เข้าสู่ระบบArga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu.
“Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri. Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. “Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menjawab. Ia tidak bisa. Setiap kali ia memaksa logikanya bekerja , fragmen museum tadi muncul lagi. Lukisan raja itu. Senyum tipisnya yang dingin tapi tenang. Sorot mata gelapnya. Seolah ia benar–benar tahu Zhiya dari jauh sebelum Zhiya pernah dilahirkan di dunia ini. “Arga,” suara Zhiya pelan. Nyaris kehilangan bobotnya. “Aku tidak lagi yakin apa yang nyata.” Arga menghela napas, memegang tangan Zhiya dengan cemas. “Pulang saja dulu malam ini. Jangan tidur dulu. Jangan sendirian-“ Perkataan Arga terputus. “Aku harus pulang.” Sela Zhiya. Mereka beranjak pergi menuju mobil milik Arga. Kota futuristik Aetheria berlari cepat di luar kaca. Billboard hologram. Interlaced digital fibers di sepanjang fasad gedung. Tapi Zhiya hanya melihat satu hal, pantulan neon biru yang mulai berubah, perlahan jadi pattern air obsidian. Lingga mulai menampakkan dirinya. Zhiya tersentak. Matanya terbelalak. Tubuhnya bergetar hebat. Arga menggenggam stirnya kuat–kuat, ia melihat juga perubahan kecil itu, meski ia tidak dapat menjelaskan kenapa. “Zhiya. Ada apa?” tanya Arga. “Zhiya!” Gadis itu tersentak dan menoleh kearah Arga yang tengah menyetir. “A-aku, aku-“ “Kalau kamu rasa ada yang tidak beres, atau kamu takut, telepon aku. Tolong.” Zhiya mengangguk. Tapi ia tahu dalam batinnya, telepon manusia tidak lagi bisa menyelamatkannya. Mereka pun tiba di Apartemen Zhiya. Zhiya kemudian berpamitan dan segera masuk meninggalkan Arga yag masih menatap khawatir punggung Zhiya yang mulai menjauh. Begitu pintu apartemen menutup di belakang punggungnya sunyi terasa jauh lebih padat. Seperti seluruh ruang tinggalnya terisi oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia berjalan pelan ke dalam. Lampu LED putih lembut menyala otomatis. Buku–buku arsip, alat scanner dokumen, katalog pameran terbuka di meja kerja. Semua tampak normal. Zhiya menarik napas. Ini bukan hanya mimpi. Bukan imajinasi. Dunia itu mulai menembus dinding dunia ini. Ia menyentuh layar tablet-nya refleks. Tapi kemudian menyadari pantulan dirinya di layar mulai seperti tercampur dengan pola air obsidian biru. Elemen visual itu bergerak, slow, seperti mengundang. “L-ingga,” ia berbisik tanpa sadar. Getaran halus muncul di bagian dasar tengkuknya. Suara itu tidak terdengar seperti manusia yang bicara di ruangan. Ia terdengar seperti suara yang muncul dari dalam tubuhnya sendiri. “Kau harus kembali.” Zhiya memejam mata. tubuhnya perlahan kehilangan beratnya. Ia tahu jika ia menolak, ia akan tetap datang. seperti biasa. Tapi kali ini, ia mulai tidak punya alasan menolak. Ia berjalan pelan ke ranjang. Duduk di pinggir kasur. Sunyi menjadi terlalu pekat. Nafasnya menenangkan dirinya sendiri. Ia rebah. Menutup mata. Tubuhnya seakan jatuh melewati ruang kosong, dan permukaan air tidak butuh batas. Sungai Bayangan terbuka seperti mulut dunia yang sangat ia kenal tapi juga selalu asing. Saat kakinya menyentuh permukaan air dingin itu ia tahu ia sudah tiba. “Zhiya. Akhirnya kau kembali,” Sosok itu berdiri di permukaan air gelap itu seolah air bukanlah cairan, melainkan dataran padat setipis bayangan. Ia tidak berubah. Seperti lukisan di museum itu baru saja terlepas dari bingkainya dan bernafas kembali. Lingga. Raja Qingzhou yang seharusnya telah mati ratusan tahun lalu. Namun di hadapan Zhiya, ia tampak lebih nyata dari manusia manapun di dunia fisik. “Tidak ada batas lagi antara tidur dan sadar bagimu,” suaranya rendah, dalam seperti gema yang lahir dari kedalaman dasar air. “Karena kau sudah menjadi bagian dari gerbang itu.” Zhiya menatapnya — dan untuk pertama kalinya ia merasa takut bukan kepada dia. Tapi kepada kenyataan bahwa ia mungkin sudah tidak punya tempat pulang selain lelaki ini. “Kau muncul… bahkan di dunia nyata,” bisik Zhiya nyaris pecah. Lingga berjalan perlahan mendekat. Setiap langkahnya menimbulkan riak air hitam yang menyala samar biru neon — warna yang sama dengan refleksi kaca kota Aetheria. “Aku tidak pernah hilang, Zhiya,” jawab Lingga. “Hanya terkunci.” Tatapan matanya dalam. Tidak meminta. Tidak memaksa. Namun menarik… seperti gravitasi spiritual. “Kau yang membuka kembali simpul yang disegel waktu itu.” Zhiya menggeleng. Nafasnya pendek. “Ini bukan normal. Dunia mulai berubah… air itu mengikuti aku.” Linhga mengangkat tangan perlahan, menyentuh sisi wajah Zhiya dengan ujung jemarinya. Sentuhan itu tidak panas. Tidak dingin. Tapi menghasilkan sesuatu yang seperti resonansi dalam tubuhnya. “Kau bukan terjerat,” ucap Lingga pelan, “kau dipilih.” Zhiya menutup mata. Di balik kelopak matanya — museum, lukisan, pantulan neon, suara Arga yang memanggil namanya — semuanya terasa semakin jauh. seperti dunia lain yang mulai mengecil dan memudar. “Katakan padaku,” bisik Zhiya nyaris tanpa suara. “Kenapa aku? Kenapa dunia menahanmu? Kenapa kau belum kembali?” Lingga menunduk sedikit, seperti menatap permukaan air di antara mereka. “Ada sesuatu yang manusia modern tidak pernah sanggup pahami,” jawab Axel pelan. “Jika aku kembali penuh… dunia kalian akan pecah menjadi dua.” Zhiya menatapnya. Dalam. Pernyataan itu bukan ancaman. Itu fakta. “Dan kau tahu itu sejak awal?” tanya Zhiya, suara bergetar. Axel mengangguk pelan. Ia mendekat sedikit lagi — jarak dua nafas. “Namun tetap… kau kembali datang kepadaku.” Zhiya merasa seluruh batas logika mulai retak. Ia tidak tahu kapan cinta dan ketergantungan dan tarik roh ini berubah menjadi satu. Ia hanya tahu — bagian dari dirinya memilih. Tanpa alasan rasional. Tanpa penjelasan teoritis. “Zhiya,” ucap Lingga perlahan. “Jika kau berjalan terus ke arahku malam ini… kau tidak bisa kembali menjadi manusia biasa lagi.” Air di sekitar mereka mulai bergerak. Seolah sungai ini bukan sungai — melainkan simpul antara dua realitas. Zhiya berdiri diam. Tidak mundur. Tidak maju. “Apa ini adalah pilihan?”“…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling
“Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal
“Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak
Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang
Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri. Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. “Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja
“Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia