LOGIN“Sudah dimulai.”
Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak menjawab. Ia kembali berjalan melewati koridor istana yang sangat sunyi. “Apakah istana memang sesunyi ini?” tanya Zhiya dengan wajah lugunya. “Ini bukan pertama kalinya kau kemari, Zhiya,” ucap Lingga. Zhiya pun mendengus kesal. Ia melirik tajam kearah Lingga sebelum membuang wajahnya ke lain arah. “Apa semua raja kuno memang tidak bisa menyenangkan hati wanita seperti dia?” racau Zhiya didalam hati. “Apa yang kau katakan?” tanya Lingga. Zhiya membulatkan matanya. Ia lupa bahwa Lingga dapat mendengar apa yang ia katakan dalam hati. “Tidak. Turunkan aku,” ucap Zhiya. “Ada apa, Zhiya?” “Turunkan aku!” berontak Zhiya. Lingga pun menurunkan tubuh Zhiya. Zhiya kemudian menghentakkan kakinya ketanah dan pergi meninggalkan Lingga dan menuju ke danau yang terletak tak jauh dari koridor istana. “Zhiya!” “Yu Zhiya!” Zhiya tak menoleh. Ia tetap berjalan kearah danau dan duduk di batu yang terletak ditepi danau. “Ada apa, Zhiya?” tanya Lingga. Air danau di tepi istana tampak berkilau diterpa sinar bulan purnama. Permukaannya tenang, memantulkan langit ungu yang cerah dihiasi sinar bintang. Angin berhembus lembut, menggerakkan helai rambut Zhiya yang berdiri membelakangi Raja Lingga. Gaun sutranya berkibar ringan dan mengenai tubuh Lingga. Lingga tersenyum tipis melihat raut wajah Zhiya yang menurutnya begitu menggemaskan. Pria itu kemudian berlutut dihadapan Zhiya, membuat semua pengawal dan pelayan istana tercengang. “Kau marah?” tanya Lingga sembari mengecup pelan punggung tangan mulus milik Zhiya. “Tidak. Aku hanya, em, sedikit, kesal saja,” ucap Zhiya tanpa mau menatap mata Lingga. Lingga mengulas senyumnya tipis. “Kau tersenyum?” celetuk Zhiya. “Kau tersenyum, Lingga,” ucap Zhiya lagi. Zhiya kemudian berdiri dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah menjadi gembira. “Ini kali pertama aku melihatmu tersenyum,” ucap Zhiya. Lingga kemudian berdiri. “Benarkah?” Zhiya mengangguk. “Kau tidak pernah tersenyum padaku. Apa kau tidak sadar dengan hal itu?” Pria itu kemudian menoleh kearah Zhiya. Ia mulai menyingkap rambut Zhiya yang diterpa angin dengan lembut. “Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah, kau disini, bersamaku, Zhiya,” ucap Lingga. Lingga kemudian menarik dagu Zhiya dan mengecup bibir Gadis itu. Mereka berciuman di tepi danau dengan sinar bulan yang langsung menyembunyikan diri mereka dibalik pepohonan. Para pelayan yang melihat situasi itu mulai berbisik-bisik. “Raja tidak pernah seperti itu pada Putri Lusi,” bisik salah satu pelayan. “Ya benar. Raja bahkan tidak mau berbicara maupun menatap Putri Lusi,” ucap pelayan lainnya. Putri Lusi adalah Putri yang berasal dari Kerajaan Jizhou. Kerajaan yang terletak cukup jauh dari Qingzhou. Mereka telah dijodohkan sejak mereka kecil. Tapi, Lingga selalu menolak perjodohan itu. Disisi lain, Lingga mulai menarik tangan Zhiya, hingga membuat mereka tak memiliki jarak sedikitpun. Dengan cepat, Lingga langsung menggendong tubuh Zhiya ala koala tanpa melepas tautan mereka. Zhiya pasrah. Ia terus mengikuti permainan Lingga yang masih terus melahap bibir mungilnya. Pria itu membawa Zhiya masuk kedalam kamar pribadi miliknya. Meletakkan gadis itu dengan perlahan keatas ranjang, dan mulai menindih gadis kecil itu. Suasana kamar itu masih sama. Aroma khas dari Lingga juga masih memenuhi seluruh ruangan itu. Zhiya menatap mata Lingga. Tidak tajam, tidak juga lembut. Tatapan yang selalu membuat Lingga merindukan gadis itu. Tangan Lingga mulai menelusuri tubuh Zhiya. Tapi Zhiya langsung menahan tangan itu. “Berhenti,” lirih Zhiya. Lingga mengernyitkan dahinya. Ia kemudian menjauh dari tubuh Zhiya dan membenahi jubahnya. Zhiya bangkit. Ia menjauh dari Lingga dan menuju jendela kamar yang masih terbuka dan menunjukkan pemandangan istana Qingzhou yang