FAZER LOGIN“…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.”
Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Lingga,” Zhiya langsung menoleh. Tapi nihil, ia tak menemukan siapapun dibelakangnya. “Ini membuatku gila,” lirihnya. Sejak malam itu, Kehidupan Zhiya semakin terganggu. Ia tak pernah menjalani kehidupannya dengan normal. Ia masih bekerja di museum seperti biasa—menyusun katalog artefak, menyiapkan pameran baru, dan menulis laporan restorasi. Tapi ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang halus, nyaris tak terlihat, namun cukup untuk mengusik kesehariannya. Kadang-kadang, saat ia melangkah di koridor museum yang sepi, ia mendengar bisikan samar di antara bayangan—suara perempuan yang sama seperti malam itu, memanggil namanya perlahan. Kadang pula, pantulan wajahnya di kaca pameran tampak berbeda—seolah ada bayangan lain berdiri di belakangnya. Bukan hanya bayangan Lingga yang menghantuinya, tapi, bayangan wanita tua yang ia temui beberapa malam lalu, juga ikut menghantui dirinya. Awalnya Zhiya mencoba menyangkal. Ia menyalahkan kurang tidur, stres kerja, dan terlalu banyak memikirkan “hal-hal mistis” yang dikatakan penyihir itu. Tapi setiap kali ia mencoba menenangkan diri, tanda-tandanya justru makin kuat. Lampu ruang kerja sering berkedip tanpa alasan. Lonceng kecil di dekat pintu berdering sendiri, bahkan saat tidak ada angin. Dan yang paling mengganggu—kadang ia mencium aroma dupa tua dan bunga kamboja setiap kali malam mulai turun. Hari demi hari, Zhiya mulai tampak lelah. Lingkar matanya menggelap, dan tangannya sering gemetar tanpa sebab. Rekan-rekannya di museum mulai khawatir, tapi hanya satu orang yang benar-benar memperhatikan setiap perubahan kecil pada dirinya. Arga. Hari itu, ketika Zhiya menjatuhkan beberapa lembar dokumen dari tangannya karena tiba-tiba pusing, Arga langsung menghampiri tanpa banyak bicara. “Zhiya, kau pucat sekali.” Zhiya buru-buru tersenyum kaku. “Aku hanya… sedikit kurang tidur.” Tapi Arga tidak mudah percaya. Ia memperhatikan tatapan Zhiya yang kosong, dan cara gadis itu sesekali menoleh ke arah ruangan yang kosong seolah sedang diawasi. “Ini bukan cuma kurang tidur,” gumamnya. “Kau seperti melihat sesuatu.” Zhiya menelan ludah. “Tidak… aku hanya—” Namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara bisikan itu datang lagi. Dekat sekali kali ini. Tepat di telinganya. “Waktumu hampir tiba, pewaris darah lama…” Zhiya terhuyung. Arga segera meraih bahunya, menahan tubuhnya agar tidak jatuh. “Zhiya!” suaranya tegas, sedikit keras karena panik. Tatapan Zhiya kosong sejenak, lalu matanya kembali fokus. Ia mengerjap, menyadari tangan Arga masih memegangi bahunya. “Aku… aku baik-baik saja,” ucapnya pelan. “Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja,” jawab Arga datar, tanpa melepas tatapannya. “Sudah lewat beberapa minggu, kau seperti orang lain. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan.” Zhiya menghindari tatapan itu. Ia tahu Arga tidak akan mudah percaya kalau ia bicara tentang kutukan, penyihir, atau roh leluhur. Semua itu terdengar terlalu tidak masuk akal di dunia modern mereka. Namun di sisi lain, ia tahu Arga bukan orang yang mudah diintimidasi oleh hal-hal ganjil. “Arga…” katanya lirih, “kalau aku bilang ada sesuatu… yang mengikuti aku, kau percaya?” Arga menatapnya lama, lalu menarik napas pelan. “Aku tidak tahu apa maksudmu. Tapi aku percaya kau tidak akan bicara begitu tanpa alasan.” Belum sempat Zhiya membalas perkataan Arga, ia melirik kearah Lukisan Lingga yang masih diletakkan dengan sempurna ditengah di Museum. Tatapan Lingga, berubah menjadi tatapan dengan sorot mata yang tajam. Seolah ia sedang marah melihat Zhiya bersama dengan Pria lain. “Zhiya! Kau lihat apa?” ucap Arga kemudian mengikuti pandangan Zhiya yang mengarah pada Lukisan kuno itu. “Zhiya. Ayo. Aku akan mengantarmu keruangan,” ucap Arga sembari menuntun Zhiya kembali ke ruangan kerjanya. Pria itu kemudian mengambilkan segelas air untuk Zhiya agar gadis itu sedikit tenang. “Terimakasih,” lirih Zhiya. Arga menyenderkan tubuhnya didinding dekat meja kerja Zhiya. Ia melipat tangannya didada dan memikirkan sesuatu yang mungkin tak pernah terlintas dibenaknya. “Kau bisa bercerita jika kau mau,” ucap Arga. Zhiya terdiam. Tapi Arga mencoba mendesaknya. “Sudah hampir 1 bulan kau seperti ini Zhiya. Apa kau masih tetap mau menyimpannya sendiri?” tanya Arga. Zhiya menghela nafasnya. Ia meletakkan cangkirnya dimeja kerja miliknya. Gadis itu kemudian menarik nafas dalam dan menatap wajah Arga. “Kau tahu, aku tidak mengerti dengan apa yang aku alami beberapa minggu ini. Aku masih sedang mencerna semua situasinya,” jelas Zhiya pelan. “Aku bermimpi, aku bertemu dengan seorang Raja. Dan Raja itu adalah Raja Qingzhou yang berada di lukisan itu,” ucap Zhiya. Arga mulai mengerutkan dahinya dan mencoba mencerna setiap perkataan Zhiya. “Lalu apa yang mengganggumu, Zhiya? Itu hanyalah mimpi,” ucap Arga. “Tidak, Arga. Mimpi itu terasa sangat nyata bagiku. Setiap aku tertidur, aku akan kembali kesana. Dan ini sudah hampir 1 bulan aku mengalaminya. Apa ini masih bisa disebut mimpi?” “Dan juga, beberapa hari lalu, aku mendengar suara aneh. Aku mengikuti suara itu hingga ke museum ini pada saat malam bulan purnama. Dan aku bertemu seorang wanita tua,” “Wanita itu berkata, aku terkena kutukan leluhurku. Makanya aku selalu bermimpi aneh seperti itu, Arga,” jelas Zhiya. Arga terdiam. Ini kali pertamanya ia mendengar cerita yang tak masuk akal menurutnya. Di zaman modern seperti ini, apa masih ada hal-hal mistis seperti itu? “Apa kau sudah mencoba menemui psikiater, Zhiya?” tanya Arga pelan. Zhiya menoleh. “Belum. Aku ragu,” lirih Zhiya.“…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling
“Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal
“Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak
Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang
Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri. Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. “Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja
“Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia