LOGIN“Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.”
Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela balkon yang setengah terbuka. Angin malam masuk perlahan, diikuti oleh aroma bunga khas istana yang sangat familiar di penciumannya. Di luar sana, langit gelap tampak jernih tanpa awan—dan di tengahnya, menggantung bulat sempurna, bulan purnama yang begitu terang hingga seolah menyingkap seluruh rahasia malam. Cahaya keperakan itu menyelinap ke dalam kamar, memantul di kulit Zhiya yang pucat, membuatnya tampak seperti diselimuti cahaya gaib. Ia menatap bulan itu lama, tanpa sadar menahan napas. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar. Ia teringat dengan bisikan yang ia dengar kemarin saat di basement. Dan tanpa sadar, tubuhnya mulai bergerak pergi meninggalkan Apartemennya dan menuju museum dimana ia bekerja. Lampu-lampu di luar gedung museum mulai padam satu per satu, meninggalkan hanya cahaya redup dari lampu sorot di lorong utama yang berkilau di lantai marmer. Udara malam terasa dingin, sepi, dan terlalu tenang bagi seorang Zhiya yang mulai berjalan menyusuri koridor yang sangat sunyi itu. Tumpukan dokumen berdebu dan katalog artefak terbuka di depannya. Ia menatap lembaran foto lama yang baru saja ia temukan—potret seorang wanita bergaun putih, berdiri di antara reruntuhan bangunan tua. Wajahnya kabur, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang terasa terlalu hidup. Zhiya menelan ludah pelan. Bulan di luar jendela tampak bulat sempurna—purnama, menggantung besar dan terang di balik kaca museum yang tinggi. Sinar keperakannya menembus masuk, jatuh di lantai, dan mengenai lukisan itu dengan pantulan samar yang aneh… seolah cahaya bulan menyorotinya dengan sengaja. Lukisan Raja Qingzhou yang terletak tepat ditengah ruangan museum. Lalu, sesuatu bergetar di dadanya. Sebuah ingatan samar menyelinap— Bisikan halus, lembut, namun menembus pikiran seperti udara dingin. Zhiya berdiri perlahan, tubuhnya menegang. Ia menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke halaman museum. Di bawah sana, cahaya bulan memantul di dinding kaca modern dan pahatan logam yang menghiasi taman artefak luar ruangan. Dan di antara pantulan itu… ada sesuatu yang bergerak. Sebuah bayangan wanita—berdiri di tengah taman, di bawah sinar bulan. Zhiya menahan napas. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanyalah pantulan lampu, atau bayangan pohon. Tapi ketika ia membuka mata lagi—sosok itu masih di sana. Kali ini, wanita itu menatap langsung ke arah jendela tempat Zhiya berdiri. “Datanglah, Zhiya…” Bisikan itu lagi. Tapi sekarang terdengar jelas, menggema di dalam kepala. Zhiya memegangi dadanya. Jantungnya berdetak kencang. Rasa dingin menjalari kulit tangannya. Ia tahu ia seharusnya pergi, meninggalkan museum yang sudah tutup. Tapi langkah kakinya seolah dikendalikan sesuatu yang lebih kuat dari ketakutan. Ia menuruni tangga pelan-pelan. Setiap langkah bergema di lorong yang sunyi. Poster-poster pameran di dinding tampak memantulkan cahaya bulan, menciptakan bayangan yang bergerak seperti menatap balik padanya. “Ini gila…” gumamnya pelan. Tapi tetap saja, ia berjalan menuju pintu kaca utama. Begitu ia keluar, udara malam langsung menyergap kulitnya. Taman museum sepi, hanya diisi deretan patung