em, sedikit, kesal saja,” ucap Zhiya tanpa mau menatap mata Lingga.

Lingga mengulas senyumnya tipis.

“Kau tersenyum?” celetuk Zhiya.

“Kau tersenyum, Lingga,” ucap Zhiya lagi.

Zhiya kemudian berdiri dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah menjadi gembira.

“Ini kali pertama aku melihatmu tersenyum,” ucap Zhiya.

Lingga kemudian berdiri. “Benarkah?”

Zhiya mengangguk. “Kau tidak pernah tersenyum padaku. Apa kau tidak sadar dengan hal itu?”

Pria itu kemudian menoleh kearah Zhiya. Ia mulai menyingkap rambut Zhiya yang diterpa angin dengan lembut.

“Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah, kau disini, bersamaku, Zhiya,” ucap Lingga.

Lingga kemudian menarik dagu Zhiya dan mengecup bibir Gadis itu. Mereka berciuman di tepi danau dengan sinar bulan yang langsung menyembunyikan diri mereka dibalik pepohonan.

Para pelayan yang melihat situasi itu mulai berbisik-bisik.

“Raja tidak pernah seperti itu pada Putri Lusi,” bisik salah satu pelayan.

“Ya benar. Raja bahkan tidak mau berbicara maupun menatap Putri Lusi,” ucap pelayan lainnya.

Putri Lusi adalah Putri yang berasal dari Kerajaan Jizhou. Kerajaan yang terletak cukup jauh dari Qingzhou. Mereka telah dijodohkan sejak mereka kecil. Tapi, Lingga selalu menolak perjodohan itu.

Disisi lain, Lingga mulai menarik tangan Zhiya, hingga membuat mereka tak memiliki jarak sedikitpun. Dengan cepat, Lingga langsung menggendong tubuh Zhiya ala koala tanpa melepas tautan mereka.

Zhiya pasrah. Ia terus mengikuti permainan Lingga yang masih terus melahap bibir mungilnya. Pria itu membawa Zhiya masuk kedalam kamar pribadi miliknya. Meletakkan gadis itu dengan perlahan keatas ranjang, dan mulai menindih gadis kecil itu.

Suasana kamar itu masih sama. Aroma khas dari Lingga juga masih memenuhi seluruh ruangan itu. Zhiya menatap mata Lingga. Tidak tajam, tidak juga lembut. Tatapan yang selalu membuat Lingga merindukan gadis itu. Tangan Lingga mulai menelusuri tubuh Zhiya. Tapi Zhiya langsung menahan tangan itu.

“Berhenti,” lirih Zhiya.

Lingga mengernyitkan dahinya. Ia kemudian menjauh dari tubuh Zhiya dan membenahi jubahnya.

Zhiya bangkit. Ia menjauh dari Lingga dan menuju jendela kamar yang masih terbuka dan menunjukkan pemandangan istana Qingzhou yang terlihat jelas dari sana. Sementara itu, Lingga hanya menatap punggung Zhiya dari kejauhan.

“Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Zhiya?” tanya Lingga perlahan.

Zhiya menoleh, kemudian menggeleng pelan.

“Aku masih berusaha memahami diriku sendiri, Lingga,” ucap Zhiya.

Lingga mendekat. Langkahnya pelan, namun mantap. Ia berhenti tepat di belakang Zhiya, membiarkan jarak yang tersisa di antara mereka hanya sehelai napas. Ia memegang kedua pundak Zhiya dan mengecup pundak gadis itu.

“Kalau begitu,” katanya dengan suara hampir berbisik, “biarkan aku menunggu sampai kau siap.”

Zhiya berbalik perlahan, dan untuk pertama kalinya malam itu, tatapan mereka bertemu tanpa amarah. Mata Zhiya berkilat lembut, seolah memantulkan cahaya lentera di sudut ruangan.

“Kadang,” bisik Zhiya. “aku membencimu karena membuatku terlalu peduli.”

Lingga tersenyum tipis, lalu mendekat hingga napas mereka bersinggungan di udara yang hangat.

“Dan aku,” katanya pelan, “mencintaimu justru karena kau berani membenciku.”

Dalam keheningan itu, waktu terasa berhenti. Lingga mengangkat tangannya, menyentuh pipi Zhiya dengan lembut. Jarinya menghapus sisa air mata yang tadi masih membekas di sudut matanya. Zhiya menutup mata sejenak, membiarkan kehangatan itu menelusup tanpa perlawanan.

Ia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya diam, sementara Lingga perlahan menariknya ke dalam dekapannya. Tidak ada paksaan, tidak ada janji—hanya rasa yang akhirnya menemukan ruang untuk bernapas.

Detak jantung keduanya terasa begitu dekat, berpadu dalam ritme yang sama. Lentera bergoyang ringan di hembusan angin malam, menebarkan cahaya lembut di wajah mereka.

Lingga menunduk, menempelkan dahinya di dahi Zhiya.

“Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kehidupan yang mulai tidak normal

    “…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kutukan Dari Garis Leluhur

    “Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pikiran yang bercabang

    “Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Jalan Masuk yang semakin terbuka

    Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Ketertarikan yang nyata

    Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri.
Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. 
“Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Suara Air yang memanggil

    “Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status