terlihat jelas dari sana. Sementara itu, Lingga hanya menatap punggung Zhiya dari kejauhan. “Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Zhiya?” tanya Lingga perlahan. Zhiya menoleh, kemudian menggeleng pelan. “Aku masih berusaha memahami diriku sendiri, Lingga,” ucap Zhiya. Lingga mendekat. Langkahnya pelan, namun mantap. Ia berhenti tepat di belakang Zhiya, membiarkan jarak yang tersisa di antara mereka hanya sehelai napas. Ia memegang kedua pundak Zhiya dan mengecup pundak gadis itu. “Kalau begitu,” katanya dengan suara hampir berbisik, “biarkan aku menunggu sampai kau siap.” Zhiya berbalik perlahan, dan untuk pertama kalinya malam itu, tatapan mereka bertemu tanpa amarah. Mata Zhiya berkilat lembut, seolah memantulkan cahaya lentera di sudut ruangan. “Kadang,” bisik Zhiya. “aku membencimu karena membuatku terlalu peduli.” Lingga tersenyum tipis, lalu mendekat hingga napas mereka bersinggungan di udara yang hangat. “Dan aku,” katanya pelan, “mencintaimu justru karena kau berani membenciku.” Dalam keheningan itu, waktu terasa berhenti. Lingga mengangkat tangannya, menyentuh pipi Zhiya dengan lembut. Jarinya menghapus sisa air mata yang tadi masih membekas di sudut matanya. Zhiya menutup mata sejenak, membiarkan kehangatan itu menelusup tanpa perlawanan. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya diam, sementara Lingga perlahan menariknya ke dalam dekapannya. Tidak ada paksaan, tidak ada janji—hanya rasa yang akhirnya menemukan ruang untuk bernapas. Detak jantung keduanya terasa begitu dekat, berpadu dalam ritme yang sama. Lentera bergoyang ringan di hembusan angin malam, menebarkan cahaya lembut di wajah mereka. Lingga menunduk, menempelkan dahinya di dahi Zhiya. “Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.”Malam-malam berikutnya, pikiran itu tidak lagi sekadar bayangan. Ia menetap. Zhiya duduk sendirian di pantai, pasir dingin menyentuh telapak kakinya. Laut berkilau gelap, memantulkan cahaya bulan yang kian menipis. Di kejauhan, mercusuar berputar pelan—penanda arah bagi kapal yang ragu. Ia menatapnya lama, lalu menunduk, menyadari ironi yang membuat dadanya sesak. Selama ini ia bertahan di Aetheria karena tubuhnya ada di sini. Karena kehidupan yang seharusnya. Karena rasa aman yang masuk akal. Namun Qingzhou memanggilnya bukan sebagai pelarian. Melainkan sebagai tujuan. Ia teringat wajah Lingga saat berkata ia merindukannya—bukan permintaan, bukan tuntutan. Hanya kebenaran yang dibiarkan berdiri apa adanya. Ia teringat kematian yang disaksikannya, pengorbanan yang tak pernah diberi pilihan. Dan ia teringat kata-kata ibunya: jangan pergi karena ditarik—pergilah karena memilih. Zhiya menutup mata. “Aku tidak ingin kembali sebagai roh yang terseret,” bisiknya pada angin l
Udara di kamar itu kembali berubah. Bukan seperti mimpi yang runtuh, melainkan seperti kenyataan yang bergeser setengah langkah. Cahaya lampu meredup tanpa padam. Bayangan di sudut ruangan memanjang, lalu berhenti—terlalu teratur untuk sekadar permainan cahaya. Zhiya merasakannya lebih dulu daripada melihatnya. Ia menoleh perlahan. Di dekat jendela, di tempat tirai tipis bergoyang pelan, sebuah bayangan berdiri. Bukan hitam pekat, melainkan berlapis—seperti siluet yang diisi cahaya redup dari dalam. Garis bahunya tegas. Posturnya dikenalnya terlalu baik. “Lingga…?” suaranya nyaris tak keluar. Bayangan itu bergerak satu langkah maju. Lantai kayu tidak berbunyi, namun keberadaannya terasa—menekan udara, menenangkan sekaligus menggentarkan. “Aku tidak ingin kau melihatnya dengan cara itu,” suara Lingga terdengar. Bukan gema, bukan bisikan. Nyata. Berat. “Tapi kau memang harus tahu.” “Lingga, aku, tak sanggup melihatmu menderita seperti itu,” lirih Zhiya dengan air mata ya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seolah waktu di pesisir Aetheria kehilangan kebiasaan lamanya. Zhiya tenggelam dalam pikirannya. Ia tetap bangun pagi, membantu ibunya di rumah, berjalan menyusuri pantai saat matahari naik rendah. Dari luar, ia tampak baik-baik saja—lebih sehat bahkan, dibanding saat ia terbaring tak sadar di rumah sakit. Namun di dalam dirinya, kata-kata Lingga terus berulang, berlapis-lapis, tak mau diam. Bulan hitam akan naik. Rohmu akan tertarik kembali. Setiap kali angin laut menyentuh kulitnya, Zhiya bertanya-tanya apakah itu benar-benar angin, atau hanya cara lain dunia lain mengingatkannya. Saat malam tiba dan bulan biasa menggantung pucat di langit, ia menatap terlalu lama, menunggu sesuatu yang tidak seharusnya datang. Tidurnya dangkal. Dalam mimpi, ia tidak selalu kembali ke Qingzhou. Kadang hanya koridor kosong tanpa lentera. Kadang suara langkah kaki yang berhenti tepat di belakangnya. Kadang bayangan Lingga yang berdiri jauh, ti
Beberapa hari berlalu dengan ritme yang pelan—ritme yang sengaja dipilih agar tubuh Zhiya benar-benar belajar tinggal. Pagi itu, sinar matahari jatuh lembut di kamar rawat. Zhiya duduk setengah bersandar, sudah tanpa infus, hanya monitor kecil yang sesekali berbunyi tenang. Ibunya duduk di kursi dekat jendela, mengupas apel dengan gerakan hati-hati, seolah setiap potongan adalah doa kecil agar semuanya baik-baik saja. Arga berdiri di ambang pintu ketika dokter masuk, membawa map tipis. “Kondisi pasien stabil,” katanya. “Hari ini boleh pulang, dengan catatan istirahat total. Tidak begadang, tidak stres berat.” Zhiya tersenyum kecil. “Siap, Dok.” Setelah dokter pergi, ibunya menoleh. “Kita pulang ke rumah ibu dulu,” katanya tegas namun penuh sayang. “Apartemenmu terlalu sunyi untuk orang yang baru kembali.” Zhiya mengangguk. “Aku juga ingin itu.” Arga membantu membereskan barang-barang kecil. Saat semuanya siap, Zhiya berdiri pelan, merasakan lantai dingin di telapak kakinya
Di Qingzhou, senja belum sempat jatuh ketika Zhiya terhuyung. Kali ini bukan pusing yang bisa ia tahan dengan napas. Tarikannya datang mendadak—kuat, kasar—seperti tangan yang merenggut pergelangan kakinya dari balik kabut. Lututnya menghantam lantai kamar Lingga, suara benturannya kering dan nyata. “Zhiya!” Lingga sudah berlutut di hadapannya. Simbol di pergelangan tangan Zhiya berkilat tak beraturan, denyutnya melonjak liar. Udara di ruangan terasa berat, seolah ruang itu sendiri menolak mempertahankannya lebih lama. “Tubuhku…” Zhiya terengah, jari-jarinya mencengkeram kain jubah Lingga. “Mereka… membawaku ke rumah sakit.” Lingga menegang. Wajahnya mengeras—bukan marah, melainkan sadar. “Mereka menyentuh batas,” katanya pelan. “Tubuhmu memanggil dengan paksa.” Zhiya menggeleng lemah. “Aku belum selesai.” “Kau sudah,” jawab Lingga lembut namun tak memberi ruang bantahan. Ia mengangkat wajah Zhiya agar menatapnya. “Qingzhou aman. Jizhou mundur. Tidak ada lagi yang mengik
Di Aetheria, kepanikan tidak lagi bisa disamarkan sebagai kekhawatiran biasa. Arga duduk di tepi ranjang sejak entah kapan. Jam dinding sudah berpindah beberapa kali, namun Zhiya tetap tak bergerak. Napasnya masih ada—tipis, teratur dengan cara yang membuat jantung Arga justru semakin berdebar. Seperti tubuh yang bertahan hanya karena lupa bagaimana caranya berhenti. “Zhiya…” Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat. Dingin. Terlalu dingin untuk seseorang yang keningnya panas. Ia berdiri, mondar-mandir di kamar sempit itu, lalu kembali lagi. Ponselnya sudah berada di tangannya sejak tadi, layar menyala dengan nomor darurat yang belum juga ia tekan. Setiap detik berlalu seperti pengkhianatan. “Kenapa kamu belum bangun?” suaranya pecah. “Kamu bilang cuma mimpi. Kamu bilang kamu bisa kembali kapan saja.” Zhiya tidak menjawab. Arga menempelkan telinganya ke dada Zhiya, memastikan detak jantung itu masih ada. Ada. Namun lemah. Seolah jaraknya semakin jauh dari dunia ini.