batu dan pecahan arca kuno yang berserak di bawah sinar bulan. Namun di tengahnya, di atas pelataran marmer, wanita itu berdiri menunggunya. Zhiya menatapnya tanpa berani bergerak lebih dekat. “Siapa kau?” serunya pelan, suaranya bergetar. Suara langkah terdengar di balik kabut. Lembut, berirama, seolah seseorang melangkah di atas permukaan air. Dari arah kabut itu, seorang wanita tua perlahan muncul. Rambutnya panjang keperakan, mata hitamnya berkilau seperti batu obsidian. Di tangannya tergenggam tongkat kayu dengan ukiran kuno yang tampak hidup di bawah cahaya bulan. Wanita itu berhenti beberapa langkah di depan Zhiya. Tatapannya menembus, tajam, namun tidak jahat—lebih seperti seseorang yang telah menunggu terlalu lama. “Zhiya…” suaranya berat, bergema di udara. “Akhirnya kau datang juga.” Zhiya mundur setapak, tubuhnya masih gemetar. “Siapa kau? Apa yang terjadi? Museum… tempat ini…” Penyihir itu mengangkat wajahnya menatap bulan, lalu tersenyum samar. “Bulan telah memanggil darah lamamu. Tempat ini… hanyalah bayangan masa yang terkunci dalam dirimu.” “Darah lama?” Zhiya mengulang, napasnya tercekat. Wanita itu menatapnya dalam. “Kau adalah keturunan terakhir dari Silsilah Cahaya dan Bayangan—garis leluhur yang pernah mengikat perjanjian dengan kekuatan air bayangan. Kutukan yang mereka tinggalkan telah turun padamu, dan malam ini… jiwamu mulai mengingat.” Zhiya mengerutkan kening. “Kutukan? Aku tidak mengerti…” Sang penyihir mendekat, menatap Zhiya dengan tatapan yang lembut tapi tegas. “Leluhurmu pernah melakukan ritual yang akhirnya menyegel seluruh negrinya,” katanya perlahan. “Mereka mengikat roh raja tanpa restu alam, mengikat dua dunia menjadi satu. Akibatnya, roh itu terpecah—setengah terjebak di dunia manusia, setengah lagi di alam arwah.” Ia menepuk dada Zhiya ringan dengan ujung tongkatnya. “Dan separuh roh itu… mengalir dalam darahmu.” Zhiya menatapnya, ngeri bercampur heran. “Maksudmu, aku membawa roh itu di dalam diriku?” “Ya,” jawab sang penyihir tenang. “Dan setiap keturunanmu akan terus menanggung gema dari perjanjian itu. Sampai tiba seseorang yang mampu menyatukan kembali dua belahan roh yang terpisah.” Zhiya menatap lantai batu di bawah kakinya. Bayangan bulan menari di sela kabut, dan di antara denyut jantungnya yang cepat, kata-kata penyihir itu terus berputar di kepala. “Bagaimana cara… memecahkan kutukan itu?” tanyanya pelan. Penyihir itu menatapnya dalam diam beberapa saat, lalu mengangkat tongkatnya ke arah bulan purnama. Cahaya perak turun perlahan, membentuk pusaran di udara. Di dalam pusaran itu, muncul dua bayangan samar—dirinya dan Lingga. Mereka berdiri berhadapan, seolah dipisahkan oleh lapisan cahaya tipis. “Lihatlah,” kata penyihir itu. “Rohmu telah saling terikat jauh sebelum kelahiran mu di dunia ini. Ia adalah penjaga dari separuh roh yang hilang. Karena itu, hanya dengan penyatuan roh antara kau dan dia, perjanjian lama bisa disempurnakan kembali.” Zhiya menatap bayangan itu dengan mata membulat. “Lingga…?” Penyihir itu mengangguk. “Ia tidak tahu, tapi jiwanya selalu memanggilmu. Karena dalam dirinya hidup sisi roh yang pernah terpisah darimu ribuan tahun lalu.” Kabut di sekitar mereka bergolak lembut, mengelilingi Zhiya seperti arus air. “Tapi… bagaimana kami menyatukan roh? Aku tak mengerti caranya.” Senyum penyihir itu berubah lembut, namun matanya menyiratkan kesedihan mendalam. “Penyatuan tidak terjadi melalui darah atau daging, Zhiya… melainkan melalui ikatan jiwa yang lahir dari kejujuran, keberanian, dan cinta yang tidak bersyarat. Hanya ketika dua roh itu saling menerima seluruh cahaya dan kegelapan satu sama lain… barulah kutukan itu akan pudar.” Zhiya menatapnya lama. Di dadanya, rasa takut perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain—pengertian yang samar tapi nyata. “Jadi… jika aku dan Lingga bersatu bukan karena takdir, tapi karena kami saling memilih…” “…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.”Malam-malam berikutnya, pikiran itu tidak lagi sekadar bayangan. Ia menetap. Zhiya duduk sendirian di pantai, pasir dingin menyentuh telapak kakinya. Laut berkilau gelap, memantulkan cahaya bulan yang kian menipis. Di kejauhan, mercusuar berputar pelan—penanda arah bagi kapal yang ragu. Ia menatapnya lama, lalu menunduk, menyadari ironi yang membuat dadanya sesak. Selama ini ia bertahan di Aetheria karena tubuhnya ada di sini. Karena kehidupan yang seharusnya. Karena rasa aman yang masuk akal. Namun Qingzhou memanggilnya bukan sebagai pelarian. Melainkan sebagai tujuan. Ia teringat wajah Lingga saat berkata ia merindukannya—bukan permintaan, bukan tuntutan. Hanya kebenaran yang dibiarkan berdiri apa adanya. Ia teringat kematian yang disaksikannya, pengorbanan yang tak pernah diberi pilihan. Dan ia teringat kata-kata ibunya: jangan pergi karena ditarik—pergilah karena memilih. Zhiya menutup mata. “Aku tidak ingin kembali sebagai roh yang terseret,” bisiknya pada angin l
Udara di kamar itu kembali berubah. Bukan seperti mimpi yang runtuh, melainkan seperti kenyataan yang bergeser setengah langkah. Cahaya lampu meredup tanpa padam. Bayangan di sudut ruangan memanjang, lalu berhenti—terlalu teratur untuk sekadar permainan cahaya. Zhiya merasakannya lebih dulu daripada melihatnya. Ia menoleh perlahan. Di dekat jendela, di tempat tirai tipis bergoyang pelan, sebuah bayangan berdiri. Bukan hitam pekat, melainkan berlapis—seperti siluet yang diisi cahaya redup dari dalam. Garis bahunya tegas. Posturnya dikenalnya terlalu baik. “Lingga…?” suaranya nyaris tak keluar. Bayangan itu bergerak satu langkah maju. Lantai kayu tidak berbunyi, namun keberadaannya terasa—menekan udara, menenangkan sekaligus menggentarkan. “Aku tidak ingin kau melihatnya dengan cara itu,” suara Lingga terdengar. Bukan gema, bukan bisikan. Nyata. Berat. “Tapi kau memang harus tahu.” “Lingga, aku, tak sanggup melihatmu menderita seperti itu,” lirih Zhiya dengan air mata ya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seolah waktu di pesisir Aetheria kehilangan kebiasaan lamanya. Zhiya tenggelam dalam pikirannya. Ia tetap bangun pagi, membantu ibunya di rumah, berjalan menyusuri pantai saat matahari naik rendah. Dari luar, ia tampak baik-baik saja—lebih sehat bahkan, dibanding saat ia terbaring tak sadar di rumah sakit. Namun di dalam dirinya, kata-kata Lingga terus berulang, berlapis-lapis, tak mau diam. Bulan hitam akan naik. Rohmu akan tertarik kembali. Setiap kali angin laut menyentuh kulitnya, Zhiya bertanya-tanya apakah itu benar-benar angin, atau hanya cara lain dunia lain mengingatkannya. Saat malam tiba dan bulan biasa menggantung pucat di langit, ia menatap terlalu lama, menunggu sesuatu yang tidak seharusnya datang. Tidurnya dangkal. Dalam mimpi, ia tidak selalu kembali ke Qingzhou. Kadang hanya koridor kosong tanpa lentera. Kadang suara langkah kaki yang berhenti tepat di belakangnya. Kadang bayangan Lingga yang berdiri jauh, ti
