Início / Historical / Tawanan Hasrat Raja Lingga / Kutukan Dari Garis Leluhur

Compartilhar

Kutukan Dari Garis Leluhur

Autor: QuinzeeQ
last update Última atualização: 2025-11-12 14:55:36

“Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.”

Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan.

“Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya.

Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur.

“Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga.

Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?”

Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna.

“Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya.

“Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.”

Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela balkon yang setengah terbuka. Angin malam masuk perlahan, diikuti oleh aroma bunga khas istana yang sangat familiar di penciumannya.

Di luar sana, langit gelap tampak jernih tanpa awan—dan di tengahnya, menggantung bulat sempurna, bulan purnama yang begitu terang hingga seolah menyingkap seluruh rahasia malam.

Cahaya keperakan itu menyelinap ke dalam kamar, memantul di kulit Zhiya yang pucat, membuatnya tampak seperti diselimuti cahaya gaib. Ia menatap bulan itu lama, tanpa sadar menahan napas. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar.

Ia teringat dengan bisikan yang ia dengar kemarin saat di basement. Dan tanpa sadar, tubuhnya mulai bergerak pergi meninggalkan Apartemennya dan menuju museum dimana ia bekerja.

Lampu-lampu di luar gedung museum mulai padam satu per satu, meninggalkan hanya cahaya redup dari lampu sorot di lorong utama yang berkilau di lantai marmer. Udara malam terasa dingin, sepi, dan terlalu tenang bagi seorang Zhiya yang mulai berjalan menyusuri koridor yang sangat sunyi itu.

Tumpukan dokumen berdebu dan katalog artefak terbuka di depannya. Ia menatap lembaran foto lama yang baru saja ia temukan—potret seorang wanita bergaun putih, berdiri di antara reruntuhan bangunan tua. Wajahnya kabur, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang terasa terlalu hidup.

Zhiya menelan ludah pelan. Bulan di luar jendela tampak bulat sempurna—purnama, menggantung besar dan terang di balik kaca museum yang tinggi. Sinar keperakannya menembus masuk, jatuh di lantai, dan mengenai lukisan itu dengan pantulan samar yang aneh… seolah cahaya bulan menyorotinya dengan sengaja.

Lukisan Raja Qingzhou yang terletak tepat ditengah ruangan museum. Lalu, sesuatu bergetar di dadanya. Sebuah ingatan samar menyelinap—

Bisikan halus, lembut, namun menembus pikiran seperti udara dingin.

Zhiya berdiri perlahan, tubuhnya menegang. Ia menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke halaman museum. Di bawah sana, cahaya bulan memantul di dinding kaca modern dan pahatan logam yang menghiasi taman artefak luar ruangan.

Dan di antara pantulan itu… ada sesuatu yang bergerak. Sebuah bayangan wanita—berdiri di tengah taman, di bawah sinar bulan.

Zhiya menahan napas.

Ia memejamkan mata sebentar, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanyalah pantulan lampu, atau bayangan pohon. Tapi ketika ia membuka mata lagi—sosok itu masih di sana. Kali ini, wanita itu menatap langsung ke arah jendela tempat Zhiya berdiri.

“Datanglah, Zhiya…”

Bisikan itu lagi. Tapi sekarang terdengar jelas, menggema di dalam kepala.

Zhiya memegangi dadanya. Jantungnya berdetak kencang. Rasa dingin menjalari kulit tangannya.

Ia tahu ia seharusnya pergi, meninggalkan museum yang sudah tutup.

Tapi langkah kakinya seolah dikendalikan sesuatu yang lebih kuat dari ketakutan. Ia menuruni tangga pelan-pelan. Setiap langkah bergema di lorong yang sunyi. Poster-poster pameran di dinding tampak memantulkan cahaya bulan, menciptakan bayangan yang bergerak seperti menatap balik padanya.

“Ini gila…” gumamnya pelan. Tapi tetap saja, ia berjalan menuju pintu kaca utama.

Begitu ia keluar, udara malam langsung menyergap kulitnya. Taman museum sepi, hanya diisi deretan patung batu dan pecahan arca kuno yang berserak di bawah sinar bulan. Namun di tengahnya, di atas pelataran marmer, wanita itu berdiri menunggunya.

Zhiya menatapnya tanpa berani bergerak lebih dekat. “Siapa kau?” serunya pelan, suaranya bergetar.

Suara langkah terdengar di balik kabut. Lembut, berirama, seolah seseorang melangkah di atas permukaan air. Dari arah kabut itu, seorang wanita tua perlahan muncul. Rambutnya panjang keperakan, mata hitamnya berkilau seperti batu obsidian. Di tangannya tergenggam tongkat kayu dengan ukiran kuno yang tampak hidup di bawah cahaya bulan.

Wanita itu berhenti beberapa langkah di depan Zhiya. Tatapannya menembus, tajam, namun tidak jahat—lebih seperti seseorang yang telah menunggu terlalu lama.

“Zhiya…” suaranya berat, bergema di udara.

“Akhirnya kau datang juga.”

Zhiya mundur setapak, tubuhnya masih gemetar. “Siapa kau? Apa yang terjadi? Museum… tempat ini…”

Penyihir itu mengangkat wajahnya menatap bulan, lalu tersenyum samar. “Bulan telah memanggil darah lamamu. Tempat ini… hanyalah bayangan masa yang terkunci dalam dirimu.”

“Darah lama?” Zhiya mengulang, napasnya tercekat.

Wanita itu menatapnya dalam. “Kau adalah keturunan terakhir dari Silsilah Cahaya dan Bayangan—garis leluhur yang pernah mengikat perjanjian dengan kekuatan air bayangan. Kutukan yang mereka tinggalkan telah turun padamu, dan malam ini… jiwamu mulai mengingat.”

Zhiya mengerutkan kening. “Kutukan? Aku tidak mengerti…”

Sang penyihir mendekat, menatap Zhiya dengan tatapan yang lembut tapi tegas.

“Leluhurmu pernah melakukan ritual

yang akhirnya menyegel seluruh negrinya,” katanya perlahan.

“Mereka mengikat roh raja tanpa restu alam, mengikat dua dunia menjadi satu. Akibatnya, roh itu terpecah—setengah terjebak di dunia manusia, setengah lagi di alam arwah.”

Ia menepuk dada Zhiya ringan dengan ujung tongkatnya. “Dan separuh roh itu… mengalir dalam darahmu.”

Zhiya menatapnya, ngeri bercampur heran. “Maksudmu, aku membawa roh itu di dalam diriku?”

“Ya,” jawab sang penyihir tenang. “Dan setiap keturunanmu akan terus menanggung gema dari perjanjian itu. Sampai tiba seseorang yang mampu menyatukan kembali dua belahan roh yang terpisah.”

Zhiya menatap lantai batu di bawah kakinya. Bayangan bulan menari di sela kabut, dan di antara denyut jantungnya yang cepat, kata-kata penyihir itu terus berputar di kepala.

“Bagaimana cara… memecahkan kutukan itu?” tanyanya pelan.

Penyihir itu menatapnya dalam diam beberapa saat, lalu mengangkat tongkatnya ke arah bulan purnama. Cahaya perak turun perlahan, membentuk pusaran di udara. Di dalam pusaran itu, muncul dua bayangan samar—dirinya dan Lingga. Mereka berdiri berhadapan, seolah dipisahkan oleh lapisan cahaya tipis.

“Lihatlah,” kata penyihir itu. “Rohmu telah saling terikat jauh sebelum kelahiran mu di dunia ini. Ia adalah penjaga dari separuh roh yang hilang. Karena itu, hanya dengan penyatuan roh antara kau dan dia, perjanjian lama bisa disempurnakan kembali.”

Zhiya menatap bayangan itu dengan mata membulat. “Lingga…?”

Penyihir itu mengangguk. “Ia tidak tahu, tapi jiwanya selalu memanggilmu. Karena dalam dirinya hidup sisi roh yang pernah terpisah darimu ribuan tahun lalu.”

Kabut di sekitar mereka bergolak lembut, mengelilingi Zhiya seperti arus air. “Tapi… bagaimana kami menyatukan roh? Aku tak mengerti caranya.”

Senyum penyihir itu berubah lembut, namun matanya menyiratkan kesedihan mendalam.

“Penyatuan tidak terjadi melalui darah atau daging, Zhiya… melainkan melalui ikatan jiwa yang lahir dari kejujuran, keberanian, dan cinta yang tidak bersyarat. Hanya ketika dua roh itu saling menerima seluruh cahaya dan kegelapan satu sama lain… barulah kutukan itu akan pudar.”

Zhiya menatapnya lama. Di dadanya, rasa takut perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain—pengertian yang samar tapi nyata.

“Jadi… jika aku dan Lingga bersatu bukan karena takdir, tapi karena kami saling memilih…”

“…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.”

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kehidupan yang mulai tidak normal

    “…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kutukan Dari Garis Leluhur

    “Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pikiran yang bercabang

    “Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Jalan Masuk yang semakin terbuka

    Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Ketertarikan yang nyata

    Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri.
Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. 
“Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Suara Air yang memanggil

    “Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status