Beberapa hari berlalu dengan ritme yang pelan—ritme yang sengaja dipilih agar tubuh Zhiya benar-benar belajar tinggal. Pagi itu, sinar matahari jatuh lembut di kamar rawat. Zhiya duduk setengah bersandar, sudah tanpa infus, hanya monitor kecil yang sesekali berbunyi tenang. Ibunya duduk di kursi dekat jendela, mengupas apel dengan gerakan hati-hati, seolah setiap potongan adalah doa kecil agar semuanya baik-baik saja. Arga berdiri di ambang pintu ketika dokter masuk, membawa map tipis. “Kondisi pasien stabil,” katanya. “Hari ini boleh pulang, dengan catatan istirahat total. Tidak begadang, tidak stres berat.” Zhiya tersenyum kecil. “Siap, Dok.” Setelah dokter pergi, ibunya menoleh. “Kita pulang ke rumah ibu dulu,” katanya tegas namun penuh sayang. “Apartemenmu terlalu sunyi untuk orang yang baru kembali.” Zhiya mengangguk. “Aku juga ingin itu.” Arga membantu membereskan barang-barang kecil. Saat semuanya siap, Zhiya berdiri pelan, merasakan lantai dingin di telapak kakinya
Di Qingzhou, senja belum sempat jatuh ketika Zhiya terhuyung. Kali ini bukan pusing yang bisa ia tahan dengan napas. Tarikannya datang mendadak—kuat, kasar—seperti tangan yang merenggut pergelangan kakinya dari balik kabut. Lututnya menghantam lantai kamar Lingga, suara benturannya kering dan nyata. “Zhiya!” Lingga sudah berlutut di hadapannya. Simbol di pergelangan tangan Zhiya berkilat tak beraturan, denyutnya melonjak liar. Udara di ruangan terasa berat, seolah ruang itu sendiri menolak mempertahankannya lebih lama. “Tubuhku…” Zhiya terengah, jari-jarinya mencengkeram kain jubah Lingga. “Mereka… membawaku ke rumah sakit.” Lingga menegang. Wajahnya mengeras—bukan marah, melainkan sadar. “Mereka menyentuh batas,” katanya pelan. “Tubuhmu memanggil dengan paksa.” Zhiya menggeleng lemah. “Aku belum selesai.” “Kau sudah,” jawab Lingga lembut namun tak memberi ruang bantahan. Ia mengangkat wajah Zhiya agar menatapnya. “Qingzhou aman. Jizhou mundur. Tidak ada lagi yang mengik
Di Aetheria, kepanikan tidak lagi bisa disamarkan sebagai kekhawatiran biasa. Arga duduk di tepi ranjang sejak entah kapan. Jam dinding sudah berpindah beberapa kali, namun Zhiya tetap tak bergerak. Napasnya masih ada—tipis, teratur dengan cara yang membuat jantung Arga justru semakin berdebar. Seperti tubuh yang bertahan hanya karena lupa bagaimana caranya berhenti. “Zhiya…” Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat. Dingin. Terlalu dingin untuk seseorang yang keningnya panas. Ia berdiri, mondar-mandir di kamar sempit itu, lalu kembali lagi. Ponselnya sudah berada di tangannya sejak tadi, layar menyala dengan nomor darurat yang belum juga ia tekan. Setiap detik berlalu seperti pengkhianatan. “Kenapa kamu belum bangun?” suaranya pecah. “Kamu bilang cuma mimpi. Kamu bilang kamu bisa kembali kapan saja.” Zhiya tidak menjawab. Arga menempelkan telinganya ke dada Zhiya, memastikan detak jantung itu masih ada. Ada. Namun lemah. Seolah jaraknya semakin jauh dari dunia ini.







